Pages - Menu

Mendengarkan Angin dalam Bahasa Rerumput

seperti ada yang hendak disampaikan angin namun kita tak dapat mendengarnya. maka dititipkannya pesan itu kepada dedaun yang berayun-ayun di ranting pohon yang lalu bergemerisik lirih seperti coba berbisik di jeda-jeda nafas kita yang tersengal. atau pada yang terlepas dari ranting lalu melayang dan jatuh ke tanah di antara pijak langkah-langkah kita yang berat.

mungkin kita tak sempat mendengarkan selain nafas kita sendiri.
mungkin kita tak sempat memperhatikan selain langkah kita sendiri.

tetapi, selalu saja seperti ada yang masih ingin disampaikan angin yang meluncuri punggung-punggung bebukitan dan menyusuri lembah-lembah dalam ketika partikel-partikel udara jadi semakin dingin dan rapat sehingga gravitasi bumi mampu menariknya jatuh dari puncak gunung ke dataran rendah bahkan hingga ke lautan jauh di sana, sore itu menjelang terbenam matahari. dapatkah kaurasakan itu di antara lelahmu? di dalam dingin yang menembus tulang yang seperti coba meraba sesuatu yang tersimpan di dalam diri kita.

mungkin malam datang tidak untuk menyembunyikan apa-apa di dalam gelapnya tetapi supaya kita dapat juga melihat bintang-bintang yang jauh itu. mungkin udara terdiam bukan untuk merahasiakan apa-apa di balik hening dan kabutnya tetapi supaya kita dapat juga mendengarkan suara-suara lirih dari dalam lubuk hati yang selalu jujur.

ketika berjalan membelah sabana di antara rumput-rumput hijau yang mulai menguning, entah apakah itu adalah angin yang berbicara melalui bahasa rerumput ataukah sesuatu yang lain yang berada di dalam diriku yang berdesir. kupikir, kita tak pernah belajar apa-apa kecuali belajar melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang selalu lebih samar, hingga kita menyadari betapa kita selalu buta, tuli, dan tidak peka terhadap kejujuran hidup.

Jogjakarta, 06-08-2017