Pages - Menu

Mercusuar

Suatu kala aku memancang kedua kakiku ke dalam pasir, berdiri tegak memimik mercusuar, tak bergeming meski angin kencang dan ombak menerpa tubuhku. Kuhadapi lautan luas yang seperti tak bertepi. Kesadaranku pun menemui titiknya di ruang yang tanpa dinding, tanpa batas. Betapa yang kuketahui hanya sedikit sekali dibanding luasnya samudera misteri yang menyimpan entah sebanyak apa rahasia kehidupan.
Hidup adalah denyut gelombang kehidupan.
Cinta adalah denyar pancaran kerinduan.
Terbersit begitu saja dalam benakku, larik-larik puisi yang begitu sederhana-- terlalu sederhana untuk dimengerti-- sampai aku terhenyak dalam lamunan.
*
Aku adalah mercusuar yang didirikan di puncak bukit di ujung semenanjung. Sejak semula sudah seperti itu dan akan selalu begitu hingga akhir. Di mana aku didirikan, di situlah aku berdiri sepanjang waktu, meski aku tak tahu apa itu waktu. Tetapi aku mengenal dengan baik penanda-penandanya. Matahari terbit. Matahari terbenam. Bulan beredar. Bintang-bintang bertebaran. Angin berhembus berubah-ubah arah. Ombak menghempas dengan kekuatan yang berbeda-beda. Burung-burung terbang dari suatu tempat yang jauh menuju tempat yang jauh. Aku, selalu adalah mercusuar yang berdiri di sini selamanya. Menemani lautan dan daratan bercumbu rayu. Menyaksikan kapal-kapal berlalu.
Dalam diriku ada rindu yang berpendar memancar. Rindu yang kutahu hanya waktu yang dapat menghantarkannya kembali ke rumah. Dan meski aku tak tahu apa-apa tentang waktu, aku kan selalu menunggu.
Aku adalah mercusuar, dengan rindu yang selalu berpendar-pendar memancar. Begitulah aku selalu menunggu sampai waktu menunjukkan pertanda bagiku untuk pergi atau kembali-- sama saja.

Jogjakarta, 15 Desember 2016