Pages - Menu

Di Negeri Kabut

Di negeri di mana kabut senantiasa mengambang,
udara seakan tak pernah bergerak,
seperti beku,
dan terasa dingin sampai ke jiwa.
Seolah-olah waktu pun mandeg di suatu momen tak tentu.
Dan memang segala-galanya tiada menentu.
Tak jelas.
Jendela-jendela kaca buram karena kabut yang menempel.
Pintu-pintu di setiap rumah senantiasa tertutup rapat agar dingin tak bebas melenggang masuk,
meski sebagian tetap dapat menyusup lewat celah-celah di berbagai sudut.
Namun selama perapian tetap menyala, dingin tak kan berani mendekat.
Hanya bisa meringkuk di pojok-pojok jauh yang gelap,
bersembunyi di balik bayang-bayang.
Di depan perapian itulah orang-orang  biasanya berkumpul,
mendengarkan kisah-kisah yang terlantun,
tentang negeri yang jauh di balik kabut,
yang selalu dimulai dengan 'konon'.
Di situ mereka menunggu waktu kembali bergulir.
*
Negeri itu tak pernah benar-benar terang,
pun tak pernah betul-betul gelap.
Waktu seperti terang-terangan berhenti,
pergi entah ke mana.
Jarum-jarum jam yang terpatri di dinding pun sejak lama telah berhenti berdetak.
Angka-angka yang pernah menghiasi tepiannya pun telah hilang sama sekali.
Tinggal kekosongan di ujung jarum-jarumnya yang tersisa.
Seolah waktu betul-betul telah sirna dari ruang negeri itu.
Tanpa waktu, apalah yang bisa menjadi jelas.
Tiada kenangan.
Tiada harapan.
Tinggal kisah-kisah bertabur 'konon'.
Tinggal kabut sarat bias fatamorgana.
Tinggal keremangan yang seperti abadi.

Jogjakarta, 13 Desember 2016