Salah satu hal menarik yang
diungkapkannya adalah mengenai lima “alat” yang diperlukan untuk melakukan “apa
yang belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya”. Kalimat dalam tanda
petik ganda tersebut adalah sebagaimana yang diucapkan Fisher, yang dalam
konteks ini mungkin maksudnya adalah semacam ekspedisi first descent.
Kelima hal tersebut adalah: (1)
peralatan, (2) fisik yang prima, (3) lokasi yang tepat, (4) keahlian, dan (5)
pengalaman. Selain kelima hal tersebut, ia kemudian menambahkan perihal
bagaimana memitigasi risiko.
Poin utama presentasi Steve
Fisher tersebut mungkin adalah untuk menjelaskan bahwa kita sebenarnya bisa
melakukan sesuatu yang “sepertinya tidak mungkin dilakukan” apabila kita
memiliki kelima hal tersebut dalam “kotak peralatan” kita dan mampu memitigasi
risiko yang kita hadapi. Meskipun Fisher menjelaskan ide tersebut dalam konteks
kayaking arus deras, ide tersebut sesungguhnya berlaku pula dalam setiap
aktivitas olahraga petualangan, apakah itu mendaki gunung, memanjat tebing,
menelusuri goa, dan sebagainya.
Menurut saya, dalam setiap
olahraga petualangan terdapat tiga elemen penting yang terlibat, yaitu (1)
lingkungan alam tempat aktivitas tersebut berlangsung, (2) orang yang melakukan
aktivitas tersebut (yang Fisher membaginya menjadi tiga yaitu keadaan fisik
yang prima, keahlian, dan pengalaman) dan (3) peralatan yang digunakan oleh
orang tersebut untuk membantunya dalam berbagai keperluan. Ketiga elemen
tersebut mengandung faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberlangsungan suatu
petualangan, dan seharusnya kita pahami perannya agar petualangan kita dapat
berjalan dengan baik.
Sebaliknya, ketidakpahaman kita
perihal elemen-elemen tersebut berpotensi menjadi faktor yang menyebabkan
kecelakaan. Inilah yang disebut faktor subyektif (yang kemudian menjadi bahaya
subyektif) dalam proses terjadinya kecelakaan dalam aktivitas petualangan.
Konon, foot entrapment lebih sering
terjadi di sungai kelas II atau III daripada kelas IV atau V, dan salah satu
penjelasan logis akan hal tersebut adalah karena kebanyakan orang (mengingat
sungai kelas II dan III mungkin adalah yang paling banyak dikomersilkan) tidak
mengetahui bahwa memijakkan kaki ke dasar sungai yang kedalamannya melebihi
tinggi lutut dan mengalir cukup deras adalah sesuatu yang berbahaya. Bebatuan (sebagai
faktor obyektif atau bahaya obyektif) secara alamiah memang akan selalu ada di
dasar jeram dan memang berpotensi bahaya, tetapi ketidaktahuan seringkali
menjadi faktor yang memperbesar peluang terjadinya foot entrapment atau berbagai kecelakaan lainnya.
Contoh lain. Cukup sering
dijumpai pemandu sungai (river guide)
yang kesulitan menarik tamu yang terjatuh dari perahu untuk naik kembali ke
atas perahu karena pelampung yang dikenakannya tidak terpasang dengan baik. Bisa
jadi karena ukuran pelampungnya terlalu besar, atau karena kurang kencang
mengenakannya (biasanya buckle paling
bawah yang terpasang di sekeliling pinggang lupa dipasang atau kurang kencang).
Hal tersebut bisa saja berakibat buruk, misalnya pelampung tersebut terlepas dari
tubuh korban dan menambah besar faktor risiko yang mungkin terjadi karena
korban terpaksa berada di air tanpa pelampung, atau karena terpaksa harus
ditarik tangannya sehingga dapat menyiderai bahu si korban. Peristiwa semacam
itu mungkin memang lebih merupakan kelalaian pemandu sungai dalam memastikan
para tamunya mengenakan peralatan dengan baik, namun di sisi lain, hal tersebut
juga menunjukkan bahwa ketidaktahuan kita terhadap fungsi dan penggunaan
peralatan dapat pula berpotensi memperbesar peluang terjadinya kecelakaan.
Dari dua contoh tersebut dapat
kita lihat bahwa faktor dari orang yang melakukan petualangan tersebut
sepertinya merupakan pemegang peran terpenting, dalam hal ini adalah seberapa
pengetahuannya terhadap kedua elemen lainnya (lingkungan alam yang dihadapi,
dan peralatan yang digunakan). Inilah yang, dalam Teori Dinamika Kecelakaan (Attarian, Aram. 2012. Risk Management in Outdoor and Adventure Programs: Scenarios of Accidents, Incidents, and Misadventures. Human Kinetics),
disebut faktor subyektif (di samping faktor obyektif) yaitu faktor yang
sebenarnya dapat kita kondisikan (sedangkan faktor obyektif adalah faktor yang
hampir tidak mungkin kita apa-apakan) untuk meminimalkan peluang terjadinya
kecelakaan dalam aktivitas petualangan. Faktor-faktor lainnya akan menjadi
relatif terhadap faktor subyektif ini dalam dinamika aktivitas petualangan.
Jadi, seberapapun tingkat
kesulitan suatu jeram—misalnya—akan menjadi semakin berisiko atau tidak
tergantung pada faktor dari orang yang melewatinya (seberapa paham ia terhadap
risiko obyektif yang ada, seberapa baik kemampuan mendayungnya, seberapa mampu
ia menggunakan peralatannya, seberapa siap ia menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi, dan sebagainya).
Dalam film dokumenter Chasing
Niagara, Rafa Ortiz mengungkapkan bahwa “kayaking
is an individual sport, but you’re only as good as the friends you paddle with”.
Di sini lah saya ingin menyampaikan pemikiran mengenai keselamatan dalam
berarung jeram, khususnya kayaking. Dan nantinya, apa yang dikatakan Ortiz
mungkin akan bisa kita pahami dengan lebih jelas.
Karena kayaking pada dasarnya
memang adalah olahraga individual, faktor pertama dan utama yang berperan dalam
keselamatan adalah faktor-faktor perorangan, dan yang paling mendasar adalah
pengetahuan kita mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas
tersebut. Hal ini sudah cukup banyak dijelaskan di atas, dan mungkin tidak
perlu ditambahkan lagi. Secara ringkas, poinnya adalah bahwa pengetahuan dasar
mengenai keadaan alam yang dihadapi (dalam hal ini segala hal tentang sungai
dan jeram) dan mengenai peralatan yang digunakan, adalah pondasi pertama dalam
bangunan sistem keselamatan berarung jeram. Dari sisi lain, ketidaktahuan
adalah faktor subyektif yang dapat memperbesar risiko obyektif yang dihadapi,
yang memperbesar peluang bahaya obyektif untuk menjadi bahaya yang sungguh-sungguh
terjadi (kecelakaan).
Di atas pondasi pengetahuan,
terdapat keahlian mendayung untuk melakukan berbagai manuver dengan kayak.
Lagipula, apalah artinya kita berada di atas kayak dengan dayung di tangan bila
kita tidak punya keahlian menggunakannya. Kayak dan dayung tersebut adalah
peralatan yang dapat digunakan untuk membantu kita melewati jeram, namun hanya
jika kita mampu menggunakannya dengan baik. Keahlian ini hanya dapat kita
miliki melalui latihan dan pengalaman yang cukup, dan semua itu butuh waktu.
Pertama kali, sekedar naik ke atas kayak saja merupakan sesuatu yang tidak
semudah kelihatannya, apalagi mendayungnya, belum lagi ditambah berbagai
rintangan yang ada di sungai.
Untuk mengembangkan keahlian
kayaking, kita memerlukan keahlian dasar mendayung yang dibangun di lingkungan
yang relatif aman dan terkendali, misalnya di kolam yang berair tenang dan relatif
tidak terlalu dalam. Intinya adalah bagaimana kita bisa menggerakkan kayak di
atas permukaan air untuk melakukan berbagai manuver dasar (bergerak maju,
mundur, bergeser ke samping, maupun berputar dan belok). Setelah kita mampu
melakukannya di air tenang, langkah berikutnya adalah bagaimana agar kita bisa
menerapkan keahlian dasar tersebut di air yang berarus. Hal ini tentu tidak
akan semudah di air tenang sebab berbabagai faktor yang disebabkan oleh
mengalirnya air akan mempengaruhi kayak kita. Kemampuan membaca arus menjadi
keahlian yang harus dimiliki untuk dapat menguasai manuver kayak di arus.
Di sini lah tingkat kesulitan
jeram masuk ke dalam perhitungan. Jika hanya terdapat air yang mengalir,
arus-arus yang terbentuk biasanya hanya berupa riak atau ombak-ombak kecil dan
mungkin eddy di tepi sungai, dan berdasarkan
sistem klasifikasi tingkat kesulitan sungai (lihat: www.americanwhitewater.org/content/Wiki/safety:start)
mungkin masih termasuk kelas I. Namun, semakin kompleks ornamen dan arus yang
terdapat pada suatu jeram, akan semakin tinggi kelasnya, dan semakin tinggi
pula risiko obyektifnya. Secara logis, semakin tinggi tingkat kesulitan jeram,
maka semakin tinggi pula tingkat keahlian yang diperlukan untuk melalui jeram
tersebut dengan selamat. Untuk membangun keahlian kayaking di jeram yang
kelasnya lebih tinggi, diperlukan pengalaman dan penguasaan terhadap jeram yang
kelasnya lebih rendah terlebih dahulu. Jika tidak, sama saja dengan berusaha
berlari padahal belum bisa berjalan. Peluang untuk terjatuh tentu akan lebih
besar yang berarti risikonya akan lebih besar.
Bagaimana kita mengetahui bahwa
kita telah menguasai jeram dengan tingkat kesulitan tertentu? Yaitu dengan
menguji kemampuan manuver kita di jeram tersebut. Jika kita bisa melakukan
berbagai manuver di suatu jeram kelas tertentu sesuai dengan apa yang kita
inginkan, berarti kita mungkin sudah cukup menguasai keahlian yang diperlukan
untuk jeram-jeram dengan kelas yang setara. “Mungkin”, sebab sesungguhnya jeram
yang berbeda meskipun dengan kelas kesulitan yang sama adalah sesuatu yang
berbeda. Untuk lebih meyakinkan, kita bisa mencoba bermanuver di jeram yang
berbeda yang kelasnya sama. Jika kita bisa mengatasinya, berarti kita boleh
cukup yakin dengan kemampuan kita.
Selanjutnya adalah keahlian river rescue. Keahlian ini mencakup ranah perorangan hingga kelompok. Secara
umum rescue dapat digolongkan menjadi
dua macam yaitu self rescue
(penyelamatan diri dan peralatan sendiri) dan team rescue (penyelamatan yang dilakukan oleh orang lain terhadap
korban). Di sini, apa yang diungkapkan oleh Rafa Ortiz mulai dapat kita lihat
maksudnya. Meskipun kayaking adalah olahraga individual, namun seberapa baik
engkau melakukannya akan sangat ditentukan oleh orang lain yang menemanimu. Itu
berarti sebagai individu engkau bertanggung jawab atas keselamatan dirimu, dan
sebagai tim engkau bertanggung jawab atas keselamatan teman satu timmu. Saat menghadapi
jeram-jeram yang kelasnya lebih tinggi dan belum pernah engkau hadapi
sebelumnya (apalagi jeram-jeram yang belum pernah dilalui siapa pun sebelumnya)
peran teman setim menjadi sangat penting untuk memperbesar peluang keselamatan.
Kawan-kawan itulah yang akan menjadi penyelamat nyawamu ketika engkau tidak
bisa menyelamatkan dirimu sendiri.
Namun demikian, keahlian
penyelamatan diri (self rescue)
selalu merupakan pertahanan pertama dan utama sebelum diselamatkan oleh orang
lain. Keahlian penyelamatan diri ini mencakup kemampuan bermanuver untuk masuk
dan keluar dari eddy dalam berbagai
ukuran, kemampuan melakukan bracing
untuk mencegah kita terbalik, kemampuan melakukan roll ketika terbalik, kemampuan berenang, dan kemampuan mengurusi
peralatan perorangan secara mandiri (misalnya untuk melakukan portage, menguras kayak yang terisi air,
serta memasuki dan keluar dari kayak dalam berbagai kondisi).
Pada prinsipnya, dalam setiap
pengarungan sungai kita sebaiknya berhenti dan menepi setiap kali akan memasuki
suatu jeram untuk melakukan scouting
(melihat jeram dari darat untuk menentukan apakah jeram tersebut memiliki jalur
yang relatif aman untuk dilalui atau tidak), kecuali bila kita dapat melihat
jalur yang ada langsung dari atas kayak. Untuk berhenti dan menepi itu,
diperlukan keahlian untuk masuk dan keluar dari eddy. Jika tidak, maka kita terpaksa harus menghadapi jeram dalam
keadaan “buta”, dan hal tersebut tentu akan memperbesar risiko yang mungkin
dihadapi.
Cara lain yang lebih menghemat
waktu daripada harus naik ke darat adalah melihat jeram dari eddy yang cukup dekat dengan permulaan
jeram. Cara tersebut tentu juga membutuhkan keahlian menangkap eddy yang lebih baik (mengingat eddy yang dimasuki biasanya adalah eddy yang berada di balik batu yang pada
umumnya lebih kecil daripada eddy di
tepi sungai).
Ketika kita sudah berada di
tengah-tengah jeram, menjaga agar kita tidak terbalik terkadang bukan sesuatu
yang sederhana. Di sini lah brace
dibutuhkan. Namun dalam kayaking, terbalik seringkali merupakan sesuatu yang
tidak terhindarkan. Setiap kayaker, bahkan yang terbaik di dunia sekalipun,
pernah terbalik. Maka setiap kayaker sudah seharusnya mampu melakukan roll. Jika engkau tidak mampu melakukan roll, mungkin sebaiknya engkau tidak
menyebut dirimu seorang kayaker. Terbalik adalah seperti jatuh dalam olahraga
panjat tebing, setiap pemanjat pernah mengalaminya, dan hal tersebut diperlukan
dalam mendorong batasan kita lebih jauh.
Roll adalah masalah teknik yang
benar, dan untuk menguasainya diperlukan latihan yang sering dalam berbagai
kondisi yang mungkin akan dihadapi. Hal yang mungkin “lucu” mengenai petualangan
adalah bahwa kita harus mampu melakukan berbagai teknik penyelamatan (rescue) namun sebisa mungkin jangan
sampai kita menggunakannya dalam keadaan yang sesungguhnya. Dan karena roll adalah kemampuan penyelamatan diri
yang utama dalam kayaking, setiap kayaker wajib memilikinya namun sebisa
mungkin jangan sampai terjadi (meskipun pada kenyataannya keadaan tersebut
seringkali tidak dapat dihindari).
Bagaimana jika kita tidak berhasil
melakukan roll? Pada titik ini kita mulai membutuhkan kemampuan penyelamatan dari
teman setim. Jika beruntung dan dalam keadaan yang memungkinkan, kita mungkin
bisa diselamatkan oleh teman dengan boat-to-boat
rescue. Seorang teman membawa kayaknya cukup dekat ke kita sehingga kita
dapat meraihnya untuk dijadikan tumpuan untuk membalikkan kembali kayak kita,
atau seorang teman yang menjadi live-bait
rescuer melompat ke sungai dan membantu kita membalikkan kembali kayak
kita. Namun hal tersebut pun tentu mengharuskan kita untuk mampu bersikap
dengan benar, yaitu tetap tenang dan mengetahui apa yang mesti dilakukan
sebagai korban yang diselamatkan. Bahkan mampu berperan sebagai korban dalam
skenario penyelamatan mungkin adalah salah satu kemampuan penyelamatan diri
yang sebaiknya kita miliki.
Namun, sekali lagi, hal tersebut
dapat dilakukan hanya dalam kondisi medan tertentu yang memungkinkan, misalnya
di akhir jeram di mana aksi penyelamatan dipandang tidak akan membahayakan si penyelamat.
Jika tidak, maka terpaksa kita harus melepas spray deck dan keluar dari kayak untuk kemudian berenang. Pada
titik ini, berarti keadaan sudah mulai cukup gawat. Kita menempatkan diri dan
peralatan utama kita dalam risiko yang cukup besar. Jika kita mampu berenang menepi
untuk menyelamatkan diri dan peralatan kita sendiri, masalah mungkin akan selesai
lebih cepat. Namun bila tidak, berarti kita menempatkan teman-teman kita di
bawah beban kewajiban menyelamatkan kita dan peralatan kita. Hal tersebut tentu
memerlukan usaha dan waktu yang lebih, dan akan cukup menguras tenaga.
Ketika kita berenang, risiko
yang dihadapi akan bertambah besar dan semakin banyak. Kita mungkin saja dapat
terjebak di antara bebatuan, memasuki hole,
peralatan kita hilang, atau kayak kita dapat tersangkut di antara bebatuan (pinned), dan skenario penyelamatan yang
mesti dilakukan akan semakin kompleks, memerlukan peralatan yang lebih banyak, memakan
waktu yang lebih panjang, dan tentu saja melelahkan. Namun aksi penyelamatan
tentu tetap harus dilakukan, dan itu menuntut kita sebagai tim mampu melakukan
penyelamatan tim.
Berbagai keahlian penyelamatan
tersebut akan jauh lebih efektif dan efisien bila dipadukan dengan sistem pengarungan
yang baik. Sistem pengarungan yang dimaksud adalah serangkaian prosedur,
strategi, dan pembagian peran yang diterapkan dalam proses pengarungan. Salah
satu bagian dalam sistem tersebut adalah sistem komunikasi yang memerlukan
pemahaman tim terhadap isyarat-isyarat tertentu, yang biasanya disebut river signals. Karena sungai seringkali
bising, terutama di sekitar jeram, dan tak jarang kita berada cukup berjauhan
satu sama lain dengan anggota tim yang lain, komunikasi verbal seringkali tidak
efektif. Karena itu diperlukan river
signals. Secara umum terdapat isyarat-isyarat (baik itu dengan peluit atau
dengan gestur tubuh) yang berlaku hampir di seluruh dunia, namun hal terpenting
adalah setiap anggota tim harus memiliki persepsi yang sama terhadap berbagai
isyarat tersebut.
Selain itu, dalam suatu
pengarungan berkelompok terkadang perlu ada yang berperan sebagai leader dan sweeper, terutama bila terdapat perbedaan tingkat keahlian yang
cukup jauh antar orang-orang dalam kelompok tersebut. Ketika menemui suatu
jeram, kebijakan leader untuk memutuskan apakah akan melakukan scouting atau tidak, dan bagaimana mengusahakan
keselamatan setiap anggota kelompok dalam melalui jeram tersebut, adalah
tanggung jawab leader dibantu sweeper. Meskipun demikian, idealnya,
setiap individu sebaiknya memahami bahwa keputusan untuk memasuki suatu jeram
atau tidak adalah keputusan perorangan yang akan—terutama—dipertanggungjawabkan
oleh dirinya sendiri. Kembali kepada prinsip bahwa setiap jeram sebaiknya
ditelaah terlebih dahulu dari darat dengan cara scouting, kecuali bila jalur di jeram tersebut dapat ditentukan
langsung dari atas kayak.
Ada kalanya juga diperlukan
adanya back up orang yang bersiap
melakukan penyelamatan di akhir jeram untuk lebih meyakinkan kita perihal
peluang keselamatan dalam melalui jeram tertentu, dan strategi untuk itu dapat
bermacam-macam bentuknya, tergantung kondisi medan dan tentu saja sumber daya
yang dimiliki. Dan ada pula kalanya kita mesti melakukan portage, yaitu mengangkat semua peralatan kita dan melewati jeram
tersebut dengan berjalan di darat (alias tidak melalui jeram), atau lining, yaitu menambatkan kayak pada
tali dan menuntunnya melewati jeram dari daratan tepi sungai. Semua itu adalah
strategi yang terkadang diperlukan demi keselamatan kita.
Kemudian, pertahanan terakhir kita
adalah adanya rencana prosedur keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud
dapat berupa cidera karena kecelakaan, hipotermia, hilang atau rusaknya
peralatan penting (misalnya dayung atau bahkan kayak), hilangnya anggota kelompok,
atau bahkan kematian anggota kelompok. Pada titik ini keadaan mungkin tidak
lagi dapat disebut selamat, namun kita tetap bertanggung jawab untuk mencegah
agar keadaan tidak menjadi jeuh lebih buruk lagi.
Mengantisipasi cidera dan
hipotermia mungkin dapat dilakukan dengan membawa perlengkapan pertolongan
pertama dan memiliki keahlian melakukan pertolongan pertama. Mengantisipasi
peralatan yang hilang atau rusak mungkin dapat dilakukan dengan membawa
peralatan cadangan. Menghadapi situasi adanya anggota kelompok yang hilang atau
meninggal mungkin memerlukan prosedur yang lebih kompleks dan memerlukan
bantuan dari luar tim. Namun, semua itu perlu dipersiapkan sejak awal, dan
kuncinya adalah perencanaan yang baik. Hal ini kembali lagi kepada pengetahuan
kita mengenai lokasi atau keadaan alam yang mungkin akan dihadapi, mempertimbangakan
berbagai kemungkinan skenario darurat, dan membuat prosedur yang dapat
dilakukan dalam keadaan darurat tersebut.
Prinsip umum dalam setiap
petualangan adalah: jangan memasuki situasi berisiko bahaya tanpa keyakinan
yang cukup bahwa kita akan dapat keluar dari sutuasi tersebut dengan selamat.
Steve Fisher mengungkapkan hal tersebur dalam presentasi TEDx-nya. Keputusan akhir
yang diambil Rafa Ortiz dalam Chasing Niagara juga menyiratkan hal tersebut.
Jogjakarta, 6 November 2016