Dimulainya dengan mengutip sebuah catatan bunuh diri (suicide note):
Akulah si orang bodoh yang tercenung dan bertanya-tanya itu.”
Kemudian, mengutip dari otobiografi Leo Tolstoy, apa yang
kemudian diistilahkannya (Tolstoy) sebagai “life
arrest” atau periode di mana ia mengalami krisis makna (crisis of meaning):
“Lima tahun lalu,
sebuah pemikiran aneh mulai tumbuh dalam diriku: Aku tenggelam dalam momen kebingungan,
yang membuatku berhenti, seolah-olah di dalam kehidupan ini aku benar-benar tidak
tahu harus bagaimana menjalani hidup, apa yang seharusnya kulakukan… Perhentian-perhentian
dalam hidup seperti ini selalu menghadapkan pertanyaan yang sama kepadaku: “mengapa?”
dan “untuk apa?” … Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa menuntut jawaban yang
kuat serta lebih kuat lagi dan, seperti titik-titik kecil, mereka berkumpul bertumpuk-tumpuk
menjadi sebuah titik hitam yang lebih besar.”
Dan:
“Pertanyaan itu, yang
di usiaku yang kelima puluh pernah membawaku pada pemikiran untuk bunuh diri,
adalah pertanyaan yang begitu sederhana—dibanding semua pertanyaan-pertanyaan
lainnya, namun bersemayam di dalam diri setiap manusia, baik mereka yang masih
kanak-kanak polos maupun yang telah banyak makan asam garam kehidupan: “Apa
yang akan dihasilkan oleh apa yang kulakukan saat ini, dan mungkin akan kulakukan
esok. Apa yang akan dihasilkan oleh seluruh hidupku?” atau dengan cara lain—“Mengapa
aku mesti hidup? Mengapa aku mesti mengharapkan sesuatu? Mengapa aku mesti
melakukan sesuatu?” Dan lagi, dalam bentuk yang lain: “Adakah makna dalam
hidupku yang tidak akan hancur oleh kematian tak terhindarkan yang menantiku?””
Kemudian juga mengutip Albert Camus yang menyatakan bahwa satu-satunya
pertanyaan filosofis yang paling serius adalah mengenai apakah kita mesti terus
melanjutkan kehidupan ketika kenirmaknaan (meaninglessness)
hidup manusia telah sepenuhnya kita sadari. “Telah kusaksikan banyak orang mati karena kehidupan bagi mereka
ternyata tidak cukup berharga untuk dijalani. Dari situ aku menyimpulkan bahwa
pertanyaan mengenai makna kehidupan merupakan pertanyaan yang paling penting
dan mendesak dibanding yang lainnya,” tulis Yalom mengutip Camus.
Dan begitu pula C. G. Jung yang menulis bahwa: “Ketidakhadiran makna dalam kehidupan
memainkan peran krusial dalam etiologi neurosis. Neurosis harus dipahami, pada
pokoknya, sebagai penderitaan yang dialami oleh jiwa yang tidak dapat menemukan
kebermaknaannya… Sekitar sepertiga dari seluruh kasus yang saya tangani
bukanlah penderitaan karena neurosis yang dapat didefinisikan secara klinis
melainkan karena tiadanya arah dan rasa bermakna akan kehidupan yang dijalani.”
Lalu juga pemikiran Viktor Frankl, Salvatore Maddi, Benjamin
Wolman, dan Nicholas Hobbs, dikutip Yalom demi usahanya untuk menegaskan bahwa
permasalahan mengenai makna dalam kehidupan merupakan pemasalahan signifikan
yang mesti bakal sering dihadapi oleh para terapis.
Pada akhirnya, di awal chapter
tersebut, Yalom memaparkan dua proposisi yang menghasilkan sebuah dilema yang kemudian
menelurkan masalah tentang kebermaknaan hidup.
- Manusia sepertinya memang membutuhkan kebermaknaan. Sebagaimana yang telah sedikit dipaparkan, hidup tanpa makna, tujuan, nilai, atau sesuatu yang dianggap ideal, sepertinya selalu memicu distres yang cukup signifikan. Bentuk parahnya adalah keputusan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri. Bercermin dari cerita kehidupan Frankl dalam camp konsentrasi Nazi, individu yang menghadapi kematian sepertinya dapat menjalani hidupnya dengan “lebih baik” dan lebih “penuh”, bila ia memiliki rasa akan adanya tujuan (sense of purpose) dalam hidupnya. Kita, agaknya, memang membutuhkan suatu keadaan ideal yang absolut yang dapat kita jadikan sebagai patokan untuk menuntun kehidupan kita.
- Namun konsep eksistensial tentang kebebasan menyatakan bahwa satu-satunya kebenaran absolut adalah bahwa tidak ada yang benar-benar absolut. Suatu keadaan eksistensial bahwa dunia ini bersifat contingent, cair, di mana segala sesuatunya bisa saja berlaku kebalikannya, di mana manusia berusaha mengadakan dirinya, duni yang dihayatinya, dan situasi yang dihadapinya di dalam dunia (yang contingent) itu, di mana tiada “makna” dari sono-nya, tiada pedoman tertentu untuk menjalani kehidupan selain yang diciptakan oleh individu itu sendiri.
“The problem, then, in
most rudimentary form is, How does a being who needs meaning find meaning in a
universe that has no meaning?” Bagaimanakah suatu mahluk (being) yang membutuhkan adanya makna
akan menemukan makna di dalam semesta yang tidak bermakna?
Begitulah, pertanyaan itu menguak, mengawali uraian panjang
Yalom tentang Makna Hidup…
[bersambung...]
Jogjakarta, 15 Oktober 2016