image: thecannibalfactory.deviantart.com |
Itu adalah pertemuan pertama setelah hampir enam puluh tahun berlalu, sejak program EA yang baru kembali diluncurkan.
Pertemuan adalah pertanda bahwa sesuatu yang buruk telah
terjadi. Berpuluh-puluh tahun tak pernah ada pertemuan karena EA berjalan
dengan mulus, tak ada penyimpangan, tak ada pembangkangan, tak ada
pemberontakan. Kini, masalah pertama—dan mungkin akan jadi yang
terakhir—menimpa mereka. Para Petinggi Dunia dan program EA berkumpul untuk
membahas masalah tersebut.
“Kita berkumpul di sini
untuk meninjau ulang dan membahas kasus Subjek EA-0306”, seorang lelaki paruh
baya berkacamata bingkai hitam tebal membuka pertemuan itu.
“Silakan!” ia berkata pada
asistennya, lelaki dewasa yang terlihat jauh lebih muda, yang bertugas
menjelaskan kasus EA-0306.
Maka monitor hologram di
tengah-tengah lingkaran orang-orang penting itu pun menampilkan wajah seorang
pemuda. Si Asisten kemudian mulai menjelaskan bagaimana semua itu terjadi, yang
semakin lama membuat wajah-wajah yang hadir kian merengut dan mengernyit tak
senang.
*
Ia
dapat merasakan udara terbelah oleh tubuhnya yang sedang melayang, menukik di
ketinggian. Awan-awan putih bertebaran seperti kapas-kapas melayang terbawa
angin. Ia pun melayang, terbang, merentangkan tangannya, memejamkan matanya.
*
Setiap kali, mimpi selalu
terasa begitu nyata. Hanya ketika terbangun, barulah kita menyadari bahwa semua
itu cuma mimpi. Atau tidak? Ia duduk pada
sisi tempat tidurnya memikirkan itu. Nafasnya memburu. Ada gejolak perasaan
aneh dalam dirinya.
Sudah berkali-kali ia
bermimpi tentang kejadian yang sama. Tidak betul-betul sama persis, namun proses
dan sensasinya selalu sama.
Terjun dari tempat yang
tinggi. Sangat tinggi, sampai-sampai daratan di bawah sana tak terlihat sama
sekali. Segalanya hanya biru, dihiasi gumpalan-gumpalan putih bertebaran. Ada
yang tebal, ada yang tipis. Selama beberapa saat, rasanya seperti terbang atau
sekedar melayang bebas di angkasa. Namun akhirnya selalu seperti terhempas pada
sesuatu. Rasanya seperti ada yang seketika menyedot semua udara dalam
paru-parunya dan ia pun terbangun.
Ia bisa mendengar detak jantungnya
memenuhi sepi kamarnya. Seolah genderang sedang ditabuh. Udara yang dihirup dan
dihembuskannya menimbulkan suara seperti angin dalam badai salju. Tak teratur.
Bergejolak tak menentu. Ada sensasi dingin ketika keringat mengaliri pelipis
dan tengkuknya.
Masih pukul 2 lebih
sedikit, kedip jam weker digital yang ada di samping tempat tidurnya. Ia
bangkit. Terasa gersang di tenggorokannya, maka ia berjalan menuju dapur untuk minum.
Seteguk. Dua teguk. Ia mengerling jendela yang gordennya lupa ditutup.
Memandang ke luar, jelas tak ada apa-apa selain sepi dan gelap. Mungkin pula
ditemani dingin yang turun bersama embun. Ditutupnya gorden jendela itu.
Rasanya lelah, namun
kantuknya telah pergi. Ia tak bisa segera melanjutkan tidurnya lagi.
Mimpi-mimpi itu masih membayanginya dengan banyak pertanyaan. Mengapa ia
terus-menerus bermimpi yang sama? Adakah mimpi-mimpi itu berarti sesuatu? Jika
tidak, mengapa mereka terus saja mengganggu tidurnya? Tetapi seandainya iya,
apakah artinya?
Sunyi berdengung. Menjadi
desing. Lama-lama seperti menusuk pendengarannya. Menelusup dalam hingga menyayat-nyayat
hatinya.
Ia rebah di sofa, meraih
remot kemudian menyalakan televisi. Tak ada acara yang menarik. Ia terus saja memindah-mindah
saluran tetapi akhirnya berhenti pada siaran berita luar negeri. Ia
sesungguhnya tidak tertarik dengan isi siaran berita itu, namun ia tahu bahwa
saluran manapun juga tak akan lebih menarik daripada itu. Ia hanya ingin
mengusir kesunyian yang mengganggu.
Namun pertanyaan-pertanyaan
masih memenuhi benaknya.
Wanita pembawa berita
mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Ia tak begitu mendengarkannya. Ia tak
mengerti artinya. Yang ia perhatikan hanya gerak-gerik bibir si wanita pembawa
berita yang gesit, tatapannya yang tajam seolah penuh arti, dan
anggukan-anggukan kepalanya yang kadang sambil dimiringkan ke kiri kadang ke
kanan untuk menambah kesan penting atas apa yang sedang disampaikannya.
Sementara itu, benaknya masih melanglang buana menelusuri pertanyaan demi
pertanyaan yang tak jelas jawabannya.
Ataukah, mungkin ia malah
sedang memikirkan pekerjaannya yang masih menumpuk di kantor. Laporan-laporan
yang belum selesai. Tenggat waktu yang semakin mepet.
Atau mungkin, ia sedang
memikirkan perempuan cantik yang dua (atau
tiga?) hari yang lalu baru saja dikenalnya itu. Perempuan berparas lembut, berwajah
lonjong, yang rambut hitamnya selalu terurai hingga ke punggung. Karyawan baru
yang manis. Sangat berbeda dengan wanita pembawa berita yang berwajah tegas itu.
Senyuman perempuan itu selalu bisa membuatnya luluh sehingga bersedia menerima
begitu saja limpahan sebagian tugas darinya, tanpa mempertimbangkan bahwa
laporan yang menjadi tugasnya sendiri masih menumpuk.
Atau bisa jadi, ia justru
sedang memikirkan rute baru yang dapat ditempuh agar besok pagi ia dapat sampai
ke kantornya lebih cepat.
Tak dapat diketahui secara
pasti apa yang sedang ada di benaknya itu. Namun yang jelas, dua puluh menit
kemudian ia sudah terkulai di sofa. Tidur dengan kepala mendongak, bertumpu
pada sandaran sofa. Mulutnya terbuka lebar, seolah sesuatu yang gaib baru saja
keluar dari lubang itu.
Wanita pembawa berita
masih sibuk komat-kamit di layar televisi.
*
Mau tak mau ia akhirnya
mesti bekerja lembur keesokan harinya. Pekerjaan baru terus berdatangan,
sementara pekerjaan lama masih banyak yang belum tuntas. Belum lagi limpahan
dari perempuan itu. Jadi malam itu ia masih di kantor ketika jam sudah menunjuk
pukul sembilan lebih tiga menit.
Ia menguap lebar. Matanya
berair, lelah karena seharian terus-menerus menatap layar monitor komputer. Mungkin
yang ia butuhkan adalah istirahat sejenak. Maka bangkit dan beranjaklah ia dari
biliknya menuju toilet untuk buang air kecil dan membasuh mukanya yang mulai
terlihat kusut di cermin. Lalu menuju pantry untuk menyeduh secangir kopi. Kemudian
menyusuri lorong menuju tangga darurat untuk naik ke atap gedung.
Tak ada angin berhembus.
Disulutnya rokok sebatang, dihirupnya dalam-dalam, lalu dihembuskannya
perlahan. Kemudian ia menyeruput kopinya yang tanpa gula. Ia bukannya senang
kopi tanpa gula. Ia hanya lupa menambahkan gula ke dalam kopinya. Tetapi
mungkin itu tidaklah terlalu penting dibanding sesuatu yang mengusik benaknya.
Ia mendekat ke tepi agar
dapat melihat pemandangan kota di bawah sana. Penglihatannya sedikit kabur, mungkin
akibat lelah karena terlalu lama memandangi layar komputer. Sambil bersandar di
pagar pengaman, ia menghisap rokoknya lagi dalam-dalam, memejamkan mata, lalu
membukanya sembari menghembuskan asap rokok ke udara.
Ia sedang berada di atap
gedung berlantai dua puluh. Di bawah sana, kota sedang beralih ke kehidupan
malamnya. Karena kebanyakan penduduk kota bekerja keras banting tulang di siang
hari maka ketika malam adalah waktunya untuk bersenang-senang. Bukankah itu
yang dicari dalam hidup? Kesenangan. Buat apa kerja keras bila hasilnya tidak
bisa dinikmati untuk senang-senang? Maka kota menjadi benderang di malam hari.
Lampu-lampu penerang jalanan, lampu-lampu kendaraan, lampu-lampu disko,
lampu-lampu papan reklame, lampu-lampu gerobak penjual nasi goreng, lampu-lampu
lalulintas, lampu-lampu …. Dari atas sini terlihat seperti gerombolan
kunang-kunang atau gugusan bintang-bintang.
Pikirannya tiba-tiba
terhenti pada kunang-kunang dan bintang-bintang. Ia terlempar ke dalam semacam
khayalan yang rasanya sangat familiar. Tetapi ia tak yakin apakah bayang-bayang
itu adalah kenangannya yang telah terlupakan ataukah cuma sekedar lamunan.
Kunang-kunang dan
bintang-bintang. Hal-hal yang hanya ada di masa silam. Di desa-desa. Masa yang
jauh dari kota. Kota hanya sudi memandang ke depan. Menatap kemajuan. Terus
bergerak. Move on.
*
Matanya terpejam. Yang
ada hanya kegelapan pekat. Ia berjalan menyusuri pematang di antara petak-petak
ladang mati, tetapi ia toh tak dapat melihat ladang-ladang itu. Langkahnya
hanya dituntun oleh rumput-rumput liar yang tumbuh di tepi pematang.
Sentuhan-sentuhan rerumput di kakinya yang telanjang menjadi penanda ke arah
mana ia sebaiknya tidak berjalan dan ke arah mana ia mesti berjalan.
Lama, ia berjalan sendiri
dalam gelap itu, tetapi waktu sepertinya tak begitu berarti di situ.
Ketika kegelapan menjadi
semakin pekat, sebuah suara serak menghentikannya. “Bukalah matamu!”
perintahnya.
Maka ia membuka mata dan
terlihatlah sesosok misterius berdiri di hadapannya. Sosok itu bertubuh lebih
tinggi dari dirinya sehingga ia harus sedikit mendongak untuk melihat wajahnya.
Tetapi yang dapat ia lihat hanya siluet.
Rambutnya panjang dan
kusut. Pakaiannya hanya lembaran-lembaran kain yang dililit-lilitkan pada
tubuhnya. Kedua tangannya bertumpu pada pangkal bonggol sebuah tongkat kayu
yang meliuk-liuk. Namun yang lebih menarik perhatiannya bukanlah sosok itu
melainkan ribuan—bahkan jutaan—titik-titik cahaya yang berpendar melayang-layang
di segala penjuru kegelapan dan melatari sosok itu.
“Akhirnya waktu untukmu
tiba juga, nak”, katanya dengan suara serak yang berat. Terdengar hampir seperti
desah namun begitu jelas di tengah-tengah kegelapan yang sunyi itu.
Ia melihat kanan-kiri,
masih takjub dengan semua titik-titik yang berpendar melayang-layang itu. Ada
yang berwarna putih dengan cahaya terang, ada yang redup, ada yang pendarnya kebiruan,
kehijauan, kemerah-merahan, dan ada pula yang kuning berkelap-kelip dan
bergerak-gerak melayang di udara.
“Betapa indah, bukan.
Lihatlah sepuas-puasmu. Kau tak akan pernah merindukannya lagi nanti.
“Ah, itu adalah tugasku,
kan.” Sosok itu seperti menyeringai, namun tak kentara karena wajahnya dibayang-bayangi
kegelapan. Lagipula, sebagian rambut panjangnya menutupi wajah itu, membuatnya
semakin tak mungkin terlihat.
“Di manakah aku ini?” Ia akhirnya
bertanya juga.
“Di alam mimpi-mimpi”,
jawab sosok misterius itu. “Yang sedang kau saksikan itu adalah mimpi-mimpi
yang telah dilepaskan. Indah sekali bukan.
“Mimpi-mimpi adalah
pendar-pendar cahaya kelap-kelip yang melayang-layang dalam kegelapan. Bila
pemiliknya telah mati, mimpi-mimpinya akan terbang ke langit, kembali pada
sumber segala mimpi”, sosok itu menjelaskan.
“Siapa kamu?” Tanyanya
lagi.
Sosok itu tersenyum, tapi
tak terlihat karena gelap di wajahnya. “Aku adalah penjaga mimpi,” katanya.
“Mendekatlah!”
perintahnya. Lalu sosok itu mengangkat tangan kiri dan meletakkannya di atas
kepalanya. Ia seperti melayang di
udara, lalu tiba-tiba terjatuh. Dan sekonyong-konyong, dalam genggaman sosok
misterius itu ada pendar cahaya kebiruan.
“Sekarang ulurkan
tanganmu!” pinta sosok itu.
Ia mengulurkan tangan
kanannya.
“Buka telapakmu!”
Ia membukanya.
Lalu pendar cahaya
kebiruan itu diletakkannya di telapak tangannya.
Ia pun takjub menyaksikan
cahaya itu. Rasanya hangat dan sejuk sekaligus.
“Sekarang, semua terserah
padamu, karena itu milikmu. Tetapi kau perlu tahu bahwa mereka mengirimmu ke
sini untuk melepaskannya. Kau akan beranjak dewasa, dan mimpi-mimpi hanya akan
banyak mengganggu bagi orang dewasa. Mimpi-mimpi hanya berguna bagi anak-anak.”
Ia sudah akan melepaskan
pendar cahaya itu, seperti yang disarankan oleh sosok misterius itu, namun
sebersit perasaan tertentu menahannya. Ia bimbang. Ia bingung mengapa ia
bimbang. Ia tak memahami apa yang sedang dirasakannya itu.
“Bolehkah aku
menyimpannya saja?” Akhirnya ia bertanya pada sosok itu.
“Tentu. Terserah padamu
sebagai pemiliknya. Tetapi perlu kuperingatkan bahwa hal itu bisa jadi sangat
berbahaya bagi hidupmu di kemudian hari”, kata sosok itu dengan penuh tekanan
pada suaranya yang serak.
“Aku rasa aku ingin
menyimpannya saja.”
Sosok itu mengeluarkan
sesuatu semacam sebuah toples kaca. “Taruhlah di dalam sini. Akan jauh lebih
aman buatmu. Bawalah ia bersamamu selalu, tetapi jangan menunjukkannya pada orang
lain, kecuali kau berani memercayakan hidupmu pada orang itu.”
*
Ia terbangun dan
mendapati dirinya di dalam sebuah ruangan tanpa apa-apa selain dirinya dan alas
tidurnya. Suara bel sirine terdengar di kejauhan. Ia mengamati langit-langit,
dinding, dan lantai yang semuanya berwarna putih. Ada aroma aneh memenuhi udara
yang dingin dalam ruangan itu. Di manakah ia berada?
Ia tak mengingat apa-apa.
Ia berusaha menelusuri relung-relung ingatannya, namun kosong.
Tak lama kemudian
terdengar suara langkah-langkah yang tergesa-gesa mendekat. Pintu di salah satu
sudut ruangan mendesis terbuka. Empat orang tanpa wajah bergegas masuk. Seorang
menahan kakinya. Dua orang menahan bahu dan lengannya. Lalu orang terakhir
menutupkan sesuatu ke wajahnya.
“Subjek EA-0306 telah
diamankan”, kata orang terakhir itu.
Ia tetap tak ingat
apa-apa.
*
Ia terbangun lagi.
Kepalanya sedikit pusing dan ia merasa mual. Ia berusaha bangkit tetapi ada
yang tiba-tiba menahan pundaknya.
“Tak apa-apa, nak, istirahatlah
sedikit lebih lama lagi sampai kau benar-benar sehat.”
Ibunya duduk di sisi
tempat tidurnya dengan mata yang berkaca-kaca menatapnya. Dari luar terdengar
suara kicau burung sahut-sahutan.
“Tapi aku harus berangkat
sekolah, Bu.”
Ibunya tersenyum. Ada
airmata meleleh dari sudut matanya. Ibunya mengusap kepalanya dengan penuh
kelembutan.
Anakku telah melewati
masa remaja dan mulai menjadi dewasa, gumamnya dalam hati. Ia merasa bahagia
sekaligus sedih.
*
Beberapa hari yang lalu,
seluruh dunia digemparkan oleh aksi nekat seorang pemuda yang terjun dari
puncak gedung tertinggi di dunia. Pemuda itu telah diamankan oleh pihak
berwajib berikut peralatan-peralatan yang digunakannya dalam aksi terjun bebas terlarang
itu.
Sementara itu, di
berbagai belahan dunia, beberapa remaja dan kaum muda, seolah terinspirasi oleh
aksi itu, mencoba melakukan aksi serupa dengan terjun dari pucuk pohon, menara
pemancar, tebing, jembatan, bahkan dari atap rumah. Beberapa dari mereka
akhirnya mengalami cidera yang cukup parah hingga harus dilarikan ke rumah
sakit. Sementara itu yang lainnya masih cukup beruntung karena hanya mengalami
memar dan lecet ringan.
Pembawa berita itu
tersenyum lebar. Hal yang tak pernah dilakukannya selama bertahun-tahun.
Benar-benar berita yang sensasional pekan ini, katanya. Kita tunggu saja, apakah
kegilaan-kegilaan lain akan bermunculan? Seringainya makin lebar.
*
Ia meringkuk dalam sel
tahanan yang gelap. Hanya jendela kecil berjeruji, yang sekali-sekali
membiarkan cahaya bulan masuk, yang menemaninya selalu. Namun baginya, itu
sudah lebih dari cukup. Baginya, ia telah menjalani hidup yang jauh lebih
berharga daripada hidup semua orang di dunia.
Dan ia tersenyum puas
memandangi langit malam dari sela-sela jeruji jendela tinggi itu.
Titik-titik kecil berpendar kebiruan melayang-layang memenuhi kegelapan ruang tahanan itu ketika ia memejamkan mata. Seperti kunang-kunang.
Jogjakarta, Jan-Feb 2016