Pages - Menu

Puing-puing dalam Kecamuk Badai Rindu di Tengah Samudera Kenangan

 image: alexlinde.deviantart.com


(...)

Lalu kenangan-kenangan itu menjelma lautan. Hampir-hampir aku tenggelam digulung gelombang. Gelombang-gelombang rindu yang berkecamuk dalam badai kesunyian. Sunyi yang begitu dingin hingga segalanya membeku diam. Sunyi yang dingin hingga terasa begitu menusuk-nusuk jiwaku.

Mungkinkah aku sudah gila. Betapa segala-galanya telah menjadi tak masuk akal. Apakah ini adalah samudera ketidakwarasan di mana segalanya telah menjadi puing-puing berserakan yang terombang-ambing oleh ketidakpastian?

Tetapi ketidakpastian adalah sisi lain dari kepingan bernama kemungkinan tak terbatas. Bila segalanya adalah kepastian, maka tak perlu ada kemungkinan, bukan? Bila segalanya pasti, takkan perlu ada yang namanya harapan. Apa gunanya berharap bila segala sesuatu sudah pasti adanya?

Maka seburuk-buruknya, paling tidak aku masih bisa berharap. Meski aku hanyalah puing-puing terserak di samudera sedangkan orang-orang kebanyakan telah menjelma perahu dan kapal-kapal raksasa. Meski aku hanyalah keping-keping tak jelas, tak utuh, tak punya tujuan yang terseok-seok di antara gelombang, terhuyung-huyung digilas arus. Siapa yang tahu apa di balik horison itu? Yang ada hanya harap.

*

Rindu yang tak kupahami telah menjelma amuk gelombang di permukaan samudera kenangan. Senja masih bergayut merah namun hampa. Bayang-bayangnya terpantul-pantul di permukaan gelombang, membuat samudera kenangan menjadi samudera kehampaan yang terasa seribu kali lebih hampa.

Langit yang biasanya selalu memancarkan harapan kini hanya menyisakan harapan kosong.

Namun aku hanya puing. Apakah yang bisa diharapkan dari puing selain agar ia tidak mengganggu ketertiban dunia. Tak penting adanya. Lebih baik tiadanya. Namun tetap saja ia ada. Lebih mudah mengabaikannya. Biar gelombang-gelombang yang mengurusinya.

Apalah yang mampu dilakukan puing selain membiarkan dirinya terbawa arus dan gelombang lautan entah ke mana.

*

Kehidupan adalah perjalanan meniti samudera kenangan menuju ufuk langit harapan. Dari mana ia bermula, di mana ia berakhir, selalu hanya akan menjadi misteri tak terjawab. Apakah Aku ini bermula dari kelahiran jasadku, atau sebelum itu, atau setelah itu? Yang kutahu, tiba-tiba saja Aku berada di sini. Apakah Aku akan berakhir di saat kematianku, atau sebelum itu, atau setelah itu?

*

Aku berjalan di luar rel. Terseok-seok tersandung-sandung kerikil-kerikil. Aku berjalan ke arah timur, meski tak tahu timur itu di mana. Maka sesungguhnya tak pasti tujuanku.
Aku hanya berjalan saja.
Untuk meninggalkan kota itu, dan selaksa kenangan yang mengambang di udaranya, di sudut-sudut dan lorong-lorong antara bangunan-bangunannya. Untuk meninggalkan senja yang menggantung merah di langitnya

Samudera dalam diriku masih terus bergejolak. Gelombang-gelombang menghempas-hempaskan kenangan-kenangan ke dinding-dinding hatiku. Di manakah kedamaian saat aku membutuhkannya?

Andai aku adalah sosok dalam sajak itu*:

aku berjalan ke timur waktu senja meninggalkan matahari di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang kian memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

betapa damai perjalanannya.

(bersambung...)

Jogjakarta, 31 Juli - 1 Agustus 2016
----------
*) modifikasi dari sajak berjudul 'Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari' dalam Hujan Bulan Juni - Sepilihan Sajak oleh Sapardi Djoko Damono