Pages - Menu

Through the River of Mystery: Mengarungi Sungai Motu


Ini adalah jembatan State Highway 35 (SH35) yang melintas di atas sungai Motu. Kami menjumpainya setelah tiga hari mengarungi sungai, menembus belantara Raukumara yang sunyi, daerah paling liar di Pulau Utara Selandia Baru. Konon daerah tersebut adalah daerah yang terpetakan paling akhir dari seluruh bagian Pulau Utara. Motu dalam bahasa Maori memang berarti ‘terisolasi’ atau ‘terasing’ yang menunjukkan betapa sungai panjang yang menjadi satu-satunya sungai yang belum tersentuh oleh dam itu masih terselimuti hutan lebat yang menyimpan misteri.

Musim panas itu adalah salah satu musim panas yang paling panas sepanjang sejarah Negeri Awan Putih Panjang (Aotearoa) itu. Bagaimana mungkin aku tahu, sebab seumur hidupku baru kali itu aku aku mengunjungi negeri empat musim semacam itu, jika saja Terry tidak menyingungnya enam hari yang lalu dalam obrol-obrolan sambil makan malam di rumahnya. Orang tua itu menyarankan agar kami mencari sungai-sungai lain saja untuk diarungi sebab hujan sudah cukup lama tidak turun di daerah hulu sungai Motu. “It will be very low, the water level.” Begitu, katanya.

Kami hanya saling pandang, entah dengan penuh arti atau hanya sekedar saling pandang kosong saja, sebab kami sadar bahwa mengubah rencana Motu akan terlalu banyak mengubah skenario yang telah kami susun sejak sebelum memijak daratan negeri terpencil di selatan Bumi itu. Intinya, kami tetap pada rencana, sambil berharap hujan akan turun di Maungahaumi, di daerah Raukumara yang berada jauh di selatan sana
.
Mendung tipis sempat terlihat di atas bukit
dari tempat kami mendirikan kemah pertama
di titik awal pengarungan 100 kilometer dari Opotiki.
Sayangnya hujan tak turun dan debit air Motu tetap kecil.

Namun, pada sore hari 20 Januari itu, kami mesti menerima kenyataan bahwa hujan tidak pernah turun. Air sungai begitu surut hingga kami bisa melihat bebatuan menyembul di antara aliran air yang sedemikian bersahaja itu dari tempat kami mendirikan kemah di tepi sungai. Jadi sudah cukup jelas bahwa kami tak akan menemukan jeram-jeram yang besar dan mengasikkan seperti di Wairoa dan Kaituna.

Kemah pertama kami

Meskipun demikan, terdapat sesuatu yang lain, yang berbeda, tersimpan dalam kesunyian yang mengelilingi sungai itu. Sesuatu yang tidak menjelma sebagai arus-arus deras yang memacu adrenalin dan menimbulkan ketegangan, malainkan bersembunyi di balik lirihnya suara air mengalir di sela-sela bebatuan, atau desah angin menembus lembah dan desir rerumput serta dedaunan tersapa angin. Sesuatu yang begitu misterius. Jadi, inilah Motu, batinku.

Kedamaian berada di tengah alam bebas. Udara semakin dingin seiring senja mengelam menjadi malam. Mendung tipis sempat menurunkan gerimis, namun tak lebih. Aku mencoba membayangkan apa yang akan kami lalui tiga atau empat hari ke depan, namun tak ingin terlalu berharap. Di tempat baru semacam itu, tempat yang belum pernah engkau jamah sebelumnya, biarkan saja segalanya menjadi misteri. Bukan engkau yang menciptakan pengalamanmu, biar pengalaman itu saja yang mengajarimu entah apa, terserah. Just let your self be open. Be humble. The river will eventually flow into you.

Ketika cahaya pertama menyentuh permukaan air yang tenang dan jernih itu keesokan harinya, kami sudah memasak sarapan. Kemudian setelah makan kami membersekan semua peralatan berkemah, mengemasnya sekedap-air mungkin, lalu memasukkannya ke dalam ruang-ruang kosong di kayak kami dan tidak meninggalkan sesuatu apapun selain jejak-jejak bekas tidur berupa rerumputan yang rebah. Pengarungan pun dimulai dengan target menembus gorge yang terbentang sepanjang 30 kilometer lebih, ke barat lalu berbelok ke utara membelah belantara Raukumara, sebelum kami dapat menemukan tempat untuk mendirikan kemah lagi.

Jeram di hari pertama pengarungan kebanyakan berupa aliran sempit
dan patahan yang membentuk drop

Beberapa kilometer pertama, kami sering sekali menjumpai aliran sungai yang sangat dangkal sehingga memaksa kami turun dari kayak untuk berjalan melewatinya. Benar-benar berjalan di tengah sungai sambil menuntun kayak. Cukup memakan waktu dan sedikit membuat frustasi. Tetapi langit biru dan bukit-bukit padang hijau selalu bisa menghiburku. Biri-biri liar kadang terlihat di lereng-lereng bukit di kejauhan.

Namun ketika bebukitan terlihat semakin tinggi dan merapat satu dengan yang lain, dan hutan pakis tiang jadi semakin lebat sampai hampir-hampir menutupi langit, pengarungan jadi semakin menguji ketabahan. Jika bukan jeram dangkal penuh batu bertebaran yang seringkali memakasa kami untuk turun dari kayak, flat yang begitu tenang, sangat tenang seolah-olah air sungai tak mengalir sama sekali, akan memaksa kami terus mendayung tanpa henti.

Kadang bebek-bebek liar terlihat sedang berenang-renang santai di eddy tepi sungai. Kami mencoba menghibur diri dengan berusaha mengusik ketenangan mereka tetapi mereka sepertinya cuek-cuek saja seolah tak terjadi apa-apa. Maka kami mendekati mereka. Ketika sudah cukup dekat, mereka tiba-tiba menyelam ke dalam air, menghilang lama sekali sebelum akhirnya muncul kembali di tempat yang jauh.

Lalu ada pula kambing liar yang tak jarang mengamat-amati kami dari balik semak-semak di tepi sungai. Seperti sedang menyaksikan sesuatu yang tak dapat dipahami. Kambing-kambing menatap kami seperti menyaksikan orang-orang tolol melakukan hal bodoh. Tetapi ketika kami mencoba mendekat, kambing itu segera menghilang ke balik pepohonan. Seperti pura-pura tidak melihat kami.

Semakin jauh kami mendayung, air sungai semakin bertambah sedikit demi sedikit karena aliran-aliran anak sungai yang samakin banyak bermuara di sungai utama itu. Lewat tengah hari, jeram-jeram grade II bahkan III mulai bisa ditemui. Kebanyakan berupa aliran-aliran sempit dan patahan yang menciptakan drop-drop kecil yang cukup menghibur hati kami.

Ketika langit terlihat mulai redup, kami mulai cemas karena belum juga habis gorge yang seharusnya kami lewati itu. Untuk mengejar titik kemah sebelum gelap, kami terus mendayung tanpa henti.

Setelah sepuluh jam lebih sejak memulai pengarungan, setelah menempuh sekitar 45 kilometer penuh kelokan (sebagaimana yang ditunjukkan oleh peta kami), kami akhirnya melihat dataran landai yang sepertinya dapat dijadikan tempat berkemah di sebelah kiri sungai. Terdapat batu-batu pipih yang disusun bertumpuk yang membuat kami menyimpulkan bahwa pernah ada manusia di sekitar situ.

Setelah diselidiki, ternyata benar bahwa di situlah titik kemah pertama kami. Terdapat jejak-jejak roda, entah mobil atau semacam ATV, dan tak jauh dari bibir sungai terdapat jalan tanah yang di peta sesuai dengan ciri-ciri Otipi Road. Selain itu, kami pun menemukan sisa-sisa api unggun. Maka tepat ketika langit berubah gelap, kami sudah mendirikan kemah untuk bermalam lagi.

Kemah kami di malam kedua

Itu adalah salah satu hari terpanjang dalam hidupku. Dan rasa lelah memudahkan kami menuju tidur yang lelap setelah sebelumnya mengisi perut dengan makanan secukupnya. Hari esok sepertinya masih tak kalah panjang dengan hari itu, pikirku.

Memulai pengarungan hari kedua

Hari kedua pengarungan menyajikan sungai yang mulai melebar. Aku senang karena langit mulai terlihat lebih luas. Selalu biru dan berawan putih. Sinar matahari pun jadi lebih sering menerpa kami dibanding hari sebelumnya. Itu membuat kami jadi lebih mudah memperoleh kehangatan. Memang, meskipun sedang musim panas, bagiku, tetap saja hawa di Selandia Baru lebih dingin daripada di Indonesia. Dan itu membuatku lebih mudah kedinginan karena kami memang tidak mengenakan pakaian yang kedap air.

Langit biru yang terlihat di atas bebukitan hutan lebat

Di pengarungan sebelumnya di Wairoa, kami mengenakan kostum lengkap, wet suit ditambah paddling jacket, yang ternyata malah membuat kami lebih mudah dehidrasi. Sejak itu kami memutuskan untuk tidak mengenakan wet suit lagi, yang memang sebenarnya terlalu tebal itu, dan hanya mengenakan paddling jacket yang masih dapat tertembus air sungai yang dingin. Sisi positifnya, dingin membuat kami lebih rajin mendayung untuk menghangatkan tubuh.

Dan memang pengarungan hari kedua itu pun masih banyak menyajikan flat yang datar serupa kaca sehingga kami masih harus terus mendayung. Namun dibanding hari pertama, jeram-jeram yang kami temui di hari kedua kebanyakan berupa boulder garden. Batu-batu besar yang sepertinya adalah sisa-sisa longsoran menciptakan jeram labirin yang menuntut keahlian menebak jalur. Beberapa kali kami bahkan harus menepi dan melakukan scouting untuk menemukan jalur yang dapat dilalui.

Scouting

Yoga mendayung di flat

Menunggu teman-teman yang lain melewati jeram

Aku akan melewati jeram. Afiq bersiap-siap mengambil gambar dari atas batu.

Sama dengan yang di atas, tapi di jeram yang berbeda :)

Memasuki jeram, memecah ombak

Mencoba memilih jalur

Jika ada hal yang paling aku sukai dari pengalaman selama di Selandia Baru selain langit dan bukit-bukit padang rumputnya, itu adalah airnya yang terasa begitu segar diminum. Dan air paling segar yang pernah kuminum seumur hidupku adalah air dari anak-anak sungai yang mengalir ke sungai Motu. Beberapa kali kami singgah mengisi botol air minum di anak-anak sungai itu. Aku bahkan seringkali cukup membuka mulut saja dan membiarkan air sungai itu mengalir ke dalam kerongkonganku.

Sebelum hari itu berakhir, kami kembali menemukan susunan batu bertumpuk di dataran sebelah kiri sungai. Sekilas jelas terlihat bahwa tempat itu sangat cocok sebagai tempat mendirikan kemah kami. Setelah mengecek peta dan menimbang sisa panjang sungai yang mesti kami arungi, kami memutuskan untuk berkemah di situ.

Kemah kami di malam ketiga

Siap-siap memasak makan malam

Malam itu kami membuat api unggun, lalu menyanyikan hymne Palapsi. Entah, apakah rerumput dan pepohonan itu, atau burung-burung, rusa-rusa, kambing-kambing, bebek-bebek, dan serangga-serangga yang ada di sekitar kemah kami bisa mendengar dan memahami lagu yang kami lantunkan. Ataukah bintang-bintang di langit cukup peduli dengan apa yang kami lakukan. Mungkin saja –kadang hal-hal semacam itu terasa masuk akal ketika kita sedang berada di alam bebas. Mungkin juga tidak –terserah.

Menghabiskan senja menyaksikan api unggun

Tetapi aku teringat pada seseorang yang pernah bermimpi berada di tempat kami saat itu. Seorang yang –dari cerita-cerita yang kudengar—menjadi mata air di mana sungai impian yang menghantarkan kami hingga ke negeri terpencil di selatan Bumi itu berhulu. Seorang yang tak henti-hentinya mengalirkan air cita-cita Palapsi hingga memenuhi cekung-lembahan kami dan tak pelak akhirnya menjadi sungai yang mengalir deras.

.. dan malam pun tiba

Bagiku, malam itu adalah malam persembahan kepada ia yang telah berhijrah ke dunia yang lebih abadi daripada dunia ini. Bila ada sesuatu yang bisa mengalir sepanjang aliran waktu, menembus batas-batas ruang, melampaui hidup dan mati, mungkin itu adalah cita-cita yang luhur, niat yang tulus, dan usaha yang tak pernah kalah oleh lelah. Pada skala Palapsi, perjalanan ke Selandia Baru itu sepertinya mencerminkan hal tersebut.

Aliran sungai akan selalu menemukan jalannya menuju samudera. Bila menemui hambatan ia akan berbelok, bila menemui cekungan ia akan mengisinya sampai penuh, menjadi telaga atau danau, lalu terus mengalir hingga lautan.

Pada hari ketiga, sungai semakin melebar. Bukit-bukit pun mulai tersibak menampakkan cakrawala yang lebih luas. Tak banyak jeram yang kami temui. Kebanyakan hanya aliran yang landai menciptakan riak-riak ombak kecil sebelum akhirnya berbelok dan menjadi flat lagi. Kami terus mendayung nyaris tanpa henti membelah permukaan air yang tenang serupa kaca datar yang memantulkan bayangan puncak-puncak bukit dan langit.

Membelah flat serupa kaca di hari ketiga pengarungan

Mystic hijau dan dayung yang kugunakan selama pengarungan

Pergantian jenis tetumbuhan di kanan-kiri sungai seperti menandakan sesuatu, maka aku semakin bersemangat mendayung sampai akhirnya pohon-pohon sejenis pinus atau cemara terlihat di bebukitan depan sana. Di hari pertama, aku selalu berharap ada jeram menanti di balik setiap belokan sungai. Dan harapan itu selalu membuatku tak berhenti mendayung meskipun ternyata aku seringkali harus menelan rasa kecewa ketika ternyata yang ada di balik belokan itu adalah juga flat yang berujung di belokan lain. Di hari ketiga, yang kucari di balik setiap kelokan adalah garis mendatar panjang yang menghubungkan kedua sisi sungai. Jembatan yang di peta kami tandai sebagai titik akhir pengarungan panjang itu.

Mendayung menuju jembatan SH35

Sebelum tengah hari, kami pun melihatnya di kejauhan. Itulah jembatan SH35 yang kami tuju. Di situlah pengarungan panjang kami berakhir. Tepat sebelum aliran sungai Motu tumpah ruah ke lautan Bay of Plenty. Maka kami mendayung semakin cepat.


Jogjakarta, 12-13 April 2016