Pages - Menu

Di Ujung Senja

 
image: australiantraveller.com


Kehidupan ini hanya sebuah kesementaraan.
Dunia ini fana.
Apalagi kita.

Sekedar dua manusia yang kebetulan saja berjumpa di pantai itu, berkenalan, lalu bercakap-cakap mengenai hal-hal yang belum tentu sungguh-sungguh kita pahami, sambil berjalan bersama menyusuri tepian waktu di atas pasir, meninggalkan jejak-jejak panjang yang esok belum tentu masih ada.

Waktu seperti gelombang yang menghapus jejak-jejak.

Kita menyaksikan senja yang rupa-rupanya memang benar dapat menimbulkan perasaan rawan, seperti kata Seno Gumira. Perasaan yang serupa kesanksian bahwa matahari yang sebentar lagi akan terbenam itu bakal terbit kembali bersama hari esok. Atau semacam pertanyaan yang menggantung di cakrawala: masihkah kita akan berjumpa lagi esok hari?

Dan, meski tak diutarakan, ada pula terbersit dalam hati kecil kita masing-masing, pertanyaan: apakah cinta itu abadi? Kita sama-sama tahu, sebab genggamanmu terasa semakin erat, dan akupun merangkulmu lebih dekat, seiring gerak perlahan bulatan merah tembaga itu menuju ke balik cakrawala. Seolah kita tak rela kehilangan senja itu. Senja yang meskipun rawan tetapi selalu dapat menghadirkan rasa yang selalu kita rindukan. Namun justru karena itulah, mungkin, maka senja jadi semakin rawan.

Apalagi engkau kemudian mendesahkan pertanyaan yang begitu runcing menusuk: "Masihkah engkau akan mencintaiku besok?"

Ada gelombang raksasa yang tiba-tiba melompat di ujung cakrawala dan menelan matahari merah itu bulat-bulat, dan merampas keindahan senja.

*

Sejujurnya aku tak tahu. Sama seperti aku tak tahu apakah esok matahari akan terbit lagi. Sama seperti aku tak tahu apakah esok aku masih akan terbangun dari tidur. Juga sama seperti aku pun tak tahu apakah esok engkau masih akan mencintaiku. Bahkan apakah engkau benar mencintaiku saat ini pun aku tak tahu. Kita hanya bisa memilih untuk percaya atau tak percaya saja.

Seperti kehidupan ini, cinta yang kuketahui adalah cinta yang fana. Adakah orang mati bisa mencintai? Apakah kita bisa mencintai orang yang telah mati? Kita hanya berangan-angan saja. Sekedar angan-angan. Kebenaran yang sesungguhnya, yang sebenar-benarnya benar, tidak bisa kita ketahui. Hanya angan-angan yang boleh dipercayai boleh tidak dipercayai.

Itulah permasalahannya. Antara percaya atau tak percaya saja.

Maka, kukira wajar saja bila kau kujawab dengan pertanyaan lain: "Percayakah engkau bahwa esok aku masih mencintaimu?"

Pertanyaan itu sesungguhnya berlaku bagi kita berdua. Setiap pertanyaanku padamu adalah sekaligus juga pertanyaanmu padaku. Maka cinta kita adalah wujud kesungguhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan macam itu, tidak sebatas kata namun juga dalam perbuatan.

Seperti matahari. Ya, seperti matahari dan bumi yang saling mengitari satu sama lain.

*

Sekarang aku mengerti. Kita memang tak tahu apakah esok matahari masih akan terbit kembali, tetapi kita selalu memilih percaya bahwa esok ia akan benar-benar terbit lagi membawa harapan-harapan. Dan meski ia akan terbenam kembali dalam senja yang rawan, kita masih akan percaya bahwa ia akan terbit kembali, sebab begitulah ia adanya sejak dahulu, sejak sebelum waktu bermula.

Maka semestinya kita bertanya pada diri masing-masing: mampukah kita meniru matahari?

*

Tetapi apakah cinta mesti sesempurna peredaran matahari dan bumi?

Tak ubahnya senja, cinta rupanya juga adalah rasa yang selalu rawan. Terlebih cinta yang sedang berjalan beriring sambil berangkulan di atas pasir di tepi waktu kala matahari tinggal separuh lingkaran merah membara.

Gelombang-gelombang pasang telah mencapai matakaki. Jejak-jejak langkah kini tiada lagi, telah hilang tersapu gelombang. Mega-mega berwarna tembaga memang masih berarak pelan di langit, namun semakin lama semakin meredup. Bayang-bayang kita pun kian memudar.

Akan tiba waktu ketika tiada lagi yang dapat terlihat kecuali yang kita percayai. Waktu ketika terang dan gelap bercampur-baur dalam komposisi seimbang melahirkan kelam. Dan kepercayaan itu pun menjadi sedemikian rawan, seolah dupa yang terlanjur menyala di hadapan angin. Itulah penghujung senja. Di situlah kita saling melambaikan tangan dan berpisah.

Semesta, 27 Maret 2016, pagi