Pages - Menu

The Long Water (Wairoa) River: Surga Musim Panas

Wairoa adalah salah satu “surga arung jeram” yang berada di Pulau Utara Selandia Baru. Setiap akhir pekan selama musim panas, dari pukul sepuluh hingga pukul enam belas waktu setempat, dam yang biasanya mengalihkan air sungai ke kanal untuk dialirkan menuju pembangkit listrik dibuka sehingga air sungai kembali mengalir di jalur alaminya dan jeram-jeram grade III hingga V terbentuk di sepanjang alirannya. Setiap hari Minggu di musim panas, Wairoa adalah taman rekreasi yang mengasikkan, dan para warga sekitar, terutama kayaker, tidak pernah ketinggalan menikmati momen itu.

Adalah Kaimai Canoe Club yang, pada 1975, menentang kebijakan pengalihan air sungai Wairoa selama-lamanya demi pembangkit listrik. Mereka keberatan karena hal tersebut dipandang akan menghancurkan ekosistem sungai, dan itu berarti merampas anugerah alam dari tangan generasi masa depan. Usaha tersebutlah yang kemudian melahirkan kebijakan untuk membuka pintu air pada setiap akhir pekan di musim panas sehingga Wairoa tetap bisa dinikmati sebagai tempat rekreasi dan olahraga arus deras hingga sekarang.

Kami merasa beruntung bisa mencicipi salah satu hari yang cukup langka itu. Januari 2015 kemarin, kami menjajal keahlian bermain kayak yang telah kami latih selama setahun di berbagai sungai di Pulau Jawa dengan mengarungi Wairoa. Itu adalah sungai pertama yang kami arungi dalam rangkaian ekspedisi kayaking kami ke Selandia Baru. Bersama para kayaker lokal dari Waikato Kayak Club (WKC) dan puluhan kayaker lainnya, kami mencicipi sejuknya air Wairoa di musim panas –yang katanya adalah musim panas terpanas sepanjang sejarah negeri itu.

Di depan rumah Terry, bersama Jonty dan Danielle,
sebelum berangkat ke Wairoa

Bertemu rombongan kayaker Waikato lainnya

Setelah melalui salah satu malam terindah kami di rumah Terry (ketua Waikato Kayak Club), pagi hari tepat pukul sembilan, kami bertolak menuju kawasan dataran tinggi Kaimai di wilayah Bay of Plenty bersama rombongan kayaker dari Waikato lainnya. Dari Te Awamutu, kota di mana rumah Terry berada, hingga titik finish Wairoa di Ruahihi Powerstation, kami menempuh perjalanan selama sekitar satu jam, membelah daerah Waikato menuju timur laut dan melalui jalanan berkelok di dataran tinggi Kaimai. Dam di McLaren Falls dibuka sejak pukul sepuluh pagi sampai pukul empat sore, dan seolah tak ingin melewatkan waktu berharga tersebut, para kayaker sudah memenuhi tanah lapang di sebelah Ruahihi Powerstation ketika kami tiba di sana sekitar pukul sepuluh lebih sedikit.

Pemandangan dataran Waikato dan jalan berliku di dataran tinggi Kaimai

Berganti kostum untuk pengarungan di Ruahihi

Rasanya senang sekali melihat kayaker-kayaker sebanyak itu berkumpul. Di Indonesia, hal semacam masih itu sangat jarang sekali ditemui. Olahraga kayaking memang belum begitu berkembang di negeri maritim ini, meskipun sesungguhnya sungai-sungai di sini tak kalah menantang dengan sungai-sungai di Selandia Baru.

Setiba kami di Ruahihi, kami langsung berganti kostum untuk pengarungan. Meskipun sedang musim panas, kami agak khawatir kalau-kalau air Wairoa terlalu dingin buat kami sehingga kami memutuskan mengenakan kostum lengkap dengan wet suit dan dry suit. (Ini adalah keputusan yang belakangan ternyata akan kami sesali sebab suhu air sesungguhnya tak sedingin yang kami pikirkan dan mengenakan kostum selengkap itu malah membuat kami mudah kehilangan cairan tubuh karena kebanyakan berkeringat).

Cukup lama kami berganti kostum dan mempersiapkan segala peralatan pengarungan. Terutama juga peralatan untuk mendokumentasikan pengarungan, sebab kami tentu tak ingin hanya menyimpan pengalaman mengarungi Wairoa dalam memori masing-masing saja. Paling tidak ada oleh-oleh foto atau video buat teman-teman di Jogja. Maka sibuklah kami mencari-cari barang di antara tumpukan berbagai benda yang ada di dalam mobil sewaan kami. Inilah yang membuat persiapan yang kami lakukan cukup memakan waktu.

Tempat itu tiba-tiba saja sudah sepi ketika kami telah selesai bersiap-siap. Mereka benar-benar tak ingin menyia-nyiakan waktu, pikirku. Kami pun lekas menyusul ke titik start, di mana beberapa kayaker WKC sudah menanti-nanti kami. Aku sempat merasa tak enak karena ritme kami memperlambat mereka, sedang mereka sepertinya sudah tak sabar untuk segera mengarungi Wairoa. Maka, segera setelah menitipkan salah salah satu mobil kami di titik finish dan kembali lagi, kami bergegas turun ke sungai dipandu oleh Jonty, salah satu anggota WKC.

Melewati Brown's Farm menuju sungai

Terdapat dua titik yang dapat menjadi tempat memulai pengarungan di Wairoa. Titik start pertama berada sekitar satu kilometer di atas Ruahihi, yaitu melewati suatu lahan privat Brown’s Farm. Para kayaker tingkat pemula hingga menengah biasanya memulai pengarungan dari titik ini. Titik start yang kedua berada sekitar satu kilometer lebih jauh lagi, yaitu di McLaren Falls. Para kayaker tingkat lanjut hingga pro biasanya memulai pengarungan dari sini.

Terry membawa kami memulai pengarungan dari Brown’s Farm terlebih dahulu, untuk melihat seberapa memadai kemampuan kami dalam menghadapi jeram-jeram grade III dan untuk memperkirakan apakah kami cukup pantas menghadapi jeram-jeram yang lebih sulit di bagian atas nantinya.

Kami bergabung dengan keramaian di sungai sekitar pukul sebelas siang itu. Kayaker-kayaker, dari yang masih berusia bocah hingga paruh baya, laki-laki maupun perempuan, meramaikan sungai itu. Cukup banyak kayaker pemula yang masih dipandu oleh kayaker yang lebih berpengalaman. Saking ramainya, kami harus rela antri di hampir setiap jeram.

Adam dan Terry menunggu Saya melewati salah satu jeram di middle section

Pada beberapa bagian sungai sering kami temui orang-orang yang sedang berekreasi. Ada yang berenang-renang, ada yang menikmati ombak-ombak di atas pelampung tiup berbagai bentuk, ada yang bermain riverboard menunggangi ombak di salah satu playing spot, dan banyak pula yang sekedar berjemur di pinggiran sungai. Sungai itu benar-benar menjadi tempat rekreasi akhir pekan yang menyenangkan untuk segala kalangan.

Di bagian akhir, menjelang titik finish, terdapat sebuah drop setinggi tiga meter bernama Bottom Waterfall. Sejujurnya, belum satu pun di antara kami yang pernah menerjuni drop setinggi itu, dan mengahadapi drop grade IV itu untuk yang pertama kali adalah sebuah tantangan tersendiri yang cukup memacu adrenalin. Sebanyak apapun kami telah melihat jeram tersebut di YouTube, atau melihat video kayaker-kayaker pro melewati air terjun-air terjun, menghadapi Bottom Waterfall secara langsung tetap membuat degup jantung meningkat berkali-kali lipat.

Jonty berjaga-jaga di sisi Bottom Waterfall.
Di latar belakang terlihat orang-orang yang sedang berekreasi

Jonty dan Danielle menyaksikan salah satu kayaker WKC
menerjuni Bottom Waterfall

Setelah cukup lama melakukan scouting dan menyaksikan bagaimana kayaker-kayaker lokal bersenang-senang dengan menerjuni Bottom Waterfall berulang-ulang, maka kami pun memberanikan diri menerjuninya. Kalau sesuatu yang tak diinginkan terjadi, paling tidak ada banyak orang di sekitar tempat yang siap menolong, pikirku. Lagipula, bocah-bocah yang sepertinya belum terlau lama belajar kayaking bahkan berhasil melaluinya dengan mulus, maka kami yang telah selama hampir setahun berlatih kayaking empat hari dalam seminggu ini pun seharusnya juga mampu melewatinya.

Genderang perang di dadaku berdentum semakin keras dan tak beraturan ketika giliranku tiba. Aku berusaha tetap tenang dengan memercik-mercikkan air ke wajah, lalu memberi tanda pada kawan-kawan di bawah sana bahwa aku akan turun. Seiring kayuhan demi kayuhan dayung yang kuambil untuk keluar dari eddy dan memasuki arus utama, aku berusaha bernafas dalam-dalam dan teratur. Di satu sisi, aku pasrah terhadap apapun yang mampu dilakukan sungai itu terhadapku. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. Aku siap. Di sisi lain, aku berusaha tetap fokus menjaga arah dan momentum kayak yang mengalir mengikuti arus utama menuju drop.

Beruntung, aku berhasil meluncur dengan cukup mulus dan mendarat dengan selamat di bawah air terjun itu. Itu adalah pengalaman mendebarkan pertamaku di Negeri Awan Putih Panjang itu, dan keberhasilan pertama melewati jeram grade IV itu cukup membuatku jadi lebih percaya diri menghadapi jeram-jeram di bagian atas nantinya.

Kami ternyata menghabiskan cukup banyak waktu di pengarungan pertama hari itu. Karena pintu air akan ditutup pukul empat sore, Terry sedikit mendesak kami untuk mempercepat ritme. Menjelang pukul dua siang, kami pun menuju McLaren Falls untuk memulai pengarungan yang sesungguhnya. Mother’s Nightmare (grade IV), Middle Waterfall (grade IV), dan Rollercoaster (grade V), jeram-jeram maskot Wairoa, berkumpul di bagian atas ini.

Devils Elbow (III+), salah satu jeram di upper section

Terry memimpin Fauzi dan Afiq menuju jeram Middle Waterfall (IV)

Jeram Rollercoaster (V), maskot Wairoa

Patrick, salah satu kayaker WKC memasuki jeram Rollercoaster

Fauzi, dibantu para kayaker lainnya menepi setelah jeram Rollercoaster

Terry memperkenalkan kami pada setiap jeram, namanya, tingkat kesulitannya, dan tricky point-nya sebelum melaluinya. Kami pun berhasil melalui jeram-jeram itu dengan cukup lancar. Hanya di Rollercoaster, Fauzi dan Afiq sempat terbalik. Afiq yang terbalik di awal jeram dapat melakukan roll dan berhasil menyelesaikan jeram sampai akhir. Namun Fauzi yang terbalik di tengah-tengah jeram sepertinya mengalami panik dan gagal melakukan roll sehingga harus keluar dari kayaknya dan berenang di akhir jeram. Beruntung ketika itu ada cukup banyak kayaker yang berjaga-jaga di akhir jeram sehingga ia bisa memperoleh bantuan untuk menepi.

Kami boleh saja berbangga diri karena berhasil melalui jeram-jeram besar tersebut, tetapi –menurutku—Terry, si Lelaki Tua itulah, yang sesungguhnya telah sukses memandu kami dengan baik. Di usianya yang sudah hampir sepuh, ia masih memiliki ketangguhan mengatasi jeram-jeram sekelas Rollercoaster dengan sangat baik. Terry adalah salah satu sosok manusia yang membuatku semakin percaya bahwa terdapat kebaikan di dalam diri setiap orang, tak peduli warga negara mana, apa suku bangsanya, atau kepercayaan yang dianutnya.

Adam, Terry, Fauzi, Afiq, dan Saya difoto oleh Yoga

Di akhir hari, kami cukup puas dan senang dengan pengarungan Wairoa hari itu. Beberapa dari kami ikut merayakannya dengan melompat dari tebing –mungkin setinggi sekitar sepuluh meter—di tepi sungai ke air. Jonty yang mengajak kami. Katanya, itu adalah semacam salah satu ritual yang sering mereka lakukan setelah pengarungan Wairoa, untuk menikmati detik-detik terakhir sebelum sungai itu kembali surut selama seminggu ke depan.

Kami berfoto bersama, lalu mengucapkan salam perpisahan dengan Terry dan Jonty serta anggota WKC lainnya. Mulai dari situ, selama seminggu lebih ke depan, kami akan melanjutkan petualangan kami sendiri. Terry pun sepertinya cukup tenang menitipkan kayak-kayaknya untuk kami pakai di pengarungan-pengarungan selanjutnya setelah melihat pengarungan hari itu. Sementara bagi kami, hari itu kami bisa merasakan betapa hangatnya tali persaudaraan di antara para kayaker Selandia Baru. Itu adalah pengalaman yang tak akan kami lupakan.

Jogjakarta, 7 April 2015, 14 April 2016