Pages - Menu

Hujan dan Airmata

Gaduh dalam ruang tanpa sekat
Jemari waktu memetik dawai-dawai hidup
Bergetarlah sukma
Terwujudlah gelombang rasa
Sewaktu senja merangkum semua
Derita duka lara bersama bahagia tawa ceria
Dalam jernih mata berbayang rona cakrawala

Kemudian hujan menetes membasuh pipimu
Meluluh beku bersama airmata

Sepi dalam ruang tanpa sekat
Waktu membeku menyaksikan hidup
Jemarinya terkulai lunglai
Biarlah hujan tetap saja menghujan, tak peduli
Kita mendekapnya di antara bibir
Hingga luluh semua muram durja wajah senja
Dan sirna semua kabut mendung hatimu

Bonbin,
24 November 2015
08:15

Perpisahan

Pada perjumpaan kita yang terakhir itu
Sebelum kau kembali ke sana
Kita berjabat tangan erat
Kita bertatap mata lama
Tenggelam dalam riuh derasnya hujan
Dalam sesak ramainya stasiun
Sampai akhirnya peluit kereta Senja
Melengking memecah dunia yang bisu itu
Mendamparkan kita pada kenyataan
Dan sejuta pertanyaan yang belum selesai
Kita simpan dalam hati masing-masing
Sebagai kenang-kenangan dari masa itu
Yang kelak akan menjadi masa lalu

"Daaahh!"
Suaramu bergetar
Senyummu hambar
Meninggalkan lagu sendu
Menggema di duniaku
Menyisakan rasa haru
Membuncah di dadaku

Kemudian aku melambai
Pada ruang kosong di hadapanku
Sementara benakku mengurai
Helai demi helai masa lalu
Untuk disimpan kembali
Dalam relung-relung waktu
Terdalam di dasar hati

Kutitipkan padamu
Di sela-sela jemarimu
Sewaktu kita berjabat tangan
Di kedalaman matamu
Sewaktu kita bertatapan
Kunci hatiku

Sendowo,
24 November 2015
05:30

Naif

Pagi ini, sebuah kesimpulan datang menemui
Aku sedang duduk, memikirkan apa yang sebaiknya kupikirkan
Namun pemikiran malah saling berdiskusi satu dengan yang lain
Meninggalkanku sendiri dalam lamunan
Sampai kesimpulan itu, tiba-tiba saja, sudah duduk di sampingku

"Betapa naif aku"
Ucapnya lirih namun tajam menusuk

"Aku memimpikan dunia
seolah dunia adalah kanvas polos
yang dapat kutorehi warna sesukaku
seolah dunia adalah lilin malam
yang dapat kubentuk sekehendakku
seolah dunia adalah alat
yang dapat kupergunakan semauku
"

"Betapa naif aku"
Ia mulai menuding dengan matanya yang bening
Aku terhanyut ke dalam pusaran waktu
Dunia jadi tak berbentuk, tak dapat kurengkuh

"Dunia akan tetap begini
atau bakal jadi begitu
terlepas sama sekali
dari kehendakku
"

"Betapa naif aku"
Ia mencekik leher kesadaranku
Aku hilang, dunia tetap ada
Aku menangis tanpa air mata
Aku meratap tanpa suara

"Ingin aku tundukkan dunia
padahal diri sendiri saja
belum lagi sanggup kutundukkan
"

"Tubuh ini saja yang setiap hari membungkuk, setiap hari bersujud
Di dalamnya, diri-angkuh, diri-sombong, diri-serakah
Terkekeh-kekeh gembira
"

"Jika memang ada yang mesti diubah
Itu adalah diriku
"

11:00, 22 Nopember 2015

Engkau di Mana?

Cinta
Engkau benar-benar mahluk yang rumit
Lebih rumit daripada waktu
Lebih rumit daripada kehidupan
Dapatkah kami akan memahami
Engkau yang sejati
Sementara kami
Dituntun menjalani hidup dalam kepalsuan
Didikte membaca waktu sebagai angka-angka semu
Dijejali ke dalam kerongkongan kami
Bermacam-macam istilah
Berupa-rupa teori
Yang kosong tak bermakna

Cinta
Engkau betul-betul mahluk yang misterius
Lebih misterius daripada masa depan
Lebih misterius daripada kematian
Mampukah kami akan menyingkap hakikatmu
Yang hakiki
Yang tersembunyi
Di balik berlapis-lapis tirai
Yang menghalangi
Kami dari diri kami sendiri
Yang terperangkap, terkungkung, terbenam, tenggelam
Dalam wujud kami yang fana
Dalam kehidupan yang sementara
Dalam keserakahan, kesombongan, dan kebodohan kami

Cinta
Nyanyianmu terdengar
Wangimu semerbak
Kelembutanmu menyentuh
Keindahanmu terlukis di segala penjuru
Rasamu tak lekang oleh zaman
Kecuali, "Engkau di mana?"

Pagi, Bonbin, 12 November 2015

Alasan

Ditanyakanlah kepada saya: "mengapa seseorang mesti memanjat?"

Tidak bisa-- dan tidak mungkin bagi saya-- mengungkapkan jawaban yang objektif terhadap pertanyaan itu. Yang objektif hanyalah subjektivitas yang disepakati bersama. Pada dasarnya, segala sesuatu di dunia ini adalah subjektif, apalagi 'alasan' sebagaimana yang diminta oleh pertanyaan tersebut.

Saya dihadapkan pada pilihan: untuk menjawab dengan bujuk-rayu seperti pedagang yang menawarkan barang dagangan, atau untuk memberi jawaban secara jujur sebagaimana adanya, ketika diharuskan menjawab pertanyaan itu. Dan yang ke dua lah yang saya pilih.

Maka jawaban saya adalah: karena memanjat adalah semacam ritual, lahir dan batin, semacam simbol, atas usaha manusia dalam memenuhi tuntutan kerinduannya pada sesuatu yang mahatinggi.

Jawaban ini tentu bisa jadi sekedar pemaknaan saya sendiri saja, terhadap aktivitas memanjat, berdasarkan pengalaman-pengalaman selama melakukan aktivitas itu, dan dapat juga mengandung-- dalam kadar tertentu-- bujuk-rayu untuk usaha pembenaran. Namun, itulah jawaban saya.

Ada kerinduan terhadap sesuatu yang sulit dipahami di dalam diri kita. Kerinduan untuk melebur ke dalam induk keberadaan kita. Ia yang mahatinggi. Sedang kita adalah mahluk yang rendah. Maka dari itulah doa mesti dipanjatkan. Harapan mesti diperjuangkan.

Puncak gunung tertinggi adalah simbol yang mahatinggi. Mendaki dan memanjat adalah simbol usaha kita untuk mencapainya. Maka tak ada alasan lain yang paling logis selain kerinduan sebagai alasan kita memanjat.

Namun sebagaimana setiap simbol, sebagaimana semua ritual, ia dapat sekedar ada, sekedar dilakukan saja. Simbol dan ritual adalah dimensi lahiriah saja. Tanpa dibarengi dimensi batiniah, ia tak utuh. Bahkan bisa jadi sekedar tong kosong. Maka tak terpenuhilah kerinduan kita oleh pengalaman perjumpaan. Kecuali perjumpaan dengan kekosongan.

Pagi, Bonbin, 17 November 2015