Pages - Menu

Alasan

Ditanyakanlah kepada saya: "mengapa seseorang mesti memanjat?"

Tidak bisa-- dan tidak mungkin bagi saya-- mengungkapkan jawaban yang objektif terhadap pertanyaan itu. Yang objektif hanyalah subjektivitas yang disepakati bersama. Pada dasarnya, segala sesuatu di dunia ini adalah subjektif, apalagi 'alasan' sebagaimana yang diminta oleh pertanyaan tersebut.

Saya dihadapkan pada pilihan: untuk menjawab dengan bujuk-rayu seperti pedagang yang menawarkan barang dagangan, atau untuk memberi jawaban secara jujur sebagaimana adanya, ketika diharuskan menjawab pertanyaan itu. Dan yang ke dua lah yang saya pilih.

Maka jawaban saya adalah: karena memanjat adalah semacam ritual, lahir dan batin, semacam simbol, atas usaha manusia dalam memenuhi tuntutan kerinduannya pada sesuatu yang mahatinggi.

Jawaban ini tentu bisa jadi sekedar pemaknaan saya sendiri saja, terhadap aktivitas memanjat, berdasarkan pengalaman-pengalaman selama melakukan aktivitas itu, dan dapat juga mengandung-- dalam kadar tertentu-- bujuk-rayu untuk usaha pembenaran. Namun, itulah jawaban saya.

Ada kerinduan terhadap sesuatu yang sulit dipahami di dalam diri kita. Kerinduan untuk melebur ke dalam induk keberadaan kita. Ia yang mahatinggi. Sedang kita adalah mahluk yang rendah. Maka dari itulah doa mesti dipanjatkan. Harapan mesti diperjuangkan.

Puncak gunung tertinggi adalah simbol yang mahatinggi. Mendaki dan memanjat adalah simbol usaha kita untuk mencapainya. Maka tak ada alasan lain yang paling logis selain kerinduan sebagai alasan kita memanjat.

Namun sebagaimana setiap simbol, sebagaimana semua ritual, ia dapat sekedar ada, sekedar dilakukan saja. Simbol dan ritual adalah dimensi lahiriah saja. Tanpa dibarengi dimensi batiniah, ia tak utuh. Bahkan bisa jadi sekedar tong kosong. Maka tak terpenuhilah kerinduan kita oleh pengalaman perjumpaan. Kecuali perjumpaan dengan kekosongan.

Pagi, Bonbin, 17 November 2015