Pages - Menu

20251202

Cigunung - Sungai "Alternatif" Potensial Untuk Berkayak Arus Deras?

Kalau perahu karet (raft) itu seperti mobil yang bisa ditumpangi oleh beberapa orang, maka kayak adalah sepeda motor. Secara teknis, semua jalan yang bisa dilewati oleh mobil, pasti bisa dilewati oleh motor. Tetapi tidak berlaku sebaliknya. Jalan yang bisa dilewati oleh motor belum tentu bisa dilewati oleh mobil.

Sekarang bayangkan jalan itu adalah sungai, karena yang kita bahas ini sebenarnya memang bukan mobil dan motor, melainkan perahu karet dan kayak. Kiranya bisa dibayangkan bahwa memang semua sungai yang bisa diarungi dengan perahu karet bisa juga diarungi dengan kayak. Lalu ada pula sungai-sungai yang bisa diarungi dengan kayak tetapi tidak layak untuk perahu karet. Sungai-sungai seperti inilah yang saya bayangkan ketika membuka-buka peta digital untuk mencari sungai-sungai "baru" yang mungkin masih menanti untuk dijelajahi.

Citra satelit Cigunung pada musim kering dan basah.

Pengalaman menemani SEND menjelajahi Jawa Barat dan pesisir utara Jawa Tengah membuat saya berpikir bahwa mungkin sungai-sungai macam itu memang masih tersisa cukup banyak, bahkan di Pulau Jawa sekalipun. Terlebih bila mengingat bahwa generasi-generasi pengarung jeram sebelumnya kebanyakan sepertinya memang lebih fasih bermain perahu karet ketimbang kayak. Itu mungkin cukup mempengaruhi kriteria sungai-sungai yang layak diarungi dalam benak mereka, sehingga umumnya sungai-sungai yang terjelajahi dan mapan hingga kini adalah sungai-sungai yang layak diarungi dengan perahu karet saja.

Selain Tirtaseta, saya tidak mengetahui ada kelompok pengarung jeram lain yang mengkhususkan diri menggunakan kayak dalam kegiatan dan penjelajahannya. Tirtaseta sendiri, setahu saya, memang pernah menjajal mengarungi sungai-sungai creek baru di Jawa Tengah. Sungai Tambra dan Sungai Tulis, di antaranya. Selain itu, saya tidak pernah menemukan informasi sungai-sungai lain yang pernah mereka jelajahi. Bukan tidak mungkin masih ada sungai-sungai yang belum sempat mereka jajal yang sebenarnya potensial.

Terlepas dari itu, pada taraf tertentu dalam jenjang perkembangan skill dan pengalaman seorang kayaker, kiranya akan sampai juga ia pada momen di mana rasa haus untuk memperluas cakrawala penjelajahannya menjadi cukup kuat sehingga dorongan untuk menemukan sesuatu yang baru, atau setidaknya "terasa baru" baginya, kian menggebu. Seperti seorang yang setiap hari menempuh jalan raya dengan sepeda motornya, lalu suatu hari merasa bosan dan ingin mencoba rute "blusukan" melewati jalan tembus dan jalur alternatif. Akan terasa lebih spesial lagi kalau jalur alternatif itu ternyata memang hanya bisa dilewati oleh roda dua.

Melihat dewasa ini komunitas penggiat kayak arus deras semakin berkembang di Jawa, saya kira sungai-sungai "alternatif" macam itu bakal makin dilirik ke depannya (*finger-crossed). Dan sambil menunggu, tidak ada salahnya mendaftari sungai-sungai potensial itu untuk—siapa tahu—bisa dijajal kapan-kapan.

"It doesn't have to be big, as long as it has water and some gradient", kata Dane ketika dia coba menjelaskan sungai-sungai seperti apa yang dia cari kepada saya dalam perjalanan dari Jawa Barat ke Pekalongan. Rumusnya cukup sederhana: ada gradien + cukup air. Yang pertama itu masih bisa diperkirakan dengan melihat beda ketinggian garis kontur pada mode tampilan medan (terrain view) peta digital dan mengkonfirmasinya dengan tampilan satelit (satellite view). Yang kedua, selain dengan memperhitungkan luas daerah aliran sungai dan banyaknya curah hujan di bagian hulunya, untuk sungai-sungai creek, biasanya dibutuhkan data dan informasi lebih rinci soal debit air yang tidak terlalu mudah didapatkan di negeri ini.

Kalau mau pukul rata, sungai-sungai creek memang biasanya baru akan "hidup" di musim hujan, dan biasanya kemelimpahan debit airnya pun tidak bertahan terlalu lama. Di satu sisi, karakteristik debit air tersebut mungkin dirasakan sebagai hambatan yang merepotkan. Tetapi di sisi lain, kita bisa melihatnya sebagai sebuah keistimewaan tersendiri. Bayangkan sebuah sungai yang hanya bisa diarungi pada waktu-waktu tertentu menurut kondisi alam. Maka bila kita bisa mengarunginya, momen pengarungan itu akan terasa lebih istimewa.

Tentu saja, kita tetap perlu memperhitungkan aspek teknis dan keselamatan. Untuk itu, selain skill mendayung dan teknis pengarungan, kita harus belajar membaca pola musim dan cuaca, serta membaca pola kenaikan dan penurunan debit air sungai. Di sinilah sebenarnya data dan informasi soal debit air sungai perlu dikumpulkan agar pola tersebut lebih mudah terbaca sehingga kita bisa lebih matang mempersiapkan rencana dan strategi pengarungan. Sayangnya, sistem pengelolaan dan pemantauan air sungai di negeri ini masih buruk sehingga kita sebagai masyarakat umum belum bisa memperolehnya dengan mudah. Mau tidak mau kita jadi harus mengandalkan survey dan pengamatan langsung. Sesuatu yang cukup memakan biaya bila kita tinggal jauh dari sungai itu.

Permasalahan debit air inilah yang banyak membuat saya ragu-ragu untuk menjajal mengarungi beberapa sungai yang sudah pernah saya tandai sebagai sungai potensial dalam peta di smartphone saya. Salah satu sungai itu adalah Sungai Cigunung yang berada di Kecamatan Salem, Brebes, Jawa Tengah. Waktu pertama kali melihatnya sekilas di peta, saya cukup antusias. Pasalnya sungai yang belum pernah saya dengar namanya di jagat arung jeram ini terlihat mengalir melalui lembahan yang cukup dalam, suatu ciri yang sering kali (meski tak selalu) menandakan bahwa di situ sangat mungkin terdapat jeram. Gradiennya pun terlihat cukup curam, namun tidak terlalu ekstrim. Dalam perkiraan saya, kayaker kelas menengah seperti saya waktu itu, masih mungkin bisa mengarungi jeram-jeramnya asalkan bersama tim yang bisa diandalkan.

Penampakan kontur lembah aliran sungai Cigunung yang terlihat dalam.

Sayangnya tampilan satelit ketika itu memperlihatkan aliran sungainya tidak punya cukup air untuk diarungi. Meski sempat berangan-angan untuk coba mengunjunginya secara langsung saat musim hujan, namun karena lokasinya cukup jauh dari Jogja, tempat kediaman saya waktu itu, angan-angan itu pun tak sempat terwujud.

Belum lama ini, saya iseng-iseng menjelajahi Google Maps dan melihat-lihat sungai ini lagi. Terdapat perubahan tampilan citra satelit, yang dulunya menampakkan sungai tersebut di musim kering (vegetasi sekitarnya terlihat gersang) kini sebagian menampakkan sungai tersebut di musim basah (pepohonan kelihatan lebih hijau), dan di segmen di mana sungai melewati lembahan berlereng curam dapat terlihat beberapa jeram berbuih-buih putih. Seketika rasa penasaran membawa saya mencari-cari informasi lebih banyak. Saya pun menemukan video-video orang mancing berikut ini di YouTube.

Mencoba menganalisis kedua video tersebut dengan membandingkan penampakan jeramnya dengan penampakan citra satelit Google Maps, dapat saya perkirakan (dengan tingkat keyakinan 75%) bahwa lokasi kedua video tersebut adalah di dekat Desa Kadumanis, di sekitar titik koordinat ini.

[Baca analisisnya di sini]

Desa Kadumanis ini adalah permulaan dari segmen Cigunung yang paling curam gradiennya dan memiliki banyak jeram. Bila mengamati tampilan satelit sambil membayangkan debit air sungainya seperti di video tersebut, maka gambaran jeram-jeram di bawahnya akan menjadi sangat menantang dan menggiurkan untuk diarungi.

Sebuah video lain yang memperlihatkan orang-orang melakukan pengarungan dengan ban dalam (tubing) di sungai ini, di segmen sekitar Salem di hulu sungai ini, juga menunjukkan bahwa pada waktu-waktu tertentu sungai ini bisa punya debit air yang cukup besar, dan itu berarti sungai ini sangat mungkin untuk dapat diarungi. Pertanyaannya tinggal kapankah waktu tertentu itu? Apakah harus tepat setelah hujan? Apakah sungai ini bisa mempertahankan debit air cukup besar sampai seharian setelah diguyur hujan?

Meski panjang segmen utamanya, dari Desa Kadumanis hingga Bendung Petahunan, hanya sekitar 7 km, segmen tersebut diapit oleh lereng yang curam dan kelihatannya tidak memiliki akses evakuasi yang mudah (tidak ada jalan atau perkampungan di kanan kiri sungai). Memiliki gambaran mengenai pola kenaikan dan penurunan debit air akan membuat kita bisa lebih mudah menyusun rencana dan strategi darurat untuk mengarungi segmen ini.

Salah satu kekurangan sungai ini adalah lokasinya yang "terpencil" dan berada jauh dari sungai-sungai lain yang punya debit air stabil dan sudah mapan sebagai lokasi arung jeram. Artinya, kita tidak punya back up sungai cadangan yang bisa diarungi kalau seandainya kita ke sana dan menemukan bahwa debit airnya terlalu kecil atau terlalu besar untuk diarungi. Karena itu, timing yang pas menjadi penting.

Secara umum, berdasarkan data historis, antara bulan November hingga April adalah rentang periode musim hujan di wilayah Salem. Namun, untuk lebih tepatnya, memantau kondisi cuaca dan curah hujan mingguan dan harian di Kecamatan Salem lewat berbagai aplikasi prakiraan cuaca mungkin bisa jadi salah satu pilihan strategi yang baik untuk mengetahui rentang waktu kemungkinan kita bisa mendapatkan debit air yang bagus jika ke sana. Bila mengamati kontur Kecamatan Salem, terlihat bahwa wilayah ini dikelilingi pegunungan dan membentuk cekungan di tengahnya, dan sungai ini adalah semacam saluran drainase bagi air hujan yang jatuh di seluruh wilayah cekungan itu. Maka memiliki informasi prakiraan cuaca untuk wilayah ini akan cukup krusial, terutama juga untuk menghindari kemungkinan banjir bandang.

Untuk menuju sungai ini, ada dua pilihan rute, lewat Bumiayu, atau lewat Majenang. Jika lewat Bumiayu, kita bisa singgah di Jembatan Sukajaya-Jetak di Kecamatan Bantarkawung untuk melihat kondisi debit air Sungai Cigunung, sebelum memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Salem untuk mengarunginya. Bendung Petahunan yang jadi titik akhir pengarungan juga berada tak jauh dari jembatan tersebut. Rute ini, bagi saya terasa lebih oke. Jika lewat Majenang, kita baru akan bisa melihat debit air sungai ketika sudah berada di Salem.

Pengarungan bisa dimulai dari banyak pilihan titik akses. Titik yang paling ideal menurut saya adalah di ruas jalan yang melintas tepat di pinggir sungai pada koordinat ini. Di sini kita bisa mendapatkan debit air optimal karena lokasinya berada setelah pertemuan Sungai Cibinong. Jika debit air di sini juga ternyata kecil, maka dapat dipastikan debit air sepanjang sisa sungai juga sedang kecil.

Dari titik tersebut gradien sungai pada mulanya terlihat landai sepanjang sekitar 3 km sampai Leuwi Dahu, tepat selepas Desa Gandoang. Kemudian mulai terlihat agak curam dan berjeram sepanjang sekitar 4 km sampai Desa Kadumanis. Mulai dari Kadumanis gradien sungai kelihatan makin curam seiring alirannya memasuki lembahan dalam yang diapit lereng curam di mana jeram-jeram yang cukup besar dan teknikal banyak terlihat. Inilah bagian yang kelihatannya paling menarik sekaligus menantang. Kalau harus memperkirakan, menurut saya tingkat kesulitan jeram-jeram di segmen ini terlihat berkisar antara 3 hingga 3+ pada debit air sedang, dan mungkin bisa sampai 4 bahkan 4+ jika debit air besar.

Penampakan beberapa jeram di segmen lembahan dalam Cigunung.

Sampai Bendung Petahunan, titik akhir pengarungan, dari Desa Kadumanis, panjang sungai sekitar 7 km. Ada setidaknya 6 jeram yang kelihatan cukup kompleks dan mungkin memerlukan scouting cukup detil dan memakan waktu di segmen ini. Jika masing-masing jeram memakan waktu scouting 20 menit, maka total waktu scouting bisa sampai 2 jam. Maka pengarungan segmen 7 km ini mungkin bisa memakan waktu 3-4 jam. Total pengarungan mungkin bisa memakan waktu 5-6 jam.