Sebiji Sajak

: benih yang tumbuh

Di belantara kata-kata, aku bertemu dirinya, pertamakali. Sebelum pernah kudengar namanya. Sebelum pernah kukenal wajahnya. Aku sudah mengenalnya di dunia makna yang senantiasa ingin disembunyikan oleh penguasa, dalam peti kayu gelap dari batang pohon sejarah yang ditebangi demi (maksud baik) pembangunan.

Di belantara kata-kata, ia sembunyi, mendekap semua makna yang diperjuangkannya sepenuh hati. Ia sembunyi, dari kejaran tentara penguasa yang hendak membunuhnya dan merampas makna perjuangannya, dengan dalih ketertiban umum dan kelancaran pembangunan. 

Di dunia nyata, ia menjadi hantu bermata satu. Namanya tertanam dalam senyap di hati orang-orang. Wajahnya gentayangan di dinding-dinding bisu yang gelap berlumut. Jasadnya telah dimakamkan tanpa nisan, tanpa doa dan upacara pelepasan, entah di hutan sejarah yang mana. 

“Aku mungkin akan mati,” katanya. “Namun sebelum itu, telah kumakamkan diriku dalam sajak-sajak di belantara kata-kata ini. Kata-kata yang kutuliskan dengan peluh, airmata, dan darah, di sepanjang jalan perjuangan, yang kan menetes dari pelipis, meleleh dari tangis, dan mengalir dalam nadi kerja keras orang-orang tertindas.

“Namaku mungkin tak pernah terukir di batu nisan, namun sudah kutanam bersama sajak-sajak dan sebiji mata, di dalam nurani setiap orang. Dan, selama ada manusia, aku akan terus tumbuh kembali dan berlipat ganda. Menjadi rindang pepohonan yang meneduhi jalan panjang perjuangan. Menjadi hantu di mata, telinga, dan hati para penguasa yang semena-mena. 

“Aku adalah kata-kata. 
Hidupku dalam sajak.

“Sajakku hidup.” 

Yogyakarta, 28-29 Mei 2020