Jalan Setapak Di Pekuburan


Gambar diambil dari unsplash.com


Prolog Fiktif

Sebab, konon katanya, hidup adalah perjalanan. Namun kita seringkali terlampau cemas dan sibuk berburu waktu.

Di masa sekarang ini, ketika banyak jalanan ditutup, perkampungan kota menjelma labirin penuh jebakan jalan buntu bagi pengendara bermotor. Maka daripada harus menempuh jalanan berliku yang berputar jauh, berjalan kaki kadang jadi pilihan yang lebih efisien.

Namun tentu saja waktu selalu sukses menjadi momok, dan dengan mudah menghadirkan dalam diri, perasaan cemas seolah sedang dikejar-kejar. (Ini mengingatkanku-- dan mungkin saja benar adanya-- bahwa penghayatan akan waktu yang demikian itu adalah salah satu gejala delusi massal dalam peradaban manusia-- terlepas apakah itu sesuatu yang baik atau buruk, bermanfaat atau sia-sia).

Jadilah kemudian, sore itu, sepetak pekuburan umum kutetapkan sebagai jalan pintas yang lalu kuterabas demi dapat segera tiba di tujuan.

("Sebab, konon katanya, hidup adalah perjalanan...")

Tiba-tiba, begitu lirih namun sangat jelas terdengar, muncullah pertanyaan itu dari antara barisan batu-batu nisan:

("Mau ke mana?")

Serrr....

Angin sepoi-sepoi lewat di hadapanku. Mungkin hendak menjemput sisa daun-daun kering yang masih tertinggal di ranting pepohonan (seperti malaikat maut menjemput ruh orang-orang sekarat), namun tak pelak disisakannya pula jejak dingin yang membekukan udara yang kuhirup hingga terasa seperti ribuan jarum menusuk-nusuk gelembung hawa di dalam rongga dadaku.

Aku termenung, menghitungi jeda di antara degup demi degup jantungku.

Dari manakah datangnya pertanyaan itu? Sebuah pertanyaan pendek yang ternyata sanggup menghujam begitu dalam hingga ke lubuk jiwaku. Betapa lirih, sangat lirih, begitu lirih, sedemikian lirih hingga seolah-olah lebih lirih daripada kesunyian namun dapat sangat jelas kudengar melebihi jelasnya suara hatiku sendiri.

Pertanyaan itu seperti dibisikkan langsung kepadaku, tidak dari luar melalui rongga telinga lewat perantara getaran molekul udara yang kemudian diterjemahkan menjadi arus listrik dan diteruskan oleh neurotransmitter melalui jejaring sistem syaraf hingga sampai ke otakku, melainkan tiba-tiba bergema di dalam relung ruang kesadaranku (seolah-olah justru memang dari situlah berasalnya), entah oleh siapa atau apa.

Lantas, aku tersadar dari lamunan separuh mimpi di antara tidur dan terjaga, membawa sebersit gagasan dalam linglung kesadaranku dan kutemukan tubuhku ternyata masih terkapar di atas kasur. Sebersit gagasan itu membuatku mual dan memaksaku memuntahkannya ke dalam tulisan berikut ini:

<×××>

Jalan Setapak Di Pekuburan

apabila kehidupan adalah jalan setapak, 
sedang kematian adalah satu-satunya
yang pasti menanti di ujung jalan,
bukankah itu berarti: hidup hanya sekadar
perjalanan menyongsong kematian?

"dan dalam hidup menjemput maut,"
berembuslah pertanyaan
di antara batu-batu nisan
"masihkah segala impian
kan layak diperjuangkan?"

dan daun-daun kering berguguran,
jatuh di ujung kesadaran,
menjawab semilir embusan angin.

mimpi adalah benih yang kau tanam
di sepanjang jalan yang kau tempuh.
kau pupuk dengan harapan,
kau sirami dengan peluh,
kau rawat dengan kesabaran,
hingga kelak kan tumbuh
menjadi sebatang pohon rindang
dengan bunga-bunga berwarna cerah
berbuah manis lagi renyah.

lalu mereka yang kan berjalan setelahmu
dapat bersinggah di bawah teduhnya, 
mengagumi keindahan bunga-bunganya, 
mengenyam hikmah dari buahnya,

lantas menemukan inspirasi,
mendapati benihnya sendiri,
menyadari mimpinya sendiri.

*
bunga-bunga dari pohon mimpimu
kan jadi epitaf di ujung perjalanan hidupmu

hidup yang kau perjuangkan mati-matian

<×××>

Semacam Epilog

~ Catatan Tak Penting:

'Epitaf' (B. Inggris: 'epitaph') adalah tulisan singkat pada batu nisan untuk mengenang seseorang yang dikubur di situ.

Kata ini, rasanya seperti pernah kudengar dari ucapan salah seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu SMP (tapi mungkin ini hanya ingatan yang dibuat-buat saja), namun baru belakangan ini kata itu melekat dalam ingatanku setelah kubaca pada salah satu tulisan dalam sebuah zine proyek Berhala. Dan kebetulan, akhir-akhir ini, kematian menjadi salah satu topik berita yang sering terdengar, menghantui seluruh penduduk dunia.

~ Refleksi Buram:

Pada mulanya tulisan ini hendak kubuat sedepresif mungkin dengan menyiratkan sebuah fakta kenyataan tak terbantahkan yang seharusnya--kupikir-- dengan mudah akan meruntuhkan segala modus bangunan optimisme manusia. Itulah bait pertama.

Kemudian, dengan sebuah pertanyaan di bait ke dua, aku bermaksud menutupnya.

Aku percaya bahwa menyelundupkan pertanyaan ke dalam benak manusia adalah cara paling jitu untuk menghancurkan bangunan kerangka acuan berpikirnya. Menyabotase poros pandangnya terhadap realitas kehidupan dunia ini. Sebuah pertanyaan sederhana dapat menjadi pemicu reaksi berantai yang dapat meluluhlantakkan menara gading eksistensi manusia.

Namun rupa-rupanya pertanyaan itu masih terlampau remeh-temeh dan hanya mampu menimbulkan sedikit retakan yang justru menjadi celah masuknya serbuk-serbuk optimisme gelap. Rangkaian kata-kata sarat muatan romantisisme menelusup ke dalam celah retakan itu, menyusun sisa bait demi bait selanjutnya.

Betapa menulis kutemukan seringkali gagal menjadi cara bagiku untuk menyusun bangunan megah dari bongkahan gagasan-gagasan yang ingin kusampaikan. Tetapi menulis setidaknya bisa membantuku menemukan berbagai gagasan aneh yang sebelumnya tak pernah kusadari telah bercokol di dalam benakku, tertimbun di bawah tumpukan sampah-sampah pikiran jorok, meskipun ketika menggalinya biasanya harus sampai tersesat dahulu.

Namun bahkan sampah-sampah paling jorok sekalipun selalu dapat didaur ulang, diracik dengan tambahan sedikit kecerdikan, menjadi sesuatu yang mungkin akan cukup memukau, setidaknya di mata orang-orang awam nan lugu.

Yogyakarta, Karanggayam, 10-11 Mei 2020