Pages - Menu

Lamunan Sesa(a)t

Kudapati diri tersesat di kota itu,
maka duduklah aku di sebuah bangku
di bawah bayang-bayang pohon Trembesi
di trotoar berdebu. Kuamat-amati
waktu berlalu.

Seorang kakek tua bermata gelap
berambut putih panjang
bertubuh ringkih
terbungkus lembaran kain
lusuh tebal berdebu
telah duduk di sudut simpang jalan itu
sejak waktu pertama kali
hadir di hadapan kehidupan.

Konon, manusia
terlahir dari perkawinan
antara kehidupan dan kematian
di atas altar keabadian, namun waktu
menggali jebakan jurang fana
yang memisahkan keduanya, lalu
meninggalkan manusia
yatim piatu di dunia.

Waktu
memenggal-menggal keabadian, lalu
memenjarakan masing-masing penggalan
dalam siklus lingkaran-lingkaran perulangan,
disegel dengan simbol-simbol
dua belas bilangan, dan
dijaga bergantian oleh siang dan malam.
Lalu bertahta Ia di singgahsananya
yang senantiasa berputar, mengawasi
segalanya dari pusat alam semesta.

Kakek tua yang duduk
di sudut simpang jalan itu,
menurut kabar cicit burung
yang konon pernah mendengar
desas-desus yang kadang kala
diperbincangkan angin dan dedaunan
ketika mereka bercengkerama
di dahan-dahan pepohonan,
adalah satu-satunya manusia
yang berhasil lolos dari jebakan
waktu.

Ia kan terus duduk di situ,
memaku pandangnya
pada jam yang terpatri
di atas menara
batu pualam yang menjulang
di tengah persimpangan jalan
tanpa pernah berkedip sedikitpun.

Mungkin ia sedang mencari celah
di mana waktu akan lengah
lalu menyelinap di sela-sela
pergantian siang dan malam
untuk membebaskan keabadian
lalu menyatukan kembali kehidupan
dan kematian.

Tetapi aku lalu tersadar dari lamunan.


Bintan, September 2019