Pages - Menu

Pie Madu

Gambar: https://www.newyorker.com/

“Maka Masakichi pun memperoleh banyak madu. Saaaangaat banyak madu. Jauh lebih banyak daripada yang dapat ia habiskan seorang diri. Ditaruhnya madu itu di dalam ember, kemudian dibawanya turun dari gunung menuju kota untuk dijual. Masakichi adalah beruang madu nomor satu di dunia.”

“Apa beruang mempunyai ember?” Sala bertanya.

“Kebetulan, Masakichi punya ember,” Junpei menjelaskan. “Suatu hari ia pernah menemukannya tergeletak di tepi jalan setapak di gunung itu, dan ia memungutnya karena berpikir bahwa mungkin suatu hari ember itu akan ada gunanya.”

“Dan ternyata ember itu memang berguna.”

“Sangat berguna. Jadi, Masakichi pergi ke kota dan duduk di salah satu sudut di alun-alun. Dipasangnya tulisan: ‘Madu Lezaaat. Seratus Persen Alami. 200 Yen Secangkir!’”

“Apa beruang bisa menghitung uang?”

“Tentu saja. Masakichi pernah hidup dengan manusia waktu masih kecil, dan mereka mengajarinya cara berbicara dan cara menghitung uang. Masakichi adalah beruang yang sangat istimewa. Karena itulah beruang-beruang lain, yang tidak begitu istimewa, sering menjauhinya.”

“Mereka menjauhinya?”

“Ya. Mereka akan berkata, ‘Hei, coba lihat, dia pikir dirinya begitu istimewa’ dan kemudian menjauhinya. Terutama Tonkichi, si beruang kuat. Ia sangat membenci Masakichi.”

“Kasihan Masakichi”

“Ya, kasihan sekali dia. Sementara itu orang-orang akan berkata, ‘Memang sih dia bisa berbicara dan berhitung dan sebagainya, tetapi tetap saja, pada dasarnya ia cuma seekor beruang kan.’ Jadi Masakichi tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari dunia beruang maupun dunia manusia.”

“Apa dia tidak punya teman?”

“Tidak satupun. Beruang tidak sekolah seperti manusia, jadi tidak ada tempat bagi mereka untuk menjalin pertemanan.”

“Apakah kau punya teman, Jun?” “Paman Junpei” terlalu panjang bagi Sala, jadi dia selalu memanggilnya dengan “Jun” saja.

“Ayahmu adalah teman terbaikku sejak dulu. Begitu pula Ibumu.”

“Punya teman itu bagus.”

“Benar sekali,” kata Junpei.

Junpei sering mengarang cerita untuk Sala sebelum ia beranjak tidur. Dan setiap kali ada hal-hal yang tidak ia mengerti, Sala akan meminta Junpei menjelaskannya. Junpei selalu berpikir cukup keras untuk menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan Sala seringkali tajam dan menarik, dan sementara Junpei berpikir, ia kadang-kadang juga memperoleh ide baru untuk kelanjutan ceritanya.

Sayoko datang membawa segelas susu hangat.

“Junpei sedang bercerita tentang Masakichi si beruang madu,” kata Sala. “Dia beruang madu nomor satu di dunia, tetapi dia tidak punya teman.”

“Oh ya? Apakah dia adalah beruang yang besar?” Sayoko bertanya.

Sala menoleh ke arah Junpei dan menatapnya tajam, menagih jawaban. “Apakah Masakichi berbadan besar?”

“Tidak terlalu besar,” kata Junpei. “Dia bahkan tergolong kecil untuk ukuran beruang. Kira-kira sebesar kamu, Sala. Dan dia adalah beruang kecil yang manis. Dia tidak menyukai musik rock atau punk atau semacamnya. Ia lebih suka mendengarkan Schubert seorang diri.”

“Dia senang mendengarkan musik?” Sala bertanya. “Apa dia punya pemutar CD atau semacamnya?”

“Ia pernah menemukan sebuah boom box tergeletak di jalan setapak pada suatu hari. Diambilnya benda itu dan dibawanya pulang.”

“Kenapa semua benda-benda itu bisa tergeletak begitu saja di gunung?” Sala bertanya dengan sedikit rasa curiga.

Well, gunung itu sangat terjal, dan para pendaki sering kelelahan dan merasa bahwa beban yang dibawanya terlalu berat, dan mereka akan membuang banyak sekali barang yang mereka pikir tidak begitu diperlukan. Mereka membuangnya begitu saja di tepi jalan. ‘Ransel ini berat sekali sih, aku seperti mau mati rasanya kalau begini! Ember ini sepertinya tidak kuperlukan lagi. Boom box ini sepertinya sudah tidak kuperlukan lagi.’”

“Aku tahu bagaimana perasaan mereka,” kata Sayoko. “Ada kalanya kau seperti ingin membuang saja semuanya.”

“Aku tidak begitu,” Sala berkata.

“Itu karena kau masih muda dan penuh energi, Sala,” kata Junpei. “Cepatlah minum susumu supaya aku bisa melanjutkan lagi ceritanya.”

“Baiklah,” katanya sambil menggenggam gelas dengan kedua tangannya dan meminum susu hangat itu dengan hati-hati. Kemudian dia bertanya, “Mengapa Masakichi tidak membuat pie madu saja lalu menjualnya? Kupikir orang-orang di kota akan lebih menyukainya daripada madu murni biasa.”

“Tepat sekali,” kata Sayoko sambil tersenyum. “Keuntungan yang diperolehnya akan jauh lebih besar.”

“Menciptakan pasar baru dengan memberikan nilai tambah pada produk,” kata Junpei. “Anak ini akan menjadi seorang entrepreneur hebat suatu hari nanti.”

*

Sudah hampir jam 2 malam ketika Sala akhirnya tertidur. Junpei dan Sayoko menunggu sampai ia benar-benar tidur sebelum mereka membuka sekaleng bir untuk diminum berdua di meja dapur. Sayoko tidak begitu suka minum, dan Junpei nanti harus berkendara untuk pulang.

“Maaf sudah menyeretmu ke sini tengah malam begini,” kata Sayoko, “tetapi aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Aku benar-benar kelelahan, dan kamulah satu-satunya yang dapat menenangkannya. Tidak mungkin aku memanggil Takatsuki.”

Junpei mengangguk dan meminum bir setegukan. “Jangan khawatir,” katanya. “Aku selalu terjaga sampai matahari terbit kembali, lagipula jalanan selalu lengang malam-malam begini. Tidak masalah.”

“Kau sedang mengerjakan sebuah cerita?”

Junpei mengangguk.

“Bagaimana perkembangannya?”

“Seperti biasanya. Aku menulisnya. Mereka mencetaknya. Dan tak ada yang pernah membacanya.”

“Aku selalu membaca semua ceritamu.”

“Terima kasih. Kau baik sekali,” kata Junpei. “Tapi cerita pendek memang tidak begitu digemari. Mari berbicara tentang Sala. Apa dia pernah seperti ini sebelumnya?”

Sayoko mengangguk

“Sering?”

“Hampir setiap malam. Kadang kala ketika lewat tengah malam, ia akan berteriak histeris dan melompat meninggalkan tempat tidurnya. Aku tidak bisa membuatnya berhenti menangis Sudah kucoba segala cara.”

“Apa ada yang salah?”

Sayoko meminum bir yang tersisa dan memandang gelas kosong itu.

“Kurasa ia terlalu banyak menonton berita tentang gempa bumi itu di TV. Untuk anak empat tahun, itu terlalu mengerikan. Dia selalu terbangun pada waktu yang sama dengan waktu terjadinya gempa. Katanya, seorang laki-laki yang membangunkannya. Seorang yang tidak dikenalnya. Si Manusia Gempa Bumi. Laki-laki itu berusaha memasukkannya ke dalam kotak yang sagat kecil, terlalu kecil untuk dapat menampung bahkan seorang anak kecil sekalipun. Dia bilang bahwa dia tidak ingin masuk ke sana, dan laki-laki itu kemudian memaksanya, sampai-sampai sendi tubuhnya terasa sakit seperti mau terlepas, dan laki-laki itu berusaha memasukkannya ke dalam kotak. Ketika itulah ia berteriak dan bangun.”

“Manusia Gempa Bumi?”

“Ia berbadan tinggi, bertubuh kurus, dan sudah tua. Setelah memperoleh mimpi itu, Sala selalu berkeliling menyalakan setiap lampu di rumah untuk mencarinya: di lemari, di rak sepatu, di kolong tempat tidur, dan di semua laci yang ada di rumah ini. Aku berusaha memberi tahunya bahwa itu cuma mimpi, namun ia tidak pernah mendengarkanku. Dan dia tidak akan mau tidur sebelum memeriksa semua tempat yang mungkin menjadi tempat persembunyiannya. Butuh waktu paling tidak satu jam, dan aku harus tetap terbangun selama itu. Aku benar-benar kekurangan tidur sampai kesulitan untuk berdiri, belum lagi harus bekerja.”

Sayoko hampir tidak pernah mengeluh seperti itu sebelumnya.

“Cobalah untuk tidak menonton berita di televisi,” kata Junpei. “Akhir-akhir ini mereka hanya menyiarkan berita tentang gempa bumi itu saja.”

“Aku hampir tidak pernah sama sekali menonton televisi lagi. Tapi sudah terlambat sekarang. Manusia Gempa Bumi itu selalu datang.”

Junpei berpikir sebentar.

“Bagaimana kalau kita pergi ke kebun binatang saja hari Minggu nanti? Sala bilang ia ingin melihat beruang sungguhan.”

Sayoko menyipitkan mata menatapnya. “Tidak buruk. Itu mungkin bisa mengubah suasana hatinya. Ayo ke kebun binatang, kita berempat. Sudah lama sekali. Kau teleponlah Takatsuki, oke?”

*

Junpei berusia tiga puluh enam, lahir dan besar di Kobe, kota di mana ayahnya memiliki sepasang toko perhiasan. Ia memiliki seorang adik perempuan berusia enam tahun lebih muda darinya. Setelah selama setahun belajar di sekolah swasta khusus, ia pun diterima di Universitas Waseda di Tokyo. Ia berhasil lulus ujian masuk untuk jurusan bisnis dan sastra. Ia memilih jurusan sastra tanpa ragu dan mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia masuk jurusan bisnis. Mereka tidak akan membiayainya jika mengetahui bahwa ia akan kuliah di jurusan sastra, dan Junpei tidak sudi menghabiskan empat tahunnya yang berharga hanya untuk mempelajari bagaimana sistem ekonomi bekerja. Satu-satunya yang ia inginkan adalah mempelajari sastra, kemudian menjadi seorang penulis.

Di universitas, Junpei berteman dekat dengan dua orang, Takatsuki dan Sayoko. Takatsuki berasal dari daerah pegunungan Nagano. Bertubuh tinggi dan berbahu lebar, ia pernah menjadi kapten tim sepak bola SMA-nya. Ia menghabiskan dua tahun penuh untuk belajar sebelum bisa lolos ujian masuk universitas, jadi dia sebenarnya lebih tua setahun daripada Junpei. Orangnya sangat praktikal dan cepat mengambil keputusan. Ia memiliki penampilan yang membuatnya mudah diterima oleh orang-orang, dan mereka sering memercayainya sebagai pemimpin hanya karena penampilannya itu. Namun ia memiliki masalah membaca buku. Ia masuk jurusan sastra karena hanya jurusan itulah satu-satunya harapannya untuk bisa kuliah di universitas. “Persetan,” ujarnya dengan gaya bicaranya yang positif, “Aku akan menjadi reporter berita, maka biarlah mereka mengajariku cara menulis.”

Junpei tidak bisa memahami mengapa Takatsuki tertarik berteman dengannya. Junpei adalah orang yang senang menyendiri di kamar sambil membaca buku atau mendengarkan musik, dan ia sangat buruk dalam bidang olah raga. Karena sering kikuk dengan orang asing, ia jarang memiliki teman. Meskipun begitu, entah apa alasannya, Takatsuki sepertinya sudah memutuskan sejak pertama kali melihat Junpei di dalam kelas bahwa ia akan menjadikannya teman. Ditepuknya bahu Junpei, kemudian berkata, “Hei, ayo kita mencari sesuatu untuk dimakan.” Dan pada penghujung hari itu, mereka sudah saling menumpahkan isi hati masing-masing. Takatsuki juga menggunakan cara yang sama untuk mendekati Sayoko. Junpei sedang bersama Takatsuki ketika ia menepuk bahu perempuan itu dan berkata, “Hai, bagaimana kalau kita bertiga mencari sesuatu untuk dimakan?” Maka terbentuklah kelompok trio mereka. Junpei, Takatsuki, dan Sayoko selalu melakukan apa saja bersama-sama. Mereka berbagi catatan kuliah, makan siang di kantin, membicarakan tentang masa depan sambil minum kopi, bekerja paruh waktu di tempat yang sama, menonton film atau konser band rock sampai tengah malam, berjalan-jalan menyusuri kota Tokyo, dan minum-minum bir hingga jatuh sakit pun mereka bersama. Kelakuan mereka menunjukkan seolah-olah mereka akan selalu menjadi mahasiswa baru selama-lamanya.

Sayoko adalah gadis Tokyo tulen. Ia berasal dari bagian tertua kota itu, tempat di mana kelas pedagang tinggal sejak berabad-abad silam, dan ayahnya memiliki toko yang menjual pernak-pernik aksesoris yang biasanya dijadikan pelengkap busana tradisional Jepang. Bisnis itu sudah turun-temurun dijalankan oleh keluarga itu, dan telah mampu menarik pelanggan eksklusif termasuk beberapa aktor kabuki terkenal. Sayoko telah berencana untuk melanjutkan pendidikannya hingga S2 di bidang sastra Inggris, dan akan menempuh karir di bidang akademis. Ia rajin sekali membaca, dan ia dan Junpei seringkali bertukar novel dan terlibat obrolan mendalam tentang novel-novel tersebut. Sayoko mempunyai rambut yang indah dan sorot mata yang mamancarkan kecerdasan. Ia terbiasa mengekspresikan dirinya secara kalem dan sederhana, namun jauh di dalam dirinya sebenarnya tersimpan kekuatan yang luar biasa. Cara berpakaiannya juga sederhana, tanpa make up, namun ia memiliki selera humor yang unik, dan wajahnya akan menampilkan ekspresi menggemaskan setiap kali ia berusaha melucu. Junpei berpikir bahwa wajah itu adalah wajah paling cantik sedunia. Belum pernah ia jatuh cinta sebelumnya sampai bertemu dengan Sayoko. Wajar saja, sebab dulu ia sekolah di sekolah khusus untuk anak laki-laki dan hampir tidak pernah sempat bertemu dengan perempuan.

Tetapi Junpei tidak mampu mengungkapkan perasaannya kepada Sayoko. Ia tahu bahwa sekali kata-kata itu terucap maka tidak akan mungkin ditarik kembali, dan Sayoko mungkin akan menjaga jarak darinya. Paling tidak, hubungan akrab di antara Junpei, Takatsuki, dan Sayoko mungkin akan terpengaruh karena itu. Maka Junpei meyakinkan diri untuk menjaga keadaan tetap sebagaimana adanya, untuk sementara, sembari mengamati dan menunggu waktu.

Pada akhirnya, Takatsukilah yang pertama kali bertindak. “Aku benci harus mengatakan ini kepadamu, tetapi aku jatuh cinta pada Sayoko,” ia berkata pada Junpei. “Kuharap kau tidak keberatan.” Waktu itu pertengahan September di tahun kedua mereka. Takatsuki menjelaskan bahwa ia dan Sayoko telah, secara tidak sengaja, terjerat dalam suatu hubungan ketika Junpei sedang pulang kampung pada liburan musim panas yang lalu.

Junpei menatap Takatsuki cukup lama. Butuh waktu baginya untuk mencerna apa yang telah terjadi, dan ketika ia menangkap maksud perkataan itu, rasanya seperti ada sebuah benda berat yang tiba-tiba jatuh dan tenggelam di dalam dirinya. Tidak ada lagi pilihan lain baginya. “Tidak apa-apa,” katanya, “Tidak masalah buatku.”

“Lega mendengarnya!” Takatsuki berkata dengan senyum merekah di wajahnya. “Kaulah satu-satunya yang aku khawatirkan. Maksudku, kita bertiga sudah lama berteman baik, dan hal ini bisa disalah pahami seperti seolah-olah aku telah menyingkirkanmu secara tidak adil. Tapi, bagaimanapun, kadang kala hal seperti ini tidak bisa dielakkan. Jika tidak sekarang, cepat atau lambat pasti akan terjadi. Yang terpenting, aku ingin agar kita bertiga tetap selalu menjadi teman. Oke?”

Junpei menjalani hari-hari selanjutnya di dalam kabut pekat. Ia bolos kelas dan tidak masuk kerja. Sepanjang hari ia hanya berbaring di lantai apartemennya yang hanya terdiri dari satu ruangan, tidak makan apa-apa selain sampah yang masih tersisa di kulkas dan menenggak wiski setiap kali timbul dorongan untuk itu. Ia sempat berpikir untuk berhenti kuliah saja dan pergi ke suatu kota yang jauh di mana ia tidak akan mengenali seorangpun dan akan menjalani sisa tahun-tahun hidupnya dengan bekerja serabutan. Itulah, mungkin, yang terbaik baginya, pikirnya.

*

Pada hari kelima, Sayoko datang ke apartemen Junpei. Ia mengenakan sweater biru gelap dan celana katun putih, dan rambutnya berwarna hitam.

“Ke mana saja kau?” ia bertanya. “Semua orang menyangka kau sudah mati di dalam kamarmu. Takatsuki memintaku untuk memeriksa keadaanmu. Kurasa ia takut jika ia datang dan menemukan mayatmu di dalam kamarmu.”

Junpei berkata bahwa ia sedang tidak enak badan.

“Ya,” katanya, “kau terlihat semakin kurus.” Ia menatapnya. “Mau kubuatkan sesuatu untuk kaumakan?”

Junpei mengusap kepalanya sendiri. Ia sedang tidak bernafsu makan, katanya.

Sayoko membuka kulkas dan melihat isinya. Hanya ada dua kaleng bir, sebuah mentimun busuk, dan sedikit baking soda. Sayoko duduk di sisi Junpei. “Aku tak tahu bagaimana menanyakan ini, Junpei, tapi apakah kau menjadi seperti ini karena hubunganku dengan Takatsuki?”

Junpei berkata bahwa tidak demikian adanya. Dan ia tidak bohong. Ia tidak marah atau kecewa. Kalaupun seandainya ia marah, itu lebih kepada dirinya sendiri. Adalah hal yang wajar bila Takatsuki dan Sayoko saling mencintai dan menjadi sepasang kekasih. Takatsuki sangat pantas untuk itu. Sedangkan Junpei sama sekali tidak. Sesederhana itulah.

“Kau mau berbagi sekaleng bir denganku?” Sayoko bertanya.

“Tentu.”

Ia mengambil sekaleng bir dari kulkas dan menuang isinya separuh-separuh ke dalam dua gelas lalu menyerahkan satu kepada Junpei, Mereka meminumnya dalam diam.

“Aku malu mengatakan ini,” katanya, “tapi aku ingin kita tetap berteman, Junpei. Tidak hanya sekarang, tapi sampai kita tua, bahkan jauh setelah itu. Sampai kita sangat-sangat tua. Aku mencintai Takatsuki, tapi aku juga membutuhkanmu dalam cara yang berbeda. Apakah aku ini egois?”

Junpei tidak tahu bagaimana menjawab itu, dan ia mengusap kepalanya.

Sayoko berkata, “Bisa memahami sesuatu, dan bisa membuat sesuatu itu menjadi hal nyata yang dapat kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri adalah dua hal yang berbeda. Seandainya kau mampu melakukan keduanya, hidup akan menjadi jauh lebih mudah.”

Junpei menatap wajah Sayoko. Ia tidak mengerti apa yang dimaksudnya. Mengapa otakku selalu lamban? Ia mengeluh. Ditengadahkannya kepalanya, dan untuk waktu yang sangat lama ia menerawang memandangi sebercak noda di langit-langit. Bagaimana jadinya seandainya dialah yang lebih dulu mengungkapkan perasaannya kepada Sayoko sebelum Takatsuki? Junpei tidak mungkin mengetahui jawaban atas pertanyaan itu. Satu-satunya yang ia tahu adalah bahwa hal itu tidak akan mungkin lagi terjadi.

Didengarnya suara air mata menetes jatuh di tatami. Suara itu menggema memenuhi ruangan, begitu jelas terdengar, namun begitu tak wajar. Untuk beberapa saat dia mengira itu adalah air matanya sendiri, bahwa dia telah menangis tanpa disadarinya. Namun kemudian ia tahu bahwa itu adalah air mata Sayoko. Ia telah menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya sejak tadi, dan sekarang, meski tanpa suara, namun bahunya bergetar hebat.

Tanpa benar-benar menyadari apa yang sedang dilakukannya, Junpei merangkul bahu Sayoko, kemudian menariknya pelan-pelan ke arah tubuhnya. Ia tidak menolak. Junpei melingkarkan lengannya ke tubuh Sayoko dan menempelkan bibirnya di bibir Sayoko. Sayoko menutup mata dan membiarkan bibirnya terbuka. Junpei dapat mencium aroma air mata dan ia menghela nafas melalui mulut. Ia dapat merasakan payudara Sayoko yang kenyal menempel di tubuhnya. Seperti ada yang bergerak di dalam dirinya, sesuatu yang terdengar seperti bunyi sendi yang bergesekan. Namun semua itu berakhir sampai di situ saja. Seolah menyadari apa yang telah terjadi, Sayoko menarik wajahnya dan menundukkan kepala, mendorong Junpei menjauh.

“Tidak,” ia berkata, nyaris seperti berbisik, sambil menggelengkan kepalanya. “Kita tidak seharusnya melakukan ini. Ini tidak benar.”

Junpei meminta maaf. Sayoko diam saja. Dan untuk waktu yang sangat lama, mereka berdua terdiam. Suara radio masuk melalui jendela yang terbuka. Sebuah lagu yang sedang populer. Junpei yakin bahwa ia pasti akan terus mengingat lagu itu hingga hari kematiannya tiba. Namun kelak, ternyata, sekeras apa pun ia berusaha, ia tidak pernah bisa mengingat kembali judul lagu itu.

“Kau tidak perlu minta maaf,” kata Sayoko. “Itu bukan salahmu.”

“Kurasa aku sedang bingung,” Junpei berkata sejujurnya.

Sayoko menggerakkan tangannya memegang tangan Junpei. “Kembalilah ke kampus, oke? Besok. Aku tidak pernah mempunyai teman seperti dirimu sebelumnya. Kau memberiku sangat banyak hal. Kuharap kau mengerti itu.”

“Sangat banyak, tapi tidak cukup,” katanya.

“Itu tidak benar,” kata Sayoko. “Sangat tidak benar.”

*

Junpei masuk kelas keesokan harinya, dan persahabatan di antara ketiganya, Junpei, Takatsuki, dan Sayoko, terus berlanjut hingga mereka lulus. Keinginan sesaat Junpei untuk menghilang telah sirna begitu saja dengan sendirinya. Dengan memeluk dan mencium bibirnya hari itu, sesuatu yang bergolak di dalam diri Junpei menjadi tenang. Paling tidak ia tak lagi merasa kebingungan. Keputusan sudah dibuat, walaupun bukan dia yang membuatnya.

Sayoko kadang memperkenalkan Junpei dengan teman sekelasnya, lalu mereka akan melakukan kencan ganda. Salah satu di antara gadis-gadis itu sering ditemuinya, dan dengan gadis itulah ia pertama kali berhubungan seks, tepat sebelum usianya beranjak dua puluh. Namun hatinya selalu berada di tempat lain. Ia menghargainya, selalu bersikap baik dan berkata lembut kepadanya, namun ia tidak pernah benar-benar menginginkannya dan tidak pula setia kepadanya. Gadis itu pun berpaling kepada lelaki lain untuk mencari kehangatan sejati. Cerita yang sama selalu berulang, lagi dan lagi.

Ketika lulus, orang tua Junpei mengetahui kalau anaknya ternyata kuliah di jurusan sastra alih-alih ekonomi, dan situasi jadi memburuk. Ayahnya menginginkan Junpei meneruskan bisnis keluarga mereka namun Junpei tidak ingin melakukannya. Ia ingin tetap di Tokyo dan menulis fiksi. Tidak ada celah untuk berkompromi dari kedua belah pihak, dan argumen-argumen kasar pun terlontar. Kata-kata yang tidak pantas akhirnya terucapkan. Junpei tidak pernah bertemu orang tuanya lagi semenjak itu, dan ia yakin itu lebih baik. Tidak seperti adik perempuannya yang selalu bisa menemukan cara untuk berkompromi secara baik-baik dengan orang tuanya, Junpei selalu saja bertengkar dengan mereka sejak kecil.

Junpei bekerja paruh waktu di beberapa tempat demi mencukupi kebutuhan hidupnya sembari tetap menulis fiksi. Setiap selesai menulis sebuah cerita, ia menunjukkannya kepada Sayoko yang akan memberikan pendapatnya, kemudian ia akan merevisinya berdasarkan masukan darinya. Sampai Sayoko menyatakan bahwa cerita itu sudah bagus, Junpei akan selalu menulis ulang, lagi dan lagi, dengan sabar dan hati-hati. Ia tidak punya mentor selain Sayoko, dan tidak pula tergabung dalam kelompok penulis manapun.

Ketika ia berusia dua puluh empat, salah satu ceritanya memenangkan penghargaan dari sebuah majalah sastra, dan selama beberapa tahun setelah itu Junpei dinominasikan untuk memperoleh penghargaan Akutagawa sebanyak empat kali, namun ia tidak pernah menjadi pemenang. Ia selalu hanya menjadi juara harapan. Dewan juri seringkali berkata, “Untuk seorang penulis muda, tulisan ini memiliki kualitas yang sangat tinggi, dengan plot dan analisis psikologis yang luar biasa. Namun penulisnya memiliki kecenderungan untuk membiarkan sentimen pribadinya mengambil alih, dan karyanya kurang segar dan kurang memiliki sentuhan novelistik.”

Takatsuki akan tertawa mendengarkan pendapat itu. “Orang-orang ini sedang tidak waras. Apa pula artinya sentuhan novelistik itu. Orang-orang normal tidak pernah menggunakan kata-kata seperti itu. ‘Sukiyaki ini kekurangan sentuhan beefstick.’ Pernahkah kau mendengar ada orang berbicara begitu?”

Junpei menerbitkan dua volume kumpulan cerpen sebelum usianya beranjak tiga puluh: “Horse in the Rain” dan “Grapes.” “Horse in the Rain” terjual sepuluh juta kopi, “Grapes” dua belas juta. Bukan jumlah yang buruk untuk suatu kumpulan cerpen, kata editornya. Secara umum, review yang diterimanya cukup positif, meskipun tidak satupun yang benar-benar memujinya. Kebanyakan cerita karangan Junpei adalah tentang anak muda yang terjerat dalam kisah cinta tak terbalas. Gaya bahasanya liris, plot ceritanya cenderung sederhana. Para pembaca generasinya rata-rata lebih menyukai gaya tulisan baru dengan plot yang kompleks. Lagipula, ini sudah zaman video game dan musik rap. Editornya mendorong Junpei untuk menulis novel. Jika tidak pernah menulis hal lain selain cerpen, dia hanya akan terus menerus berkutat dengan materi yang sama. Menulis novel dapat membantu seorang penulis membuka dunia yang baru. Alasan yang lebih praktisnya, novel lebih menarik banyak pembaca daripada cerpen. Menjadi seorang penulis cerpen bukanlah profesi yang menjanjikan pendapatan yang baik.

Namun Junpei adalah seorang penulis cerpen dari sononya. Ia akan mengurung diri di kamar, tidak peduli pada segala hal lain, kemudian setelah tiga hari penuh berkonsentrasi, ia akan membawa keluar draft pertamanya. Setelah empat hari lagi menulis, ia akan menyerahkan skrip kepada Sayoko dan Editornya untuk dibaca. Selama sepekan awal itulah pertarungan terberatnya. Selama waktu itulah segala sesuatunya tergabung menjadi sebuah cerita utuh. Begitulah caranya bekerja: berkonsentrasi penuh pada usaha keras dalam beberapa hari. Junpei tidak bisa membayangkan betapa melelahkannya bila ia harus menulis novel. Bagaimana mungkin ia dapat mempertahankan konsentrasinya selama berbulan-bulan sekaligus? Itu hal yang sangat mengerikan buatnya.

Gaya hidupnya sebagai seorang bujangan membuat Junpei tidak butuh terlalu banyak uang. Bila pendapatannya diras sudah cukup untuk membiayai hidupnya selama beberapa waktu ke depan, ia akan berhenti bekerja. Hanya seekor kucing pemalas yang perlu diurusnya. Pacar-pacarnya, selalu merupakan gadis yang tidak banyak menuntut, dan bila ia sudah bosan dengan mereka, ia akan mulai menunjukkan sinyal-sinyal untuk mengakhiri hubungan. Kadang kala, mungkin sebulan sekali, ia akan terbangun di tengah malam dengan perasaan yang mirip dengan panik. Aku akan terus-terusan begini, tidak akan pernah beranjak ke manapun, katanya pada diri sendiri. Akku mungkin bisa berusaha sekuat tenagaku namun keadaan ini tidak akan dapat kuubah. Maka dia kemudian akan menyeret dirinya ke meja kerja untuk menulis, atau minum-minum hingga tak sadarkan diri lagi.

Takatsuki berhasil mendapatkan pekerjaan yang selalu diinginkannya, menjadi reporter surat kabar ternama. Nilai-nilai yang diperolehnya selama di universitas sebenarnya tidak cukup bagus, mengingat ia tidak pernah serius belajar, namun kesan-kesan yang diberikannya ketika wawancara kerja sangat positif sehingga ia pun langsung diterima. Sayoko melanjutkan S2 sebagaimana yang direncanakannya. Mereka menikah enam bulan setelah lulus, dengan pesta yang meriah. Mereka berbulan madu di Prancis dan membeli sebuah apartemen dua ruangan di dekat pusat kota. Junpei sering berkunjung untuk makan malam bersama, beberapa kali dalam seminggu, dan selalu disambut hangat oleh pengantin baru itu. Selah-olah mereka selalu merasa lebih nyaman dengan kehadiran Junpei daripada jika hanya berdua saja.

Takatsuki menyukai pekerjaannya di surat kabar. Tugas pertama yang diterimanya adalah meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi di kota itu, dan ia jadi harus sering keluyuran ke sana ke mari meliput peristiwa-peristiwa tragis. “Sekarang aku bisa melihat mayat tanpa merasakan apa-apa sama sekali,” katanya. Tubuh-tubuh yang hancur tertabrak kereta, yang hangus terbakar, bangkai-bangkai yang telah menghitam, korban tenggelam yang paru-parunya pecah, otak yang berceceran dari kepala yang tertembus peluru. “Bagian-bagian tubuh manapun yang membedakanmu dengan orang lain ketika masih hidup, sama saja ketika kau sudah mati,” katanya. “Cuma seonggok daging yang tak lagi berguna.”

Takatsuki kadang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai tidak bisa pulang sampai pagi. Lalu Sayoko akan menelepon Junpei. Ia tahu Junpei selalu terbangun sepanjang malam.

“Kau sedang sibuk? Bisa ngobrol sebentar?”

“Tentu saja,” ia akan berkata. “Aku tidak sedang melakukan apa-apa.”

Mereka akan membicarakan buku-buku yang baru saja mereka baca, atau hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kemudian mereka akan membicarakan masa lalu yang telah jauh berlalu, ketika mereka masih bebas dan bisa melakukan apa saja sesuka hati. Percakapan seperti itu akan menghadirkan kembali ingatan ketika junpei mendekap Sayoko: kelembutan sentuhan bibirnya, kenyal payudaranya, cahaya transparan matahari musimgugur yang jatuh ke permukaan tatami-- hal-hal yang tak pernah beranjak jauh-jauh dari benaknya.

Belum lama menginjak usia tiga puluh, Sayoko hamil. Waktu itu ia sedang bekerja sebagai asisten profesor, namun mengambil cuti dari pekerjaannya demi melahirkan seorang bayi perempuan. Mereka bertiga masing-masing mengusulkan nama untuk gadis bayi itu, namun pada akhirnya, nama yang diusulkan Junpei lah yang diterima-- Sala. “Aku suka mendengarnya.” Sayoko memberitahunya. Tidak ada masalah berarti selama proses melahirkan itu, dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang telah lama, Junpei dan Takatsuki menemukan diri mereka hanya berdua saja, tanpa Sayoko. Junpei membawa malt untuk merayakan kelahiran bayi itu, dan mereka meminumnya bersama-sama sampai habis di dapur.

“Mengapa waktu cepat sekali bergulir?” Takatsuki bertanya penuh arti. Hal yang jarang sekali dilakukannya. “Rasanya baru kemarin aku adalah mahasiswa baru, lalu bertemu denganmu, dan bertemu Sayoko, lalu hal selanjutnya yang kutahu, tiba-tiba aku menjadi seorang ayah. Aneh. Seperti menonton film yang diputar cepat. Kau mungkin tidak mengerti bagaimana rasanya, Junpei. Kau masih menjalani kehidupan yang sama seperti waktu kuliah. Kau masih seperti mahasiswa. Betapa beruntung dirimu.”

“Tidak seberuntung itu,” kata Junpei, namun ia bisa memahami bagaimana perasaan Takatsuki. Sayoko sudah menjadi seorang ibu. Itu juga adalah sebuah kejutan bagi Junpei sebagaimana Takatsuki. Roda gigi kehidupan telah bergeser maju dengan suara keretak yang keras, dan Junpei tahu mereka tidak mungkin dapat berbalik lagi. Yang tidak dimengertinya adalah bagaimanakah sebaiknya ia menerima dan menghadapi semua itu.

“Aku tidak dapat mengatakan ini kepadamu sebelumnya,” Takatsuki berkata, “tapi cukup yakin bahwa Sayoko lebih menyukaimu daripada aku.” Ia sedang mabuk, namun ada sorot serius di matanya ketika mengatakan itu. Sorot mata yang tidak seperti biasanya.

“Itu gila! Tidak mungkin,” kata Junpei berusaha tersenyum.

“Tentu saja, gila. Aku tahu yang kukatakan ini benar. Kau mungkin tahu bagaimana menuliskan kata-kata di atas kertas, tapi kau tidak tahu bagaimana membaca perasaan perempuan. Seonggok mayat yang tenggelam bisa melakukannya dengan lebih baik daripada kau. Kau tidak mengerti bagaimana perasaanya kepadamu, dan kupikir, persetan, aku mencintainya, dan aku harus memilikinya. Aku masih berpikir dia adalah perempuan terbaik di dunia. Aku masih berpikir bahwa aku berhak memilikinya.”

“Tak ada yang bilang kau tidak berhak,” kata Junpei.

Takatsuki mengangguk. “Tapi kau masih belum mengerti. Kalau menyangkut hal-hal yang agak penting, kau ini benar-benar bodoh. Aku heran bagaimana kau bisa mengarang cerita fiksi.”

“Yah. Well, itu hal yang berbeda.”

Tapi, bagaimanapun, sekarang kita berempat.” Takatsuki berkata dengan nafas berat terhembus. “Kita berempat. Empat. Apa itu tidak masalah?”

*

Junpei akhirnya mendengar bahwa Takatsuki dan Sayoko akan bercerai, tepat sebelum ulang tahun Sala yang ke dua. Sayoko tampak merasa bersalah ketika membeberkan hal tersebut kepada Junpei. Takatsuki sudah menjalin hubungan dengan wanita lain sejak Sayoko hamil, dan ia hampir tidak pernah pulang ke rumah lagi, Sayoko menjelaskan.

Junpei hampir tidak dapat mempercayai apa yang baru saja didengarnya, tidak peduli sebanyak apapun detil yang diceritakan Sayoko kepadanya. Mengapa Takatsuki menginginkan wanita lain? Ia sendiri pernah mengakui bahwa Sayoko adalah perempuan terbaik yang dia kenal pada malam Sala lahir, dan kata-kata itu terdengar begitu tulus dari dalam hatinya. Selain itu, bagaimana dengan Sala? “Maksudku, aku sering datang ke rumah kalian, makan malam bersama kalian, kan? Tapi aku tidak pernah merasakan ada sesuatu yang salah di antara kalian. Kalian adalah wajah kebahagiaan itu sendiri, sebuah keluarga yang sempurna.”

“Itu benar,” kata Sayoko. “Kami tidak pernah berusaha berbohong atau berpura-pura di hadapanmu. Tapi di luar itu semua ia memiliki wanita lain, dan kami tidak mungkin lagi memperbaiki keadaan menjadi seperti semula. Jadi kami memutuskan untuk berpisah. Tak usah terlalu memikirkannya. Aku yakin segalanya akan baik-baik saja, meskipun tidak seperti dulu lagi.”

Sayoko dan Takatsuki bercerai beberapa bulan kemudian. Mereka telah bersepakat tanpa ada masalah sama sekali: tak ada tuntutan, tak ada yang diperkarakan. Takatsuki tinggal bersama perempuan itu, ia mengunjungi Sala sekali seminggu, dan mereka sepakat meminta agar Junpei selalu hadir pada waktu itu. “Itu akan memudahkan berbagai hal di antara kami,” kata Sayoko pada Junpei. Dia tiba-tiba merasa jadi jauh lebih tua meskipun usianya baru tiga puluh tiga.

Setiap kali mereka bersama-sama, Takatsuki selalu berbicara banyak seperti biasanya, dan Sayoko selalu terlihat sangat biasa saja seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Kalaupun ada yang agak berbeda, itu adalah Sayoko, yang telah menjadi jauh lebih lepas daripada yang biasa Junpei perhatikan. Sala tidak mengetahui bahwa orang tua mereka bercerai. Dan Junpei memainkan perannya dengan sempurna. Mereka bertiga mengobrol tentang masa-masa yang telah berlalu seperti biasanya dan kadang melemparkan lelucon dan tertawa.

“Junpei, katakan padaku,” Takatsuki berkata, pada suatu malam bulan Januari ketika mereka berdua sedang berjalan pulang dan udara sedang begitu dingin hingga nafas mereka beruap putih. “Apa kau punya rencana untuk menikah dengan seseorang?”

“Sekarang belum,” kata Junpei.

”Tak ada pacar?”

“Tidak.”

“Bagaimana kalau kau menikahi Sayoko saja?”

Junpei menatap Takatsuki dengan mata dipicingkan seperti sedang melihat sesuatu yang bersinar terang. “Mengapa begitu?” ia bertanya.

“Apa maksudmu, ‘mengapa begitu?’ Bukankah sudah jelas! Kaulah satu-satunya yang kuharapkan menjadi ayah bagi Sala.”

“Apakah itu satu-satunya alasan sehingga aku harus menikah dengan Sayoko?”

Takatsuki menghembuskan nafas panjang dan merangkul pundak Junpei dengan tangannya yang kekar.

“Ada apa? Apakah kau tidak ingin menikahi Sayoko? Ataukah itu karena kau merasa tidak enak kepadaku?”

“Bukan itu yang mengusikku. Aku hanya tak habis pikir bagaimana mungkin kau bisa menjadikan ini sebagai semacam perjanjian biasa. Ini perkara pantas atau tidak pantas.”

“Ini bukan perjanjian sebagaimana yang kau kira,” kata Takatsuki. “Dan tidak ada hubungannya dengan pantas atau tak pantas. Kau mencintai Sayoko kan? Kau juga mencintai Sala kan? Itulah yang paling panting. Aku tahu kau punya pemikiran sendiri. Oke. Silakan. Tetapi bagiku kau hanya seperti berusaha melepas celana dalam padahal masih mengenakan celana.”

Junpei tidak mengatakan apa-apa, dan Takatsuki pun lama tenggelam dalam diam yang tidak biasa. Mereka berjalan berdampingan menuju stasiun dengan nafas beruap karena udara yang dingin.

“Bagaimanapun juga,” kata Junpei, “kau tetap laki-laki yang sangat bodoh.”

“Harus kuakui,” kata Takatsuki, “kau benar dalam hal itu. Aku tidak menyangkalnya. Aku menjalani kehidupanku sendiri. Tapi biar kuberi tahu kau, Junpei, aku tak mungkin menghindari hal ini. Aku tak bisa menghentikannya. Itu terjadi begitu saja. Aku, seperti kau, juga tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Dan kalau tidak sekarang, hal ini tetap akan terjadi cepat atau lambat.”

Junpei merasa pernah mendengarkan itu sebelumnya. “Kau ingat apa yang kau katakan padaku pada malam ketika Sala lahir? Bahwa Sayoko adalah wanita terbaik di dunia, dan bahwa kau tidak akan mungkin menemukan seorangpun yang dapat menggantikannya.”

“Dan itu benar, bahkan sampai sekarang. Tidak ada yang berubah mengenai itu. Namun fakta itulah yang kadang-kadang malah menjadikan keadaan memburuk.”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” kata Junpei.

“Dan kau tidak akan pernah mengerti,” Takatsuki berkata sambil menggelengkan kepala. Selalu saja kata-katanyalah yang mengakhiri percakapan.

*

Dua tahun berlalu. Sayoko tidak lagi melanjutkan pekerjaannya mengajar di universitas. Junpei mempunyai teman seorang editor yang ingin menerjemahkan suatu naskah cerita, dan ia meminta Sayoko melakukannya. Dan Sayoko melakukan pekerjaan itu dengan sangat baik. Editor itu cukup terkesan dan meminta bantuannya lagi selama beberapa bulan selanjutnya. Bayarannya tidak terlalu banyak, namun cukup untuk menambahi uang yang dikirim Takatsuki untuk Sayoko dan Sala hingga mereka dapat hidup dengan cukup nyaman.

Mereka selalu bertemu paling tidak sekali dalam sepekan, sebagaimana biasanya. Kalaupun Takatsuki tidak bisa datang karena suatu urusan penting, Sayoko, Junpei, dan Sala akan makan bersama. Memang suasana jadi lebih sepi tanpa kehadiran Takatsuki, dan obrolan akan lebih banyak membahas hal-hal tak penting. Apabila ada orang asing yang kebetulan menyaksikan mereka, ia akan menyangka bahwa mereka adalah keluarga biasa.

Junpeii secara tertaur tetap menulis cerpen, dan menerbitkan kumpulan cerpen keempatnya, “Silent Moon,” di usianya yang ke tiga puluh lima. Kumpulan cerita itu menerima penghargaan yang diperuntukkan bagi penulis-penulis yang sudah punya nama, dan judul ceritanya dijadikan judul sebuah film. Junpei juga menerbitkan kumpulan tulisan kritiknya musik, menulis buku tentang berkebun cara oriental, dan menerjemahkan kumpulan cerpen John Updike. Semuanya diterima cukup baik oleh pembaca. Sedikit demi sedikit ia semakin mengukuhkan namanya sebagai seorang penulis, dengan menulis dan menghasilkan karya secara teratur, dan mendapatkan penghasilan yang stabil.

Ia terus memikirkan secara serius mengenai rencananya melamar Sayoko. Tak jarang ia tak bisa tidur semalaman karena memikirkannya, dan suatu kali, pernah sampai dirinya tidak dapat bekerja. Namun masih saja ia belum mampu memutuskan. Semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bahwa hubungannya dengan Sayoko selalu lebih ditentukan oleh orang lain. Dirinya selalu berposisi pasif. Takatsukilah yang telah menjadikan mereka sebagai sahabat. Kemudian dia menikahi Sayoko, punya anak dengannya, dan menceraikannya. Dan sekarang, Takatsuki pula yang mendorong Junpei untuk menikahi Sayoko. Junpei tentu saja mencintai Sayoko. Tidak ada keraguan dalam hal itu. Dan ini adalah waktu yang tepat baginya untuk bisa hidup bersamanya. Sayoko kemungkinan besar tidak akan menolaknya. Namun Junpei tidak dapat tidak berpikir bahwa segalanya terlalu mudah. Ia bahkan hampir tidak perlu mengambil keputusan apa-apa lagi. Tetapi justru itu yang membuatnya tak habis pikir. Dan tidak juga memutuskan. Dan kemudian, terjadilah peristiwa gempa bumi itu.

*

Junpei sedang berada di Barcelona ketika itu, menulis cerita untuk sebuah majalah maskapai penerbangan. Waktu kembali ke hotel pada malam harinya, ia melihat berita di TV penuh gambar gedung-gedung runtuh dan kepulan asap hitam. Terlihat seperti baru saja terjadi pengeboman udara. Karena penyiar berita berbicara dalam bahasa Spanyol, butuh waktu cukup lama sebelum Junpei akhirnya mengenali kota itu. “Kau berasal dari Kobe kan?” fotografernya bertanya.

Tetapi Junpei tidak berusaha menghubungi orang tuanya. Jurang itu sudah terlalu dalam, dan sudah ada terlalu lama sehingga tidak ada lagi harapan untuk diperbaiki. Junpei terbang kembali ke Tokyo dan melanjutkan kehidupan normalnya di sana. Ia tidak pernah menyetel televisi, dan hampir tidak pernah membaca koran. Setiap kali topik tentang gempa bumi itu muncul, ia akan menutup mulut sama sekali. Ada kenangan masa lalu yang berusaha dikuburnya dalam-dalam. Ia tidak pernah lagi menginjak jalan-jalan itu sejak dirinya lulus kuliah, namun tetap saja bencana yang terjadi itu mampu membuka kembali luka lama yang tersembunyi jauh di dalam hatinya. Peristiwa itu seolah mengubah sisi-sisi tertentu dalam hidupnya, secara perlahan-lahan namun pasti. Junpei merasakan sensasi kesepian yang benar-benar baru. Aku tidak memiliki akar, pikirnya. Aku tidak terhubung dengan apapun.

Minggu pagi-pagi sekali, di hari yang telah mereka rencanakan untuk menemani Sala ke kebun binatang untuk melihat beruang, Takatsuki menelepon menyampaikan kabar bahwa dirinya harus terbang ke Okinawa. Dia akhirnya memperoleh kesempatan untuk mewawancari gubernur secara langsung. “Maaf, sepertinya kalian harus ke kebun binatang tanpaku. Kurasa tuan beruang tidak akan sedih walaupun aku tidak ikut.”

Maka Junpei dan Sayoko menemani Sala ke kebun binatang Ueno. Junpei menuntun Sala, memegang tangannya, dan membawanya melihat beruang. Ia menunjuk beruang paling besar dan paling hitam dan bertanya, “Apakah itu Masakichi?”

“Bukan, bukan, itu bukan Masakichi,” kata Junpei. “Masakichi lebih kecil dari beruang itu, dan juga terlihat lebih pandai darinya. Itu Tonkichi, si kuat.”

“Tonkichi!” Sala berteriak-teriak memanggil, namun beruang itu tidak mengindahkannya. Kemudian ia menatap Junpei dan berkata, “Ceritakan kepadaku kisah Tonkichi.”

“Itu cerita yang sulit,” kata Junpei. “Tidak banyak cerita menarik tentang Tonkichi. Ia cuma beruang biasa. Ia tidak bisa bicara atau menghitung uang seperti Masakichi.”

“Tetapi pasti kau bisa menceritakan sesuatu yang baik tentangnya. Satuu saja.”

“Kau benar sekali,” kata Junpei. “Ada satu hal baik yang dapat diceritakan tentang beruang paling biasa sekalipun. Oh, ya, aku hampir lupa. Well, Tonchiki-”

“Ton-ki-chi!” Sala mengoreksinya dengan tak sabar.

“Ah, ya, maaf. Well, Tonkichi dapat melakukan satu hal dengan sangat baik, dan itu adalah menangkap salmon. Ia akan pergi ke sungai dan membungkuk di belakang sebuah batu besar lalu, set!-- ia akan menangkap seekor salmon. Kau harus bergerak sangat cepat untuk bisa melakukan itu. Tonkichi bukan beruang paling cerdas di gunung itu, tapi ia bisa menangkap lebih banyak salmon daripada beruang-beruang lainnya. Lebih banyak daripada yang mampu ia makan seorang diri. Tapi dia tidak bisa pergi ke kota dan menjual salmon tangkapannya, sebab dia tidak tahu cara berbicara.”

“Gampang,” kata Sala. “Ia hanya perlu menukar salmonnya dengan madu Masakichi.”

“Kau benar,” kata Junpei. “Dan itulah yang kemudian dilakukan Tonkichi. Jadi Tonkichi dan Masakichi mulai saling bertukar salmon dan madu, dan tak lama kemudian mereka mulai saling mengenal satu sama lain dengan baik. Tonkichi menyadari bahwa Masakichi bukanlah beruang yang sombong sama sekali, dan Masakichi menyadari bahwa Tonkichi bukan sekedar beruang yang kuat, tapi lebih dari itu. Merekapun menjadi sahabat. Tonkichi bekerja keras menangkap salmon, dan Masakichi bekerja keras mengumpulkan madu. Tetapi kemudian, suatu hari, bagai petir di siang bolong, ikan-ikan salmon menghilang dari sungai.”

“Petir di siang bolong?”

“Seperti petir menyambar di siang bolong,” Sayoko menjelaskan. “Secara tiba-tiba, tanpa tanda-tanda sebelumnya.”

“Salmon-salmon itu tiba-tiba menghilang?” Sala bertanya dengan ekspresi sedih. “Kenapa?”

“Well, seluruh salmon di dunia berkumpul dan memutuskan bahwa mereka tidak akan berenang ke sungai itu lagi, sebab ada beruang bernama Tonkichi di sana, dan ia sangat mahir menangkap salmon. Tonkichi tidak pernah lagi bisa menangkap salmon yang besar setelah itu. Paling-paling hanya satu dua salmon kurus yang terpaksa harus dimakannya meskipun rasanya sangat tidak enak.”

“Kasihan Tonkichi!” kata Sala.

“Apakah karena itu Tonkichi akhirnya dimasukkan ke kebun binatang?” Sayoko bertanya.

“Well, ceritanya sangat-sangat panjang,” kata Junpei, berdeham membersihkan tenggorokannya. “Tapi, pada intinya, itulah sebabnya.”

“Mengapa Masakichi tidak membantu Tonkichi?” Sala bertanya.

“Ia sudah berusaha. Mereka kan sahabat baik. Itulah gunanya punya teman baik. Masakichi membagi madunya dengan Tonkichi secara gratis. Tapi Tonkichi berkata, ‘Aku tidak bisa melakukan itu. Itu sama saja aku memanfaatkanmu.’ Masakichi bilang, ‘Kau tidak perlu sungkan-sungkan denganku, Tonkichi. Seandainya aku berada pada posisimu, kau pasti akan melakukan hal yang sama padaku, aku yakin itu. Benar kan?’”

“Tentu saja,” kata Sala.

“Namun itu tidak belangsung lama,” potong Sayoko.

“Itu tidak berlangsung lama,” kata Junpei. “Tonkichi memberi tahu Masakichi, ‘Kita memang berteman. Tapi ini tidak benar. Kalau salah satu dari kita selalu memberi sedangkan yang lainnya selalu hanya menerima, itu bukan pertemanan yang sejati. Aku harus pergi meninggalkan gunung ini, Masakichi, dan akan mencoba peruntunganku di tempat lain. Dan kalau nanti kita bertemu lagi di suatu tempat, kita akan selalu bersahabat.’ Maka mereka berjabat tangan dan berpisah. Tapi setelah Tonkichi turun gunung, ia tidak punya cukup pengetahuan tentang dunia luar sehingga kurang berhati-hati dan para pemburu berhasil menangkapnya dengan perangkap. Itulah akhir kebebasan Tonkichi. Mereka kemudian mengirimnya ke kebun binatang.”

“Tidak bisakah kau membuat akhir yang lebih baik? Seperti, dan mereka semua hidup bahagia untuk selamanya?” Sayoko bertanya pada Junpei beberapa waktu kemudian.

“Aku belum berpikir sampai ke situ.”

*

Mereka bertiga makan malam bersama sebagaimana biasanya di apartemen Sayoko. Sayoko membuat sepanci spaghetti dan saus tomat sementara Junpei membuat salad kacang hijau dan bawang. Mereka membuka sebotol anggur merah dan menuang segelas orange juice untuk Sala. Setelah selesai makan dan membersihkan dapur, Junpei membacakan buku cerita bergambar pada Sala, namun ketika waktu tidurnya sudah tiba ia menolak untuk segera tidur.

“Mama, lakukan trik bra itu lagi dong,” ia merengek.

Wajah Sayoko memerah. “Tidak bisa sekarang,” katanya. “Sedang ada tamu.”

“Tidak,” kata Sala. “Junpei bukan tamu.”

“Apa sih yang kalian bicarakan?” Junpei bertanya.

“Hanya permainan,” kata Sayoko.

“Mama melepas bra dari balik pakaiannya, meletakkannya di meja, kemudian mengenakannya kembali, dengan satu tangan tetap di meja. Dan kita akan mewaktuinya. Mama jago melakukannya!”

“Sala!” Sayoko mengerang, menggelengkan kepalanya. “Itu cuma permainan kecil yang biasa kami lakukan di rumah. Tidak untuk disaksikan orang lain.”

“Kedengarannya menyenangkan,” kata Junpei.

“Ayo mama, tunjukkan kepada Junpei! Sekali saja. Kalau kau melakukannya aku akan langsung pergi tidur.”

“Oh, demi apa,” Sayoko bergumam. Ia melepas arloji digitalnya dan menyerahkannya kepada Sala. “Kau janji tidak akan menimbulkan masalah lagi sebelum tidur kan? Baiklah, bersiaplah menghitung waktunya begitu kuhitung sampai tiga.”

Sayoko mengenakan sweater longgar berwarna hitam. Ditaruhnya kedua tangan di atas meja kemudian menghitung, “Satu… dua… tiga!” Seperti kepala kura-kura yang bersembunyi ke dalam tempurungnya, tangan kanannya masuk ke dalam lengan sweater, lalu tangan itu meraih ke belakang seperti sedang menggaruk punggung. Tangan kanannya keluar, lalu tangan kirinya menghilang ke dalam lengan sweater. Sayoko menelengkan kepala sedikit, kemudian tangan kirinya muncul memegangg sebuah bra berwarna putih, bra kecil tanpa kawat. Tanpa sedikitpun membuang waktu, tangan dan bra itu masuk kembali ke dalam lengan sweater, lalu tangan itu keluar lagi. Kemudian tangan kanannya masuk, meraih punggungnya, lalu keluar lagi. Selesai. Sayoko meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya di atas meja.

“Dua puluh lima detik,” kata Sala. “Hebat, mama, itu rekor baru! Waktu tercepatmu sebelumnya adalah tiga puluh enam detik.”

Junpei tepuk tangan. “Luar biasa! Seperti sulap.”

Sala bertepuk tangan juga. Sayoko berdiri dan berkata, “Baik, pertunjukan sudah selesai. Sekarang tidurlah gadis kecil. Kau sudah berjanji.”

Sala mencium pipi Junpei kemudian pergi ke kamarnya.

Sayoko menemaninya sampai nafasnya benar-benar dalam dan teratur, kemudian menghampiri Junpei di Sofa. “Aku ingin mengakui sesuatu,” katanya. “Tadi aku curang.”

“Curang?”

“Aku tidak memakai kembali branya. Cuma pura-pura. Kujatuhkan ke lantai lewat belakang sweaterku.”

Junpei tertawa. “Benar-benar ibu yang buruk!”

“Aku ingin memecahkan rekor,” katanya sambil tersenyuman dan matanya menyipit. Sudah lama sekali ia tidak menyaksikan senyum yang begitu sederhana dan mampu meluluhkan hati itu. Waktu mergelayut pada porosnya di dalam diri Junpei, seperti gorden yang tertiup angin. Ia meraih pundak Sayoko, dan Sayoko meraih pundaknya. Mereka berpelukan di atas sofa. Dengan sangat perlahan mereka saling mendekap satu sama lain dan berciuman. Seolah tak ada yang pernah berubah dari sejak mereka masih sembilan belas tahun.

“Kita seharusnya seperti ini sejak semula,” Sayoko berbisik setelah mereka pindah dari sofa ke ranjangnya. “Tapi kau tidak juga mengerti. Kau sama sekali tidak mengerti. Tidak, sebelum semua salmon-salmon itu menghilang dari sungai.”

Mereka melepas pakaian mereka dan saling berpelukan dengan lembut. Mereka saling menautkan jemari dengan kikuk, seolah-olah itu adalah kali pertama bagi mereka berdua berhubungan seks. Mereka melakukannya dengan perlahan tanpa terburu-buru, hingga mereka tahu bahwa mereka benar-benar siap, kemudian, akhirnya Junpei memasuki Sayoko dan Sayoko menuntunnya ke dalam.

Semua kejadian itu terasa bagai mimpi bagi Junpei. Dalam cahaya remang-remang, ia merasa seolah sedang menyeberangi jembatan rapuh yang terus-menerus berayun tanpa henti. Ia bergerak, dan Sayoko juga bergerak bersamanya. Lagi dan lagi, ia ingin muncrat, tetapi ia menahan diri, takut apabila hal itu terjadi, mimpinya akan berakhir dan segalanya menghilang.

Kemudian, di belakangnya, ia mendengar suara derit pelan. Pintu kamar terbuka perlahan. Berkas cahaya yang masuk melewati celah pintu jatuh di permukaan sprei yang kusut. Junpei bangkit dan membalik badannya, dan melihat Sala berdiri di pintu membelakangi cahaya. Sayoko menahan nafas dan menarik pinggulnya menjauh, memaksa Junpei keluar. Sambil berusaha menutupi payudaranya dengan kain, ia merapikan rambutnya dengan satu tangan yang bebas.

Sala tidak menangis atau berteriak. Tangan kanannya memegang gagang pintu, dan ia hanya berdiri di tempat sambil menatap ke arah mereka, namun tidak melihat apa-apa. Tatapannya kosong.

Sayoko memanggil namanya.

“Orang itu menyuruhku ke sini,” Sala berkata dengan nada datar, seperti seseorang yang baru saja diseret keluar dari mimpinya.

“Orang itu?” Sayoko bertanya.

“Manusia Gempa Bumi. Ia datang membangunkanku. Dia menyuruhku untuk mengatakan kepadamu. Katanya kotak itu sudah siap untuk kita semua. Katanya ia menunggu kita dengan tutup terbuka. Katanya aku harus memberi tahumu itu, dan kau akan mengerti.”

Sala tidur bersama Sayoko malam itu. Junpei berbaring di sofa ruang tengah, mengenakan selimut, namun tidak bisa tidur. Untuk waktu yang sangat lama, ia hanya terus menatap layar TV yang mati. Junpei tahu, dulu mereka di dalam situ. Mereka menanti dengan kotak terbuka. Junpei merasakan sensasi dingin menjalari punggungnya, dan, tak peduli seberapa lama pun ia menunggu, sensasi itu tidak juga menghilang.

Ia menyerah berusaha tidur dan menuju dapur. Ia membuat kopi untuk dirinya sendiri kemudian duduk di kursi meja dapur untuk meminumnya, tetapi sesuatu tersentuh oleh kakinya. Itu adalah bra milik Sayoko, masih tergeletak di situ. Ia memungutnya dan menyampirkannya di sandaran kursi. Sehelai pakaian dalam sederhana berwarna putih, polos tanpa hiasan sama sekali. Tersampir di kursi dalam temaram kegelapan menjelang fajar, seolah menjadi saksi bisu yang sudah ada di situ sejak dulu sekali.

Junpei mengingat-ingat hari-hari pertamanya di universitas. Ia masih bisa mendengar Takatsuki, pada pertemuan pertama mereka, berkata, “Hai, ayo kita mencari sesuatu untuk dimakan.” dengan cara bicaranya yang hangat, dan ia dapat melihat senyum ramah Takatsuki yang seolah berkata, “Santailah. Dunia akan selalu membaik dan kian membaik.” Di manakah kami makan waktu itu, Junpei berusaha mengingat, dan apa yang kami makan? Ia tidak mampu mengingatnya, namun ia tahu itu tidak penting.

“Mengapa kau memilihku untuk diajak makan siang?” Junpei pernah mengajukan pertanyaan itu ketika itu. Takatsuki mengetuk pelipisnya dengan ujung jari dengan percaya diri. “Aku punya bakat menemukan teman yang tepat pada waktu yang tepat di tempat yang tepat.”

Dan Takatsuki tidak pernah salah, pikir Junpei, meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Ia memang punya intuisi yang tajam dalam memilih teman. Tapi itu tidaklah cukup. Menemukan seseorang untuk dicintai seumur hidup tidak sama dengan menemukan teman. Junpei memejamkan mata dan memikirkan betapa lama waktu yang telah dilaluinya. Ia tidak ingin menganggap bahwa waktu itu terlewati begitu saja dengan sia-sia baginya.

Begitu Sayoko bangun pagi, ia akan langsung melamarnya, Junpei memutuskan. Ia sudah benar-benar yakin sekarang. Ia tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Dengan sangat hati-hati, ia membuka pintu kamar dan melihat Sayoko dan Sala sedang tidur di bawah selimut. Sala berbaring dengan punggung menghadap Sayoko, dan Sayoko melingkarkan lengannya di tubuh Sala. Junpei menyentuh rambut Sayoko yang terurai jatuh di atas bantal, dan mengelus pipinya yang mungil dan berwarna merah muda dengan ujung jari. Mereka berdua tidak bergerak. Ia duduk di atas karpet lantai di sebelah ranjang, dengan punggung tersandar ke dinding, menjaga mereka dalam tidur.

Dengan mata terpatri pada jarum jam di dinding, Junpei berpikir tentang kelanjutan cerita untuk Sala. Ia harus menemukan cara mengakhiri kisah Masakichi dan Tonkichi. Pasti ada cara untuk menyelamatkan Tonkichi dari kebun binatang. Junpei mengurai kembali cerita itu dari awal. Tak lama kemudian, sebuah ide mulai muncul dalam kepalanya, dan sedikit demi sedikit, ide itu jadi semakin jelas.

Tonkichi memikirkan hal yang sama dengan yang Sala pikirkan: ia akan menggunakan madu yang dikumpulkan Masakichi untuk membuat pie madu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa ia memiliki bakat membuat pie madu yang enak dan renyah. Masakichi membawa pie madu itu ke kota dan menjualnya kepada orang-orang. Orang-orang menyukai pie madu Tonkichi dan membelinya dalam jumlah banyak. Jadi, Tonkichi dan Masakichi tidak perlu berpisah lagi: dan mereka pun hidup bahagia selamanya di gunung itu.

Sala pasti menyukai akhir cerita yang baru itu. Begitu pula Sayoko. Aku ingin menulis cerita yang berbeda dari yang selama ini kutulis, pikir Junpei. Aku ingin menulis tentang orang-orang yang bermimpi dan menanti sampai malam berakhir, yang menantikan cahaya agar mereka dapat mendekap orang yang mereka cintai. Tapi saat ini aku harus tetap di sini dan menjaga perempuan dan gadis kecil ini. Tak akan kubiarkan seorangpun mencoba memaksa memasukkan mereka ke dalam kotak aneh itu, bahkan meski seandainya langit runtuh atau bumi terbelah sekalipun.

-- selesai --


*diterjemahkan secara bebas dari "Honey Pie" karya Haruki Murakami yang dimuat dalam The New Yorker edisi 20 Agustus 2001.