Pages - Menu

Perahu Pemburu

Bagaimana seandainya kehidupan ini adalah suatu pohon yang amat sangat besar sekali, dan aku adalah seekor semut yang terlahir kemudian tumbuh besar di salah satu di antara sekian banyak daun di pucuk-pucuk dari ranting-ranting pada dahan-dahan pohon besar itu?

Dan pohon itu senantiasa tumbuh seiring waktu. Dan pohon itu senantiasa tumbuh secepat guliran waktu.

Dan suatu ketika, seekor semut datang membawa secuplik daging buah yang dihasilkan oleh pohon itu, membaginya separuh-separuh denganku, lalu kami memakannya bersama-sama.

Lalu lama berselang. Dan di kemudian hari, aku teringat kembali pada separuh cuplikan daging buah yang pernah kumakan itu, dan aku pun bertanya-tanya di manakah semut itu pernah menemukan buah itu.

Mungkin aku juga bisa menemukannya, bila kutelusuri ranting pohon ini ke sana, ke tempat-tempat di mana waktu telah membeku dan memadat menjadi kristal-kristal sejarah, jauh melampaui masa lalu yang sempat kutaruh di dalam toples-toples kaca bernama kenangan. Meskipun yang nanti kutemukan mungkin hanya sebatas bias-bias kenyataan, sebab kristal-kristal yang meliputinya sudah terlalu tebal dan aku hanya bisa memandang dari satu sudut saja.

Bila yang kucari adalah kebenaran, kurasa aku harus belajar menyukuri keindahan bias-biasnya seperti menyaksikan pelangi di sela-sela hujan, dan kupikir aku mesti belajar menampung kebaikan-kebaikannya seperti telaga yang menggenang tenang. Pada akhirnya, aku hanya bisa melihat warna dari ranah sempit pada luasnya spektrum gelombang, dan aku hanya mampu memandang bayangan langit dengan jelas ketika ia terpantul pada permukaan telaga yang tenang.

*

Bila harus menelusuri ranting-ranting dan dahan-dahan sejarah, aku mungkin harus berjalan jauh sampai ke lembaran masa beribu-ribu tahun yang telah lalu. Ada yang bilang 2000 tahun yang lalu. Ada yang bilang 3000 tahun. Dan ada pula, yang paling banyak, yang bilang bahwa aku harus mencapai masa 5000 tahun yang lalu. Tetapi semua yang menyarankan angka-angka itu, pada akhirnya juga menyatakan bahwa masa itu tidak dapat ditentukan secara pasti, dan angka-angka itu hanya diperoleh berdasarkan perkiraan atas berbagai data tak langsung yang kemudian disimpulkan.

Sedangkan aku ini bukanlah orang yang suka menghapalkan tahun-tahun sejarah, dan bukan pula penggali fakta sejarah yang benar-benar niat menggali sedetil-detilnya. Cukuplah angka-angka itu mengantarkanku pada ketakjuban betapa cuplikan buah yang hendak kucari ternyata bersumber dari masa yang telah demikian jauh berlalu.

Dan dahan atau ranting yang kucari itu, konon katanya berada di daerah-daerah lingkaran kutub utara bumi. Tempat yang berada beribu-ribu kilometer jauhnya dari tempatku sekarang berada. Tempat yang iklim dan cuacanya sangat berbeda dari iklim dan cuaca di tempatku sekarang berada. Tempat yang hampir-hampir tak pernah kubayangkan akan pernah kupijak seumur hidupku. Dan cukuplah itu membuatku semakin takjub. Betapa jauh perahu itu telah meluncur di atas perairan yang amat luas ini.

Tetapi mungkin demikianlah adanya air. Pada suatu petak ruang berpikir kita bisa menganggapnya sebagai elemen yang telah memecah belah daratan, namun dari spektrum berpikir yang lain kita bisa menyukurinya karena ia telah mengisi kekosongan dan retakan-retakan yang ada pada ruang padat kehidupan kita. Maka atas dasar kebijaksanaan air itulah mungkin sehingga perahu dari kutub utara yang jauh itu bisa sampai ke sini.

Konon, perahu itu dulunya dibuat oleh sepasang kekasih, bekerjasama dengan hewan-hewan dan pepohonan (kalau kebetulan ada, sebab di sekitaran kutub utara sana katanya jarang sekali ada pohon), terinspirasi oleh iklim dan cuaca, untuk mengabdi kepada kehidupan. Yang lelaki membuat kerangka dari tulang-belulang paus atau batang-batang kayu yang didamparkan laut di pantai mereka. Yang perempuan menjahit kulit-kulit anjing laut atau rusa kutub yang kemudian dilapisi lemak paus atau anjing laut untuk menciptakan lapisan kedap air yang kemudian digunakan untuk membungkus kerangka itu.

Maka jadilah perahu itu, yang kemudian digunakan oleh lelaki itu, ketika musim telah melelehkan es yang menutupi permukaan laut atau danau, untuk berburu mencari bahan makanan. Mereka menamakan perahu itu ‘perahu pemburu’ (‘hunter’s boat’ atau ‘man’s boat’), yang dalam bahasa mereka: ‘qajaq’, ‘qayaq’, atau ‘iqyax’.


Jogjakarta, 22 Oktober 2017