Pages - Menu

Trans

Setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam, melalui jalan setapak berbatu-batu dan menanjak, sambil membawa ransel berisi beban belasan kilogram, dan dengan nafas terengah-engah menyeret pegal yang menempel di kedua paha hingga ke ujung langkah, engkau berhenti dan mendapati dirimu berdiri di puncak gunung.

Di bawah sana terhampar dataran luas yang sedikit melandai dari kaki gunung hingga ke batas cakrawala. Rumah-rumah dan gedung-gedung terlihat begitu kecil. Jalan-jalan raya terlihat seperti garis-garis yang meliak-liuk di antara bebukit dan lelembah. Ladang-ladang dan persawahan menjadi semacam fragmen-fragmen yang menyusun suatu gambaran, semacam mozaik atas suatu fenomena bernama kehidupan manusia.

Di atas hanya langit biru berhias tetaburan awan putih, yang menggumpal maupun yang agak pudar, berarak pelan mengikuti gerak udara. Sangat pelan, begitu pelan dan demikian pelannya seolah-olah seumur hidup hanya akan dihabiskannya dalam perjalanan menuju ujung horison. Namun, engkau pikir, ia tentu sudah akan pudar sebelum sampai di sana. Melarut dalam udara. Menjadi angin sejuk yang membelai lembut rambutmu, menyeka peluh di tubuhmu, bahkan sampai menyentuh suatu bagian terdalam pada dirimu, menghadirkan suatu gejala perasaan yang tentu hanya engkau sendiri yang bisa memahaminya.

Rasa yang demikian akut. Sedemikian kuat mempengaruhimu, tetapi bukan jenis ‘kuat’ yang keras dan kasar melainkan yang lembut dan halus, seperti fluida, sehingga membuatmu seolah-olah terhanyut atau melayang. Rasa yang demikian nyata, tetapi bukan jenis nyata yang padat melainkan yang seperti awan yang menggumpal dan kemudian memudar di dalam dirimu.

Pada momen itu, tiadalah artinya kata ‘indah’, sehingga tak perlu engkau mengatakannya. Kata-kata bahkan dapat menjadi seperti angin yang meniup rasa itu hingga pudar. Maka engkau akan terdiam saja membisu, seolah hanya kebisuan yang mampu mewakilinya sebagai ungkapan. Sebab kata-kata tiada perlunya di dunia makna. Di dunia itu, kata-kata hanya selongsong kosong yang teronggok sebagai sekedar kata-kata. Di dunia itu, kenyataan adalah sesuatu yang sama sekali lain dari yang biasanya engkau pahami.

Melampaui kata, melampaui gambar, melampaui gunung, dataran luas, dan langit tinggi itu. Melampaui dirimu yang menyaksikannya dalam kesadaranmu. Bahkan puisi hanya akan menjelma rerumput yang tersapu angin, atau sebatas daun gugur jatuh ke tanah.

Jogjakarta, 16 Februari 2017