Pages - Menu

Kehidupan - Hidupku, Hidupmu, Hidup Mereka

Kita mungkin pernah berkata, “ini hidupku, dan aku akan melakukan apa saja yang kumau dengan hidupku.” Kita mengatakannya seolah-olah ‘hidupku’ dan ‘hidupmu’ dan ‘hidup orang-orang lain’ atau ‘hidup makhluk-makhluk lainnya’ itu berada saling terpisah-pisah satu sama lain.

Tetapi betulkah itu? Bisakah pemikiran itu dipertanggungjawabkan?

Bukankah setiap yang kita lakukan dalam ‘hidup kita’ senantiasa berimbas pada ‘hidup’ yang lain? Bukankah kehidupan ini sesungguhnya lebih merupakan sesuatu yang saling terhubung dan saling memengaruhi satu sama lain?

Kehidupan, sepertinya, lebih seperti sesuatu yang sifatnya kontinyu dan utuh ketimbang diskrit. Kita saja yang mungkin terlalu pede dan merasa superior dibanding kehidupan sehingga berani-berani mengklaim sesuatu sebagai milik kita padahal sesungguhnya bukan. Kita saja yang dengan sewenang-wenang memotong-motong dan memecah-belah keutuhan kehidupan, padahal kita sesungguhnya tidak punya hak untuk itu.

Kehidupan bukan sesuatu yang kita miliki yang dengan demikian boleh dengan sesuka hati kita apakan saja. Justru kita inilah yang sebenarnya adalah bagian-bagian kecil dari kehidupan. Kehidupan itu lebih besar daripada kita, lebih tinggi posisinya, lebih berhak atas diri kita.

Kitalah yang meninggalkan kehidupan ketika kita ‘mati’, bukan sebaliknya.

Namun, mungkin karena bodohnya kita, kita malah berusaha menguasainya, ingin sekali memilikinya. Padahal itu malah membuat kita jauh dari kehidupan, terasing darinya. Namun semakin kita terasing, semakin kita berusaha lebih keras untuk memilikinya, dan sayangnya itu justru akan membuat kita semakin jauh dari kehidupan.

Itukah yang sedang kita perjuangkan sekarang, untuk memiliki dan menguasai kehidupan agar kita merasa ‘lebih hidup’?

[]

Kehidupan menampung bebatuan, tanah, air, udara, para serangga, rerumput, pepohon, jejamuran, para hewan… dan juga dengan rendah hati bersedia menampung kita. Ia mencintai semua itu sehingga bersedia merendahkan dirinya untuk kita jadikan tempat melangsungkan hidup.

Sementara kita bilang ‘mencintainya’ namun yang kita maksud ‘cinta’ itu ternyata keserakahan dan keegoisan kita saja.

Kita berusaha menaklukkannya, untuk menguasainya, untuk memilikinya, bukannya berusaha menyelaraskan diri dengannya, mengalir bersamanya, di dalam cinta yang sejati.

[]

Kita dibekali akal, tetapi kita tidak benar-benar menggunakannya dengan baik.

Kita menciptakan teori, bahwa poin keberadaan kita di sini adalah untuk bertahan hidup, untuk memperebutkan hak atas kehidupan, dan dengan demikian kita mesti berusaha meminimalisasi ‘para pesaing’ untuk mengklaim hak atas sumber daya hidup. Lalu apa yang pada mulanya kita sebut ‘bertahan’ hidup berubah menjadi ‘menyerang’ hidup yang lain.

Kita sepertinya terlalu takut pada bayang-bayang kematian. Di sisi lain kita terlanjur keliru merumuskan kehidupan.

Dan meskipun begitu, dengan segala usaha untuk menguasai sumber daya itu, kita tetap tak bisa mengelak dari waktu yang pada akhirnya akan mengantarkan kematian yang selalu kita hindari itu untuk datang menjemput kita.

Pada titik ini, teori itu mencoba menenangkan kita, bahwa kehidupan kita akan diteruskan oleh keturunan-keturunan kita.

Tetapi, apakah yang nantinya tersisa di dunia yang akan kita tinggalkan ini bagi keturunan-keturunan kita itu?


Yogyakarta, 28 September 2016