Pages - Menu

Makna dan Aktualisasi (Potensi) Diri

Maslow percaya bahwa manusia membawa potensi yang luar biasa di dalam dirinya untuk menjadi “a Good Human Being” atau “Manusia yang Baik.” Ia juga percaya bahwa setiap manusia sesungguhnya dapat mengaktualisasikan potensi dirinya tersebut, kecuali bila ia mengalami patologi. Sayangnya, apa yang pada umumnya terjadi pada kebanyakan manusia adalah mereka tidak dapat mengaktualisasikan potensi kebaikan yang dimilikinya sebab mereka mengalami berbagai hambatan. Salah satu hal yang menyebabkan terhambatnya aktualisasi diri manusia tersebut, menurut Maslow, adalah karena manusia “teralihkan” perhatiannya dari kebutuhan aktualisasi diri kepada kebutuhan-kebutuhan lain yang tingkatnya lebih rendah yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan untuk dihargai (Feist & Feist, p. 305).

Sebagaimana Maslow, saya pun percaya bahwa manusia membawa potensi kebaikan di dalam dirinya. Hal ini memang bukan berarti bahwa semua manusia itu pada kenyataannya baik, sebab memang tidak sedikit manusia yang berperilaku buruk. Meskipun demikian, seburuk-buruknya perilaku seseorang, saya percaya bahwa benih kebaikan selalu ada di dalam dirinya, hanya saja benih tersebut mungkin belum tumbuh dan berkembang.

Bahkan, saya percaya bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk tujuan yang baik (kebaikan) dan apa yang kita istilahkan dengan ‘keburukan’ sesungguhnya hanya merupakan keadaan terhambatnya perwujudan potensi kebaikan diri seseorang, sebagaimana ‘kegelapan’ kita gunakan untuk mengacu pada keadaan minimnya cahaya. Dengan kata lain, saya percaya bahwa, potensi yang ada di dalam diri manusia sesungguhnya selalu merupakan potensi kebaikan.

Permasalahannya adalah: bagaimana cara agar manusia bisa mengaktualisasikan potensi dirinya tersebut. Apabila kita mengacu pada pemikiran Maslow, maka agar manusia dapat mengaktualisasikan potensinya, perhatiannya harus kembali difokuskan pada kebutuhan aktualisasi diri dan tidak teralihkan pada kebutuhan lain yang lebih rendah. Maka pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana cara agar perhatian manusia tidak teralihkan pada kebutuhan yang lebih rendah tersebut? Apakah dengan memenuhi setiap kebutuhan tingkat rendah tersebut tersebut terlebih dahulu, atau apakah terdapat cara lain?

Carl Rogers adalah tokoh Humanistik lain yang juga percaya bahwa manusia pada dasarnya ada untuk mengaktualisasikan diri. Namun untuk mencapai aktualisasi diri tersebut, menurut Rogers, diperlukan adanya kondisi-kondisi tertentu yaitu berupa pemahaman empatik dan penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) yang tulus (genuine atau congruent) dari orang lain (Feist & Feist, 2008, p. 339). Unconditional positive regard ini diperlukan agar seseorang dapat mengembangkan positive self-regard (penghargaan atau penilaian positif terhadap diri sendiri) sehingga dengan demikian ia dapat mengaktualisasikan kecenderungan alaminya ke arah pemenuhan potensi diri (aktualisasi diri).

Meskipun tidak sepenuhnya sama, teori Maslow dan Rogers memperlihatkan pola yang sama mengenai bagaimana cara agar seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya. Teori hirarki kebutuhan Maslow menyatakan bahwa untuk melangkah ke proses aktualisasi diri, seseorang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan tingkat rendahnya terlebih dahulu. Kebutuhan tingkat rendah tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan merasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan untuk dihargai. Sementara itu, teori Rogers menyatakan bahwa agar dapat mengaktualisasikan (potensi) dirinya, seseorang harus memperoleh positive regard¬ terlebih dahulu dari orang lain. Positive regard ini diperlukan agar seseorang merasa “aman” untuk menjadi apa pun yang diinginkannya. “Aman” di sini berarti bahwa ia merasa akan tetap dicintai dan dihargai sebagai apa pun dirinya. Rasa “aman” ini mencerminkan kebutuhan dasar manusia untuk menjaga keutuhan konsep dirinya (self-concept). Rogers mengistilahkan kebutuhan tersebut sebagai need for maintenance yang mirip dengan kebutuhan tingkat rendah (fisiologis, rasa aman, sosial, dan harga diri) dalam hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow (Feist & Feist, 2008, p. 314). Dengan kata lain, pada prinsipnya, baik Maslow maupun Rogers berpendapat bahwa untuk dapat mengaktualisasikan potensi dirinya, seseorang harus memenuhi kebutuhan tertentu “bagi dirinya” terlebih dahulu.

Bagus Riyono (2014), dalam teori Human Motivation Model yang dikembangkannya, melihat hal tersebut secara berbeda. Apabila Maslow dan Rogers memandang kebutuhan yang memotivasi manusia sebagai hirarki, Riyono memandangnya sebagai pilihan. Riyono menempatkan ‘kebebasan memilih’ (freedom to choose) sebagai karakteristik dasar dari self (diri) pada inti dari model motivasinya. Kebebasan yang dimiliki manusia tersebut, menurut Riyono, berada di tengah-tengah antara empat hal yang memotivasi perilaku manusia yaitu urge, challenge, incentive, dan meaning. Urge adalah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, baik itu yang bersifat alamiah (atau fisiologis) maupun yang bersifat kultural (untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial), yang diperlukan dalam melangsungkan kehidupannya. Kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah dalam hirarki Maslow termasuk dalam urge ini. Sementara itu, aktualisasi diri, menurut Riyono, adalah perilaku manusia yang dimotivasi oleh kebermaknaan hidup (meaning) dan tidak terikat pada urge. Dengan kata lain, rasa kebermaknaan lah yang sesungguhnya memotivasi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Hal ini bukan berarti bahwa untuk mengaktualisasikan diri seseorang tidak perlu memedulikan kebutuhan-kebutuhan dasar (urge)-nya, melainkan seseorang harus mengendalikan (to control) pemenuhan kebutuhan tersebut agar urge tidak malah mengambil alih (to drive) kebebasan manusia dan menghambat proses aktualisasi diri.

Sampai di sini dapat dipahami bahwa untuk dapat mengaktualisasikan potensi kebaikan dirinya seseorang terlebih dahulu harus menyadari bahwa ia memiliki kebebasan memilih atau menentukan perilakunya. Selain itu, ia juga harus menyadari bahwa, meskipun ia memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi agar ia dapat melangsungkan kehidupan, kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut tidak boleh mengalihkannya (mengambil alih kebebasannya) dari kesadaran bahwa terdapat makna dalam kehidupannya yang lebih penting dari sekedar mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Dengan kata lain, menyadari bahwa manusia memiliki kebebasan memilih dan menyadari bahwa terdapat makna yang lebih penting daripada sekedar mempertahankan keberlangsungan hidup dalam kehidupan manusia adalah syarat agar seseorang dapat mengaktualisasikan potensi dirinya.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: apakah yang dimaksud dengan makna hidup itu, dan bagaimanakah seseorang dapat menemukan makna hidupnya?

Viktor Frankl (1959) menyatakan bahwa, pada dasarnya, manusia memiliki keinginan dari dalam dirinya untuk hidup bermakna, dan hasrat untuk mencapai kebermaknaan hidup ini lah yang menurutnya merupakan motif fundamental manusia dalam kehidupannya. Frankl juga menyatakan bahwa makna dalam kehidupan manusia bersifat unik bagi masing-masing individu. Dari sudut pandang tersebut maka dapat disimpulkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Paulo Coelho (https://www.youtube.com/watch?v=hikADxCjdNE), bahwa kehidupan itu sendiri tidak secara otomatis bermakna melainkan individu yang menjalani kehidupan itu lah yang memberi makna pada kehidupannya.

Untuk memaknai kehidupan, menurut Jack Mezirow (2012), seseorang harus melalui proses belajar yang memerlukan tingkat kesadaran atau kapasitas kognitif tertentu yang pada umumnya baru dimiliki ketika ia mencapai usia remaja akhir atau dewasa awal. Mezirow menamakan proses belajar tersebut sebagai Transformative Learning, yaitu suatu proses di mana seseorang menrasformasi kerangka referensi berpikir yang pada awalnya diterima begitu saja (taken-for-granted frames of reference yang biasanya berupa perspektif makna, kebiasaan berpikir, atau set mental) menjadi lebih inklusif (inclusive), berbeda (discriminating), terbuka (open), secara emosional dapat diubah (emotionally capable of change), dan reflektif (reflective) sehingga dapat menghasilkan kepercayaan (beliefs) dan pemikiran (opinions) yang terbukti lebih dapat dibenarkan untuk menuntun perilaku. Teori Transformative Learning yang dikembangkan oleh Mezirow berfokus pada bagaimana kita belajar untuk menjalani dan bertindak berdasarkan tujuan, nilai-nilai, perasaan, dan makna yang kita miliki sendiri –dibanding sekedar mengasimilasi secara tidak kritis hal-hal tersebut dari orang lain—agar kita dapat merasa memiliki kendali terhadap kehidupan kita sendiri dan bertindak serta membuat keputusan secara jernih dan bertanggungjawab.

Apa yang oleh Mezirow diistilahkan dengan kerangka referensi (frames of reference) agaknya mirip dengan apa yang oleh Thompson & Janigian (1988) disebut sebagai skema kehidupan (life schemes), yaitu representasi kognitif mengenai kehidupan, kurang lebih semacam cerita tentang kehidupan, yang mengorganisasikan perspektif atau cara pandang seseorang mengenai dunia dan dirinya. Thompson & Janigian menyatakan bahwa penemuan makna kehidupan adalah proses merubah skema kehidupan atau perspektif terhadap suatu peristiwa dalam kehidupan sehingga seseorang (tetap) dapat merasakan adanya keteraturan (sense of order) dan tujuan (sense of purpose) dalam hidupnya.

Menemukan kebermaknaan hidup, menurut Mayseless & Keren (2013), merupakan tugas perkembangan seseorang dalam tahap menjelang dewasa (emerging adulthood). Pendapat ini menegaskan bahwa pada usia menjelang dewasa, seseorang dihadapkan pada tugas untuk menemukan makna hidupnya, dan proses menemukan makna hidup adalah proses belajar transformatif (transformative learning process) untuk membangun kerangka berpikir (frames of reference atau life schemes) yang dapat digunakannya untuk memandang kehidupannya sebagai kehidupan yang teratur dan bertujuan. Dengan memiliki kerangka berpikir yang membuat seseorang dapat menyadari makna kehidupannya, maka ia, secara teoritis, akan termotivasi untuk mengaktualisasikan potensi kebaikan dirinya.


Referensi:

Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality (7th ed.). United States of America: McGraw-Hill Primis.

Frankl, V. E. (1959). Man's Search for Meaning. New York: Pocket Books.

Mayseless, O., & Keren, E. (2013, December 16). Finding a Meaningful Life as a Developmental Task in Emerging Adulthood: The Domains of Love and Work Across Cultures. Emerging Adulthood, XX(X), 1-11.

Mezirow, J. (2012). Learning to Think Like an Adult: Core Concepts of Transformation Theory. In E. W. Taylor, & P. Cranton (Eds.), The Handbook of Transformative Learning: Theory, Research, and Practice (pp. 224-279). San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc.

Riyono, B. (2014). Human Motivation Model Sebuah Koreksi terhadap Teori "Need Hierarchy" Maslow. In S. Wimbarti, & L. Chizanah (Eds.), Perkembangan Psikologi Masa Kini: Kajian Berbagai Bidang (pp. 62-77). Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Beta Yogyakarta.

Thompson, S. C., & Janigian, A. S. (1988). Life Schemes: A Framework for Understanding the Search for Meaning. Journal of Social and Clinical Psychology, 7(2/3), 260-280.


28, 29 September 2015, Jogjakarta