Pages - Menu

Harmoni: Perjalanan Lingkaran Transformasi Spiral

#1 Kematian dan Kebebasan

Kalu kau pernah merasa sedang menghadapi kematian, maka kau akan tahu betapa tak berdayanya manusia di hadapan semesta ini. Betapa rapuh, sesungguhnya, kita manusia. Betapa “murah” harga kehidupan yang kita pikir sangat berharga ini. Kehidupan yang sesungguhnya bahkan bukan “milik” kita. Apa sih yang sesungguhnya kita “miliki?” Tak ada. Kita hanya bagian sangat kecil dari alam semesta yang entah sebesar apa ini.

*

Aku pernah merasa sedang menghadapi saat-saat terakhir hidupku. Beberapa kali, ketika terjebak di pusaran air sungai. Mereka menyebutnya hole sebab apapun yang melintasinya akan tersedot ke dalamnya, dan satu-satunya cara keluar adalah dengan masuk ke dalamnya. Tetapi kemudian, waktu itu, ternyata aku tak jadi mati. Bisa dibilang cukup beruntung. Tetapi aku lebih suka menganggapnya sebagai semacam kemurahan hati semesta kepadaku. Ketika aku sudah pasrah karena tak tahu lagi harus melakukan apa untuk bisa menyelamatkan diri, mereka menyelamatkanku dengan semacam konspirasi yang sulit dijelaskan kecuali dengan kata: “kebetulan” atau “keberuntungan.”

Pada momen-momen semacam itu “your only defence is to stay calm while forces far beyond your control are deciding your fate. You have to shut down all nonessential oxygen-consuming functions, which include thinking, until you get the chance to become an active participant in your own destiny once again” tulis Hendri Coetzee dalam Living the Best Day Ever.

Coetzee menggambarkannya dengan sangat baik, menurutku. Bahwa terdapat kekuatan yang jauh melampaui kekuatan kita yang menentukan nasib kita. Di momen-momen semacam itu, apa lagi yang bisa dilakukan selain pasrah.

Dan kepasrahan menciptakan semacam kedamaian dalam pikiran.

Kuharap aku bisa menjalani kehidupan dengan kedamaian seperti itu selalu. Namun entah mengapa hal itu rasanya sulit dicapai dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin karena kita terlampau merasa memiliki kendali yang besar, dan kita memang seringkali ingin mengendalikan segala yang terjadi dalam kehidupan ini. Betapa kita sering melupakan bahwa kita ini kecil, lemah, dan rapuh.

Tetapi kita kan memang diberi sedikit kebebasan dan kemampuan untuk menentukan (mengendalikan) nasib kita. Ada yang bilang bahwa itulah yang membuat manusia dapat lebih tinggi derajatnya daripada hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Mungkin, di dalam sedikit kebebasan kita itu lah, peran kita sebagai manusia sesungguhnya diuji. Namun dengan sedikit kebebasan itu, kita nampakanya masih sering terlampau menyombongkan diri di hadapan para hewan, tetumbuhan, pasir, bebatuan, lautan, dan semua yang ada di alam ini. Seolah kita memang ada untuk menjadi penguasa bumi dan alam semesta, padahal kita ini tak ada apa-apanya.

Freedom, however, is not the last word” kata Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning. Freedom is only part of the story and half of the truth. Freedom is but the negative aspect of the whole phenomenon whose positive aspect is responsibleness. In fact, freedom is in danger of degenerating into mere arbitrariness unless it is lived in terms of responsibleness.

Tetapi kepada siapa kita mesti mempertanggungjawabkan perbuatan kita? Untuk menjawab pertanyaan itu pun, kita sepertinya masih memiliki kebebasan. Atau tidak? Kita mungkin harus mencari jawabannya di hati yang paling dalam.

*

#2 Paradoks

Ah... Seandainya aku ini adalah kerikil di tengah gurun, atau setetes air di lautan, atau rumput di belantara. Mungkin aku bisa merasakan kedamaian itu selalu. Tak perlu memikul kebebasan yang nantinya mesti dipertangungjawabkan ini.

Tetapi kita masih sering terbuai oleh kebebasan yang sedikit itu. Seenaknya saja menggali gurun, mencemari lautan, menginjak rata belantara, demi diri sendiri. Lupa kita pada hukum yang mengatur semesta. Kita bahkan seenaknya sendiri menentukan hukum untuk semesta, seolah ia tunduk sepenuhnya pada kita, padahal tidak.

Jangan bilang mau menundukkan semesta, menundukkan diri sendiri pun kita kewalahan bukan main. Ya, bagian diri kita yang selalu ingin seenaknya sendiri itu. Justru itu lah yang semestinya kita tundukkan. Bagian yang kalau dibiarkan bisa menghancurkan diri kita sendiri dan berpotensi merusak dunia. Kita bahkan mungkin sedang mengalami kerusakan itu sekarang. Kita bersama.

Jangan-jangan apa yang kita kira kemajuan zaman sesungguhnya adalah proses menuju kehancuran zaman. Kita patut merenungkannya lagi.

Segala macam teknologi modern itu. Untuk apa? Untuk mempermudah segala urusan? Untuk memungkinkan kita mengendalikan lebih banyak hal dalam hidup? Untuk membuat kita merasa aman karena bisa mengendalikan banyak hal? Betapa kita sangat menghindari ketidakpastian dan risiko-risiko.

Mungkin kita takut. Pada ketidakpastian. Pada risiko. Pada yang tidak dapat kita prediksi dan kendalikan. Dan mungkin, terutama, pada kematian. Maka kita berusaha menenggelamkan diri dalam ilusi “kendali dan rasa amanan.” Berusaha menguasai banyak hal, sebab kekuasaan berarti kendali. Betapa bodohnya kita!

Bukankah itu mengandung suatu paradoks yang nyata? Bila masing-masing kita berusaha mengendalikan segala yang ada di sekeliling kita, bukan kah itu hanya akan menciptakan kekacauan? Aku menyadari ini di jalan raya. Tempat di mana manusia bergerombol bersama sambil membawa egoisme masing-masing yang ingin diterapkan pada orang lain. Tempat di mana semua orang itu salah kecuali “aku.”

Tidak. Manusia-manusia itu jauh lebih sulit diprediksi dibanding bebatuan dan air yang mengalir. Hal yang lucu adalah bahwa kita merasa lebih aman berada di jalan raya daripada di sungai.

Tetapi kupikir itu bagus juga dari satu sisi. Biarkan sungai tetap berbahaya. Biarkan bayang-bayang kematian selalu menyertainya. Agar bila suatu saat aku merindukan kematian, aku bisa menjenguknya di sungai.

*

#3 Harmoni

Salah satu alasan aku menyukai petualangan dan mengagumi para petualang, adalah karena petualangan selalu dipenuhi ketidakpastian dan risiko, tak peduli seberapa besar usaha kita dalam mengantisipasi setiap risiko itu. It reminds me of death, and then life.

Para petualang selalu menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dikelilingi oleh berbagai risiko. Mereka dengan sangat teliti dan terencana berusaha mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk menghadapi risiko-risiko itu, namun mereka pun sadar bahwa tidak semua risiko bisa dihilangkan, tidak semua hal bisa dikendalikan. Alam selalu memegang peran utama, dan kita tidak akan bisa mengalahkannya. Yang bisa dilakukan hanya senantiasa menyesuaikan diri dengan keadaan alam. Mereka tidak berusaha mengendalikan. Mereka berusaha menyelaraskan diri.

Itulah yang seharusnya kita lakukan dalam hidup. Menemukan keselarasan. Harmoni. Dengan diri sendiri. Dengan sesama manusia. Dengan alam semesta. Dengan energi di balik itu semua.

*

#4 Rindu dan Petualangan

Kupikir, petualangan adalah miniatur kehidupan. Hidup adalah suatu perjalanan panjang untuk kembali pulang. Kembali ke “rumah” kita yang sejati. Rumah dari mana kita berasal.

Mungkin kita hanya sering lupa. Bahkan lupa bahwa perjalanan itu sudah kita mulai sejak lama, dan bahwa kita sesungguhnya sedang di tengah-tengah perjalanan. Paling tidak, meskipun sebagian diri kita melupakannya, sebagaian yang lain tidak pernah lupa. Sebab di dalam diri kita ada bagian yang selalu merindukan rumah itu. Bagian diri kita itu, mungkin jauh di bawah sadar sana, selalu membisikkan kerinduannya. Mungkin kita hanya tak pernah benar-benar bersedia mendengarkannya.

Lagipula, perjalanan itu memang tidak mudah, bahkan seringkali berbahaya. Maka banyak dari kita yang memilih untuk tinggal di sini saja. Di dunia yang kita rasa sudah cukup aman dan nyaman ini. Di sini kita bisa membangun rumah baru, lengkap dengan ilusi “kendali dan rasa aman”-nya.

Tetapi apa yang kita pendam di bawah sadar itu sepertinya kemudian menjadi bagian alam bawah sadar kolektif manusia dan berusaha menemukan jalan keluar. Salah satunya melalui mitos dan legenda yang mewarnai berbagai budaya di dunia dari masa ke masa.

Ketika Joseph Campbell (2004) meneliti cerita-cerita itu, ia menemukan tema universalnya. Monomyth, adalah istilah yang digunakan Campbell untuk mengacu pada pola-pola yang sama yang terdapat dalam setiap cerita mitos dan legenda. Campbell (dalam April L. Roberts, 2005) menggambarkannya sebagai Hero’s Journey, di mana sang pahlawan merasakan adanya call to adventure dari dalam dirinya ketika melihat keadaan dunia tempat ia hidup, bertemu dengan mentor yang mengajarkannya banyak hal dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi petualangan, menyeberangi treshold of adventure dan menempuh perjalanan, menghadapi berbagai tantangan sebagai test, menghadapi pilihan untuk flight dan tinggal di tengah perjalanannya atau return dan melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang, menyeberangi treshold on return, lalu membagikan elixir dan kebijaksanaannya sebagai pribadi yang telah mangalami transformation kepada orang-orang.

April L. Roberts (2005) kemudian menemukan kesamaan antara model Hero’s Journey Campbell dengan proses petualangan transformatif melalui penelitian kualitatifnya terhadap 7 orang petualang tentang pengalaman petualangan mereka. Roberts mengungkap bahwa terdapat elemen-elemen dalam proses petualangan yang dapat menransformasi diri pelakunya yaitu risiko (risk), tantangan (challenge), alam (natural environment), hubungan (connection), dan klosur (closure). Sebagaimana Campbell menemukan universalitas dalam berbagai mitos, Roberts pun menemukan bahwa elemen-elemen yang diungkapkan di atas terdapat dalam petualangan dalam bentuk apa pun (baik itu mendaki gunung, memanjat tebing, mengarungi sungai, dan sebagainya). Elemen-elemen tersebut lah, tidak peduli apa pun bentuk petualangannya, yang membuat suatu petualangan menjadi transformatif.

Ken Andrews (1999) dalam artikelnya di The Journal of Experiential Education juga pernah menjelaskan bahwa petualangan (dalam hal ini ekspedisi di alam bebas) dapat dipandang dari perspektif antropologi sebagai rite of passage, yaitu suatu fenomena universal yang terdapat dalam berbagai budaya di mana seseorang harus melalui serangkaian prosesi ritual transisi agar dapat berkembang dari suatu tingkatan ke tingkatan selanjutnya dalam kehidupan. Proses tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Andrews dalam artikelnya, adalah separasi (separation) atau pemisahan diri dari struktur kehidupan sehari-hari, transisi (transition, or margin, or liminal) di mana seseorang mengalami pengalaman intens yang berbeda dari pengalaman sehari-harinya, dan reinkorporasi (reincorporation or aggregation) di mana ia kemudian kembali memasuki struktur kehidupan sehari-harinya namun dengan menyandang posisi atau status baru.

Andrews menjelaskan lebih jauh bagaimana proses petualangan dapat dilihat dengan kacamata rite of passage, terutama bagaimana fase transisi terjadi dalam petualangan. Ia menjelaskan bahwa terdapat 3 dimensi utama dalam fase transisi tersebut yaitu:

  1. Rasa diri sejati (sense of self). Dengan memisahkan atau melepaskan diri dari struktur kehidupan sehari-hari, seseorang secara tidak langsung akan melepaskan diri dari aturan-aturan sosial yang seringkali mempengaruhi bagaimana ia memandang dirinya sendiri. Kedudukan sosial, pekerjaan, jabatan, pangkat, dan sebagainya seringkali mendistorsi pandangan kita terhadap diri sendiri. Dengan hilangnya aturan-aturan sosial, kita dapat menemukan diri sejati kita yang murni sebagai manusia, tanpa berbagai embel-embel.
  2. Rasa komunitas (sense of community). Ketika aturan-aturan sosial kehidupan sehari-hari menghilang dan kita menemukan diri kita dan orang lain sebagai “sekedar” manusia, kita jadi lebih mudah menjalin hubungan satu sama lain. Hubungan yang terjalin adalah hubungan otentik antar “sesama manusia” tanpa embel-embel kedudukan sosial, pekerjaan, jabatan, pangkat, dan sebagainya. Andrews (1999) menyatakan bahwa rasa komunitas ini lah yang merupakan karakteristik sentral dalam ekspedisi.
  3. Rasa keterhubungan dengan alam (sense of place). Berada di alam liar, di tempat yang tidak biasanya kita tempati, berarti melepaskan diri dari lingkungan sosial kita sehari-hari (baik secara fisik maupun secara mental). Selain dapat membuat kita lebih terhubung ke diri sejati kita dan mampu menciptakan rasa komunitas atas dasar hubungan sesama manusia, hal tersebut juga dapat membuat kita menyadari “fakta” bahwa di balik realitas kebudayaan, manusia sesungguhnya adalah bagian dari alam.
Oleh sebab itu, lanjut Andrews, setelah seseorang menempuh suatu petualangan dan kembali ke kehidupannya sehari-hari, ia dapat menjadi “orang yang berbeda” dari sebelumnya. Dengan melalui dimensi-dimensi dalam fase transisi tersebut, seseorang dapat mengalami perubahan dalam dirinya (inward transformation) yang terwujud pada perilakunya (outward change).

Dimensi-dimensi yang disebutkan Andrews di atas sesungguhnya juga diidentifikasi oleh Roberts dalam penelitiannya yang dipandangnya sebagai bagian dari elemen hubungan (connection) yaitu hubungan dengan diri sendiri (heightened connection to self), hubungan dengan komunitas (heightened connection to community), dan hubungan dengan alam semesta (heightened connection with universe). Namun lebih jauh, Roberts juga mengidentifikasi elemen-elemen lain dalam petualangan yaitu risiko (risk), tantangan (challenge), alam (natural environment), dan klosur (closure). Semua elemen tersebut, meskipun diidentifikasi sebagai elemen yang berbeda, sesungguhnya saling berkaitan satu sama lain dalam hubungan yang kompleks.

Risiko, menurut Roberts adalah elemen utama, dan tidak dapat dipisahkan dari petualangan itu sendiri. Tanpa risiko, tak ada yang namanya petualangan, dan risiko pertama dan utama yang dihadapi seseorang adalah bahwa tidak terdapat jaminan akan diperolehnya hasil positif dari petualangan tersebut (positive outcome is not guaranteed). Hanya ketika seseorang berani menghadapi risiko ini lah ia akan bersedia memenuhi the call to adventure. Kemudian, ia akan mulai menghadapi risiko-risiko yang lain yang oleh Roberts dikelompokkan menjadi risiko fisik (mulai dari terluka, cacat, hingga kematian), dan risiko emosional (rasa takut, cemas, bosan) serta risiko spiritual (dalam bentuk konfrontasi terhadap nilai-nilai yang selama ini dianut).

Ketika seseorang menyanggupi panggilan bertualang, ia akan melihat risiko-risiko tersebut sebagai tantangan. Segala risiko sebisa mungkin harus diidentifikasi dan berbagai kompetensi harus dipersiapkan untuk menghadapinya (meskipun pada saat yang sama juga harus diakui bahwa tidak semua risiko akan bisa diatasi). Kompetensi fisik (kekuatan tubuh, stamina, dll), kompetensi teknis (kemampuan menggunakan berbagai peralatan atau mengeksekusi tugas-tugas), kompetensi mengatasi masalah, kompetensi emosional, dan kompetensi spiritual dikembangkan dalam rangka mengatasi tantangan. Dalam mengembangkan kompetensi-kompetensi tersebut, peran mentor sangat diperlukan.

Ketika seseorang kemudian menapaki perjalanan dan menemukan dirinya berada di tengah-tengah alam liar, seseorang akan mengerti bahwa ia begitu kecil dan mesti tunduk pada hukum alam. Berada di tengah-tengah alam liar, seseorang dapat merasakan pengalaman emosional dan bahkan spiritual yang bisa mempengaruhi nilai-nilai personalnya.

Ada yang bilang bahwa alam menyimpan kemampuan restoratif bagi manusia. Ada yang bilang bahwa kehidupan sehari-hari kita penuh dengan aktivitas yang membutuhkan usaha pemusatan energi mental dan hal tersebut membuat kita lelah, sementara lingkungan alami dapat menyembuhkan kelelahan tersebut. Ada yang bilang bahwa banyak permasalahan psikis manusia tiimbul sebab manusia semakin “menjauh” dari alam, memisahkan dirinya dari alam, dan bahkan merasa dirinya lebih tinggi daripada alam sehingga berhak melakukan apa saja terhadapnya. Mengembalikan hubungan yang harmonis dengan alam, oleh karena itu, penting untuk penyembuhan psikis kita (Gass, Gillis & Russel, 2012).

Sementara itu, klosur (closure) mengacu pada “batasan” yang jelas mengenai petualangan. Batasan tersebut membuat kita dapat memandang petualangan seperti suatu lingkaran utuh. Terdapat awal dan akhirnya yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk keutuhan petualangan. Kita dapat menceritakannya sebagai suatu pencapaian tertentu. Kita dapat “melihatnya” secara jelas sehingga kita bisa fokus terhadapnya. Kita dapat mengidentifikasi risiko-risiko dan tantangan-tantangannya untuk menentukan kompetensi yang dibutuhkan yang sesuai untuk menjalani proses petualangan itu. Kira-kira begitu lah yang dimaksud dengan klosur ini.

Klosur ini membuat kita bisa melihat proses petualangan yang pernah kita lakukan seolah-olah kita melihat keseluruhan hidup kita secara utuh. Dengan begitu, kita bisa lebih mudah memetik hikmah dan pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan.

*

Sekilas, konsep klosur dapat dilihat seperti suatu lingkaran penuh, dan memang begitu lah ia diilustrasikan. Dan kehidupan pun seperti berputar-putar melingkar. Mungkin segala hal, dari bagian terkecil yang menyusun tubuh kita dan semua benda lainnya hingga galaksi-galaksi dan alam semesta secara keseluruhan, itu bergerak melingkar. Seperti siklus. Dan seringkali kita mungkin terjebak melihat fenomena tersebut sebagai siklus yang berulang-ulang begitu saja. Bergerak namun tetap di tempat. Seperti kita terjebak menganggap jam dinding adalah waktu, padahal ia hanya penunjuk waktu.

Setiap putaran tidak pernah sama dengan putaran yang lain, meskipun kelihatannya sama. Seperti pukul sembilan pagi ini tidak sama dengan pukul sembilan kemarin atau pukul sembilan lima belas tahun yang mungkin akan datang. Setiap siklus membawa perubahan. Idealnya, perubahan itu adalah menuju yang lebih baik. Apa yang kita lihat seperti lingkaran mungkin sesungguhnya adalah spiral. Tangga menuju diri kita yang lebih baik. Semoga.

Terakhir, aku merasa harus menyatakan ini: “Sesuatu yang tidak pernah kita lihat bukan berarti tidak ada. Sesuatu yang tidak mampu kita jangkau dengan penalaran, bukan berarti tidak ada. Wilayah itu mungkin hanya bisa kita jangkau dengan keyakinan.

Sementara kebenaran hanya bisa terlihat dengan mata hati yang paling dalam. Maka semua ini bukan kebenaran. Hanya pemikiran yang berusaha menemukan tempatnya di antara yang benar dan yang salah.”
“Lagipula, kita tak tahu apa-apa kecuali sedikit yang diizinkan untuk kita ketahui.”

--------------

# Referensi:

Andrews, K. (1999). The Wilderness Expedition as a Rite of Passage: Meaning and Process in Experiential Education. The Journal of Experiential Education, Vol 22 No 1, hal 35-43.

Campbell, J. (2004). The Hero with a Thousand Faces. New Jersey: Princeton University Press.

Coetzee, H. (2013). Living the Best Day Ever. (K. Blackmore, Ed.) Centurion, South Africa: Hendri Coetzee Trust.

Frankl, V. E. (1959). Man's Search for Meaning. New York: Pocket Books.

Gass, M. A., Gillis, H. L., & Russell, K. C. (2012). Adventure Therapy: Theory, Research, and Practice. New York: Routledge (Taylor & Francis Group, LLC).

Roberts, A. L. (2005). Adventure As A Transformative Experience. University of Utah, Department of Educational Psychology. ProQuest LLC.


[Jogjakarta, 5, 6, 7 September 2015]