Pages - Menu

Educare


Selalu saja ada keresahan demi kerasahan. Kadang ia begitu samar, dan kadang ia sepertinya begitu jelas namun sulit untuk dijelaskan. Kadang ia bisa diacuhkan, namun kadang terasa sangat mengganggu sehingga tak bisa diabaikan begitu saja. Tetapi mungkin kehidupan memang mesti begini.

Resah adalah sumber penggerak tersendiri bagi denyut-denyut impuls dalam sistem saraf. Mendorong kita untuk senantiasa belajar. Menjadi pertanda bahwa, bagaimana pun, kita akan selalu menjadi orang bodoh, tolol, dungu, atau minimal lugu di hadapan kehidupan.

Resah terkadang seperti benang-benang kusut pemikiran yang mesti diurai. Hanya saja seringkali membingungkan untuk memulainya dari mana. Seperti ide tulisan ini. Maka tulisan ini sekedar usaha untuk mencoba mengurai keresahanku. Semoga dengan demikian dapat kulihat benang merah yang menghubungkan fakta, opini, dan kebenaran sementara, sebelum mencapai Kebenaran Yang Sejati.

*

Aku percaya bahwa setiap manusia membawa benih kebaikan pada dirinya. Sebagaimana kata Maslow, bahwa setiap manusia membawa potensi di dalam dirinya untuk menjadi “a good human being”, dan bahwa setiap manusia sesungguhnya dapat mewujudkan (mengaktualisasikan) potensi dirinya tersebut (Feist & Feist, 2008). Tetapi, aku pun percaya bahwa, manusia juga memiliki sesuatu yang lain pada dirinya; sesuatu yang, mungkin pada dasarnya tidak terlalu buruk, namun berpotensi membawa manusia pada keburukan dan kehancuran. Dan aku juga percaya bahwa manusia, dalam keterbatasan takdirnya, memiliki kebebasan untuk menentukan perilakunya. Kebebasan untuk menjadi baik, atau menjadi buruk. Sepanjang kehidupan, kebebasan kita ditempatkan di antara potensi untuk menjadi baik dan untuk menjadi buruk, mungkin sebagai ujian, untuk suatu saat nanti dipertanggungjawabkan.

*

Dalam ide Ki Hadjar Dewantara (Haryanto, 2011) mengenai pendidikan sesungguhnya juga telah tersirat bahwa manusia membawa kodrat kebaikan dan keburukan pada dirinya. Pendidikan, sebagaimana yang kupahami dari pemikiran beliau, adalah usaha untuk membantu seseorang agar mampu menyadari kodrat (kebaikan dan keburukan pada diri)-nya dan mampu mewujudkan kebaikannya serta mengatasi (mengendalikan) keburukannya. Pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara, bertujuan untuk mewujudkan manusia yang ‘beradab kemanusiaan’, yaitu manusia yang “merdeka”, yang memiliki budipekerti kokoh sehingga, selain dapat mewujudkan kebaikannya, ia mampu mengatasi dan mengendalikan nafsunya (Haryanto, 2011). Nafsu ini, menurut Ki Hadjar Dewantara, tidak dapat dihilangkan sebab ia merupakan bagian tak terpisahkan dari jiwa manusia, namun ia dapat dikendalikan. Maka pendidikan idealnya dapat melahirkan manusia-manusia yang mampu mengatasi dan mengendalikan dorongan nafsunya. Manusia semacam ini lah yang disebut manusia “berkarakter”.

Namun, pada kenyataannya, tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan tersebut ternyata masih jauh dari kenyataan yang ada dewasa ini. Meskipun konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara telah sejak dulu menekankan pentingnya pengolahan karakter (keutuhan jiwa manusia dalam wujud cipta (pikiran atau aspek kognitif), rasa (perasaan atau aspek afektif), dan karsa (perilaku atau aspek konatif); Haryanto, 2011), sistem pendidikan di negeri kita sepertinya masih menafsirkan dan menerapkannya secara sangat sempit. Pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar pengajaran (Samho & Yasunari, 2010), dan bahkan lebih sempit lagi, menjadi sekedar pengajaran yang berlangsung di dalam ruang kelas untuk mencapai target lulus ujian (Sinawang dalam Haryanto, 2011). Maka tak heran bila masyarakat negeri ini, bahkan pemimpin-pemimpinnya pun, masih jauh dari gambaran manusia berbudipekerti atau beradab sebagaimana yang dicita-citakan dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

Kenyataan ini sesungguhnya berpotensi membuat keadaan negeri ini menjadi jauh lebih buruk lagi, sebab pendidikan (sebagaimana yang diungkapkan Ki Hadjar Dewantara dalam Haryanto, 2011) tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah atau apa yang kita pahami sebagai institusi pendidikan saja, melainkan juga di luar itu, yaitu di lingkungan keluarga dan juga masyarakat. Apabila sebagian besar masyarakat, apalagi pemimpin bangsa, berkarakter buruk, maka tak mengherankan apabila semakin banyak anak-anak negeri ini yang menjadi buruk pula karakternya. Selama negeri ini belum mampu memperbaiki keadaan tersebut, maka keadaan sepertinya akan terus memburuk.

Kita sepertinya perlu melakukan, meminjam istilah Sir Ken Robinson, revolusi sistem pendidikan. Dan revolusi tersebut memerlukan perubahan yang cukup fundamental. Sebagaimana yang diungkapkan Robinson dalam ceramah-ceramahnya di TED.com, kita perlu mengubah paradigma mengenai pendidikan.

Pertama, bahwa sistem pendidikan seharusnya berpusat pada peserta didik. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan harus disesuaikan dengan “kebutuhan” peserta didik dan bukan sebaliknya (sebagaimana yang umumnya terjadi dewasa ini). Yang dimaksud dengan “kebutuhan” adalah, sebagaimana yang diungkapkan Robinson, kondisi yang sesuai bagi berkembangnya talenta (atau potensi-potensi kebaikan) peserta didik. Hal ini karena, sebagaimana pendapat Ki Hadjar Dewantara (dalam Haryanto, 2011), pendidik tidak dapat merubah kodrat peserta didik, tetapi hanya dapat menuntun tumbuh-kembangnya kodrat kebaikan yang telah ada pada dirinya tersebut.

Kedua, bahwa kita seharusnya bisa memandang manusia (sebagai peserta didik) secara utuh. Bahwa manusia memiliki raga dan jiwa yang meliputi daya cipta, rasa, dan karsa. Maka pendidikan seharusnya menggarap manusia secara utuh, tidak hanya daya ciptanya (kemampuan kognitifnya) saja sebagaimana yang menjadi tren masa kini. Dengan demikian, maka tujuan pendidikan untuk membentuk karakter peserta didiknya, (semoga) akan dapat tercapai.

Ketiga, bahwa proses pendidikan seharusnya dipahami sebagai proses yang berlangsung dalam lingkungan yang lebih luas, termasuk dalam keluarga dan masyarakat (Haryanto, 2011). Mungkin karena itu lah Ki Hadjar Dewantara (dalam Haryanto, 2011) menyatakan bahwa pendidikan adalah “usaha kebudayaan”, sebab dalam kebudayaan tersebut lah proses pendidikan berlangsung. Dalam kerangka berpikir demikian, maka makna semboyan ing ngarsa sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani pun akan menemukan bentuknya yang nyata, tidak hanya menjadi sekedar semboyan kosong.

*

Tetapi hal yang lebih mendasar daripada itu semua yang perlu kita tinjau kembali adalah kerangka pemikiran tentang untuk apa sesungguhnya kita berada dan hidup di dunia ini. Selama kehidupan masih kita angap sebagai perjuangan untuk mencapai kepuasan diri sendiri, selama itu pula akan selalu ada kompetisi, baik antar sesama manusia, maupun dengan makhluk yang lain. Bila demikian, maka keselarasan tidak akan pernah terwujud. Manusia hanya akan terus berusaha menaklukkan alam, memanfaatkannya demi kepentingan pemuasan kebutuhan manusia. Tidak hanya itu, antar sesama manusia pun akan saling berusaha menaklukkan satu sama lain. Maka perang tidak akan pernah usai.

Maslow (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa meskipun setiap manusia sesungguhnya memiliki potensi kebaikan di dalam dirinya dan meskipun setiap manusia sesungguhnya dapat mengaktualisasikan potensi tersebut, namun karena perhatian manusia teralihkan kepada pemuasan kebutuhan di tingkat yang lebih rendah (kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, dan harga diri), maka potensi kebaikan tersebut tidak teraktualisasi. Kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah dalam konsep hirarki kebutuhan Maslow tersebut, oleh Riyono (n.d.) dalam Teori Human Motivation Model-nya, disebut sebagai “urge” yang menurut saya sepertinya sama maknanya dengan nafsu. Urge adalah dorongan-dorongan yang timbul dari dalam diri yang ketika ia dipenuhi akan menimbulkan perasaan puas, senang, dan bangga. Sementara itu, apa yang oleh Maslow disebut sebagai kebutuhan untuk beraktualisasi, oleh Riyono diidentifikasi sebagai dorongan untuk mencapai kebermaknaan hidup. Menurut Riyono, jika urge (yang mencakup kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah Maslow) adalah dorongan untuk “menerima” sehingga timbul kepuasan, maka kebermaknaan (atau aktualisasi dalam konsep Maslow) adalah dorongan untuk “memberi” manfaat kepada orang lain.

Di sini lah, sepertinya, letak di mana masyarakat dunia dewasa ini mengalami kebuntuan perkembangan peradaban. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam ilmu ekonomi, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu, dan bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Maka prinsip ekonomi mengajarkan untuk “memberi sesedikit mungkin, dan menerima sebanyak mungkin”. Dengan demikian, katanya, kesejahteraan akan tercapai.

Dan dengan bodohnya kita percaya dengan semua itu. Kita percaya bahwa ekonomi adalah kunci mencapai kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Kita percaya bahwa bila kita menyimpan harta benda yang kita miliki sekarang, besok-besok kita tidak perlu khawatir akan mengalami kekurangan, maka kita menumpuk-numpuk harta yang sesungguhnya bisa kita manfaatkan untuk kebaikan di saat ini. Padahal esok belum tentu adanya. Kita percaya bahwa kebahagiaan kita adalah hak kita yang mesti diperjuangkan, sementara kebahagiaan orang lain adalah urusan orang lain yang tak perlu kita pikirkan. Maka kita mati-matian berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri (dan yang kumaksud dengan diri sendiri dapat berupa kelompok sendiri, keluarga sendiri, atau lingkungan sendiri yang kita letakkan dalam perspektif “menguntungkan bagi diri kita”), dan tak peduli pada kebutuhan orang lain.

Tidak benar, menurutku, bahwa kebutuhan hidup manusia itu tidak terbatas. Kebutuhan manusia itu sesungguhnya tidak banyak-banyak amat, selama kita mampu mengendalikan diri. Kebanyakan hal di sekeliling kita sesungguhnya bukan benar-benar merupakan sesuatu yang kita butuhkan. Hal-hal tersebut adalah sesuatu yang kita inginkan, lalu dirasionalisasikan sebagai kebutuhan.

Maka pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai tuntunan agar seseorang mampu menguasai “nafsunya” (Haryanto, 2011) sesungguhnya sudah sangat baik. Hanya mungkin saja masyarakat memang sudah melupakan itu, dan lebih setuju dengan pemikiran bahwa pendidikan adalah jalan untuk meningkatkan perekonomian. Bahkan tidak hanya pendidikan, motif ekonomi sepertinya melatarbelakangi hampir setiap apa yang dilakukan manusia dewasa ini. Bahkan tersenyum pun seringkali dilatari oleh motif tersebut.

*

Mungkin cara berpikir kita sudah sangat terpengaruh oleh pola pikir ekonomi. Pada tingkat individu, keluarga, kelompok, masyarakat, negara, bahkan global, hampir segalanya dipertimbangkan –utamanya—menggunakan kerangka pemikiran ekonomi. Kebijakan menganai sistem pendidikan pun tidak terlepas dari itu.

Kritik Sir Ken Robinson terhadap model sistem pendidikan di sebagian besar negara di dunia sepertinya juga mencerminkan hal ini. Robinson, dalam beberapa kali ceramahnya di TED.com, menyoroti model sistem pendidikan di kebanyakan negara di dunia yang menurutnya “membunuh kreativitas” dan mengubur potensi-potensi kebanyakan peserta didik. Ia menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan, salah satunya, oleh model sistem pendidikan yang masih mengadopsi model era industri. Sistem pendidikan modern, menurut Robinson, memang lahir sejak terjadinya Revolusi Industri pada abad ke-19. Dahulu, pendidikan tidak lah sesistematis sekarang. Namun sejak era industri bergulir, sistem pendidikan kemudian dibentuk untuk menyelaraskan kemampuan manusia dengan tuntutan industrialisme. Maka tak heran bila sistem pendidikan masih cenderung menyerupai “pabrik” untuk menciptakan karyawan bagi dunia industri.

Standarisasi di mana-mana. Robinson menganalogikannya dengan model fast food di mana bahan baku, proses, dan hasilnya distandarisasi. Bayangkan, bagaimana manusia-manusia yang pada hakikatnya beragam diseragamkan oleh sistem pendidikan. Untuk mengenyam pendidikan, orang-orang harus melalui serangkaian tes standar yang berfungsi sebagai saringan untuk memilih bahan baku yang sesuai. Dalam prosesnya pun, kurikulum distandarisasi, metode pengajaran distandarisasi, target pencapaian distandarisasi. Mereka yang tidak sesuai standar akan disingkirkan.

Dengan sistem pendidikan seperti itu, Robinson melihat kenyataan bahwa banyak anak-anak yang sebenarnya berbakat menjadi tersingkirkan. Hal tersebut terjadi karena dalam model pendidikan industrialis, hanya bakat-bakat tertentu saja yang memperoleh perhatian dan dianggap penting sementara bakat-bakat yang lain diabaikan. Bakat seni dan olahraga adalah bakat-bakat yang pada umumnya menjadi korban sistem semacam ini.

Robinson bersikeras bahwa sistem pendidikan perlu dirombak, perlu revolusi. Ia menegaskan bahwa sistem pendidikan seharusnya berlaku secara dinamis dan dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang sesuai bagi tumbuh-kembangnya potensi diri peserta didik yang memang sangat bermacam-macam. Mendidik seharusnya seperti bertani, sebab pendidikan mengolah manusia yang sifatnya organis, bukan mesin yang mekanis. Dengan kata lain, sistem pendidikan lah yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, dan bukan sebaliknya. Dengan demikian, setiap potensi, bakat, talenta yang dimiliki peserta didik akan terfasilitasi untuk dapat berkembang dan teraktualisasi.

[Jogjakarta, September 2015]


Referensi:

Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality (7th ed.). United States of America: McGraw-Hill Primis.

Haryanto. (2011, Mei). Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara. Cakrawala Pendidikan, 15-27.

Riyono, B. (n.d.). Human Motivation Model: Sebuah Koreksi Terhadap "Need Hierarchy" Maslow.

Samho, B., & Yasunari, O. (2010). Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Tantangan-Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.