Pages - Menu

Di Luar Batas

Rabu, Hari ke Lima, Bulan Mei, Tahun 2010

Pada zaman dahulu, nenek moyang kita mungkin tidak percaya bahwa besi bisa terapung di atas permukaan air. Mereka percaya (berdasarkan pengetahuan dan sejauh kemampuan mereka berpikir) bahwa besi pasti tenggelam dalam air, bagaimanapun bentuknya, sebab massa jenis besi memang lebih besar daripada massa jenis air (entah, apa mereka telah memahami konsep massa jenis atau belum).
Zaman dahulu, setiap orang mungkin akan menjawab: "Batu!, ketika ditanya: "Manakah yang akan sampai di tanah terlebih dahulu ketika dijatuhkan dari ketinggian yang sama, batu, atau kertas?"
Dahulu, orang tidak tahu bahwa Bumi ini bulat, dan bukannya Matahari yang berputar mengelilingi Bumi
melainkan sebaliknya, Bumilah yang mengelilingi Matahari.

Itu sebelum Archimedes melompat ke luar dari bak mandinya dan berlari telanjang di jalanan kota Syracusa dan berteriak: "Eureka.. Eureka!" Lalu dari peristiwa itu, manusia bisa membuat kapal dari besi, dengan memanfaatkan gaya apung (gaya Archimedes).
Sebelum Galileo menemukan ide tentang benda jatuh ketika sedang berjalan-jalan di bawah hujan salju, lalu melakukan percobaan menjatuhkan berbagai ukuran bola dan menemukan bahwa kecepatan jatuh semua benda (berapapun massanya) adalah sama pada medan gravitasi yang besarnya sama.
Sebelum para penjelajah samudera (Ferdinand Magelhain, mungkin) membuktikan bahwa bumi itu bulat, dan Kepler mengemukakan Hukum Pertamanya tentang gerak planet.

Jika sekarang, kita memandang ke masa lalu, dengan pengetahuan yang kita miliki saat ini, bukankah kita bisa melihat batas-batas pengetahuan manusia di masa silam? Ternyata pemikiran manusia memang punya batasan. Mungkin, dibanding dengan orang-orang di masa lampau, batas pemikiran kita sekarang jauh lebih luas, sehingga kita bisa melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh orang-orang terdahulu.

Lalu, mungkin di masa depan nanti, orang-orang akan bisa melihat apa yang saat ini tidak dapat kita lihat (baca: pikirkan). Mungkin mereka akan melihat kita, sebagaimana kita melihat orang-orang sebelum kita.

Bukankah dari situ kita bisa mengira-ngira bahwa pemikiran manusia memang terbatas?

Seharusnya kita bisa lebih bijaksana dalam memandang keterbatasan kita. Bahwa terdapat hal-hal di luar batas pemikiran dan pengetahuan kita. Dan belajar dari orang-orang sebelum kita, bahwa apa yang tidak bisa kita pikirkan dan ketahui, bukan berarti tidak ada.

"Mungkin Tuhan berada di luar batas pemikiran kita (kita hanya mengetahui Tuhan dari ajaran-ajaran agama), tetapi bukan berarti Dia tidak ada. Aku tidak mengatakan bahwa Tuhan itu pasti ada. Sebab kepastian itu semu, sebagaimana kebenaran ilmiah. Pada akhirnya, kita akan kembali berpegangan pada keyakinan kita, ketika gelombang badai pemikiran melanda. Lakukan apa yang kamu yakini, dan itulah kebenaranmu!"

Di Titik Aku Mempertanyakan Hidup

Selasa, Hari Ke Empat, Bulan Mei, Tahun 2010

Aku tiba lagi di titik aku mempertanyakan hidup ini. Apa maknanya kehidupan ini? Apakah hidup ini bertujuan? Apakah ada alasan mengapa kita hidup? Atau jangan-jangan hidup ini absurd. Bahkan aku mungkin harus mendefinisikan ulang arti kata 'hidup' itu.
Aku baru menyadari, ternyata aku sama sekali tidak tahu apa arti 'hidup'. Yang ku tahu, selama aku masih bernafas, berarti aku masih hidup. Secara sederhana begitu. Terlepas, ada yang mengartikan hidup dengan cara lain, yang ku tahu, hidup adalah sebagaimana di atas. Tetapi mengenai arti 'hidup' yang sesungguhnya, aku tidak tahu.
Jika hidup ini memang bertujuan, maka mungkin adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Atau, sejauh yang kulihat selama ini, kita hidup untuk tetap hidup.
Bukankah hampir semua orang (jika tidak ingin mengatakan semua) menjalani kehidupannya untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya agar tetap bisa bertahan hidup? Setiap saat kita sibuk berusaha mencari makanan untuk dimakan agar tubuh kita tetap bisa menghasilkan energi yang akan digunakan untuk berbagai aktivitas; bernafas, memompa aliran darah, bergerak, dan sebagainya.
Bernafas sendiri adalah syarat agar makanan yang telah dimakan bisa diolah menjadi energi, karena menyuplai Oksigen yang dibutuhkan untuk pembakaran zat makanan (melalui glikolisis, siklus Krebs, sampai transport elektron). Sedang aliran darah adalah sistim transportasi sari makanan dari usus halus menuju ke sel-sel tubuh, tempat di mana ia diolah menjadi energi (dalam bentuk ATP) melalui proses-proses yang telah disebutkan sebelumnya. Dan energi yang dihasilkan, selain digunakan dalam proses pembakaran zat makanan (untuk menghasilkan energi), juga digunakan oleh tubuh untuk bergerak. Dan bergerak adalah cara kita memperoleh makanan dari luar tubuh. Kemudian makanan itu melalui proses seperti di atas lagi.
Bertahan untuk tetap hidup akan diusahakan oleh setiap orang dengan segala cara. Bahkan walau harus mengorbankan kehidupan lain. Bukankah kita hidup dengan membunuh mahluk hidup lain? Nasi yang kita makan adalah hasil dari membunuh padi. Begitu pula dengan sayuran dan lauk-pauk yang lain. Sadarkah kita, bahwa semua yang kita makan berasal dari mahluk hidup lain?
Seolah hidup itu sangat berharga bagi setiap orang. Setiap orang dengan hidupnya masing-masing. Tidak peduli berapa banyak kehidupan yang harus direnggut, selama kita bisa tetap hidup, maka itulah yang akan kita lakukan.
Jadi, kehidupan ini adalah sebuah lingkaran (atau segi empat, atau segi tiga, atau segi lima, atau trapesium, atau...). Kehidupan adalah sebuah perjalanan untuk tetap hidup. Ia adalah sebuah perjalanan, dan hanya perjalanan. Tanpa akhir.
Bukankah itu sama artinya dengan tidak bertujuan?
[]
Beberapa orang tidak ingin menerima jawaban semacam itu, mungkin. Lalu orang-orang ini mengajukan konsep lain mengenai hidup. Entah apa itu.
[]
Mungkin, ada yang berpendapat bahwa tujuan hidup ini akan terlihat ketika hidup berakhir. Seperti sebuah jalan, tujuannya ada di akhir jalan itu. Artinya tujuan hidup ada pada kematian.
Bukankah bagaimanapun kita berusaha bertahan tetap hidup, kita akan mati juga nantinya? Mati adalah keniscayaan bagi setiap yang hidup. (Ngomong-ngomong, yang kumaksud 'mati' adalah tidak 'hidup').
Namun ketika ditanya, "Lalu apa tujuan hidup yang ada pada kematian itu?" Tidak ada yang bisa menjawab. Sebab kematian adalah salah satu misteri terbesar.
[]
Sampai di sini, ternyata tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan. Lalu, mungkinkah kita hidup memang untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu?
[]
Pada akhirnya, muncullah berbagai keyakinan. Kita menyebutnya 'agama'. Sesuatu yang mencegah kita dari pemikiran-pemikiran kacau yang tak tentu arah. Sesuatu itu memberi kita pijakan, dan tujuan.

Manusia.
Rupanya pemikiran kita tidak berdasar.
Ternyata,
penalaran kita tak tentu arah.
Di titik di mana akal telah jenuh,
satu-satunya yang akhirnya kita temukan
adalah apa yang kita yakini.