Sungai-Sungai Di Utara Teluk Bone #1 - Sungai Lamasi

Ada cukup banyak sungai yang diseberangi jika kita menempuh perjalanan melintasi Jalan Trans Sulawesi mulai dari Kota Palopo hingga perbatasan Sulawesi Tengah atau Sulawesi Tenggara, dan di antara sungai-sungai tersebut, beberapa sungai terlihat cukup menggoda untuk diarungi. Beberapa sungai si antaranya sangat mungkin sudah pernah diarungi, meski tak terlalu banyak informasi beredar soal itu. Salah satu sungai, yakni Sungai Rongkong, bahkan sudah lumayan dikenal sebagai tempat berarung jeram. Namun masih terdapat beberapa sungai atau segmen lain yang menyimpan jeram-jeram yang saya rasa menarik untuk dijelajahi, terutama menggunakan kayak.

Sekitar 20 km ke utara dari Kota Palopo terdapat sebuah jembatan yang tepat di bawahnya terdapat jeram. Ini adalah jembatan Sungai Lamasi, salah satu sungai utama yang mengairi hamparan persawahan di dataran rendah Lamasi dan Walenrang. Sungai ini termasuk dalam daftar destinasi one day trip yang ditawarkan dalam katalog Indo' Sella' (sebuah perusahaan tur wisata yang berbasis di Rantepao, Tana Toraja), selain Sungai Rongkong, meski saya belum mendapatkan informasi pasti mengenai segmen yang mereka arungi untuk trip tersebut.

Video 1: diambil dari dalam bus ketika melewati Jembatan Sungai Lamasi. Debit air ketika itu terbilang cukup besar.

Sebuah artikel catatan perjalanan dari Florian Fischer di website Kokatat menyinggung soal pengarungan mereka menggunakan kayak di Sungai Lamasi pada 2016. Pengarungan tersebut kemungkinan difasilitasi oleh Indo' Sella', merujuk pada sebuah unggahan oleh Agustinus Lamba, pimpinan Indo' Sella', di laman Facebooknya (lihat di sini). Saya pernah bertanya pada Florian Fischer lewat Facebook soal pengarungan di Sungai Lamasi tersebut, dan berdasarkan informasi yang dia berikan, mereka melakukan pengarungan itu pada 29 Oktober 2016, dimulai dari sebuah pertemuan sungai kecil dari sisi kiri sungai utama pada titik ini sampai ke bendungan tepat sebelum jembatan Jalan Trans Sulawesi. Tinggi muka air pada batang pengukur di bendungan itu ketika mereka mengarunginya adalah 250 cm, dan tingkat kesulitan jeram pada saat itu bervariasi dengan beberapa di antaranya termasuk grade 4 namun semuanya dapat mereka arungi dengan metode read and run (mereka tidak berhenti dan melakukan pengamatan jeram atau scouting dari tepi sungai sebelum mengarungi jeram, melainkan mengamati secara langsung bentukan jeram yang di hadapi dari atas perahu kayak sambil mengarunginya).

Menilik pin lokasi pada Google Maps di sekitar sepanjang aliran sungai ini, saya menemukan beberapa foto dan video pengarungan sungai ini di sebuah titik yang ditandai sebagai "Finis Arung Jeram". Menelusuri sungai ini ke arah hulu, terdapat sebuah jembatan yang diberi pin dan ditandai sebagai "Star Jembatan Gantung". Titik ini berdekatan dengan titik pertemuan sungai yang jadi titik awal pengarungan Florian Fischer. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan besar segmen ini memang sudah mulai dikembangkan untuk wisata arung jeram.

Pada 6 Juli 2017 saya pernah mengunjungi dan mengambil beberapa video di beberapa titik pada segmen tersebut. Debit air sungai ketika itu tergolong normal.

Video 2: diambil di sekitar titik koordinat -2.853235, 120.103649 (dekat "Finis Arung Jeram")

Video 3: diambil di sekitar titik koordinat -2.851859, 120.089291

Video 4: diambil di sekitar koordinat -2.852117, 120.085952

Video 5: diambil di jeram yang sama dengan Video 4, beberapa meter ke arah hulu

Video 6: diambil di sekitar koordinat -2.849946, 120.079556

Video 7: diambil di sekitar koordinat -2.851389, 120.073711

Lokasi pengambilan video 7 itu adalah lokasi di mana kini terdapat jembatan gantung yang ditandai pin dengan label "Star Jembatan Gantung". Pada 2017, jembatan gantung itu seingat saya belum ada di titik ini, melainkan beberapa ratus meter ke arah hulu. Saya sudah mengkonfirmasi ini dengan memeriksa tampilan historical image citra satelit Google Earth untuk tahun 2017. Dapat pula teramati berbagai perubahan bentukan jeram dan pendangkalan pada aliran sungai. Meski video di atas tidak dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui gambaran aktual jeram-jeram di sungai ini, kita masih bisa mendapatkan gambaran umum tentang karakteristiknya.

Sedikit ke hulu dari segmen ini, aliran sungai masih menyimpan jeram dengan gradien yang secara umum sama, tetapi lebih jauh ke arah hulu lagi gradien sungai menjadi lebih terjal dan semakin ke hulu semakin terjal. Segmen hulu inilah yang saya pikir jauh lebih menantang untuk diarungi menggunakan kayak.

Pada 25 September 2021 saya sempat menyusuri kembali jalan di sepanjang sisi kanan sungai ini untuk melihat-lihat beberapa titik di bagian hulunya. Titik paling jauh yang sempat saya kunjungi adalah di sini dan mengambil foto 1 dan 2 di bawah. Jalan menuju titik ini, dan bahkan seterusnya entah sampai di mana, memang masih berupa timbunan tanah dan kerikil, namun sudah cukup lebar untuk dilalui mobil (lihat foto 3).

Foto 1

Foto 2
Bila diperhatikan dengan saksama,
terlihat jembatan gantung di sisi kiri foto.
Selanjutnya jembatan ini akan diberi label 'Lempe Pasang 2'.

Foto 3


Dengan bekal optimisme tinggi, skill bermain kayak yang memadai, tim yang solid, dan kondisi jalanan serta cuaca yang mendukung, saya kira titik paling hulu yang dapat dijadikan titik awal pengarungan adalah di sini (selanjutnya akan diberi label 'Lamasi Hulu 1'), di sebuah jembatan gantung yang berada pada ketinggian sekitar 720 mdpl, di Desa Lamasi Hulu, Kecamatan Walenrang Barat. Dari sini hingga ke bendungan dekat Jalan Trans Sulawesi, panjang segmen sungai adalah sekitar 27 km. Kita dapat membaginya menjadi beberapa segmen berdasarkan keberadaan titik akses menuju sungai dan perkiraan gradien masing-masing segmen tersebut.

Berikut adalah gambaran profil gradien untuk tiap-tiap segmen yang diplot menggunakan MsExcel. Saya memperkirakan ketinggian tiap titik dengan mengamati garis kontur pada tampilan terrain Google Maps, dan mengukur panjang segmen juga menggunakan aplikasi yang sama, dibantu dengan situs web satellites.pro untuk pembanding gambaran citra satelit yang lebih jelas untuk menemukan titik-titik jembatan. Untuk pelabelan atau penamaan titik, saya menggunakan nama desa di dekat mana titik tersebut berada (namun saya tidak dapat menjamin ketepatannya), kecuali tiga titik terakhir.

Berikut link untuk melihat penampakan citra satelit masing-masing titik: Lamasi Hulu 1, Lamasi Hulu 2, Lempe Pasang 1, Lempe Pasang 2, Lempe 1, Lempe 2, Ilan Batu Uru, Rafting Start, Rafting Finish, Bendungan.

Segmen 1, dari Lamasi Hulu 1 sampai Lamasi Hulu 2, panjangnya 2 km dengan penurunan ketinggian sebesar 120 m (gradien 60 m/km).

Segmen 2, dari Lamasi Hulu 2 sampai Lempe Pasang 1, panjangnya 2,5 km dengan penurunan ketinggian sebesar 100 m (gradien 40 m/km).

Segmen 3, dari Lempe Pasang 1 hingga Lempe Pasang 2, panjangnya 2,5 km dengan penurunan ketinggian sebesar 100 m (gradien 40 m/km).

Segmen 4, dari Lempe Pasang 2 hingga Lempe 1, panjangnya 2,5 km dengan penurunan ketinggian sebesar 80 m (gradien 32 m/km).

Segmen 5, dari Lempe 1 hingga Lempe 2, panjangnya 3,5 km dengan penurunan ketinggian sebesar 80 m (gradien 22,8 m/km).

Segmen 6, dari Lempe 2 hingga Ilan Batu Uru, panjangnya 3,5 km dengan penurunan ketinggian sebesar 40 m (gradien 11,4 m/km).

Segmen 7, dari Ilan Batu Uru hingga Rafting Start, panjangnya 5 km dengan penurunan ketinggian sebesar 60 m (gradien 12 m/km).

Segmen 8, dari Rafting Start hingga Rafting Finish, panjangnya 3,5 km dengan penurunan ketinggian sebesar 40 m (gradien 11,4 m/km).

Segmen 9, dari Rafting Finish hingga Bendungan, panjangnya 2 km dengan penurunan ketinggian sebesar 20 m (gradien 10 m/km).

Karena terdapat jalan yang dapat dilalui mobil yang terbentang paralel di sepanjang sisi kanan sungai dan jaraknya hampir selalu berdekatan dengan sungai, kita sebenarnya bisa memilih untuk memulai dan mengakhiri pengarungan pada titik mana saja. Kecuali di bagian hulu yang lereng tepi sungainya terjal sehingga akses menuju sungai yang tersedia lebih terbatas.

Untuk gambaran yang sedikit lebih jelas, berikut adalah rekaman foto dan video yang sempat saya ambil di bagian hulu ketika berkunjung pada 17 dan 25 September 2021:

Video 8: 17 September 2021 di titik -2.849611, 120.049497

Video 9: 17 September 2021 di titik -2.845268, 120.044537



Foto 4: 17 September 2021 di titik -2.835301, 120.039534 (Ilan Batu Uru)

Video 10: 25 September 2021 di titik -2.808200, 120.034641 (Lempe 2)

Video 11: 25 September 2021 di titik -2.802212, 120.031244

Video 12: 25 September 2021 di titik -2.796310, 120.028206

Video 13: 25 September 2021 di titik -2.787947, 120.022244

Foto 5: 25 September 2021 di titik -2.784924, 120.020255 (Lempe 1)

Video 14: 25 September 2021 di titik -2.784551, 120.019200

Video 15: 25 September 2021 di titik -2.776212, 120.003453

Video 16: 25 September 2021 di titik -2.775343, 120.000924


Saya menemukan situs web untuk memantau debit air Sungai Lamasi [cek di sini]. Entah seberapa valid dan reliabel data yang ditampilkan.

Sungai Poso - Sepotong Surga 'Big Water' (Mungkinkah?)

Salah satu insight yang saya peroleh setelah merasakan mengarungi jeram-jeram Sungai Asahan di Sumatera Utara adalah bahwa sungai-sungai yang berhulu di danau, terutama bila danaunya cukup besar dan airnya tidak pernah kering, akan memiliki debit air yang cenderung stabil dan jernih. Tinggal mencari danau yang cukup besar dan berada di ketinggian, lalu memeriksa apakah sungai buangan airnya memiliki segmen berjeram.

Ada beberapa danau yang kemudian saya periksa dan ternyata memang sungai buangannya memiliki segmen berjeram. Danau Ranau di Sumatera Selatan, Danau Habema di Papua Pegunungan (baca cerita first descent-nya di sini), Danau Tage di Papua Tengah, Danau Lindu dan Danau Poso di Sulawesi Tengah, serta Danau Towuti di Sulawesi Selatan. Mungkin saja masih ada danau-danau lain yang belum sempat saya temukan.

Tetapi kali ini saya ingin membahas tentang sungai yang mengalir dari Danau Poso. Ini danau pertama yang saya periksa dan temukan memiliki sungai buangan (outlet river) yang memiliki jeram-jeram besar, setidaknya sebagaimana yang terlihat di peta citra satelit. Waktu pertama kali melihat buih-buih putih pada citra satelit itu, saya langsung membayangkan Aratiatia, Nevis Bluff, dan Huka Falls, jeram-jeram terkenal di Selandia Baru itu. Kebetulan waktu itu masih dalam pengaruh sisa-sisa hype ekspedisi Palapsi ke Selandia Baru. Faktanya, sampai sekarang pun saya belum pernah melihat secara langsung jeram-jeram tersebut (kecuali dari film-film atau vidio di internet), maupun jeram-jeram di Sungai Poso, sungai yang mengalir dari Danau Poso itu.

Penampakan citra satelit salah satu bagian berjeram di Sungai Poso
Penampakan citra satelit salah satu bagian berjeram di Sungai Poso, diambil dari satellites.pro

Saya pernah kebetulan melewatinya ketika dalam perjalanan dari Palu menuju Sulawesi Selatan via Kota Poso, sempat mencoba mencari akses jalan yang cukup mudah untuk melihat sungai itu, namun tidak berhasil. Meskipun Sungai Poso mengalir paralel dengan Jalan Trans Sulawesi dari Kota Poso menuju Sulawesi Selatan, akses jalan paling baik menuju sungai berada dalam kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso I dan II, dan jalan itu dijaga satpam. Saya meminta izin untuk lewat dan melihat-lihat sungai, tapi tidak diperbolehkan. Sebenarnya ada beberapa jalan lain menuju sungai yang terlihat di peta, namun karena sepertinya kondisinya tidak terlalu bagus, saya pikir akan menyita waktu terlalu banyak dari alokasi waktu perjalanan saya yang masih amat jauh ketika itu.

Sekali lagi ini mengingatkan saya pada Aratiatia, mengingat jeram tersebut berada tepat di mulut saluran pembuangan air sebuah pembangkit listrik dan para kayaker yang ingin mengarunginya biasanya harus main kucing-kucingan dengan polisi. Tapi itu di negara lain. Kalau di sini, mungkin sebaiknya mencari cara yang lebih sopan saja. Entah bagaimana.

Tetapi sepertinya masih memungkinkan untuk tidak mengusik pihak PLTA jika menempuh jalan akses lain menuju sungai. Memang ada kabar bahwa PLTA Poso III akan dibangun, atau bahkan sedang dalam proses dibangun (?), dan letaknya kemungkinan besar akan mengambil setidaknya separuh dari segmen sungai yang berjeram. Namun sampai saat ini belum terlihat ada bangunan baru di lokasi yang tertandai sebagai lokasi PLTA Poso III dari pantauan citra satelit. Bila demikian, maka mungkin sungai masih bisa diakses tanpa harus mengusik kawasan operasi PLTA Poso I dan II.

Terdapat penampakan jembatan gantung di titik ini yang mungkin adalah jembatan untuk warga sekitar mengakses kebunnya di seberang sungai, dan terlihat ada jalan (entah setapak atau lebar) dari jembatan itu menuju perkampungan yang dilewati Jalan Trans Sulawesi. Kebetulan jembatan tersebut berada tepat sebelum jeram pertama sehingga sangat pas untuk dijadikan titik awal pengarungan.

Ada pula jalan lebar paralel dengan aliran sungai (saya duga ini adalah jalan yang dibangun oleh pihak PLTA, mungkin untuk akses pembangunan PLTA Poso III) yang lewat cukup dekat dengan jeram pertama yang terlihat cukup besar dan curam. Ini mungkin bisa dimanfaatkan untuk melakukan scouting.

Terdapat satu lagi penampakan jembatan gantung di titik ini, dan ada jalan dari jembatan itu menuju jalan utama, kemungkinan juga untuk akses warga menuju kebun. Jalan akses ini mungkin berguna untuk melakukan scouting, atau untuk keadaan darurat. Selain kedua jembatan gantung yang sudah disebutkan, tidak terlihat ada jalan akses lain menuju sungai kecuali setelah melewati titik akhir segmen berjeram (di sini).

Sebenarnya ini keadaan cukup "ideal". Adanya jalan akses menuju titik awal dan akhir segmen berjeram tentu mengeliminasi tingkat kerepotan kita membuka jalur sendiri. Sisanya tinggal soal bagaimana melakukan scouting secara lebih detil dan saksama. Mengandalkan gambaran citra satelit tentu tidak cukup, sebab kita tidak tahu kapan gambar itu diambil sehingga tidak ada jaminan bahwa jeram-jeram yang terlihat akan sesuai dengan bentuk nyatanya. Belum lagi bila mempertimbangkan kondisi debit air. Bagaimanapun, sungai dan jeram selalu berubah dari waktu ke waktu, dan mendapatkan gambaran kondisi aktual adalah prasyarat bagi sebuah pengarungan (apalagi pengarungan pertama kali[?]) yang sukses. Ditambah lagi bila mempertimbangkan fakta bahwa mayoritas jeram yang ada terlihat berkelanjutan (continuous) dan hanya sedikit bagian flat (tidak berjeram).

Panjang total segmen ini adalah 10,5 km, dengan total penurunan ketinggian 260 meter. Maka rata-rata gradiennya adalah sekitar 24,7 m/km. Mungkin sepertinya tidak terlalu terjal, tetapi kalau mengingat bahwa gradien segmen Rabbit Hole di Asahan adalah sekitar 25 m/km, dan bahwa Sungai Poso ini juga merupakan sungai yang mengalir dari danau sebagaimana Sungai Asahan itu, maka dapat dibayangkan bahwa jeram-jeramnya mungkin tak jauh berbeda.

Topografi Rabbit Hole - Jembatan Parhitean di Sungai Asahan diambil dari Google Maps.
Perhatikan bahwa beda ketinggian antar garis kontur kecil adalah 20 m. Titik 0 km garis ukur berada di antara garis kontur ketinggian 280 dan 300, dan titik 3,2 km berada di antara ketinggian 200 dan 220. Jika diambil rata-ratanya, maka titik 0 berada kira-kira pada 290 mdpl dan titik 3,2 berada kira-kira pada 210 mdpl. Maka perhitungan gradien rata-ratanya adalah (290 - 210) / 3,2 = 80 / 3,2 = 25 m/km.

Saya pikir ini adalah sepotong sungai yang layak jadi alasan bagi kayaker-kayaker dalam negeri untuk terus berlatih meningkatkan kecakapan dan pengalaman mengarungi jeram-jeram besar.

__________
NB: Jeram/ penyempitan terakhir ini terlihat "mencurigakan". Dengan penampakan bagian downstream yang melebar berbentuk menyerupai kantong, saya pikir jeram ini wajib di-scouting untuk memastikan bahwa itu bukan air terjun.

Sungai Sekitar Gunung Lompobattang, Sulawesi Selatan #2 - Sungai Kelara (Segmen Sungai Palumdingan/Palumpiang & Balang Lompo)

Sungai Kelara ini kelihatannya adalah sungai paling besar yang mengalir di sisi selatan pegunungan Lompobattang. Hulu anak-anak sungainya mengumpulkan air dari lereng-lereng sebelah barat dan barat daya Gunung Lompobattang, mengalirkannya melewati lembah-lembah dalam di antara dataran-dataran tinggi landai di wilayah Kecamatan Tompobulu dan Bontolempangan, Kabupaten Gowa, lalu bergabung jadi satu di perbatasan Kabupaten Jeneponto, tepatnya di Kecamatan Kelara, kemudian terus mengalir ke selatan melewati kota Jeneponto dan bermuara di Laut Flores.

Tepat di perbatasan antara Kabupaten Gowa dan Jeneponto, di titik di mana banyak anak sungai bertemu, terdapat Waduk Karalloe(1) yang baru saja diresmikan pada 2021. Dari titik tersebut ke arah hilir terdapat cukup banyak jeram kelas 2 hingga 3. Seksi ini sepertinya sudah cukup sering diarungi (pada Januari 2025 pernah dilakukan pengarungan dalam rangka Jambore Nasional Arus Deras di sini), meskipun saya tidak tahu apakah terdapat operator yang menjalankan trip arung jeram rutin.

Bagian yang menurut saya layak jadi perhatian adalah segmen di atas waduk tersebut, yakni utamanya sepanjang sekitar 6 km mulai dari pertemuan antara Sungai Karalloe dan Sungai Balang Lompo(2) tepat di bawah Air Terjun Bantimurung Katimbang, sampai ke Waduk Karalloe. Saya pernah mengunjungi beberapa titik di sepanjang segmen ini pada 23 Januari dan 13 Februari 2022, dan berdasarkan pengamatan ketika itu, debit air sungai ini terlihat cukup untuk dapat diarungi dengan kayak.

Debit air Sungai Palumdingan ketika saya berkunjung pada Januari 2022
Debit air pada 23 Januari 2022. Foto diambil dari Jembatan Esere'


Jeram-jeram di Sungai Palumdingan, anak Sungai Kelara
Jeram-jeram di Sungai Palumdingan, anak Sungai Kelara


Waktu menemani geng SEND pada Februari 2020, Dane sempat menyampaikan usul untuk mencoba menjelajahi Sulawesi Selatan, namun keterangan yang kemudian saya berikan padanya mementahkan usul tersebut. Pada waktu itu, saya tidak mengira bahwa di sekitar Pegunungan Lompobattang terdapat sungai atau air terjun yang memungkinkan dan layak untuk diarungi oleh kayaker sekelas mereka, sehingga keterangan yang saya berikan hanyalah tentang medan pegunungan di bagian utara Sulawesi Selatan serta buruknya akses jalan untuk menjelajahi wilayah tersebut. Hal itu kemudian baru saya sesali ketika saya menyaksikan sungai ini, dan beberapa sungai dan air terjun lainnya di seputaran Gunung Lompobattang. Andai mereka waktu itu menjelajahi daerah ini, buka tidak mungkin mereka bisa mengarungi 2 - 3 sungai serta 2 - 3 air terjun.

Kebanyakan sungai-sungai yang sempat saya datangi di wilayah seputaran Lompobattang terlihat sangat bergantung pada curah hujan untuk membuat debit airnya cukup untuk diarungi, termasuk segmen Sungai Palumdingan/ Palumpiang (toponim yang saya ambil dari peta Rupa Bumi Indonesia/ RBI terbitan Bakosurtanal) ini. Musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan bagian selatan biasanya berlangsung dari Desember hingga Maret. Pada rentang waktu itulah, saya kira, sungai ini paling memungkinkan untuk diarungi.

Potongan peta RBI 1:50000 lembar 2010-62 edisi 1991 memperlihatkan toponim Sungai Balang Lompo, Balang Karangloe, Palumdingan
Potongan peta RBI 1:50000 lembar 2010-62 edisi 1991 memperlihatkan toponim Balang Lompo, Balang Karangloe, Salo Palumdingan


Potongan peta RBI 1:50000 lembar 2010-34 memperlihatkan toponim sungai Kelara dan Palumdingan
Potongan peta RBI lembar 2010-34 edisi 1991, memperlihatkan toponim Balang Palumpiang dan Binanga Kelara

Yang mungkin bakal cukup merepotkan adalah manajemen shuttle (ulang-alik antar-jemput) serta akses menuju sungai. Kebanyakan sungai-sungai yang mengaliri wilayah ini berada di lembahan dalam dengan lereng yang curam. Oleh karena itu, jaringan jalan penghubung antar desa dan kecamatan pada umumnya berkelok-kelok dan sering kali memutar cukup jauh untuk menyeberangi sungai dan lembah-lembah dalam. Tak jarang pula terdapat tanjakan yang curam, dan pada musim hujan sering pula terdapat jalanan yang kondisinya jelek karena rusak, meskipun sebagian besar jalanan sudah dikeraskan dengan aspal maupun beton. Oleh sebab itu, dibutuhkan kendaraan yang cukup bertenaga, dan supir khusus yang bertugas mengantar-jemput, yang cakap membaca peta atau yang mengetahui rute-rute akses jalan yang ada.

Dalam hal akses menuju sungai, untuk mencapai titik awal, yakni pertemuan Sungai Karalloe dan Balang Lompo, agaknya tidak terdapat akses langsung yang mudah. Namun ada beberapa pilihan titik akses. Yang pertama, yang menurut saya paling bagus, adalah dari sebuah jembatan yang menyeberangi Sungai Karalloe, penghubung Desa Datara dengan Desa Bontolempangan, di titik koordinat -5.447098475372185, 119.80333364152473. Dari sini kita perlu mengarungi sekitar 800 m anak sungai ini hingga memasuki sungai utama, tentu saja dengan catatan bahwa debit airnya tidak terlalu kecil.

Jembatan Sungai Karalloe antara Desa Datara dan Desa Bontolempangan, sisi hulu, diambil pada 23 Februari 2022

Jembatan Sungai Karalloe antara Desa Datara dan Desa Bontolempangan, sisi hilir, diambil pada 23 Februari 2022

Bila itu dinilai tidak memungkinkan, pilihan kedua adalah mencari titik di mana ruas jalan berada cukup dekat dengan sungai, dengan lereng yang tidak terlalu terjal, lalu mencari atau membuka jalan setapak untuk mengakses sungai. Hal ini kelihatannya lebih memungkinkan dilakukan dari sisi kiri sungai, di sepanjang ruas jalan yang menghubungkan Desa Datara dengan Dusun Batuborong, Desa Tonrorita. Pada citra satelit yang ditampilkan Apple Maps, terlihat ada jembatan besar di titik -5.451569837583949, 119.7943130532011, tepat sebelum pertemuan dengan sebuah sungai kecil dari sisi kanan sungai utama. Namun, di citra satelit peta yang lain (Google Maps, Bing Maps, Mapbox), jembatan tersebut terlihat seperti jembatan gantung kecil saja, yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Sayangnya, ketika saya mencoba menemukan jembatan tersebut pada waktu berkunjung ke sungai ini pada 2022, saya tidak menemukan jalan menuju ke sana. Entah apakah jembatan tersebut memang benar-benar ada, atau tidak. Kalau ada, tentu bisa jadi alternatif titik mula pengarungan. [Google Street View Februari 2025 di titik ini memperlihatkan sebuah jalan yang bisa jadi menuju ke jembatan itu, atau tembus ke pinggir sungai]

Jika pilihan kedua tersebut juga ternyata tidak memungkinkan, maka pilihan yang tersisa, dan paling pasti, adalah dari Jembatan Esere'. Sayangnya, kalau memulai pengarungan dari titik ini, kita akan kehilangan 1,6 km seksi sungai yang jeram-jeramnya kelihatan cukup bagus untuk pemanasan.

Dari Jembatan Esere' ke arah hilir sepanjang sekitar 700 m adalah segmen yang kelihatan paling menantang. 'Crème de la crème', kalau kata orang Perancis. Sungai menyempit diapit tebing di kanan-kiri, arus air jadi penuh turbulensi, dan gradiennya sangat curam. Setidaknya terdapat dua drop/ air terjun yang garis horisonnya dapat terlihat dari jembatan (lihat Google Street View Februari 2025 ini), dan sangat besar kemungkinan di bawahnya masih ada drop lagi, mengingat sepanjang 700 m itu elevasi yang hilang sekitar 40 m, menurut amatan garis kontur di Google Maps.

Berikut adalah rekaman vidio yang diambil pada 23 Januari 2022, memperlihatkan segmen penyempitan dan dua drop di bawah Jembatan Esere' tersebut:




Pe-er paling penting dan sulit adalah soal bagaimana melakukan scouting terhadap segmen ini secara detil dan teliti, sebelum memutuskan dan berkomitmen untuk mengarunginya. Sepertinya dibutuhkan sebuah misi khusus tersendiri untuk itu. Kalau ada drone, mungkin bisa sangat membantu. Kalau tidak, maka harus berkutat dengan tebing di kanan-kiri sungai, mungkin pula dengan mengandalkan kreativitas dan keahlian tali-temali untuk menunjang keselamatan. Pe-er penting lainnya adalah soal bagaimana mengatur dan menerapkan sistem safety (keselamatan) ketika melakukan pengarungan. Hal ini sepertinya baru bisa dijawab setelah melakukan scouting terhadap keseluruhan seksi penyempitan sepanjang 700 m tersebut.

Adapun titik akhir pengarungan yang kelihatannya paling enak, meskipun harus mendayung sejauh 1 km sampai 2 km di flat, adalah di sekitar Dusun Bangkeng Tabbing, Desa Garing, di tepi Waduk Karalloe, di mana terdapat akses jalan yang dapat dilalui mobil. Dusun ini berada di sisi kiri aliran sungai, sisi yang sama dengan Desa Datara, di mana titik mula pengarungan berada. Meski demikian, jalan yang menghubungkannya berputar cukup jauh sehingga meski jaraknya dekat, waktu tempuh perjalanan daratnya bisa cukup memakan waktu.

***

Bila kondisi debit air cukup besar (yang mungkin dapat terjadi setelah hujan semalaman di hulu), kedua anak sungai, yakni Balang Lompo dan Sungai Karalloe, sebenarnya terlihat cukup menarik juga untuk diarungi. Saya belum sempat meninjau bagian hulu Sungai Karalloe, sebab kelihatannya cukup sulit diakses, tetapi untuk Sungai Balang Lompo terdapat beberapa titik yang pernah saya kunjungi karena akses jalannya lebih mudah.

Titik permulaan yang ideal untuk segmen ini adalah di Jembatan Likunoang (atau Likunuang?) dan, untuk segmen penuh sepanjang 11,5 km dengan total penurunan elevasi sekitar 300 m, titik akhir kemungkinan bisa di dekat kampung Parang Pesu, Desa Bontolempangan, tepat sebelum Air Terjun Bantimurung Katimbang, di mana pada citra satelit terlihat ada jalan setapak dari tepi kiri sungai menuju kampung Parang Pesu. Atau, apabila menginginkan akses yang lebih mudah dan cepat, panjang segmen bisa dipotong menjadi 7,3 km saja (dengan total penurunan elevasi sekitar 220 m) dengan titik akhir di sebuah jembatan dekat Dusun Lemoa, Desa Bontolempangan, yang bisa langsung diakses dengan mobil.

_______________

Catatan:

(1) 'Karalloe' atau 'Karangloe' saya kira adalah semacam penyebutan berbeda yang mengacu pada hal yang sama yaitu nama sebuah sungai, dan kemudian juga jadi nama bendungan atau waduk di hilir sungai itu. Yang pertama sepertinya lebih jamak digunakan, sedangkan yang kedua saya temukan sebagai toponim di  peta RBI Bakosurtanal.

(2) 'Balang', 'Salo', 'Binanga' sebenarnya memiliki kesamaan arti yakni 'Sungai' dalam Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, saya memutuskan untuk tetap menggunakan 'Sungai Balang Lompo' alih-alih 'Sungai Lompo', meski sebenarnya mengandung pengulangan kata bermakna sama, semata-mata karena terasa lebih pas di benak saya saja.

Tak Lagi Dikenali

di beranda itu

masihkah tersisa jejak angin

yang kerap menyelinap diam-diam

membawa serbuk bunga-bunga dari seberang padang

dan daun-daun menguning

begelantungan di surai ekornya yang berpilin

lalu lepas terpelanting

dan menyelip di celah papan lantai kayu hutan

yang konon menyembunyikan sepotong rahasia

tentang nama-nama paling akrab di lidah dan telinga kota

namun tak lagi dikenali siapa pun

kecuali sebagai suatu cara menemukan

sebuah tempat yang tak kan pernah sama dari waktu ke waktu

 

5 Mei 2025

tanah tanya (98)

aku mengunyah asap
semenjak keretap duka dan suramnya tepian pelana hiperbolis
mendekap didih kota yang lengket di rambut semak-semak sunyi
yang tersesat di ujung jemari

batang-batang kelamin yang terpahat di kuluman sembilu

padahal jerit bulan terbaca
dan hanyut lenguhmu bercampur aroma kemenyan
serukan erang berima nestapa kaum kuasa
dalam kelenjar masalalu tersiratlah gelisah
pedagang birahi sekolah megah
di mana karam angan kita membisikkan nama-nama paling abuh
tuk mengusik teduhnya matahari dari celah lidahmu

ketika turah lukamu bertaruh
di atas tubuh separuh celana sepertiga alur sejarah
yang diperah di atas wajah penuh tanah
dan tanya berserah nyawa
padam seketika

Maret 2025

sampah

kata-kata berceceran

kau punguti diam-diam

sebelum waktu membusuk


kata-kata kau tumpuk

bakar sampai berkobar

dan langit hitam terpanggang jelaga


kata-kata bertebaran di udara

menebal di pucuk senjata

sebelum tergeletak tanpa suara


kata-kata terantai dalam barisan

dilucuti dari segala arti

sebelum dikuburkan tanpa nisan

dalam kitab hukum tanpa keadilan


April, 2025

Semasa - Cerita Yang Datar Tapi Tak Hambar

Belum lama ini saya melihat sebuah cuitan melintas di linimasa Twitter (sekarang X), meminta saran buku bacaan fiksi yang bagus. Di kolom komentarnya, ada yang menyarankan 'Semasa'. Saya jadi teringat bahwa beberapa tahun yang lalu, seorang teman pernah juga menyarankan buku tersebut pada saya. Tak lama kemudian saya pun membelinya, lalu, tentu saja, membacanya.

Saya menyukai sampulnya yang sederhana. Boleh dikata minimalis. Di depan, siluet tiga utas kabel listrik melintang dengan dua ekor burung bertengger masing-masing pada kabel yang berbeda, terpisahkan oleh jarak dan seutas kabel di antaranya, dengan latar belakang warna oranye sebagai warna dominan sampul buku ini. Berkesan hangat, namun sekaligus menyiratkan kesunyian, dua hal yang secara garis besar memang sarat saya rasakan sepanjang pembacaan buku ini.


'Blurb' [saya baru tahu istilah ini] di sampul belakang memperingatkan bahwa cerita di dalam buku ini adalah tentang "melepaskan". 'Move on', dalam istilah serapan populernya. Terasa klise, memang, tetapi saya kira begitulah adanya kehidupan. Untuk melangkah ke depan, kita mesti rela mengangkat kaki dari pijakan di belakang. 

Saya juga mendapatkan selembar kartu, kira-kira seukuran kartu pada umumnya, bersamaan dengan buku ini. Sepintas seperti selembar kartu nama belaka, bertuliskan nama, kontak, dan alamat toko buku dari mana saya memesan buku ini, yang ketika saya balik, ternyata sekaligus juga merupakan "sertifikat adopsi" yang menyatakan bahwa buku ini sekarang adalah punya saya (ada nama saya tertulis-tangan di situ). 

Hal ini cukup menggelitik saya. Di satu sisi, saya pikir itu mungkin tak lebih dari sekadar akal-akalan si penjual buku untuk membuat pembeli merasa tersentuh secara personal sehingga hubungan penjual-pembeli yang biasanya memang cuma transaksional saja dapat sedikit-banyak bergeser ke arah (seolah-olah) interpersonal dengan sepercik nuansa emosional. 

Meski demikian, di sisi lain, tak dapat saya sangkal bahwa kartu sederhana yang boleh difungsikan sebagai penanda halaman itu telah berhasil membuat saya cukup tersentuh. Buku ini jadi terasa agak istimewa. Terlebih ketika saya kemudian mulai membuka halaman-halamannya satu demi satu, membaca pesan penerbit di sisi dalam sampul belakang, dan merasakan sendiri betapa kertas buku ini memang lebih tebal dari kertas buku-buku pada umumnya. Terasalah bahwa buku ini seperti diterbitkan tidak secara sembarangan melainkan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan.

Adapun cerita di dalamnya sebenarnya, bagi saya, biasa-biasa saja. Tidak terlalu istimewa. Tak ada hal khusus yang membuat saya kagum. Intinya, ya, sebagaimana terangkum pada uraian singkat di sampul belakang buku. Mau tidak mau, suka tidak suka, kehidupan akan menuntut kita untuk melepaskan. Dan yang dilepaskan itu tidak jarang adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita. Persoalannya tinggal bagaimana proses melepaskan semua itu. Kurang lebih demikianlah benang merah yang saya tangkap dalam alur cerita buku ini. 

Meski begitu, ada hal-hal yang saya sukai, yang membuat saya lumayan betah membaca buku ini. Walau inti ceritanya, buat saya, tidak terlalu menarik, cara penceritaannya ternyata mampu membuat saya rela menyisihkan waktu untuk membaca. Ini menyadarkan saya pada kenyataan bahwa isi cerita adalah satu hal yang bisa jadi memang penting, namun bagaimana cerita itu dibawakan adalah hal lain yang tak kalah penting. 

Entah apa istilah tepatnya, tapi kiranya bolehlah saya sebut itu sebagai 'teknik bercerita'. Ini meliputi: bagaimana kalimat-kalimat dirangkai, diksi atau pilihan kata yang dipakai dalam membangun deskripsi, selipan-selipan metafora dan pemaknaan terhadap peristiwa dari sudut pandang tokoh utama, serta manuver-manuver kilas-balik ('flash-back') yang disisipkan secara halus di banyak momen untuk memperkenalkan para tokoh serta menyibak latar persoalan yang mereka hadapi secara perlahan-lahan, tanpa harus membuat pembaca tersasar dalam kebingungan anakronis terhadap alur cerita. 

Tak terlalu banyak pengarang, saya kira, yang mampu menyajikan cerita dengan cara yang baik sedemikian rupa sehingga sebuah cerita yang tak terlalu menarik dapat terasa cukup menarik dibaca. Ada sensasi empuk dalam kalimat-kalimatnya yang serasa pas di benak. Tidak melelahkan ketika dibaca, terasa mengalir, tidak memburu-buru namun tidak juga berleret-leret, dan mampu menggoda saya untuk terus membaca tanpa harus menanamkan rasa penasaran ataupun kejutan-kejutan mendebarkan pemicu adrenalin. Cukup menakjubkan mendapati diri saya membaca sebuah cerita yang cenderung datar tapi ternyata tak terasa hambar. 

Ada kehangatan yang samar terasa di dalam cerita yang tergulirkan lewat serangkaian permenungan dari sudut pandang orang pertama dalam benak tokoh utama yang berperan sebagai narator. (Maklum, ini adalah sepotong kisah dalam bingkai sebuah keluarga). Di lain pihak, ada hawa kesunyian yang mengambang di antara ruang bagi kesepian dan ruang bagi pemaknaan, baik dalam kenangan-kenangan yang dibayangkan maupun harapan-harapan yang didambakan oleh narator dan para tokoh. Antara kedekatan batin yang terjalin dan keterpisahan jarak yang nyata. Antara masa muda bertabur kemungkinan dan masa tua yang kian mengendap dan menetap. 

Begitulah. Kelak, saya mungkin akan membaca ulang buku ini, entah kapan, suatu saat nanti. Bukan untuk melihat kembali apa yang diceritakan, melainkan untuk menikmati bagaimana sebuah kisah diceritakan. 


____________

Catatan lain: 

Selagi menulis ini, tiba-tiba saya merasa familiar dengan ilustrasi di sampul depan. Seperti pernah menjumpainya entah di mana. 

Menggali ingatan, saya pun teringat sepotong sajak berjudul 'Lanskap' oleh Sapardi Djoko Damono: 

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua

waktu hari hampir lengkap, menunggu senja

putih, kita pun putih memandangnya setia

sampai habis semua senja 


—29 Februari 2024