<×>
Diterjemahkan secara bebas dari "With The Beatles" karya Haruki Murakami (versi Bahasa Inggris terjemahan Philip Gabriel)
<×>
Yang membuatku merasa sedih mendapati kenyataan itu-- mendapati para gadis yang kukenal telah menjadi tua-- adalah karena itu mendamparkanku kembali pada kenyataan bahwa mimpi-mimpi masa mudaku benar-benar sudah berlalu sama sekali. Dan, mau tak mau, suka tidak suka, aku harus menerima kenyataan itu. Matinya mimpi-mimpi, dalam cara tertentu, ternyata bisa jadi lebih menyedihkan daripada kematian makhluk hidup.
~
Ada seorang gadis-- maksudku, perempuan yang dulunya gadis-- yang masih kuingat dengan jelas. Tapi aku tak tahu namanya. Juga tak tahu perihal keberadaan maupun pekerjaannya sekarang. Yang kutahu tentang gadis itu adalah bahwa dia dulu satu sekolah denganku, seangkatan (warna badge di seragamnya sama dengan yang kupunyai), dan bahwa dia sangat menyukai The Beatles.
Ketika itu tahun 1964, masa-masa kejayaan Beatlemania. Pada permulaan musim gugur. Semester baru baru saja dimulai, dan segala rutinitas mulai berjalan sebagaimana biasanya. Dia melangkah tergesa-gesa di koridor gedung sekolah tua yang panjang dan remang, ujung roknya bergoyang. Hanya ada aku, selain dirinya, di situ. Di dadanya, ia mendekap sebuah LP sedemikian rupa sehingga seolah-olah itu adalah suatu benda yang sangat berharga. Sebuah LP "With The Beatles." Yang di sampulnya terdapat foto wajah separuh siluet hitam-putih yang mencolok dari keempat orang Beatles. Entah bagaimana, aku bisa mengingat jelas bahwa itu adalah album original versi Britania, dan bukan versi Amerika atau Jepang.
Dia gadis yang cantik. Setidaknya bagiku, ketika itu, dia terlihat cantik. Dia tak berbadan tinggi semampai, namun rambutnya hitam dan panjang, kakinya ramping, dan tubuhnya berbau wangi semerbak. (Ingatan ini mungkin tidak sepenuhnya benar, entahlah. Mungkin tubuhnya tidak beraroma sama sekali. Namun begitulah aku mengingatnya, seakan-akan, apabila ia berjalan melewati aku, ada aroma khas yang semerbak di udara dan membuatku terpukau.) Ia benar-benar telah menjeratku dalam pesonanya-- gadis cantik yang mendekap "With The Beatles" di dadanya itu.
Jantungku mulai berdebar, aku berusaha mengatur nafas, dan seolah-olah semua suara tiba-tiba menghilang, seolah-olah aku tenggelam ke dasar kolam. Yang dapat kudengar cuma gema suara lonceng samar-samar jauh di dalam telingaku. Seperti ada seseorang yang sedang berusaha menyampaikan sebuah pesan penting kepadaku. Semua ini berlangsung mungkin selama sepuluh atau lima belas detik. Namun semua itu berakhir sebelum sempat kusadari, dan isi pesan penting itu, seperti makna yang terkandung dalam sebuah mimpi, pada akhirnya menghilang begitu saja.
Koridor sekolah yang remang, seorang gadis berparas cantik, ujung roknya yang bergoyang, "With The Beatles."
~
Itulah pertama dan terakhir kali aku melihat gadis itu. Sejak saat itu hingga saat kelulusanku dua tahun kemudian, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Cukup aneh jika kau coba memikirkannya. Sekolahku itu adalah sekolah negeri yang cukup besar, berada di puncak bukit di daerah Kobe, dengan jumlah siswa sekitar enam ratus lima puluh per angkatan. (Kami adalah generasi yang disebut Baby Boomers, maka kami ada banyak). Tidak setiap orang saling kenal satu sama lain. Aku bahkan tidak mengenal sebagian besar siswa di sekolah itu. Tetapi, mengingat aku pergi ke sekolah hampir setiap hari, dan sering melewati koridor itu, kenyataan bahwa aku tak pernah lagi bertemu gadis cantik itu adalah sesuatu yang cukup sulit kupercayai. Aku selalu mencari-cari keberadaan sosoknya setiap kali melewati koridor itu.
Apakah dia telah menghilang begitu saja bagai asap? Atau, apakah yang kulihat pada sore hari musim gugur itu bukanlah orang sungguhan melainkan semacam khayalan atau penampakan belaka? Mungkinkah ketika aku melihat gadis itu, aku sekadar memproyeksikan gambaran sosok gadis ideal dari dalam pikiranku seketika itu juga sedemikian rupa sehingga, meskipun kemudian aku bertemu gadis itu lagi, aku tak dapat mengenalinya? (Kupikir, yang terakhir itulah yang paling mungkin).
Di kemudian hari, aku sempat mengenal beberapa perempuan, mencoba menjalin hubungan dengan mereka. Dan setiap kali aku bertemu perempuan baru, rasanya seolah secara tak sadar aku memendam rindu untuk mengalami lagi momen yang pernah kualami di koridor sekolah yang remang pada suatu sore di musim gugur tahun 1964 itu. Keheningan itu, perasaan berdebar-debar di jantungku, rasa sesak di dadaku, dan gema lirih dentang lonceng di dalam telingaku.
Kadang kala aku dapat mengalami perasaan itu lagi, kadang kala tidak. Dan di lain waktu, aku seperti dapat menggenggamnya, namun pada akhirnya kubiarkan hilang begitu saja. Gejolak emosi yang kurasakan itu kemudian menjadi semacam tolak ukur baku bagi intensitas perasaan rindu yang mungkin kurasakan.
Ketika aku tak bisa mendapatkan sensasi itu dari dunia nyata, diam-diam kubiarkan ingatanku menghadirkan kembali kenangan akan perasaan itu. Memori yang kumiliki menjelma sebuah perangkat emosional penting, bahkan, menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku untuk bisa bertahan hidup. Seperti seekor anak kucing yang kubiarkan tertidur pulas, bergelung di dalam kehangatan saku jaketku yang besar.
~
Mengenai The Beatles.
Setahun sebelum aku melihat gadis itu adalah masa-masa ketika The Beatles menjadi sangat populer. Hingga April 1964, mereka mampu mendominasi lima besar tangga lagu single terpopuler Amerika. Musik pop belum pernah menyaksikan kehebohan seperti itu. Kelima lagu-lagu terpopuler itu adalah: (1) "Can't Buy Me Love" ; (2) "Twist And Shout"; (3) "She Loves You"; (4) "I Want To Hold Your Hand"; (5) "Please Please Me." Lagu "Can't Buy Me Love" sendiri saja sudah menerima lebih dari dua ratus juta prapesanan, menjadikannya peraih double platinum bahkan sebelum rekamannya dilepas ke pasar.
The Beatles tentu juga sangat populer di Jepang. Nyalakan radio, dan kemungkinan besar kau akan mendengar salah satu lagu mereka. Aku pun menyukai lagu-lagu mereka dan tahu semua lagu hits mereka. Kalau kau memintaku menyanyikannya, akan kunyanyikan. Ketika sedang belajar (atau pura-pura belajar) di rumah, aku sering memutar radio dengan suara keras. Namun, sejujurnya, aku tidak pernah jadi penggemar berat The Beatles. Aku tak pernah memburu dan mengoleksi lagu-lagu mereka. Bagiku, semua itu hanya sebatas mendengarkan secara pasif, musik pop terlantun dari speaker kecil radio transistor Panasonic milikku, masuk ke telinga satu dan keluar dari telinga yang lain, hampir tanpa sempat bersinggah barang sekejap pun di otakku. Musik yang menjadi latar belakang bagi cerita masa-masa remajaku.
Selama SMA maupun kuliah, aku tidak pernah sekalipun membeli album Beatles. Aku lebih suka musik jazz dan musik klasik, dan itulah yang akan kudengarkan ketika aku memang ingin mendengarkan musik. Aku menabung untuk dapat membeli album jazz, rekaman pentas Miles Davis dan Thelonious Monk di bar-bar jazz, dan untuk menonton konser musik klasik.
Ini mungkin aneh, tapi baru pada usia pertengahan tiga puluhan lah aku sempat benar-benar mendengarkan "With The Beatles" dari awal hingga akhir. Biarpun bayang-bayang akan gadis yang berjalan mendekap LP di koridor sekolah itu tak pernah kulupakan sama sekali, selama itu aku tak pernah tertarik untuk mendengarkannya. Tak ada ketertarikan sama sekali, pada diriku, untuk mencari tahu musik macam apa yang tersimpan pada gurat di permukaan piringan vinyl yang didekapnya erat-erat itu.
Di usia pertengahan tiga puluhan, periode setelah masa kanak-kanak dan remaja terlewati jauh itu, kesan pertamaku terhadap album itu adalah bahwa ia tidaklah begitu hebat, setidaknya bukan merupakan jenis musik yang bisa dibilang luar biasa. Dari total empat belas lagu di album itu, enam lagu merupakan cover lagu artis lain. Cover dari "Please Mr. Postman"-nya Marvelettes dan "Roll Over Beethoven"-nya Chuck Berry cukup apik dan membuatku terkesan bahkan sampai sekarang, namun tetap saja mereka hanyalah lagu cover. Dan dari delapan lagu asli mereka, kecuali "All My Loving"-nya Paul, tidak satupun yang luar biasa. Tidak satu lagu pun yang berhasil jadi hits, dan bagiku justru album pertama The Beatles, "Please Please Me" yang direkam hanya dalam sekali rekaman saja itu, jauh terasa lebih hidup dan melekat di hati. Namun demikian, karena para penggemar The Beatles begitu tak sabar menantikan lagu-lagu baru mereka, album kedua ini berhasil menjadi no. 1 di U.K. sejak diluncurkan dan bertahan di posisi itu selama dua puluh satu pekan. (Di U.S., album ini diluncurkan dengan judul "Meet The Beatles" dan menyertakan beberapa lagu lainnya, namun desain sampulnya tetap sama).
Hal yang selalu menyeretku kembali pada kenangan itu adalah gambaran akan si gadis yang mendekap erat album itu seolah-olah itu sesuatu yang sangat berharga baginya. Kalau kau hapus foto di sampul album itu, peristiwa itu mungkin tidak akan selekat itu terpatri di ingatanku. Jelas, memang perihal musik itu juga berpengaruh. Tetapi ada hal lain, yang jauh lebih besar pengaruhnya. Dan, dalam seketika, gambaran itu terpatri di hatiku-- sebuah bayang-bayang momen spiritual yang hanya dapat dihasilkan oleh kenangan tentang peristiwa itu, pada waktu, tempat, dan momen spesial itu.
~
Bagiku, peristiwa penting pada tahun berikutnya, 1965, bukanlah perintah Presiden Johnson untuk memborbardir Vietnam Utara yang kemudian memicu eskalasi perang yang sedang berlangsung, bukan pula penemuan spesies kucing liar baru di pulau Irimote, melainkan kenyataan bahwa aku mendapatkan seorang pacar. Dia adalah teman sekelasku sejak tahun pertama SMA, namun baru di tahun ke dua kami mulai menjalani hubungan.
Demi menghindari kesalahpahaman, ingin kusampaikan terlebih dahulu bahwa aku bukanlah seorang yang cukup rupawan dan tidak pula pernah menjadi atlet yang populer, dan nilai-nilaiku selama sekolah tidaklah dapat dikatakan sangat bagus. Aku tak pandai bernyanyi, tidak pula cakap bermain kata-kata. Semasa sekolah, maupun di tahun-tahun setelahnya, aku tak pernah dikerumuni gadis-gadis. Itulah di antara sedikit hal yang dapat kukatakan secara pasti dalam kehidupan yang tak pasti ini. Meskipun begitu, ada saja satu-dua gadis yang-- entah karena apa-- tertarik padaku. Aku tak tahu apa alasan mereka, namun aku menikmati setiap pengalaman intim dengan mereka. Aku cukup akrab dengan mereka, dan kadang-kadang hubungan itu menjadi lebih dari sekadar teman. Gadis yang kuceritakan di sini adalah salah satu di antaranya-- gadis pertama yang menjalin hubungan sangat dekat denganku.
Gadis yang menjadi pacar pertamaku ini bertubuh mungil dan jelita. Musim panas itu, aku berkencan dengannya seminggu sekali. Pada suatu sore kukecup bibir mungilnya yang ranum, dan kurabai payudara di balik branya. Waktu itu dia mengenakan gaun putih tanpa lengan dan dari rambutnya tercium aroma citrus.
Dia hampir-hampir tidak memiliki ketertarikan sama sekali terhadap The Beatles. Tidak pula terhadap musik jazz. Dia lebih menyukai musik yang cenderung mellow, yang dapat dikategorikan sebagai musik kelas menengah-- Mantovani Orchestra, Percy Faith, Roger Williams, Andy Williams, Nat King Cole, dan sejenisnya. (Ketika itu istilah "kelas menengah" tidaklah berkonotasi "rendahan" sama sekali). Album-album musik semacam itu bertumpuk-tumpuk di rumahnya-- jenis musik yang dewasa ini digolongkan sebagai musik ringan.
Sore itu, ia memutar sebuah album dengan alat pemutar yang ada di ruang tamu rumahnya-- keluarganya memiliki sebuah sistem stereo besar-- dan kami duduk di atas sofa besar yang empuk, bercumbu. Keluarganya sedang pergi ke suatu tempat dan hanya ada kami berdua di rumah itu. Dalam situasi demikian, aku sebenarnya tidak menaruh peduli pada jenis musik apapun yang sedang diputar.
Yang kuingat dari musim panas tahun 1965 itu adalah gaun putihnya, aroma citrus rambutnya, kawat branya yang terasa kaku (pada masa itu, bra lebih berfungsi seperti benteng perlindungan daripada pakaian dalam), dan permainan elegan Percy Faith Orchestra membawakan "Theme from 'A Summer Place'"-nya Alex Steiner. Hingga sekarang "Theme from 'A Summer Place'" selalu mengingatkanku pada sofa itu.
Kebetulan, beberapa tahun sesudah itu-- pada 1968, seingatku, hampir berbarengan dengan peristiwa terbunuhnya Robert Kennedy-- seorang guru yang pernah mengajar kami ketika kami sekelas, gantung diri di rumahnya. Guru itu mengajar Ilmu Sosial. Bunuh dirinya itu, konon, disebabkan oleh kebuntuan ideologis yang dialaminya.
Kebuntuan ideologis?
Tetapi memang-- di akhir tahun enam puluhan, kadang-kadang, orang melakukan bunuh diri karena ideologi yang mereka percayai terbentur pada sebuah dinding buntu. Meskipun itu tidak terlalu sering terjadi.
Ada perasaan aneh yang melanda apabila kupikirkan bahwa sore itu, selagi aku dan pacarku dengan gugup bercumbu di atas sofa ditemani alunan lagu Percy Faith, guru Ilmu Sosial kami itu sedang berjalan pelan mengikuti jalan ideologinya yang ternyata kan berujung buntu, atau, dengan kata lain, ia berjalan menuju seutas tali bersimpul yang diam-diam akan menjerat batang lehernya. Kadang aku bahkan merasa bersalah bila memikirkan itu. Di antara semua guruku, dia adalah salah satu yang terbaik. Perkara ia berhasil sukses atau tidak adalah hal lain, namun ia selalu memperlakukan murid-muridnya sebaik mungkin. Aku tak pernah bercakap dengannya di luar kelas, namun begitulah aku mengenang sosoknya.
~
Seperti halnya 1964, 1965 adalah tahunnya The Beatles. Mereka meluncurkan "Eight Days A Week" pada bulan Februari, "Ticket to Ride" pada bulan April, "Help!" pada bulan Juli, dan "Yesterday" pada bulan September-- yang semuanya memuncaki tangga lagu U.S. Seakan-akan hanya musik merekalah yang kami dengarkan sepanjang waktu. Musik itu mengepung kami di mana-mana, seperti wallpaper yang ditempelkan secara cermat hingga menutupi setiap senti permukaan dinding.
Kalau bukan lagu-lagu The Beatles yang terdengar, maka "(I Can't Get No) Satisfaction"-nya Rolling Stones, atau "Mr. Tambourine Man"-nya Byrds, atau "My Girl" dari The Temptations, atau "You've Lost That Lovin' Feelin'"-nya Righteous Brothers, atau "Help Me, Rhonda"-nya the Beach Boys-lah yang akan terdengar. Diana Ross dan The Supremes juga punya lagu hits. Musik-musik hebat dan jenaka semacam ini terlantun terus-menerus dari radio transistor Panasonic kecilku. Tahun itu sungguh adalah tahun kejayaan musik pop.
Ada yang berkata bahwa masa-masa paling membahagiakan dalam kehidupan kami adalah masa-masa ketika lagu-lagu pop menempati ruang yang begitu berarti bagi kami. Mungkin benar. Mungkin tidak. Lagu-lagu pop tidak lebih dari sekadar lagu pop. Dan kehidupan ini diisi oleh hal-hal yang tak lebih dari sekadar pernak-pernik sekali pakai, warna-warna yang, pada akhirnya, lekas pudar.
~
Rumah pacarku berada dekat dengan stasiun radio Kobe yang selalu kudengarkan siarannya. Seingatku, ayahnya bekerja di bidang ekspor, atau impor, alat-alat medis. Aku tak tahu detilnya. Tetapi dia memiliki sebuah perusahaan sendiri, dan sepertinya berjalan dengan cukup baik. Rumah mereka berada di kawasan hutan pinus dekat laut. Kudengar, rumah itu dulunya adalah villa musim panas milik seorang pengusaha sebelum dibeli oleh keluarganya dan dimodifikasi. Pepohonan pinus berdesir ditiup angin dari laut. Tempat itu sangat cocok untuk mendengarkan "A Theme from 'A Summer Place.'"
Bertahun-tahun kemudian, aku sempat menonton acara televisi tengah malam yang menayangkan sebuah film tahun 1959, "A Summer Place." Film tipikal Hollywood tentang pengembaraan anak muda yang digarap dengan cukup apik. Dalam film itu, terdapat pepohonan pinus dekat laut yang bergoyang ditiup angin laut musim panas dalam iringan terompet Percy Faith Orchestra. Bagian di mana pepohonan pinus bergoyang tertiup angin itu, kurasa, adalah metafora tentang anak-anak muda yang dipenuhi hasrat seksual. Namun itu tak lebih dari pemikiranku saja, sebuah pandangan yang bias.
Dalam film itu, Tony Donahue dan Sandra Dee mengalami desir gejolak hasrat seksual yang kuat seperti itu, dan, oleh karenanya, harus menghadapi berbagai macam problema dunia nyata. Kesalahpahaman disusul rekonsiliasi, hambatan-hambatan yang menghadang sirna bak kabut yang memudar, dan pada akhirnya keduanya bersatu dalam pernikahan. Di Hollywood pada tahun lima puluhan, sebuah akhir yang membahagiakan selalu menghadirkan pernikahan-- terwujudnya sebuah lingkungan di mana pasangan yang saling mencintai dapat berhubungan seks secara legal. Aku dan pacarku, tentu saja, tidak pernah menikah. Waktu itu kami masih di bangku SMA, dan sejauh yang dapat kami lakukan hanyalah saling bercumbu dengan canggung dan saling raba di atas sofa diiringi lagu "Theme from 'A Summer Place.'"
"Tahukah kau?" katanya padaku di atas sofa itu, dengan suara lirih, seakan-akan sedang membuat pengakuan. "Aku seorang pencemburu."
"Benarkah?" kataku.
"Aku ingin kau tahu itu."
"O.K."
"Perasaan cemburu itu, kadang, terasa begitu menyakitkan."
Dalam diam kubelai rambutnya. Tak dapat kubayangkan sama sekali, waktu itu, seberapa membakarnya perasaan cemburu itu, apa penyebabnya, dan apa akibatnya. Aku terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri.
Sebagai catatan pinggir, Tony Donahue, bintang muda yang tampan itu, di kemudian hari terjerumus dalam candu alkohol dan obat-obatan terlarang, tak lagi bermain film, bahkan sempat hidup menggelandang. Pun Sandra Dee, bergelut dengan kecanduan alkoholnya. Donahue menikah dengan aktris terkenal Suzanne Pleshette pada 1964, namun bercerai delapan bulan kemudian. Dee menikah dengan penyanyi Bobby Darin pada 1960, tetapi mereka bercerai pada 1967. Ini, tentu saja, tidak ada kaitannya dengan jalan cerita "A Summer Place." Tidak pula berkaitan dengan nasibku dan pacarku.
Pacarku mempunyai seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Si adik perempuan itu masih kelas dua SMP namun badannya lebih tinggi lima sentimeter daripada kakak perempuannya. Dia tidak begitu cantik. Dan lagi, dia memakai kacamata tebal. Tetapi pacarku sangat menyayangi adiknya itu. "Nilai-nilainya di sekolah sangat bagus," dia memberitahuku. Kurasa, nilai-nilai pacarku, sepertinya, sedang-sedang saja. Sama seperti nilai-nilaiku, mungkin.
Pernah suatu kali adik perempuannya ikut serta bersama kami ke bioskop. Ada alasan tertentu sehingga kami harus mengajaknya. Film yang ditayangkan adalah "The Sound of Music." Studio bioskop itu sedang penuh-penuhnya sehingga kami hanya bisa mendapatkan tempat duduk di bagian depan, dan aku ingat betul betapa menyaksikan film 70mm di layar lebar dari jarak yang sangat dekat membuat mataku sakit. Tetapi pacarku sangat menyukai musik dari film itu dan mendengarkannya tanpa henti. Aku lebih suka musik versi magis John Coltrane dari "My Favorite Things," tapi kurasa tiada gunanya membahas masalah itu dengannya, maka aku tak pernah mengungkitnya.
Adik perempuannya sepertinya tidak terlalu suka padaku. Setiap kali kami bertemu pandang, ia menatapku dengan sorot mata yang aneh, nyaris tanpa emosi sama sekali-- seperti sedang melihat ikan kering di dalam kulkas sembari memikirkan apakah ikan itu masih layak makan atau tidak. Dan, entah bagaimana, tatapannya itu selalu membuatku merasa bersalah dalam hati. Ketika menatapku, seolah-olah dia tidak sedang menyaksikan penampilan luarku (jelas, tidak ada yang menarik, memang) melainkan menembus hingga jauh ke dalam diriku. Mungkin perasaan itu muncul karena memang aku menyimpan rasa malu dan bersalah di dalam hatiku.
Kakak laki-laki pacarku berusia empat tahun lebih tua darinya, paling tidak usianya sudah dua puluhan ketika itu. Dia tidak pernah memperkenalkan kakaknya itu kepadaku dan hampir tidak pernah membicarakannya. Kalau kebetulan obrolan kami menjurus kepadanya, ia akan segera mengganti topik. Dapat kulihat ada yang janggal dari sikapnya itu. Namun aku tak terlalu memikirkannya. Aku tidak tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang keluarganya. Hal yang membuatku tertarik padanya cuma sebatas hasrat yang butuh disalurkan.
Kali pertama aku bertemu dengan kakak laki-lakinya itu dan bercakap-cakap dengannya adalah jelang akhir musim gugur tahun 1965.
Hari Minggu itu aku datang ke rumah pacarku untuk menjemputnya. Kutekan bel rumahnya berkali-kali namun tak ada yang menjawab. Setelah jeda cukup lama, kutekan lagi, berulang-ulang, hingga akhirnya aku mendengar seseorang berjalan pelan menuju pintu. Itu adalah kakak laki-laki pacarku.
Tubuhnya sedikit lebih tinggi daripada aku, dan badannya agak berotot. Ia terlihat seperti olahragawan yang, entah karena alasan apa, lama tidak melatih tubuhnya sehingga menjadi agak gemuk, meskipun lemak di tubuhnya itu sepertinya bukan jenis lemak yang akan bertahan dalam waktu lama. Bahunya lebar, tetapi lehernya sedikit kurus dan panjang. Rambutnya berantakan dan terlihat mencuat di sana sini, layaknya seorang yang baru saja bangun tidur. Terlihat kusut dan kaku, seakan-akan sudah lewat dua pekan dari jadwal potongnya. Dia mengenakan sweater crew-neck biru tua yang lubang lehernya sudah melar dan longgar, dan celana training abu-abu yang bagian lututnya longgar. Penampilannya sangat bertolak belakang dengan penampilan pacarku yang selalu rapi, bersih, dan serasi.
Dia memicingkan matanya kepadaku selama beberapa saat, seperti seekor hewan yang baru saja keluar dari goa hibernasi panjangnya dan menemui cahaya menyilaukan.
"Biar kutebak. Kau adalah… teman Sayoko?" katanya sebelum aku sempat berkata apa-apa. Dia membersihkan kerongkongannya. Suaranya terdengar seperti suara orang yang masih mengantuk namun dapat kurasakan ada nada ketertarikan di dalamnya.
"Benar," kataku, dan kuperkenalkan diri. "Aku seharusnya datang pukul sebelas."
"Sayoko sedang tak ada," katanya.
"Tak ada," ucapku, mengulangi ucapannya.
"Dia pergi ke luar, entah ke mana. Dia tak ada di rumah."
"Tapi aku sudah berjanji menjemputnya hari ini pukul sebelas."
"Benarkah?" kata kakak laki-laki pacarku itu. Dia melirik ke arah dinding di sampingnya, mungkin melihat jam. Namun tak ada jam di sana, cuma dinding bercat putih. Dengan enggan, sepertinya, dia kembali mengalihkan pandangannya ke arahku. "Mungkin benar begitu, tapi nyatanya dia sedang tidak di rumah."
Aku tak tahu apa yang mesti kulakukan. Dan, sepertinya, demikian pula kakak laki-laki pacarku itu. Dia menguap dan menggaruk-garuk belakang kepalanya. Semua itu dilakukannya dalam gerak pelan dan seolah-olah telah dipikirkan baik-baik.
"Kelihatannya sedang tidak ada siapa-siapa di rumah," katanya. "Aku baru saja bangun tidur beberapa saat lalu, dan sudah tidak ada siapa-siapa di rumah. Mungkin mereka pergi ke suatu tempat, entah ke mana."
Aku tidak berkata apa-apa.
"Ayahku mungkin sedang pergi bermain golf. Adik-adik perempuanku pastinya pergi bersenang-senang. Tapi, anehnya, ibuku juga pergi. Tidak biasanya."
Kutampik dorongan untuk berspekulasi. Ini bukan keluargaku.
"Tapi kalau Sayoko memang sudah berjanji, aku yakin dia akan segera pulang tak lama lagi," kata kakak laki-laki pacarku. "Mengapa kau tak masuk saja dan menunggu di dalam?"
"Aku tak ingin merepotkanmu. Aku akan mencari suatu tempat dan menunggu di sana beberapa waktu. Nanti aku kembali lagi," kataku.
"Tak apa-apa, kau tak perlu sungkan," dia berkata meyakinkanku. "Lagipula, akan lebih merepotkan bila nanti aku harus membukakan pintu lagi karena mendengar bel yang ditekan berulang-ulang. Jadi, masuklah."
Tak dapat memikirkan pilihan lain, maka aku masuk, dan dia mengantarku ke ruang tamu. Ruang tamu di mana sofa yang aku dan Sayoko pernah bercumbu di atasnya pada musim panas itu berada. Aku duduk di situ, dan kakak laki-laki pacarku itu merebahkan diri di sebuah kursi berlengan di hadapanku. Dan sekali lagi ia menguap panjang.
"Kau teman Sayoko, kan?" ia bertanya lagi, seakan berusaha memastikan.
"Benar," kataku, memberi jawaban yang sama.
"Bukan teman Yuko?"
Aku menggelengkan kepala. Yuko adalah adik perempuan pacarku yang badannya lebih tinggi darinya.
"Menarikkah, berteman dengan Sayoko?" kakak pacarku itu bertanya, ada rasa ingin tahu terpancar dari matanya.
Aku bingung bagaimana mesti menanggapinya, maka aku diam saja. Dia duduk di sana, menunggu jawabanku.
"Menyenangkan. Iya," kataku, akhirnya, berharap itu adalah jawaban yang baik.
"Menyenangkan, tetapi tidak menarik?"
"Bukan begitu maksudku…," aku tak dapat melanjutkan kata-kataku.
"Tak apa-apa," kakak pacarku itu berkata. "Menarik atau menyenangkan-- tak ada bedanya juga, kan. Kau sudah sarapan?"
"Sudah."
"Aku mau membuat roti panggang, kau yakin tak ingin juga?"
"Tidak, tak perlu repot-repot," jawabku.
"Bagaimana kalau kopi?"
"Tidak usah."
Kopi, sebenarnya, cukup menggiurkan, namun aku khawatir jadi terlibat terlalu jauh dengan anggota keluarga pacarku, terutama selagi dia tidak berada di rumah.
Dia berdiri tanpa kata-kata dan pergi meninggalkan ruangan itu. Tak begitu lama berselang, kudengar bunyi piring dan gelas berdentingan. Tinggal aku seorang diri di sofa itu, duduk manis dengan sopan, tangan di atas paha, menunggu kepulangan pacarku-- entah dari mana. Jam menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit.
Kucoba mengingat-ingat lagi apakah kami memang telah menyepakati janji untuk bertemu pukul sebelas. Tetapi bagaimanapun aku menggali ingatanku, aku benar-benar yakin bahwa aku tidak sedang keliru mengingat hari dan jam yang dijanjikan. Kami telah menyepakati itu lewat percakapan telepon pada malam sebelumnya. Dia bukanlah orang yang biasa melupakan apalagi mengingkari janji. Tetapi memang aneh bahwa dia dan seluruh keluarganya pergi ke luar di hari Minggu pagi dan meninggalkan kakak laki-lakinya seorang diri di rumah.
Tak mampu menemukan jawaban atas semua keanehan itu, aku duduk dengan sabar. Waktu bergulir begitu lambat. Aku mendengar suara-suara dari dapur, suara air mengucur dari kran, denting sendok membentur dinding gelas kaca-- sesuatu mungkin sedang diaduk di dalamnya, derit pintu rak penyimpanan yang dibuka dan ditutup. Kakak laki-laki pacarku itu sepertinya adalah orang yang selalu gaduh ketika mengerjakan apa saja. Tetapi suara-suara itu kemudian tak terdengar lagi. Di luar tak ada angin berembus, tak ada anjing menyalak. Seakan-akan lumpur kental tak kelihatan, keheningan itu perlahan-lahan merembes menutupi lubang pendengaranku dari segala suara. Aku menelan ludah berkali-kali, berusaha untuk menyingkirkannya.
Alangkah baiknya bila ada musik. "Theme from 'A Summer Place,'" "Edelweiss," "Moon River,"-- apa saja. Aku tak akan keberatan mendengarkan musik apa saja. Tetapi tak mungkin aku menyalakan perangkat stereo dan memutar musik di rumah orang lain tanpa izin. Kulayangkan pandang ke sekeliling, mencari sesuatu yang dapat kubaca, namun tak kutemukan ada koran ataupun majalah. Aku memeriksa isi tas selempangku. Aku biasanya selalu membawa buku yang sedang kubaca ke mana-mana, namun tidak hari itu.
Kalau mau pergi berkencan, aku dan pacarku biasanya berpura-pura akan pergi ke perpustakaan untuk belajar, maka aku membawa barang-barang yang berhubungan dengan sekolah di dalam tasku agar terlihat lebih meyakinkan. Layaknya seorang kriminal amatiran berusaha menciptakan sebuah alibi yang tetap saja rapuh. Jadi, satu-satunya buku yang ada di dalam tasku waktu itu cuma sebuah buku bacaan suplemen untuk pelajaran Bahasa dan Sastra Jepang.
Terpaksa aku menariknya keluar dan mulai membolak-balik halaman-halamannya. Aku bukan seorang kutu buku yang suka membaca buku secara sistematis dan serius, hanya seorang yang merasa berat bila harus melewatkan waktu tanpa membaca sesuatu. Aku tak sanggup bila harus duduk diam begitu saja dalam waktu lama. Aku harus, setidaknya, membuka-buka buku atau mendengarkan musik. Bila tak ada buku sungguhan di sekitarku, akan kuambil apa saja yang dapat dibaca. Buku telepon. Buku manual petunjuk penggunaan setrika uap. Dan buku bacaan suplemen materi pelajaran Bahasa Jepang adalah sesuatu yang sudah jauh lebih baik dibanding itu semua.
Kubalik-balik halaman buku itu secara acak menelusuri bagian esai dan fiksi. Beberapa tulisan adalah karya penulis asing, tetapi sebagian besar adalah karya penulis-penulis Jepang yang cukup terkenal-- Ryunosuke Akutagawa, Junichiro Tanizaki, Kobo Abe, dan sebangsanya. Dan, tersemat di setiap tulisan-- semuanya, kecuali beberapa cerpen-- beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu kebanyakan tak penting sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan yang jawaban terhadapnya sulit sekali (bahkan mustahil) ditentukan secara logis benar atau salahnya. Aku tak yakin siapapun orangnya yang telah membuat pertanyaan itu sendiri akan dapat menentukan benar atau salahnya jawaban yang diberikan atasnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti: "Apa yang dapat kalian petik dari bacaan ini terkait opini penulisnya terhadap perang?" atau "ketika penulis mendeskripsikan fase-fase penampakan bulan, efek simbolis apakah yang tercipta?" Kau dapat memberi jawaban apa saja. Kalau kau katakan bahwa pendeskripsian fase-fase penampakan bulan hanyalah sekadar penggambaran mengenai fase-fase penampakan bulan dan tidak mengandung efek simbolis sama sekali, tidak seorang pun dapat mengatakan dengan pasti bahwa jawaban itu salah atau benar. Tentu saja ada jawaban tertentu yang relatif lebih masuk akal, namun, kupikir, mencapai sebuah jawaban yang masuk akal bukanlah tujuan dari mempelajari Sastra.
Bagaimanapun, tetap kuhabiskan waktu dengan memikirkan jawaban tiap pertanyaan itu. Dan, biasanya, jawaban yang muncul dalam benakku-- dalam otakku yang masih dalam masa perkembangan dan tiap harinya bergelut dalam upaya mencapai semacam kemandirian psikologis-- adalah jawaban-jawaban yang cenderung tidak masuk akal, meskipun tidak juga berarti salah sama sekali. Mungkin kecenderungan itulah yang menjadi salah satu penyebab nilai-nilaiku di sekolah tidak begitu bagus.
Sementara itu, kakak laki-laki pacarku kembali ke ruang tamu. Rambutnya masih saja berantakan dan mencuat di sana-sini, namun, mungkin karena ia sudah sarapan, matanya tidak lagi terlihat mengantuk seperti sebelumnya. Dia memegang sebuah mug putih besar yang di sisinya terdapat gambar pesawat bersayap ganda milik jerman ketika Perang Dunia I dengan dua senapan mesin di depan kokpitnya. Itu pastilah mug spesial milik pribadinya, pikirku. Tak dapat kubayangkan pacarku minum dari mug seperti itu.
"Kau yakin tidak ingin kopi?" dia bertanya.
Kugelengkan kepalaku. "Tak usah repot-repot."
Sweaternya belepotan remah-remah roti. Juga bagian lutut celana trainingnya. Kupikir dia tadi pasti sangat kelaparan sehingga tidak memperdulikan remah-remah roti yang berjatuhan ke mana-mana ketika dia melahapnya. Hal semacam itu pasti akan membuat pacarku risih mengingat dia adalah orang yang menyukai kebersihan dan kerapian. Begitu pula aku, terkait masalah kebersihan dan kerapian itu, dan agaknya karena kesamaan itulah sehingga aku dan pacarku merasa cocok, pikirku.
Kakak laki-laki pacarku mengerling ke arah dinding. Terdapat sebuah jam di dinding itu. Jarumnya menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, kurang sedikit.
"Dia belum juga pulang, ya. Ke mana sih dia pergi?"
Aku tidak memberi tanggapan.
"Kau sedang membaca apa?"
"Bacaan suplemen untuk pelajaran Bahasa Jepang."
"Hmm," katanya, dengan kepala sedikit mendongak. "Menarik kah?"
"Tidak terlalu menarik. Tetapi tak ada bacaan lain yang dapat kubaca."
"Boleh kulihat?"
Kuserahkan buku itu kepadanya di atas meja rendah yang mengantarai kami. Gelas kopi dipegang di tangan kiri, dia menerima buku itu dengan tangan kanan. Aku khawatir dia akan menumpahkan kopinya ke buku itu. Dan itu nyaris saja terjadi. Tetapi kopi tak tumpah. Diletakkannya gelas kopinya di atas meja bermuka kaca dengan bunyi denting pelan, lalu dipegangnya buku itu dengan dua tangan dan mulai membalik-balik halamannya.
"Bagian mana yang barusan kau baca?"
"Aku tadi membaca 'Spinning Gears'-nya Akutagawa. Hanya ada penggalan ceritanya di situ, tidak lengkap."
Dia berpikir sebentar. "Aku belum pernah membaca 'Spinning Gears' tapi pernah membaca 'Kappa' dulu sekali. Bukankah 'Spinning Gears' adalah cerita yang cukup kelam?"
"Iya. Dia menulis cerita itu tepat sebelum meninggal." Akutagawa mengalami overdosis waktu berusia tiga puluh lima. Buku bacaan suplemen itu mencantumkan catatan bahwa "Spinning Gears" dipublikasikan setelah penulisnya meninggal dunia, pada 1927. Cerita itu seperti sebuah wasiat terakhir dari penulisnya.
"Hmm," kakak laki-laki pacarku itu berkata. "Maukah kau membacakannya untukku?"
Aku menatapnya, dengan agak terkejut. "Maksudmu, membacakannya dengan suara keras?"
"Iya. Aku menyukai dibacakan cerita oleh orang lain. Aku bukanlah seorang tukang baca yang baik."
"Aku tak begitu pandai membaca dengan suara keras."
"Tidak apa-apa. Tidak harus bagus. Cukup kau bacakan secara runtut saja. Lagipula, tak ada hal lain yang bisa kita lalukan."
"Kisahnya lumayan depresif dan agak neurotis," kataku.
"Sekali-sekali aku suka mendengarkan cerita seperti itu. Seperti melawan kejahatan dengan kejahatan."
Dia mengembalikan buku itu padaku, mengambil gelas kopi bergambar pesawat bersayap ganda dan simbol Iron Cross itu, lalu menyeruput kopinya. Kemudian, ia menyandarkan punggungnya di kursi berlengan dan menanti aku mulai membaca.
~
Begitulah hingga kemudian aku, pada hari Minggu itu, membacakan penggalan cerita "Spinning Gears" karya Akutagawa kepada kakak laki-laki pacarku yang eksentrik itu. Mulanya, aku membaca dengan sedikit perasaan terpaksa, namun lama-lama aku jadi terbiasa dan pembacaan itu pun mengalir begitu saja. Buku bacaan suplemen itu menyajikan dua bagian akhir dari keseluruhan cerita-- "Red Lights" dan "Airplane"-- tetapi aku hanya membacakan bagian "Airplane" saja. Panjangnya sekitar delapan halaman, dan diakhiri dengan kalimat "Tak adakah seseorang yang cukup baik hati dan bersedia mencekik leherku selagi aku terlelap?" Akutagawa bunuh diri selepas menuliskan kalimat ini.
Aku selesai membaca, namun belum seorang pun anggota keluarga itu yang pulang. Telepon tidak berdering, dan tak ada burung gagak seekor pun di luar. Tak ada yang bergeming sama sekali. Sinar matahari musim gugur menerobos masuk dan menerangi ruang tamu itu lewat celah-celah gorden. Waktu bergulir begitu lamban. Kakak laki-laki pacarku duduk di situ, dengan tangan terlipat, mata terpejam, seolah sedang berusaha mencerna sepenuhnya kalimat terakhir yang baru saja kubacakan: "Aku tak memiliki sisa kekuatan lagi untuk terus melanjutkan tulisanku. Yang kurasakan ini begitu pedih, melebihi segala yang mampu diungkapkan kata-kata. Tak adakah seseorang yang cukup baik hati dan bersedia mencekik leherku selagi aku terlelap?"
Terlepas apakah kau menyukai cerita itu atau tidak, satu hal yang jelas; itu bukanlah cerita yang cocok untuk dibacakan pada suatu hari Minggu yang cerah. Kututup buku itu, lalu kulirik jam di dinding. Baru saja lewat pukul dua belas.
"Pasti telah terjadi suatu kesalahpahaman," kataku. "Mungkin aku akan pergi saja." Aku bangkit dari sofa. Ibuku telah sukses menanamkan dalam diriku sejak kecil bahwa tidaklah pantas seseorang bertamu ke rumah orang lain pada waktu-waktu makan. Baik atau buruk, hal ini sudah menyatu dengan diriku dan menjadi kebiasaan sebagaimana sebuah refleks.
"Kau sudah datang jauh-jauh, tunggulah sekitar tiga puluh menit lagi," kata kakak laki-laki pacarku itu. "Kalau setelah tiga puluh menit dia belum juga kembali, kau boleh pergi. Bagaimana?"
Ada yang tak biasa dalam kata-katanya itu, dan aku pun duduk kembali dan meletakkan kedua tangan di atas paha.
"Kau sangat baik dalam membacakan dengan suara keras," katanya, terdengar bersungguh-sungguh. "Pernahkah orang lain mengatakan ini padamu?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tanpa benar-benar memahami kandungan isi ceritanya, kau tak akan dapat membacanya seperti itu. Terutama bagian akhirnya, sangat baik."
"Oh," jawabku dengan agak salah tingkah. Kurasakan pipiku sedikit memerah. Pujian itu seperti mengandung makna lain, dan itu membuatku tak nyaman. Tetapi aku menyadari bahwa aku telah terseret masuk ke dalam sebuah percakapan yang akan berlangsung hingga tiga puluh menit ke depan. Sepertinya dia sedang butuh teman ngobrol.
Dia mempertemukan kedua telapak tangan di hadapan tubuhnya, seperti sedang berdoa, lalu tiba-tiba berkata: "Ini mungkin akan terdengar sebagai sebuah pertanyaan yang aneh, tapi, pernahkah kau mendapati memorimu tiba-tiba berhenti bekerja?"
"Berhenti?"
"Maksudku, seperti, pada suatu selang antara dua titik dalam rentangan waktu, kau tak dapat mengingat sama sekali kau berada di mana dan melakukan apa."
Aku menggelengkan kepala. "Kupikir belum pernah aku mengalami hal semacam itu."
"Jadi, kau selalu bisa mengingat urutan semua peristiwa dan detil apa-apa saja yang telah kau lakukan?"
"Kalau itu belum lama terjadi, kurasa iya."
"Hmm," katanya sambil menggaruk belakang kepalanya selama beberapa saat, kemudian berkata, "Kurasa itu berarti kau normal."
Aku menunggu ia melanjutkan.
"Sebenarnya aku pernah mengalami, beberapa kali, saat-saat di mana memoriku tiba-tiba berhenti bekerja sehingga ada bagian yang tak dapat kuingat dalam rekaman memoriku. Misalnya pukul tiga sore memoriku mati, dan momen selanjutnya yang kuingat adalah hari sudah pukul tujuh malam. Dan aku tak dapat mengingat berada di mana aku dan apa yang kulakukan selama selang waktu empat jam itu. Dan tak ada hal khusus yang sedang kualami ketika itu. Aku, misalnya, tidak sedang mabuk, atau baru saja terbentur suatu benda keras di bagian kepala, atau apa. Aku dalam keadaan yang biasa saja, melakukan yang biasanya kulakukan, dan tiba-tiba saja memoriku berhenti bekerja. Tak dapat kuprediksi kapan hal tersebut akan terjadi, atau berapa lama-- berapa jam, bahkan mungkin hari-- ingatanku akan hilang begitu saja dari memoriku."
"Hmm," gumamku, sekadar menunjukkan padanya bahwa aku mendengarkan.
"Bayangkan seandainya kau merekam simfoni Mozart. Dan ketika kau memutar ulang rekaman itu, kau sadar bahwa suara musiknya tiba-tiba melompat dari pertengahan bagian ke dua ke pertengahan bagian ke tiga, dan apa yang seharusnya ada di antaranya hilang begitu saja. Seperti itulah. Ketika kukatakan 'hilang begitu saja,' yang kumaksud tidaklah seperti ada bagian di mana yang terdengar cuma keheningan, melainkan seluruh bagian itu hilang begitu saja. Kau mengerti maksudku?"
"Kurasa aku mengerti," kataku meski sedikit ragu-ragu.
"Kalau itu adalah rekaman musik, meskipun mungkin akan terasa aneh, tidak dapat dikatakan berbahaya sama sekali, kan. Tapi kalau itu terjadi pada kehidupanmu yang sesungguhnya, percayalah, itu sangat menyakitkan… Kau mengerti maksudku?"
Aku mengangguk.
"Kau pergi ke balik rembulan dan kembali tanpa membawa apa-apa."
Aku mengangguk lagi. Walaupun aku tak yakin telah memahami arti sesungguhnya dari analogi itu.
"Penyebabnya adalah kelainan genetik, dan kasus seperti ini cukup langka. Yang mengalaminya mungkin satu di antara puluhan ribu orang. Tetapi akan selalu ada perbedaan di antara setiap kasus. Di tahun terakhirku di SMP, seorang neurolog di sebuah rumah sakit universitas memeriksaku. Ibuku yang membawaku ke sana."
Ia terdiam beberapa saat, lalu melanjutkan. "Dengan kata lain, kondisi ini mengakibatkan proses penyimpanan ingatan dalam memorimu berantakan. Ada ingatan yang disimpan dalam laci yang salah. Dan hampir tak mungkin-- bahkan mustahil-- untuk menemukannya kembali. Begitulah mereka menjelaskannya kepadaku. Memang ini bukan kelainan yang dapat berakibat fatal atau dapat membuatmu perlahan-lahan menjadi gila. Tetapi, tetap saja, ini dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memberi tahuku nama penyakit itu dan memberiku obat-obatan, tetapi pil-pil itu sesungguhnya tidak berpengaruh apa-apa. Cuma placebo saja."
Kakak laki-laki pacarku itu diam beberapa saat, menatapku lekat-lekat seperti berusaha memastikan bahwa aku memahami maksudnya. Dia seperti seseorang yang sedang berdiri di luar rumah, memandang masuk menembus jendela rumah itu.
"Satu atau dua kali setahun aku masih mengalami episode ini," dia akhirnya berkata lagi. "Tidak terlalu sering, memang, namun masalahnya bukan pada frekuensi. Kalau episode ini terjadi, akan menimbulkan permasalahan yang nyata. Meskipun tak sering, kehilangan ingatan seperti ini, dan tanpa pernah tahu kapan ini akan terjadi, rasanya sangat menyakitkan. Kau mengerti maksudku?"
"E hmm," ucapku ragu-ragu. Cuma itu yang dapat kukatakan menanggapi kisah aneh yang diceritakannya.
"Misalnya, bila aku mengalaminya, memoriku tiba-tiba berhenti bekerja, dan selama selang waktu yang tak dapat kuingat itu aku mengambil linggis dan memukuli kepala seseorang yang tidak kusukai. Kau tak mungkin mengabaikan kemungkinan seperti itu begitu saja dan cuma berkata, 'hmm aneh.' Iya kan?"
"Kurasa iya."
"Polisi akan turun tangan, dan jika kukatakan pada mereka, 'eeh, sebenarnya, aku kehilangan ingatanku,' tak mungkin mereka akan percaya begitu saja, kan?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tentu saja, ada beberapa orang yang tidak kusukai di dunia ini. Orang-orang yang kadang membuatku benar-benar jengkel. Ayahku adalah salah satunya. Tapi selama aku sadar, tak mungkin aku akan pernah memukuli kepala ayahku dengan linggis, kan? Aku bisa mengendalikan diri. Tapi, kalau memoriku tiba-tiba berhenti, aku tak akan bisa mengetahui apa yang kulakukan."
Kuangkat kepalaku sedikit, sambil tetap berusaha untuk tidak berpendapat.
"Kata dokter, itu tak akan terjadi. Kalau memoriku berhenti mengingat, tidak berarti seseorang akan dapat membajak kepribadianku. Seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde. Aku tetap akan menjadi diriku. Cuma alur ingatanku saja yang tiba-tiba melompat dari satu momen ke momen lain. Aku akan tetap bisa mengendalikan diri dan berperilaku sebagaimana normalnya diriku. Musik Mozart tidak akan tiba-tiba berubah menjadi musik Stravinsky. Musik Mozart tetaplah musik Mozart-- cuma terdapat suatu bagian yang hilang tercecer di suatu laci entah di mana."
Di titik ini dia berhenti dan menyesap kopi dari gelasnya yang bergambar pesawat Jerman bersayap ganda itu. Dalam hati aku berharap bisa menyeruput kopi juga.
"Paling tidak itulah yang dikatakan dokter kepadaku. Tetapi kau tak dapat mempercayai semua yang dikatakan oleh dokter mentah-mentah begitu saja. Waktu SMA aku takut sekali, berpikir bahwa aku bisa saja memukuli kepala salah seorang teman kelasku dengan linggis tanpa sadar. Semasa SMA kita belum sepenuhnya menemukan jati diri kita, kan? Tambahkan masalah memori ini, maka kau akan semakin kebingungan."
Aku mengangguk, tetap diam. Mungkin ia benar.
"Karena itulah aku berhenti sekolah," kakak laki-laki pacarku itu melanjutkan. "Semakin kucoba memikirkannya, semakin aku merasa ketakutan, hingga aku tak sanggup lagi berangkat sekolah. Ibuku coba menjelaskan kondisiku ini kepada guruku, dan meskipun aku tak pernah masuk sekolah, mereka memakluminya dan mengizinkanku meraih kelulusan. Kubayangkan, pihak sekolahku itu pastinya ingin cepat-cepat menyingkirkan siswa bermasalah sepertiku. Tapi aku tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Nilai-nilaiku sebenarnya tidak terlalu buruk, dan aku bisa saja masuk kuliah di suatu tempat, namun aku tak punya rasa percaya diri lagi untuk keluar rumah. Sejak saat itu, aku cuma di rumah saja. Kadang-kadang aku membawa anjingku jalan-jalan, tapi selain itu aku tak pernah beranjak dari rumah. Belakangan ini aku tidak lagi merasa panik atau semacamnya. Kalau keadaannya bisa terus membaik, mungkin suatu saat aku akan kuliah."
Dia lalu terdiam, dan begitu juga aku. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku mulai memahami mengapa pacarku tak pernah mau membicarakan kakaknya.
"Terima kasih sudah membacakan cerita itu untukku," katanya. "'Spinning Gears' cukup bagus. Memang ceritanya kelam, tetapi aku sangat bisa memahami isinya. Kau sungguh tak ingin kopi? Cuma butuh semenit untuk membuatnya."
"Tak usah, tak apa. Sebentar lagi aku pergi."
Diliriknya lagi jam di dinding. "Mengapa kau tak menunggu sampai pukul satu, dan kalau sampai saat itu masih tak ada seorangpun yang pulang kau boleh pergi? Aku akan kembali ke kamarku di atas, kau boleh bersantai di sini dan pergi sendiri saat kau ingin. Tak perlu sungkan-sungkan."
Aku mengangguk.
"Menarikkah, jalan dengan Sayoko?" kakak laki-laki pacarku itu bertanya sekali lagi.
Aku mengangguk. "Menarik."
"Dalam hal apa?"
"Bahwa ada banyak hal tentangnya yang aku tak tahu," jawabku. Itu jawaban paling jujur yang dapat kuberikan, pikirku.
"Hmm," katanya, coba mencernanya. "Setelah kau bilang begitu, aku mulai bisa mengerti. Dia adikku, adik kandung, dengan gen yang sama dan sebagainya, dan kami tinggal di bawah atap yang sama sejak dia lahir, tetapi masih begitu banyak hal yang belum kupahami tentangnya. Aku tak mengerti-- entah bagaimana mengatakan ini? Apa yang dapat membuatnya tersentuh? Jadi aku senang bila kau bisa memahami dirinya untukku. Walaupun ada banyak hal juga yang lebih baik tak perlu diketahui."
Dengan gelas kopi di tangan, dia bangkit dari kursi berlengannya.
"Baiklah, selamat menikmati," kata kakak laki-laki pacarku itu. Dia melambaikan tangannya-- yang tidak sedang memegang gelas-- kepadaku dan pergi meninggalkan ruang tamu.
"Terima kasih," ucapku.
~
Pukul satu, masih tak ada tanda-tanda seorang pun yang pulang, maka aku berjalan sendiri menuju pintu depan, mengenakan sneakers-ku, lalu pergi. Aku berjalan melewati hutan pinus, menuju stasiun, menaiki kereta, dan pulang ke rumahku. Itu merupakan suatu hari Minggu sore musim gugur yang tenang dan sepi dalam suatu cara yang tak biasa.
Aku menerima telepon dari pacarku setelah lewat pukul dua sore. "Kau seharusnya datang hari Minggu depan," katanya. Aku tak yakin, namun kata-katanya terdengar tegas sehingga kupikir dia mungkin benar. Aku meminta maaf karena telah datang ke rumahnya seminggu lebih awal dari yang dijanjikan.
Aku tidak memberi tahunya bahwa aku dan kakak laki-lakinya telah mengobrol selagi menunggunya pulang-- walaupun itu tidak seperti umumnya obrolan antar dua orang sebab nyatanya aku lebih banyak mendengarkan saja. Kuputuskan bahwa aku sebaiknya tidak memberitahunya bahwa aku telah membacakan "Spinning Gears" Ryunosuke Akutagawa kepada kakaknya, dan bahwa dia telah menceritakan padaku mengenai kondisi memorinya. Kalau kakaknya sendiri ternyata tidak pernah menceritakan itu padanya, tak ada alasan bagiku untuk menceritakannya.
~
Delapan tahun kemudian aku bertemu dengan kakak laki-laki pacarku itu lagi. Waktu itu pertengahan bulan Oktober. Usiaku tiga puluh lima, tinggal di Tokyo bersama istriku. Pekerjaan menyibukkanku sehingga aku tak pernah sempat mengunjungi Kobe lagi.
Waktu itu hari sudah semakin sore, dan aku berjalan di jalanan mendaki di Shibuya untuk mengambil jam tanganku yang sedang diperbaiki. Aku berjalan pelan mengikuti arus keramaian, larut dalam pikiranku sendiri, ketika seseorang yang baru saja melewatiku dari arah berlawanan tiba-tiba berbalik dan memanggilku.
"Permisi," katanya, berbicara dengan logat Kansai yang kentara. Aku berhenti, menolehkan badan dan melihat seseorang yang tidak kukenali. Dia terlihat sedikit lebih tua dariku, dan berbadan sedikit lebih tinggi. Dia mengenakan jaket tweed abu-abu gelap, sweater berbahan cashmere warna krim, dan celana chinos cokelat. Rambutnya pendek, dan badannya kelihatan padat seperti tubuh seorang olahragawan dengan kulit berwarna gelap (seperti kulit gelap yang biasanya dimiliki pemain golf). Penampilannya menarik, wajahnya tampan meski kurang terawat. Kesan yang kudapatkan adalah bahwa laki-laki ini pastilah seorang yang hidupnya menyenangkan. Seorang yang berpendidikan.
"Aku tak ingat namamu, tapi kau laki-laki yang pernah jadi pacar adikku, kan?" katanya.
Kuamat-amati lagi wajahnya, namun tak dapat kuingat siapa dirinya.
"Adik perempuanmu?"
"Sayoko," katanya. "Kalau tidak salah, kalian sekelas waktu SMA."
Pandanganku terpatri pada sebercak noda saus tomat di bagian depan sweater berwarna krimnya. Pakaiannya rapi, dan setitik noda itu jadi sangat mencolok bagiku. Kemudian, aku ingat-- saudara laki-laki pacarku yang bermata sayu dan mengenakan sweater crew-neck biru tua yang lubang lehernya sudah melar dan longgar, dan belepotan remah-remah roti.
"Sekarang aku ingat," kataku. "Kau kakak Sayoko. Kita pernah bertemu di rumahmu sekali, kan?"
"Betul. Kau membacakan 'Spinning Gears' Akutagawa padaku."
Aku tertawa. "Tak kusangka kau bisa mengenaliku di tengah keramaian ini. Kita cuma pernah bertemu sekali, dan itu sudah sangat lama."
"Aku tak tahu mengapa, tapi aku tak pernah melupakan wajah orang yang pernah kutemui. Apalagi, kau terlihat tidak berubah sama sekali."
"Tapi kau sendiri cukup banyak berubah," kataku. "Terlihat sangat berbeda, sekarang."
"Di bawah jembatan, air mengalir deras," katanya, tersenyum. "Sebagaimana kau tahu, segala sesuatunya sempat berjalan tak menentu selama beberapa waktu."
"Bagaimana kabar Sayoko?" Aku bertanya.
Dia memalingkan wajah ke satu sisi dengan raut yang menyiratkan adanya beban tertentu, menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Seolah-olah dia sedang memeriksa kepadatan udara di sekitarnya.
"Daripada berdiri di jalanan ramai begini, bagaimana kalau kita mencari tempat untuk duduk dan berbicara? Tentunya kalau kau tidak sedang sibuk atau terburu-buru," katanya.
"Tidak. Tak ada urusan yang mendesak," kataku padanya.
~
"Sayoko sudah meninggal dunia," katanya dengan suara pelan. Kami menemukan sebuah kedai kopi tak jauh dari tempat kami tadi berpapasan, dan kini duduk berhadapan diantarai sebuah meja plastik.
"Meninggal?"
"Dia sudah meninggal dunia. Tiga tahun yang lalu."
Aku tak sanggup berkata-kata. Seakan-akan lidahku tiba-tiba membengkak dan memenuhi rongga mulutku. Kucoba menelan ludah yang sudah tertampung cukup banyak di dalamnya, namun tak berhasil.
Terakhir kali aku bertemu Sayoko ketika usianya dua puluh dan ia baru saja berhasil mendapatkan Surat Izin Mengemudi, dan dia menyupiri aku-- kami berdua-- menuju puncak Gunung Rokko, di Kobe, mengendarai Toyota Crown hardtop putih milik ayahnya. Cara mengemudinya masih agak canggung, namun dia kelihatan bahagia ketika menyetir. Dan, bisa kau tebak, diri radio sedang terlantun sebuah lagu dari The Beatles. Aku ingat dengan jelas. "Hello, Goodbye." You say goodbye, and I say hello. Sebagaimana sudah kukatakan tadi, lagu-lagu mereka terdengar di mana-mana.
Aku kesulitan mencerna kenyataan bahwa dia sudah meninggal dunia, tak lagi berada di dunia ini. Entah bagaimana menggambarkannya-- begitu surreal.
"Bagaimana dia… mati?" Aku bertanya, mulutku kering.
"Dia bunuh diri," katanya, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. "Waktu berusia dua puluh enam dia menikah dengan teman kerjanya di sebuah perusahaan asuransi, punya dua orang anak, lalu bunuh diri. Ketika itu usianya tiga puluh dua."
"Dia meninggalkan dua orang anak?"
Kakak laki-laki mantan pacarku itu mengangguk. "Anak yang pertama laki-laki, yang kedua perempuan. Mereka kini dirawat oleh suaminya. Kadang-kadang aku mengunjungi mereka. Anak-anak yang lucu."
Aku masih kesulitan melahap semua kenyataan itu. Mantan pacarku telah bunuh diri, meninggalkan dua orang anak yang masih kecil?
"Mengapa dia melakukan itu?"
Dia menggelengkan kepala. "Tak ada yang tahu alasannya. Dia tidak terlihat seperti sedang punya masalah atau depresi. Kesehatannya baik, hubungannya dengan suaminya terlihat baik-baik saja, dan dia mencintai anak-anaknya. Dia juga tidak meninggalkan catatan atau apapun. Dokternya meresepkan obat tidur, dan dia menyimpan obat-obat itu lalu, dalam sekali tenggak, menelan semuanya. Jadi sepertinya dia sudah punya rencana untuk bunuh diri. Dia ingin mati, dan selama enam bulan mengumpulkan obat-obat tidur itu sedikit demi sedikit. Itu tidak seperti sebuah tindakan impulsif belaka."
Aku terdiam cukup lama. Begitu pula dirinya. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Hari itu, di sebuah kafe di puncak Gunung Rokko, aku putus dengan pacarku. Aku akan pindah ke Tokyo untuk kuliah dan di sana aku telah bertemu dan jatuh cinta pada seorang gadis. Aku mengungkapkan semuanya secara blak-blakan kepadanya, dan dia, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mengambil tasnya, berdiri, dan langsung pergi meninggalkan kafe itu, tanpa sekejap pun sempat menoleh lagi.
Aku harus pulang mengendarai kereta gantung menuruni gunung itu seorang diri. Sementara itu dia pasti sudah mengendarai Toyota Crown putih itu, pulang. Hari itu sangat cerah dan indah, dan aku ingat menyisakan pemandangan seluruh Kobe di balik kaca jendela gondola. Sebuah pemandangan yang luar biasa.
Sayoko melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan asuransi besar, menikah dengan salah satu teman kantornya, punya dua orang anak, menyembunyikan obat tidur, dan bunuh diri.
Cepat atau lambat, putusnya hubungan kami tidak dapat dihindari. Namun, aku menyimpan kenangan tak terlupakan dari tahun-tahun yang kami jalani bersama-sama itu. Dia pacar pertamaku, dan aku sangat menyukainya. Dialah yang mengajarkanku berbagai hal mengenai tubuh perempuan. Kami mengalami banyak hal baru bersama-sama, dan saling berbagi momen-momen indah, hal-hal yang hanya dapat kau alami di masa-masa remaja.
Sulit bagiku mengatakan ini sekarang, namun dia tak pernah dapat membunyikan lonceng spesial yang ada jauh di dalam telingaku itu. Meski aku sudah berusaha mendengarkannya, tak sekalipun lonceng itu berdentang. Sayang sekali. Gadis yang kujumpai di Tokyo itulah yang melakukannya. Ini bukan sesuatu yang dapat kau pilih secara bebas, menuruti logika atau moral. Terjadi, atau tidak, begitu saja. Ketika terjadi, ia terjadi menurut kehendaknya sendiri, di dalam kesadaranmu atau di suatu tempat jauh di dalam dirimu.
~
"Kau tahu," kata kakak laki-laki mantan pacarku itu, "tak pernah terlintas dalam pikiranku, tidak sekali pun, bahwa Sayoko akan bunuh diri. Bahkan seandainya semua orang di dunia melakukannya, kupikir-- yang ternyata adalah salah-- dia akan tetap berdiri tegar, tetap hidup, dan baik-baik saja. Aku tak dapat melihat dirinya sebagai seseorang yang mengalami disilusi atau menyembunyikan kekelaman di dalam dirinya. Sejujurnya, kupikir dia orang yang dangkal. Aku tak banyak menaruh perhatian padanya, dan kurasa begitu juga sebaliknya. Mungkin kami memang tak berada dalam satu frekuensi gelombang yang sama… Aku malah lebih dekat dengan adik perempuanku yang satunya. Tetapi sekarang aku jadi merasa seakan-akan telah melakukan suatu hal yang sangat buruk pada Sayoko, dan itu terasa sangat pedih bagiku. Mungkin aku tak pernah sungguh-sungguh memahami dirinya. Tak satupun hal tentangnya yang aku mengerti. Mungkin aku terlalu sibuk dengan hidupku sendiri. Barangkali orang sepertiku ini memang takkan mampu menyelamatkan hidupnya, tapi aku seharusnya bisa mengerti sesuatu tentang dirinya, walau cuma sedikit. Sulit menghadapinya sekarang. Aku telah begitu egois, terlalu mementingkan diri sendiri."
Tak ada yang dapat kukatakan. Kurasa aku pun tak pernah memahami Sayoko sama sekali. Sama seperti kakaknya itu, selama ini aku terlalu sibuk dengan hidupku sendiri.
Kakak laki-laki mantan pacarku itu berkata. "Di dalam kisah yang pernah kau bacakan untukku waktu itu, 'Spinning Gears' Akutagawa, terdapat cerita di mana seorang pilot menghirup udara di langit yang tinggi dan ketika kembali, dia tak sanggup lagi menghirup udara di permukaan bumi. 'Airplane Desease,' mereka menyebutnya. Entah itu penyakit yang nyata atau tidak, tetapi aku masih ingat cerita itu."
"Apakah kau sudah sembuh dari kelainan yang membuat memorimu terkadang hilang itu?" Aku bertanya padanya. Kupikir aku ingin mengalihkan topik pembicaraan dari Sayoko.
"Ah, benar. Itu," katanya, dengan mata sedikit terpicing. "Agak aneh, tetapi semua itu tiba-tiba hilang begitu saja. Itu adalah kelainan genetik yang seharusnya akan memburuk seiring waktu, kata dokter, tetapi semua itu tiba-tiba hilang begitu saja, seolah-olah aku tak pernah memilikinya. Seperti sebuah roh jahat tiba-tiba telah diusir dari diriku."
"Aku turut senang mendengar itu," kataku. Aku sungguh memang senang mendengarnya.
"Itu terjadi tak lama setelah aku bertemu denganmu. Setelahnya, aku tak pernah lagi kehilangan memori sekalipun. Itu membuatku lebih tenang, berhasil diterima kuliah di sebuah sekolah tinggi yang cukup bagus, lulus, lalu meneruskan bisnis ayahku. Berbagai hal sempat berantakan tak tentu arah selama tahun-tahun itu, tetapi sekarang aku menjalani kehidupan seperti orang biasa."
"Senang mendengarnya," kataku lagi. "Jadi kau tak sampai memukul kepala ayahmu dengan linggis."
"Ternyata kau masih ingat hal-hal bodoh macam itu," katanya, dan tertawa keras. "Namun, kau tahu, aku tidak sering mengunjungi Tokyo untuk urusan bisnis, dan rasanya agak aneh juga aku bisa berjumpa denganmu seperti ini di sebuah kota yang sangat besar ini. Kurasa ada sesuatu yang mempertemukan kita dengan sengaja, entah apa."
"Benar," kataku.
"Jadi,bagaimana dengan dirimu? Sudah berapa lama kau tinggal di Tokyo?"
"Aku menikah setelah menyelesaikan kuliah," aku memberi tahunya, "dan tinggal di Tokyo sejak saat itu. Aku mencari nafkah sebagai semacam penulis, sekarang."
"Penulis?"
"Ya, menulis tentang fashion."
"Well, kau memang hebat dalam membacakan cerita," katanya. "Mungkin ini akan membebanimu, tapi kupikir Sayoko paling menyukaimu di antara semua orang lain."
Aku tidak menanggapinya. Dan kakak laki-laki mantan pacarku itu juga tidak berkata apa-apa lagi.
~
Kami lalu saling mengucap selamat tinggal. Aku pergi mengambil jam tanganku yang sudah selesai diperbaiki, dan kakak laki-laki mantan pacarku itu berjalan pelan menuruni jalanan landai ke stasiun Shibuya. Sosoknya yang terbungkus jaket tweed itu lalu menghilang ditelan keramaian sore hari.
Aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Ketidaksengajaan telah mempertemukan kami untuk kali ke dua. Hampir dua puluh tahun berselang sejak pertemuan kami yang pertama, di sebuah kota lain yang berjarak tiga ratus mil, kami duduk diantarai sebuah meja, menikmati kopi dan membicarakan beberapa hal. Namun obrolan tersebut sesungguhnya bukan sesuatu yang dapat sekadar diobrolkan sambil minum kopi. Ada sesuatu di dalamnya yang sangat penting, yang mengandung makna mendalam bagi kami dalam hidup kami masing-masing. Namun, semua itu memang hanya merupakan petunjuk, yang dihadirkan secara kebetulan. Tak ada benang merah khusus yang dapat menghubungkan kami dalam cara yang sistematis maupun organis. (Pertanyaan: elemen-elemen apa sajakah di dalam kehidupan dua orang laki-laki ini yang secara simbolis dihadirkan melalui dua momen pertemuan dan obrolan mereka?)
Aku juga tak pernah bertemu dengan gadis itu lagi, ia yang membawa LP The Beatles. Kadang aku bertanya-tanya sendiri-- masihkah dia melangkah dengan tergesa-gesa menyusuri koridor sekolah yang remang itu pada 1964, dengan ujung rok bergoyang-goyang? Selamanya berusia enam belas tahun, mendekap sebuah album hebat bersampul foto separuh siluet wajah John, Paul, George, dan Ringo erat-erat seolah-olah itu adalah hidupnya sendiri.
<×> Selesai <×>
Yogyakarta, Mei-Juni 2020
Diterjemahkan secara bebas dari cerpen "With The Beatles" karya Haruki Murakami (versi terjemahan Bahasa Inggris oleh Philip Gabriel) yang dimuat di The Newyorker (https://www.newyorker.com/magazine/2020/02/17/with-the-beatles)
~
Ada seorang gadis-- maksudku, perempuan yang dulunya gadis-- yang masih kuingat dengan jelas. Tapi aku tak tahu namanya. Juga tak tahu perihal keberadaan maupun pekerjaannya sekarang. Yang kutahu tentang gadis itu adalah bahwa dia dulu satu sekolah denganku, seangkatan (warna badge di seragamnya sama dengan yang kupunyai), dan bahwa dia sangat menyukai The Beatles.
Ketika itu tahun 1964, masa-masa kejayaan Beatlemania. Pada permulaan musim gugur. Semester baru baru saja dimulai, dan segala rutinitas mulai berjalan sebagaimana biasanya. Dia melangkah tergesa-gesa di koridor gedung sekolah tua yang panjang dan remang, ujung roknya bergoyang. Hanya ada aku, selain dirinya, di situ. Di dadanya, ia mendekap sebuah LP sedemikian rupa sehingga seolah-olah itu adalah suatu benda yang sangat berharga. Sebuah LP "With The Beatles." Yang di sampulnya terdapat foto wajah separuh siluet hitam-putih yang mencolok dari keempat orang Beatles. Entah bagaimana, aku bisa mengingat jelas bahwa itu adalah album original versi Britania, dan bukan versi Amerika atau Jepang.
Dia gadis yang cantik. Setidaknya bagiku, ketika itu, dia terlihat cantik. Dia tak berbadan tinggi semampai, namun rambutnya hitam dan panjang, kakinya ramping, dan tubuhnya berbau wangi semerbak. (Ingatan ini mungkin tidak sepenuhnya benar, entahlah. Mungkin tubuhnya tidak beraroma sama sekali. Namun begitulah aku mengingatnya, seakan-akan, apabila ia berjalan melewati aku, ada aroma khas yang semerbak di udara dan membuatku terpukau.) Ia benar-benar telah menjeratku dalam pesonanya-- gadis cantik yang mendekap "With The Beatles" di dadanya itu.
Jantungku mulai berdebar, aku berusaha mengatur nafas, dan seolah-olah semua suara tiba-tiba menghilang, seolah-olah aku tenggelam ke dasar kolam. Yang dapat kudengar cuma gema suara lonceng samar-samar jauh di dalam telingaku. Seperti ada seseorang yang sedang berusaha menyampaikan sebuah pesan penting kepadaku. Semua ini berlangsung mungkin selama sepuluh atau lima belas detik. Namun semua itu berakhir sebelum sempat kusadari, dan isi pesan penting itu, seperti makna yang terkandung dalam sebuah mimpi, pada akhirnya menghilang begitu saja.
Koridor sekolah yang remang, seorang gadis berparas cantik, ujung roknya yang bergoyang, "With The Beatles."
~
Itulah pertama dan terakhir kali aku melihat gadis itu. Sejak saat itu hingga saat kelulusanku dua tahun kemudian, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Cukup aneh jika kau coba memikirkannya. Sekolahku itu adalah sekolah negeri yang cukup besar, berada di puncak bukit di daerah Kobe, dengan jumlah siswa sekitar enam ratus lima puluh per angkatan. (Kami adalah generasi yang disebut Baby Boomers, maka kami ada banyak). Tidak setiap orang saling kenal satu sama lain. Aku bahkan tidak mengenal sebagian besar siswa di sekolah itu. Tetapi, mengingat aku pergi ke sekolah hampir setiap hari, dan sering melewati koridor itu, kenyataan bahwa aku tak pernah lagi bertemu gadis cantik itu adalah sesuatu yang cukup sulit kupercayai. Aku selalu mencari-cari keberadaan sosoknya setiap kali melewati koridor itu.
Apakah dia telah menghilang begitu saja bagai asap? Atau, apakah yang kulihat pada sore hari musim gugur itu bukanlah orang sungguhan melainkan semacam khayalan atau penampakan belaka? Mungkinkah ketika aku melihat gadis itu, aku sekadar memproyeksikan gambaran sosok gadis ideal dari dalam pikiranku seketika itu juga sedemikian rupa sehingga, meskipun kemudian aku bertemu gadis itu lagi, aku tak dapat mengenalinya? (Kupikir, yang terakhir itulah yang paling mungkin).
Di kemudian hari, aku sempat mengenal beberapa perempuan, mencoba menjalin hubungan dengan mereka. Dan setiap kali aku bertemu perempuan baru, rasanya seolah secara tak sadar aku memendam rindu untuk mengalami lagi momen yang pernah kualami di koridor sekolah yang remang pada suatu sore di musim gugur tahun 1964 itu. Keheningan itu, perasaan berdebar-debar di jantungku, rasa sesak di dadaku, dan gema lirih dentang lonceng di dalam telingaku.
Kadang kala aku dapat mengalami perasaan itu lagi, kadang kala tidak. Dan di lain waktu, aku seperti dapat menggenggamnya, namun pada akhirnya kubiarkan hilang begitu saja. Gejolak emosi yang kurasakan itu kemudian menjadi semacam tolak ukur baku bagi intensitas perasaan rindu yang mungkin kurasakan.
Ketika aku tak bisa mendapatkan sensasi itu dari dunia nyata, diam-diam kubiarkan ingatanku menghadirkan kembali kenangan akan perasaan itu. Memori yang kumiliki menjelma sebuah perangkat emosional penting, bahkan, menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku untuk bisa bertahan hidup. Seperti seekor anak kucing yang kubiarkan tertidur pulas, bergelung di dalam kehangatan saku jaketku yang besar.
~
Mengenai The Beatles.
Setahun sebelum aku melihat gadis itu adalah masa-masa ketika The Beatles menjadi sangat populer. Hingga April 1964, mereka mampu mendominasi lima besar tangga lagu single terpopuler Amerika. Musik pop belum pernah menyaksikan kehebohan seperti itu. Kelima lagu-lagu terpopuler itu adalah: (1) "Can't Buy Me Love" ; (2) "Twist And Shout"; (3) "She Loves You"; (4) "I Want To Hold Your Hand"; (5) "Please Please Me." Lagu "Can't Buy Me Love" sendiri saja sudah menerima lebih dari dua ratus juta prapesanan, menjadikannya peraih double platinum bahkan sebelum rekamannya dilepas ke pasar.
The Beatles tentu juga sangat populer di Jepang. Nyalakan radio, dan kemungkinan besar kau akan mendengar salah satu lagu mereka. Aku pun menyukai lagu-lagu mereka dan tahu semua lagu hits mereka. Kalau kau memintaku menyanyikannya, akan kunyanyikan. Ketika sedang belajar (atau pura-pura belajar) di rumah, aku sering memutar radio dengan suara keras. Namun, sejujurnya, aku tidak pernah jadi penggemar berat The Beatles. Aku tak pernah memburu dan mengoleksi lagu-lagu mereka. Bagiku, semua itu hanya sebatas mendengarkan secara pasif, musik pop terlantun dari speaker kecil radio transistor Panasonic milikku, masuk ke telinga satu dan keluar dari telinga yang lain, hampir tanpa sempat bersinggah barang sekejap pun di otakku. Musik yang menjadi latar belakang bagi cerita masa-masa remajaku.
Selama SMA maupun kuliah, aku tidak pernah sekalipun membeli album Beatles. Aku lebih suka musik jazz dan musik klasik, dan itulah yang akan kudengarkan ketika aku memang ingin mendengarkan musik. Aku menabung untuk dapat membeli album jazz, rekaman pentas Miles Davis dan Thelonious Monk di bar-bar jazz, dan untuk menonton konser musik klasik.
Ini mungkin aneh, tapi baru pada usia pertengahan tiga puluhan lah aku sempat benar-benar mendengarkan "With The Beatles" dari awal hingga akhir. Biarpun bayang-bayang akan gadis yang berjalan mendekap LP di koridor sekolah itu tak pernah kulupakan sama sekali, selama itu aku tak pernah tertarik untuk mendengarkannya. Tak ada ketertarikan sama sekali, pada diriku, untuk mencari tahu musik macam apa yang tersimpan pada gurat di permukaan piringan vinyl yang didekapnya erat-erat itu.
Di usia pertengahan tiga puluhan, periode setelah masa kanak-kanak dan remaja terlewati jauh itu, kesan pertamaku terhadap album itu adalah bahwa ia tidaklah begitu hebat, setidaknya bukan merupakan jenis musik yang bisa dibilang luar biasa. Dari total empat belas lagu di album itu, enam lagu merupakan cover lagu artis lain. Cover dari "Please Mr. Postman"-nya Marvelettes dan "Roll Over Beethoven"-nya Chuck Berry cukup apik dan membuatku terkesan bahkan sampai sekarang, namun tetap saja mereka hanyalah lagu cover. Dan dari delapan lagu asli mereka, kecuali "All My Loving"-nya Paul, tidak satupun yang luar biasa. Tidak satu lagu pun yang berhasil jadi hits, dan bagiku justru album pertama The Beatles, "Please Please Me" yang direkam hanya dalam sekali rekaman saja itu, jauh terasa lebih hidup dan melekat di hati. Namun demikian, karena para penggemar The Beatles begitu tak sabar menantikan lagu-lagu baru mereka, album kedua ini berhasil menjadi no. 1 di U.K. sejak diluncurkan dan bertahan di posisi itu selama dua puluh satu pekan. (Di U.S., album ini diluncurkan dengan judul "Meet The Beatles" dan menyertakan beberapa lagu lainnya, namun desain sampulnya tetap sama).
Hal yang selalu menyeretku kembali pada kenangan itu adalah gambaran akan si gadis yang mendekap erat album itu seolah-olah itu sesuatu yang sangat berharga baginya. Kalau kau hapus foto di sampul album itu, peristiwa itu mungkin tidak akan selekat itu terpatri di ingatanku. Jelas, memang perihal musik itu juga berpengaruh. Tetapi ada hal lain, yang jauh lebih besar pengaruhnya. Dan, dalam seketika, gambaran itu terpatri di hatiku-- sebuah bayang-bayang momen spiritual yang hanya dapat dihasilkan oleh kenangan tentang peristiwa itu, pada waktu, tempat, dan momen spesial itu.
~
Bagiku, peristiwa penting pada tahun berikutnya, 1965, bukanlah perintah Presiden Johnson untuk memborbardir Vietnam Utara yang kemudian memicu eskalasi perang yang sedang berlangsung, bukan pula penemuan spesies kucing liar baru di pulau Irimote, melainkan kenyataan bahwa aku mendapatkan seorang pacar. Dia adalah teman sekelasku sejak tahun pertama SMA, namun baru di tahun ke dua kami mulai menjalani hubungan.
Demi menghindari kesalahpahaman, ingin kusampaikan terlebih dahulu bahwa aku bukanlah seorang yang cukup rupawan dan tidak pula pernah menjadi atlet yang populer, dan nilai-nilaiku selama sekolah tidaklah dapat dikatakan sangat bagus. Aku tak pandai bernyanyi, tidak pula cakap bermain kata-kata. Semasa sekolah, maupun di tahun-tahun setelahnya, aku tak pernah dikerumuni gadis-gadis. Itulah di antara sedikit hal yang dapat kukatakan secara pasti dalam kehidupan yang tak pasti ini. Meskipun begitu, ada saja satu-dua gadis yang-- entah karena apa-- tertarik padaku. Aku tak tahu apa alasan mereka, namun aku menikmati setiap pengalaman intim dengan mereka. Aku cukup akrab dengan mereka, dan kadang-kadang hubungan itu menjadi lebih dari sekadar teman. Gadis yang kuceritakan di sini adalah salah satu di antaranya-- gadis pertama yang menjalin hubungan sangat dekat denganku.
Gadis yang menjadi pacar pertamaku ini bertubuh mungil dan jelita. Musim panas itu, aku berkencan dengannya seminggu sekali. Pada suatu sore kukecup bibir mungilnya yang ranum, dan kurabai payudara di balik branya. Waktu itu dia mengenakan gaun putih tanpa lengan dan dari rambutnya tercium aroma citrus.
Dia hampir-hampir tidak memiliki ketertarikan sama sekali terhadap The Beatles. Tidak pula terhadap musik jazz. Dia lebih menyukai musik yang cenderung mellow, yang dapat dikategorikan sebagai musik kelas menengah-- Mantovani Orchestra, Percy Faith, Roger Williams, Andy Williams, Nat King Cole, dan sejenisnya. (Ketika itu istilah "kelas menengah" tidaklah berkonotasi "rendahan" sama sekali). Album-album musik semacam itu bertumpuk-tumpuk di rumahnya-- jenis musik yang dewasa ini digolongkan sebagai musik ringan.
Sore itu, ia memutar sebuah album dengan alat pemutar yang ada di ruang tamu rumahnya-- keluarganya memiliki sebuah sistem stereo besar-- dan kami duduk di atas sofa besar yang empuk, bercumbu. Keluarganya sedang pergi ke suatu tempat dan hanya ada kami berdua di rumah itu. Dalam situasi demikian, aku sebenarnya tidak menaruh peduli pada jenis musik apapun yang sedang diputar.
Yang kuingat dari musim panas tahun 1965 itu adalah gaun putihnya, aroma citrus rambutnya, kawat branya yang terasa kaku (pada masa itu, bra lebih berfungsi seperti benteng perlindungan daripada pakaian dalam), dan permainan elegan Percy Faith Orchestra membawakan "Theme from 'A Summer Place'"-nya Alex Steiner. Hingga sekarang "Theme from 'A Summer Place'" selalu mengingatkanku pada sofa itu.
Kebetulan, beberapa tahun sesudah itu-- pada 1968, seingatku, hampir berbarengan dengan peristiwa terbunuhnya Robert Kennedy-- seorang guru yang pernah mengajar kami ketika kami sekelas, gantung diri di rumahnya. Guru itu mengajar Ilmu Sosial. Bunuh dirinya itu, konon, disebabkan oleh kebuntuan ideologis yang dialaminya.
Kebuntuan ideologis?
Tetapi memang-- di akhir tahun enam puluhan, kadang-kadang, orang melakukan bunuh diri karena ideologi yang mereka percayai terbentur pada sebuah dinding buntu. Meskipun itu tidak terlalu sering terjadi.
Ada perasaan aneh yang melanda apabila kupikirkan bahwa sore itu, selagi aku dan pacarku dengan gugup bercumbu di atas sofa ditemani alunan lagu Percy Faith, guru Ilmu Sosial kami itu sedang berjalan pelan mengikuti jalan ideologinya yang ternyata kan berujung buntu, atau, dengan kata lain, ia berjalan menuju seutas tali bersimpul yang diam-diam akan menjerat batang lehernya. Kadang aku bahkan merasa bersalah bila memikirkan itu. Di antara semua guruku, dia adalah salah satu yang terbaik. Perkara ia berhasil sukses atau tidak adalah hal lain, namun ia selalu memperlakukan murid-muridnya sebaik mungkin. Aku tak pernah bercakap dengannya di luar kelas, namun begitulah aku mengenang sosoknya.
~
Seperti halnya 1964, 1965 adalah tahunnya The Beatles. Mereka meluncurkan "Eight Days A Week" pada bulan Februari, "Ticket to Ride" pada bulan April, "Help!" pada bulan Juli, dan "Yesterday" pada bulan September-- yang semuanya memuncaki tangga lagu U.S. Seakan-akan hanya musik merekalah yang kami dengarkan sepanjang waktu. Musik itu mengepung kami di mana-mana, seperti wallpaper yang ditempelkan secara cermat hingga menutupi setiap senti permukaan dinding.
Kalau bukan lagu-lagu The Beatles yang terdengar, maka "(I Can't Get No) Satisfaction"-nya Rolling Stones, atau "Mr. Tambourine Man"-nya Byrds, atau "My Girl" dari The Temptations, atau "You've Lost That Lovin' Feelin'"-nya Righteous Brothers, atau "Help Me, Rhonda"-nya the Beach Boys-lah yang akan terdengar. Diana Ross dan The Supremes juga punya lagu hits. Musik-musik hebat dan jenaka semacam ini terlantun terus-menerus dari radio transistor Panasonic kecilku. Tahun itu sungguh adalah tahun kejayaan musik pop.
Ada yang berkata bahwa masa-masa paling membahagiakan dalam kehidupan kami adalah masa-masa ketika lagu-lagu pop menempati ruang yang begitu berarti bagi kami. Mungkin benar. Mungkin tidak. Lagu-lagu pop tidak lebih dari sekadar lagu pop. Dan kehidupan ini diisi oleh hal-hal yang tak lebih dari sekadar pernak-pernik sekali pakai, warna-warna yang, pada akhirnya, lekas pudar.
~
Rumah pacarku berada dekat dengan stasiun radio Kobe yang selalu kudengarkan siarannya. Seingatku, ayahnya bekerja di bidang ekspor, atau impor, alat-alat medis. Aku tak tahu detilnya. Tetapi dia memiliki sebuah perusahaan sendiri, dan sepertinya berjalan dengan cukup baik. Rumah mereka berada di kawasan hutan pinus dekat laut. Kudengar, rumah itu dulunya adalah villa musim panas milik seorang pengusaha sebelum dibeli oleh keluarganya dan dimodifikasi. Pepohonan pinus berdesir ditiup angin dari laut. Tempat itu sangat cocok untuk mendengarkan "A Theme from 'A Summer Place.'"
Bertahun-tahun kemudian, aku sempat menonton acara televisi tengah malam yang menayangkan sebuah film tahun 1959, "A Summer Place." Film tipikal Hollywood tentang pengembaraan anak muda yang digarap dengan cukup apik. Dalam film itu, terdapat pepohonan pinus dekat laut yang bergoyang ditiup angin laut musim panas dalam iringan terompet Percy Faith Orchestra. Bagian di mana pepohonan pinus bergoyang tertiup angin itu, kurasa, adalah metafora tentang anak-anak muda yang dipenuhi hasrat seksual. Namun itu tak lebih dari pemikiranku saja, sebuah pandangan yang bias.
Dalam film itu, Tony Donahue dan Sandra Dee mengalami desir gejolak hasrat seksual yang kuat seperti itu, dan, oleh karenanya, harus menghadapi berbagai macam problema dunia nyata. Kesalahpahaman disusul rekonsiliasi, hambatan-hambatan yang menghadang sirna bak kabut yang memudar, dan pada akhirnya keduanya bersatu dalam pernikahan. Di Hollywood pada tahun lima puluhan, sebuah akhir yang membahagiakan selalu menghadirkan pernikahan-- terwujudnya sebuah lingkungan di mana pasangan yang saling mencintai dapat berhubungan seks secara legal. Aku dan pacarku, tentu saja, tidak pernah menikah. Waktu itu kami masih di bangku SMA, dan sejauh yang dapat kami lakukan hanyalah saling bercumbu dengan canggung dan saling raba di atas sofa diiringi lagu "Theme from 'A Summer Place.'"
"Tahukah kau?" katanya padaku di atas sofa itu, dengan suara lirih, seakan-akan sedang membuat pengakuan. "Aku seorang pencemburu."
"Benarkah?" kataku.
"Aku ingin kau tahu itu."
"O.K."
"Perasaan cemburu itu, kadang, terasa begitu menyakitkan."
Dalam diam kubelai rambutnya. Tak dapat kubayangkan sama sekali, waktu itu, seberapa membakarnya perasaan cemburu itu, apa penyebabnya, dan apa akibatnya. Aku terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri.
Sebagai catatan pinggir, Tony Donahue, bintang muda yang tampan itu, di kemudian hari terjerumus dalam candu alkohol dan obat-obatan terlarang, tak lagi bermain film, bahkan sempat hidup menggelandang. Pun Sandra Dee, bergelut dengan kecanduan alkoholnya. Donahue menikah dengan aktris terkenal Suzanne Pleshette pada 1964, namun bercerai delapan bulan kemudian. Dee menikah dengan penyanyi Bobby Darin pada 1960, tetapi mereka bercerai pada 1967. Ini, tentu saja, tidak ada kaitannya dengan jalan cerita "A Summer Place." Tidak pula berkaitan dengan nasibku dan pacarku.
Pacarku mempunyai seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Si adik perempuan itu masih kelas dua SMP namun badannya lebih tinggi lima sentimeter daripada kakak perempuannya. Dia tidak begitu cantik. Dan lagi, dia memakai kacamata tebal. Tetapi pacarku sangat menyayangi adiknya itu. "Nilai-nilainya di sekolah sangat bagus," dia memberitahuku. Kurasa, nilai-nilai pacarku, sepertinya, sedang-sedang saja. Sama seperti nilai-nilaiku, mungkin.
Pernah suatu kali adik perempuannya ikut serta bersama kami ke bioskop. Ada alasan tertentu sehingga kami harus mengajaknya. Film yang ditayangkan adalah "The Sound of Music." Studio bioskop itu sedang penuh-penuhnya sehingga kami hanya bisa mendapatkan tempat duduk di bagian depan, dan aku ingat betul betapa menyaksikan film 70mm di layar lebar dari jarak yang sangat dekat membuat mataku sakit. Tetapi pacarku sangat menyukai musik dari film itu dan mendengarkannya tanpa henti. Aku lebih suka musik versi magis John Coltrane dari "My Favorite Things," tapi kurasa tiada gunanya membahas masalah itu dengannya, maka aku tak pernah mengungkitnya.
Adik perempuannya sepertinya tidak terlalu suka padaku. Setiap kali kami bertemu pandang, ia menatapku dengan sorot mata yang aneh, nyaris tanpa emosi sama sekali-- seperti sedang melihat ikan kering di dalam kulkas sembari memikirkan apakah ikan itu masih layak makan atau tidak. Dan, entah bagaimana, tatapannya itu selalu membuatku merasa bersalah dalam hati. Ketika menatapku, seolah-olah dia tidak sedang menyaksikan penampilan luarku (jelas, tidak ada yang menarik, memang) melainkan menembus hingga jauh ke dalam diriku. Mungkin perasaan itu muncul karena memang aku menyimpan rasa malu dan bersalah di dalam hatiku.
Kakak laki-laki pacarku berusia empat tahun lebih tua darinya, paling tidak usianya sudah dua puluhan ketika itu. Dia tidak pernah memperkenalkan kakaknya itu kepadaku dan hampir tidak pernah membicarakannya. Kalau kebetulan obrolan kami menjurus kepadanya, ia akan segera mengganti topik. Dapat kulihat ada yang janggal dari sikapnya itu. Namun aku tak terlalu memikirkannya. Aku tidak tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang keluarganya. Hal yang membuatku tertarik padanya cuma sebatas hasrat yang butuh disalurkan.
Kali pertama aku bertemu dengan kakak laki-lakinya itu dan bercakap-cakap dengannya adalah jelang akhir musim gugur tahun 1965.
Hari Minggu itu aku datang ke rumah pacarku untuk menjemputnya. Kutekan bel rumahnya berkali-kali namun tak ada yang menjawab. Setelah jeda cukup lama, kutekan lagi, berulang-ulang, hingga akhirnya aku mendengar seseorang berjalan pelan menuju pintu. Itu adalah kakak laki-laki pacarku.
Tubuhnya sedikit lebih tinggi daripada aku, dan badannya agak berotot. Ia terlihat seperti olahragawan yang, entah karena alasan apa, lama tidak melatih tubuhnya sehingga menjadi agak gemuk, meskipun lemak di tubuhnya itu sepertinya bukan jenis lemak yang akan bertahan dalam waktu lama. Bahunya lebar, tetapi lehernya sedikit kurus dan panjang. Rambutnya berantakan dan terlihat mencuat di sana sini, layaknya seorang yang baru saja bangun tidur. Terlihat kusut dan kaku, seakan-akan sudah lewat dua pekan dari jadwal potongnya. Dia mengenakan sweater crew-neck biru tua yang lubang lehernya sudah melar dan longgar, dan celana training abu-abu yang bagian lututnya longgar. Penampilannya sangat bertolak belakang dengan penampilan pacarku yang selalu rapi, bersih, dan serasi.
Dia memicingkan matanya kepadaku selama beberapa saat, seperti seekor hewan yang baru saja keluar dari goa hibernasi panjangnya dan menemui cahaya menyilaukan.
"Biar kutebak. Kau adalah… teman Sayoko?" katanya sebelum aku sempat berkata apa-apa. Dia membersihkan kerongkongannya. Suaranya terdengar seperti suara orang yang masih mengantuk namun dapat kurasakan ada nada ketertarikan di dalamnya.
"Benar," kataku, dan kuperkenalkan diri. "Aku seharusnya datang pukul sebelas."
"Sayoko sedang tak ada," katanya.
"Tak ada," ucapku, mengulangi ucapannya.
"Dia pergi ke luar, entah ke mana. Dia tak ada di rumah."
"Tapi aku sudah berjanji menjemputnya hari ini pukul sebelas."
"Benarkah?" kata kakak laki-laki pacarku itu. Dia melirik ke arah dinding di sampingnya, mungkin melihat jam. Namun tak ada jam di sana, cuma dinding bercat putih. Dengan enggan, sepertinya, dia kembali mengalihkan pandangannya ke arahku. "Mungkin benar begitu, tapi nyatanya dia sedang tidak di rumah."
Aku tak tahu apa yang mesti kulakukan. Dan, sepertinya, demikian pula kakak laki-laki pacarku itu. Dia menguap dan menggaruk-garuk belakang kepalanya. Semua itu dilakukannya dalam gerak pelan dan seolah-olah telah dipikirkan baik-baik.
"Kelihatannya sedang tidak ada siapa-siapa di rumah," katanya. "Aku baru saja bangun tidur beberapa saat lalu, dan sudah tidak ada siapa-siapa di rumah. Mungkin mereka pergi ke suatu tempat, entah ke mana."
Aku tidak berkata apa-apa.
"Ayahku mungkin sedang pergi bermain golf. Adik-adik perempuanku pastinya pergi bersenang-senang. Tapi, anehnya, ibuku juga pergi. Tidak biasanya."
Kutampik dorongan untuk berspekulasi. Ini bukan keluargaku.
"Tapi kalau Sayoko memang sudah berjanji, aku yakin dia akan segera pulang tak lama lagi," kata kakak laki-laki pacarku. "Mengapa kau tak masuk saja dan menunggu di dalam?"
"Aku tak ingin merepotkanmu. Aku akan mencari suatu tempat dan menunggu di sana beberapa waktu. Nanti aku kembali lagi," kataku.
"Tak apa-apa, kau tak perlu sungkan," dia berkata meyakinkanku. "Lagipula, akan lebih merepotkan bila nanti aku harus membukakan pintu lagi karena mendengar bel yang ditekan berulang-ulang. Jadi, masuklah."
Tak dapat memikirkan pilihan lain, maka aku masuk, dan dia mengantarku ke ruang tamu. Ruang tamu di mana sofa yang aku dan Sayoko pernah bercumbu di atasnya pada musim panas itu berada. Aku duduk di situ, dan kakak laki-laki pacarku itu merebahkan diri di sebuah kursi berlengan di hadapanku. Dan sekali lagi ia menguap panjang.
"Kau teman Sayoko, kan?" ia bertanya lagi, seakan berusaha memastikan.
"Benar," kataku, memberi jawaban yang sama.
"Bukan teman Yuko?"
Aku menggelengkan kepala. Yuko adalah adik perempuan pacarku yang badannya lebih tinggi darinya.
"Menarikkah, berteman dengan Sayoko?" kakak pacarku itu bertanya, ada rasa ingin tahu terpancar dari matanya.
Aku bingung bagaimana mesti menanggapinya, maka aku diam saja. Dia duduk di sana, menunggu jawabanku.
"Menyenangkan. Iya," kataku, akhirnya, berharap itu adalah jawaban yang baik.
"Menyenangkan, tetapi tidak menarik?"
"Bukan begitu maksudku…," aku tak dapat melanjutkan kata-kataku.
"Tak apa-apa," kakak pacarku itu berkata. "Menarik atau menyenangkan-- tak ada bedanya juga, kan. Kau sudah sarapan?"
"Sudah."
"Aku mau membuat roti panggang, kau yakin tak ingin juga?"
"Tidak, tak perlu repot-repot," jawabku.
"Bagaimana kalau kopi?"
"Tidak usah."
Kopi, sebenarnya, cukup menggiurkan, namun aku khawatir jadi terlibat terlalu jauh dengan anggota keluarga pacarku, terutama selagi dia tidak berada di rumah.
Dia berdiri tanpa kata-kata dan pergi meninggalkan ruangan itu. Tak begitu lama berselang, kudengar bunyi piring dan gelas berdentingan. Tinggal aku seorang diri di sofa itu, duduk manis dengan sopan, tangan di atas paha, menunggu kepulangan pacarku-- entah dari mana. Jam menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit.
Kucoba mengingat-ingat lagi apakah kami memang telah menyepakati janji untuk bertemu pukul sebelas. Tetapi bagaimanapun aku menggali ingatanku, aku benar-benar yakin bahwa aku tidak sedang keliru mengingat hari dan jam yang dijanjikan. Kami telah menyepakati itu lewat percakapan telepon pada malam sebelumnya. Dia bukanlah orang yang biasa melupakan apalagi mengingkari janji. Tetapi memang aneh bahwa dia dan seluruh keluarganya pergi ke luar di hari Minggu pagi dan meninggalkan kakak laki-lakinya seorang diri di rumah.
Tak mampu menemukan jawaban atas semua keanehan itu, aku duduk dengan sabar. Waktu bergulir begitu lambat. Aku mendengar suara-suara dari dapur, suara air mengucur dari kran, denting sendok membentur dinding gelas kaca-- sesuatu mungkin sedang diaduk di dalamnya, derit pintu rak penyimpanan yang dibuka dan ditutup. Kakak laki-laki pacarku itu sepertinya adalah orang yang selalu gaduh ketika mengerjakan apa saja. Tetapi suara-suara itu kemudian tak terdengar lagi. Di luar tak ada angin berembus, tak ada anjing menyalak. Seakan-akan lumpur kental tak kelihatan, keheningan itu perlahan-lahan merembes menutupi lubang pendengaranku dari segala suara. Aku menelan ludah berkali-kali, berusaha untuk menyingkirkannya.
Alangkah baiknya bila ada musik. "Theme from 'A Summer Place,'" "Edelweiss," "Moon River,"-- apa saja. Aku tak akan keberatan mendengarkan musik apa saja. Tetapi tak mungkin aku menyalakan perangkat stereo dan memutar musik di rumah orang lain tanpa izin. Kulayangkan pandang ke sekeliling, mencari sesuatu yang dapat kubaca, namun tak kutemukan ada koran ataupun majalah. Aku memeriksa isi tas selempangku. Aku biasanya selalu membawa buku yang sedang kubaca ke mana-mana, namun tidak hari itu.
Kalau mau pergi berkencan, aku dan pacarku biasanya berpura-pura akan pergi ke perpustakaan untuk belajar, maka aku membawa barang-barang yang berhubungan dengan sekolah di dalam tasku agar terlihat lebih meyakinkan. Layaknya seorang kriminal amatiran berusaha menciptakan sebuah alibi yang tetap saja rapuh. Jadi, satu-satunya buku yang ada di dalam tasku waktu itu cuma sebuah buku bacaan suplemen untuk pelajaran Bahasa dan Sastra Jepang.
Terpaksa aku menariknya keluar dan mulai membolak-balik halaman-halamannya. Aku bukan seorang kutu buku yang suka membaca buku secara sistematis dan serius, hanya seorang yang merasa berat bila harus melewatkan waktu tanpa membaca sesuatu. Aku tak sanggup bila harus duduk diam begitu saja dalam waktu lama. Aku harus, setidaknya, membuka-buka buku atau mendengarkan musik. Bila tak ada buku sungguhan di sekitarku, akan kuambil apa saja yang dapat dibaca. Buku telepon. Buku manual petunjuk penggunaan setrika uap. Dan buku bacaan suplemen materi pelajaran Bahasa Jepang adalah sesuatu yang sudah jauh lebih baik dibanding itu semua.
Kubalik-balik halaman buku itu secara acak menelusuri bagian esai dan fiksi. Beberapa tulisan adalah karya penulis asing, tetapi sebagian besar adalah karya penulis-penulis Jepang yang cukup terkenal-- Ryunosuke Akutagawa, Junichiro Tanizaki, Kobo Abe, dan sebangsanya. Dan, tersemat di setiap tulisan-- semuanya, kecuali beberapa cerpen-- beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu kebanyakan tak penting sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan yang jawaban terhadapnya sulit sekali (bahkan mustahil) ditentukan secara logis benar atau salahnya. Aku tak yakin siapapun orangnya yang telah membuat pertanyaan itu sendiri akan dapat menentukan benar atau salahnya jawaban yang diberikan atasnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti: "Apa yang dapat kalian petik dari bacaan ini terkait opini penulisnya terhadap perang?" atau "ketika penulis mendeskripsikan fase-fase penampakan bulan, efek simbolis apakah yang tercipta?" Kau dapat memberi jawaban apa saja. Kalau kau katakan bahwa pendeskripsian fase-fase penampakan bulan hanyalah sekadar penggambaran mengenai fase-fase penampakan bulan dan tidak mengandung efek simbolis sama sekali, tidak seorang pun dapat mengatakan dengan pasti bahwa jawaban itu salah atau benar. Tentu saja ada jawaban tertentu yang relatif lebih masuk akal, namun, kupikir, mencapai sebuah jawaban yang masuk akal bukanlah tujuan dari mempelajari Sastra.
Bagaimanapun, tetap kuhabiskan waktu dengan memikirkan jawaban tiap pertanyaan itu. Dan, biasanya, jawaban yang muncul dalam benakku-- dalam otakku yang masih dalam masa perkembangan dan tiap harinya bergelut dalam upaya mencapai semacam kemandirian psikologis-- adalah jawaban-jawaban yang cenderung tidak masuk akal, meskipun tidak juga berarti salah sama sekali. Mungkin kecenderungan itulah yang menjadi salah satu penyebab nilai-nilaiku di sekolah tidak begitu bagus.
Sementara itu, kakak laki-laki pacarku kembali ke ruang tamu. Rambutnya masih saja berantakan dan mencuat di sana-sini, namun, mungkin karena ia sudah sarapan, matanya tidak lagi terlihat mengantuk seperti sebelumnya. Dia memegang sebuah mug putih besar yang di sisinya terdapat gambar pesawat bersayap ganda milik jerman ketika Perang Dunia I dengan dua senapan mesin di depan kokpitnya. Itu pastilah mug spesial milik pribadinya, pikirku. Tak dapat kubayangkan pacarku minum dari mug seperti itu.
"Kau yakin tidak ingin kopi?" dia bertanya.
Kugelengkan kepalaku. "Tak usah repot-repot."
Sweaternya belepotan remah-remah roti. Juga bagian lutut celana trainingnya. Kupikir dia tadi pasti sangat kelaparan sehingga tidak memperdulikan remah-remah roti yang berjatuhan ke mana-mana ketika dia melahapnya. Hal semacam itu pasti akan membuat pacarku risih mengingat dia adalah orang yang menyukai kebersihan dan kerapian. Begitu pula aku, terkait masalah kebersihan dan kerapian itu, dan agaknya karena kesamaan itulah sehingga aku dan pacarku merasa cocok, pikirku.
Kakak laki-laki pacarku mengerling ke arah dinding. Terdapat sebuah jam di dinding itu. Jarumnya menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, kurang sedikit.
"Dia belum juga pulang, ya. Ke mana sih dia pergi?"
Aku tidak memberi tanggapan.
"Kau sedang membaca apa?"
"Bacaan suplemen untuk pelajaran Bahasa Jepang."
"Hmm," katanya, dengan kepala sedikit mendongak. "Menarik kah?"
"Tidak terlalu menarik. Tetapi tak ada bacaan lain yang dapat kubaca."
"Boleh kulihat?"
Kuserahkan buku itu kepadanya di atas meja rendah yang mengantarai kami. Gelas kopi dipegang di tangan kiri, dia menerima buku itu dengan tangan kanan. Aku khawatir dia akan menumpahkan kopinya ke buku itu. Dan itu nyaris saja terjadi. Tetapi kopi tak tumpah. Diletakkannya gelas kopinya di atas meja bermuka kaca dengan bunyi denting pelan, lalu dipegangnya buku itu dengan dua tangan dan mulai membalik-balik halamannya.
"Bagian mana yang barusan kau baca?"
"Aku tadi membaca 'Spinning Gears'-nya Akutagawa. Hanya ada penggalan ceritanya di situ, tidak lengkap."
Dia berpikir sebentar. "Aku belum pernah membaca 'Spinning Gears' tapi pernah membaca 'Kappa' dulu sekali. Bukankah 'Spinning Gears' adalah cerita yang cukup kelam?"
"Iya. Dia menulis cerita itu tepat sebelum meninggal." Akutagawa mengalami overdosis waktu berusia tiga puluh lima. Buku bacaan suplemen itu mencantumkan catatan bahwa "Spinning Gears" dipublikasikan setelah penulisnya meninggal dunia, pada 1927. Cerita itu seperti sebuah wasiat terakhir dari penulisnya.
"Hmm," kakak laki-laki pacarku itu berkata. "Maukah kau membacakannya untukku?"
Aku menatapnya, dengan agak terkejut. "Maksudmu, membacakannya dengan suara keras?"
"Iya. Aku menyukai dibacakan cerita oleh orang lain. Aku bukanlah seorang tukang baca yang baik."
"Aku tak begitu pandai membaca dengan suara keras."
"Tidak apa-apa. Tidak harus bagus. Cukup kau bacakan secara runtut saja. Lagipula, tak ada hal lain yang bisa kita lalukan."
"Kisahnya lumayan depresif dan agak neurotis," kataku.
"Sekali-sekali aku suka mendengarkan cerita seperti itu. Seperti melawan kejahatan dengan kejahatan."
Dia mengembalikan buku itu padaku, mengambil gelas kopi bergambar pesawat bersayap ganda dan simbol Iron Cross itu, lalu menyeruput kopinya. Kemudian, ia menyandarkan punggungnya di kursi berlengan dan menanti aku mulai membaca.
~
Begitulah hingga kemudian aku, pada hari Minggu itu, membacakan penggalan cerita "Spinning Gears" karya Akutagawa kepada kakak laki-laki pacarku yang eksentrik itu. Mulanya, aku membaca dengan sedikit perasaan terpaksa, namun lama-lama aku jadi terbiasa dan pembacaan itu pun mengalir begitu saja. Buku bacaan suplemen itu menyajikan dua bagian akhir dari keseluruhan cerita-- "Red Lights" dan "Airplane"-- tetapi aku hanya membacakan bagian "Airplane" saja. Panjangnya sekitar delapan halaman, dan diakhiri dengan kalimat "Tak adakah seseorang yang cukup baik hati dan bersedia mencekik leherku selagi aku terlelap?" Akutagawa bunuh diri selepas menuliskan kalimat ini.
Aku selesai membaca, namun belum seorang pun anggota keluarga itu yang pulang. Telepon tidak berdering, dan tak ada burung gagak seekor pun di luar. Tak ada yang bergeming sama sekali. Sinar matahari musim gugur menerobos masuk dan menerangi ruang tamu itu lewat celah-celah gorden. Waktu bergulir begitu lamban. Kakak laki-laki pacarku duduk di situ, dengan tangan terlipat, mata terpejam, seolah sedang berusaha mencerna sepenuhnya kalimat terakhir yang baru saja kubacakan: "Aku tak memiliki sisa kekuatan lagi untuk terus melanjutkan tulisanku. Yang kurasakan ini begitu pedih, melebihi segala yang mampu diungkapkan kata-kata. Tak adakah seseorang yang cukup baik hati dan bersedia mencekik leherku selagi aku terlelap?"
Terlepas apakah kau menyukai cerita itu atau tidak, satu hal yang jelas; itu bukanlah cerita yang cocok untuk dibacakan pada suatu hari Minggu yang cerah. Kututup buku itu, lalu kulirik jam di dinding. Baru saja lewat pukul dua belas.
"Pasti telah terjadi suatu kesalahpahaman," kataku. "Mungkin aku akan pergi saja." Aku bangkit dari sofa. Ibuku telah sukses menanamkan dalam diriku sejak kecil bahwa tidaklah pantas seseorang bertamu ke rumah orang lain pada waktu-waktu makan. Baik atau buruk, hal ini sudah menyatu dengan diriku dan menjadi kebiasaan sebagaimana sebuah refleks.
"Kau sudah datang jauh-jauh, tunggulah sekitar tiga puluh menit lagi," kata kakak laki-laki pacarku itu. "Kalau setelah tiga puluh menit dia belum juga kembali, kau boleh pergi. Bagaimana?"
Ada yang tak biasa dalam kata-katanya itu, dan aku pun duduk kembali dan meletakkan kedua tangan di atas paha.
"Kau sangat baik dalam membacakan dengan suara keras," katanya, terdengar bersungguh-sungguh. "Pernahkah orang lain mengatakan ini padamu?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tanpa benar-benar memahami kandungan isi ceritanya, kau tak akan dapat membacanya seperti itu. Terutama bagian akhirnya, sangat baik."
"Oh," jawabku dengan agak salah tingkah. Kurasakan pipiku sedikit memerah. Pujian itu seperti mengandung makna lain, dan itu membuatku tak nyaman. Tetapi aku menyadari bahwa aku telah terseret masuk ke dalam sebuah percakapan yang akan berlangsung hingga tiga puluh menit ke depan. Sepertinya dia sedang butuh teman ngobrol.
Dia mempertemukan kedua telapak tangan di hadapan tubuhnya, seperti sedang berdoa, lalu tiba-tiba berkata: "Ini mungkin akan terdengar sebagai sebuah pertanyaan yang aneh, tapi, pernahkah kau mendapati memorimu tiba-tiba berhenti bekerja?"
"Berhenti?"
"Maksudku, seperti, pada suatu selang antara dua titik dalam rentangan waktu, kau tak dapat mengingat sama sekali kau berada di mana dan melakukan apa."
Aku menggelengkan kepala. "Kupikir belum pernah aku mengalami hal semacam itu."
"Jadi, kau selalu bisa mengingat urutan semua peristiwa dan detil apa-apa saja yang telah kau lakukan?"
"Kalau itu belum lama terjadi, kurasa iya."
"Hmm," katanya sambil menggaruk belakang kepalanya selama beberapa saat, kemudian berkata, "Kurasa itu berarti kau normal."
Aku menunggu ia melanjutkan.
"Sebenarnya aku pernah mengalami, beberapa kali, saat-saat di mana memoriku tiba-tiba berhenti bekerja sehingga ada bagian yang tak dapat kuingat dalam rekaman memoriku. Misalnya pukul tiga sore memoriku mati, dan momen selanjutnya yang kuingat adalah hari sudah pukul tujuh malam. Dan aku tak dapat mengingat berada di mana aku dan apa yang kulakukan selama selang waktu empat jam itu. Dan tak ada hal khusus yang sedang kualami ketika itu. Aku, misalnya, tidak sedang mabuk, atau baru saja terbentur suatu benda keras di bagian kepala, atau apa. Aku dalam keadaan yang biasa saja, melakukan yang biasanya kulakukan, dan tiba-tiba saja memoriku berhenti bekerja. Tak dapat kuprediksi kapan hal tersebut akan terjadi, atau berapa lama-- berapa jam, bahkan mungkin hari-- ingatanku akan hilang begitu saja dari memoriku."
"Hmm," gumamku, sekadar menunjukkan padanya bahwa aku mendengarkan.
"Bayangkan seandainya kau merekam simfoni Mozart. Dan ketika kau memutar ulang rekaman itu, kau sadar bahwa suara musiknya tiba-tiba melompat dari pertengahan bagian ke dua ke pertengahan bagian ke tiga, dan apa yang seharusnya ada di antaranya hilang begitu saja. Seperti itulah. Ketika kukatakan 'hilang begitu saja,' yang kumaksud tidaklah seperti ada bagian di mana yang terdengar cuma keheningan, melainkan seluruh bagian itu hilang begitu saja. Kau mengerti maksudku?"
"Kurasa aku mengerti," kataku meski sedikit ragu-ragu.
"Kalau itu adalah rekaman musik, meskipun mungkin akan terasa aneh, tidak dapat dikatakan berbahaya sama sekali, kan. Tapi kalau itu terjadi pada kehidupanmu yang sesungguhnya, percayalah, itu sangat menyakitkan… Kau mengerti maksudku?"
Aku mengangguk.
"Kau pergi ke balik rembulan dan kembali tanpa membawa apa-apa."
Aku mengangguk lagi. Walaupun aku tak yakin telah memahami arti sesungguhnya dari analogi itu.
"Penyebabnya adalah kelainan genetik, dan kasus seperti ini cukup langka. Yang mengalaminya mungkin satu di antara puluhan ribu orang. Tetapi akan selalu ada perbedaan di antara setiap kasus. Di tahun terakhirku di SMP, seorang neurolog di sebuah rumah sakit universitas memeriksaku. Ibuku yang membawaku ke sana."
Ia terdiam beberapa saat, lalu melanjutkan. "Dengan kata lain, kondisi ini mengakibatkan proses penyimpanan ingatan dalam memorimu berantakan. Ada ingatan yang disimpan dalam laci yang salah. Dan hampir tak mungkin-- bahkan mustahil-- untuk menemukannya kembali. Begitulah mereka menjelaskannya kepadaku. Memang ini bukan kelainan yang dapat berakibat fatal atau dapat membuatmu perlahan-lahan menjadi gila. Tetapi, tetap saja, ini dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memberi tahuku nama penyakit itu dan memberiku obat-obatan, tetapi pil-pil itu sesungguhnya tidak berpengaruh apa-apa. Cuma placebo saja."
Kakak laki-laki pacarku itu diam beberapa saat, menatapku lekat-lekat seperti berusaha memastikan bahwa aku memahami maksudnya. Dia seperti seseorang yang sedang berdiri di luar rumah, memandang masuk menembus jendela rumah itu.
"Satu atau dua kali setahun aku masih mengalami episode ini," dia akhirnya berkata lagi. "Tidak terlalu sering, memang, namun masalahnya bukan pada frekuensi. Kalau episode ini terjadi, akan menimbulkan permasalahan yang nyata. Meskipun tak sering, kehilangan ingatan seperti ini, dan tanpa pernah tahu kapan ini akan terjadi, rasanya sangat menyakitkan. Kau mengerti maksudku?"
"E hmm," ucapku ragu-ragu. Cuma itu yang dapat kukatakan menanggapi kisah aneh yang diceritakannya.
"Misalnya, bila aku mengalaminya, memoriku tiba-tiba berhenti bekerja, dan selama selang waktu yang tak dapat kuingat itu aku mengambil linggis dan memukuli kepala seseorang yang tidak kusukai. Kau tak mungkin mengabaikan kemungkinan seperti itu begitu saja dan cuma berkata, 'hmm aneh.' Iya kan?"
"Kurasa iya."
"Polisi akan turun tangan, dan jika kukatakan pada mereka, 'eeh, sebenarnya, aku kehilangan ingatanku,' tak mungkin mereka akan percaya begitu saja, kan?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tentu saja, ada beberapa orang yang tidak kusukai di dunia ini. Orang-orang yang kadang membuatku benar-benar jengkel. Ayahku adalah salah satunya. Tapi selama aku sadar, tak mungkin aku akan pernah memukuli kepala ayahku dengan linggis, kan? Aku bisa mengendalikan diri. Tapi, kalau memoriku tiba-tiba berhenti, aku tak akan bisa mengetahui apa yang kulakukan."
Kuangkat kepalaku sedikit, sambil tetap berusaha untuk tidak berpendapat.
"Kata dokter, itu tak akan terjadi. Kalau memoriku berhenti mengingat, tidak berarti seseorang akan dapat membajak kepribadianku. Seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde. Aku tetap akan menjadi diriku. Cuma alur ingatanku saja yang tiba-tiba melompat dari satu momen ke momen lain. Aku akan tetap bisa mengendalikan diri dan berperilaku sebagaimana normalnya diriku. Musik Mozart tidak akan tiba-tiba berubah menjadi musik Stravinsky. Musik Mozart tetaplah musik Mozart-- cuma terdapat suatu bagian yang hilang tercecer di suatu laci entah di mana."
Di titik ini dia berhenti dan menyesap kopi dari gelasnya yang bergambar pesawat Jerman bersayap ganda itu. Dalam hati aku berharap bisa menyeruput kopi juga.
"Paling tidak itulah yang dikatakan dokter kepadaku. Tetapi kau tak dapat mempercayai semua yang dikatakan oleh dokter mentah-mentah begitu saja. Waktu SMA aku takut sekali, berpikir bahwa aku bisa saja memukuli kepala salah seorang teman kelasku dengan linggis tanpa sadar. Semasa SMA kita belum sepenuhnya menemukan jati diri kita, kan? Tambahkan masalah memori ini, maka kau akan semakin kebingungan."
Aku mengangguk, tetap diam. Mungkin ia benar.
"Karena itulah aku berhenti sekolah," kakak laki-laki pacarku itu melanjutkan. "Semakin kucoba memikirkannya, semakin aku merasa ketakutan, hingga aku tak sanggup lagi berangkat sekolah. Ibuku coba menjelaskan kondisiku ini kepada guruku, dan meskipun aku tak pernah masuk sekolah, mereka memakluminya dan mengizinkanku meraih kelulusan. Kubayangkan, pihak sekolahku itu pastinya ingin cepat-cepat menyingkirkan siswa bermasalah sepertiku. Tapi aku tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Nilai-nilaiku sebenarnya tidak terlalu buruk, dan aku bisa saja masuk kuliah di suatu tempat, namun aku tak punya rasa percaya diri lagi untuk keluar rumah. Sejak saat itu, aku cuma di rumah saja. Kadang-kadang aku membawa anjingku jalan-jalan, tapi selain itu aku tak pernah beranjak dari rumah. Belakangan ini aku tidak lagi merasa panik atau semacamnya. Kalau keadaannya bisa terus membaik, mungkin suatu saat aku akan kuliah."
Dia lalu terdiam, dan begitu juga aku. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku mulai memahami mengapa pacarku tak pernah mau membicarakan kakaknya.
"Terima kasih sudah membacakan cerita itu untukku," katanya. "'Spinning Gears' cukup bagus. Memang ceritanya kelam, tetapi aku sangat bisa memahami isinya. Kau sungguh tak ingin kopi? Cuma butuh semenit untuk membuatnya."
"Tak usah, tak apa. Sebentar lagi aku pergi."
Diliriknya lagi jam di dinding. "Mengapa kau tak menunggu sampai pukul satu, dan kalau sampai saat itu masih tak ada seorangpun yang pulang kau boleh pergi? Aku akan kembali ke kamarku di atas, kau boleh bersantai di sini dan pergi sendiri saat kau ingin. Tak perlu sungkan-sungkan."
Aku mengangguk.
"Menarikkah, jalan dengan Sayoko?" kakak laki-laki pacarku itu bertanya sekali lagi.
Aku mengangguk. "Menarik."
"Dalam hal apa?"
"Bahwa ada banyak hal tentangnya yang aku tak tahu," jawabku. Itu jawaban paling jujur yang dapat kuberikan, pikirku.
"Hmm," katanya, coba mencernanya. "Setelah kau bilang begitu, aku mulai bisa mengerti. Dia adikku, adik kandung, dengan gen yang sama dan sebagainya, dan kami tinggal di bawah atap yang sama sejak dia lahir, tetapi masih begitu banyak hal yang belum kupahami tentangnya. Aku tak mengerti-- entah bagaimana mengatakan ini? Apa yang dapat membuatnya tersentuh? Jadi aku senang bila kau bisa memahami dirinya untukku. Walaupun ada banyak hal juga yang lebih baik tak perlu diketahui."
Dengan gelas kopi di tangan, dia bangkit dari kursi berlengannya.
"Baiklah, selamat menikmati," kata kakak laki-laki pacarku itu. Dia melambaikan tangannya-- yang tidak sedang memegang gelas-- kepadaku dan pergi meninggalkan ruang tamu.
"Terima kasih," ucapku.
~
Pukul satu, masih tak ada tanda-tanda seorang pun yang pulang, maka aku berjalan sendiri menuju pintu depan, mengenakan sneakers-ku, lalu pergi. Aku berjalan melewati hutan pinus, menuju stasiun, menaiki kereta, dan pulang ke rumahku. Itu merupakan suatu hari Minggu sore musim gugur yang tenang dan sepi dalam suatu cara yang tak biasa.
Aku menerima telepon dari pacarku setelah lewat pukul dua sore. "Kau seharusnya datang hari Minggu depan," katanya. Aku tak yakin, namun kata-katanya terdengar tegas sehingga kupikir dia mungkin benar. Aku meminta maaf karena telah datang ke rumahnya seminggu lebih awal dari yang dijanjikan.
Aku tidak memberi tahunya bahwa aku dan kakak laki-lakinya telah mengobrol selagi menunggunya pulang-- walaupun itu tidak seperti umumnya obrolan antar dua orang sebab nyatanya aku lebih banyak mendengarkan saja. Kuputuskan bahwa aku sebaiknya tidak memberitahunya bahwa aku telah membacakan "Spinning Gears" Ryunosuke Akutagawa kepada kakaknya, dan bahwa dia telah menceritakan padaku mengenai kondisi memorinya. Kalau kakaknya sendiri ternyata tidak pernah menceritakan itu padanya, tak ada alasan bagiku untuk menceritakannya.
~
Delapan tahun kemudian aku bertemu dengan kakak laki-laki pacarku itu lagi. Waktu itu pertengahan bulan Oktober. Usiaku tiga puluh lima, tinggal di Tokyo bersama istriku. Pekerjaan menyibukkanku sehingga aku tak pernah sempat mengunjungi Kobe lagi.
Waktu itu hari sudah semakin sore, dan aku berjalan di jalanan mendaki di Shibuya untuk mengambil jam tanganku yang sedang diperbaiki. Aku berjalan pelan mengikuti arus keramaian, larut dalam pikiranku sendiri, ketika seseorang yang baru saja melewatiku dari arah berlawanan tiba-tiba berbalik dan memanggilku.
"Permisi," katanya, berbicara dengan logat Kansai yang kentara. Aku berhenti, menolehkan badan dan melihat seseorang yang tidak kukenali. Dia terlihat sedikit lebih tua dariku, dan berbadan sedikit lebih tinggi. Dia mengenakan jaket tweed abu-abu gelap, sweater berbahan cashmere warna krim, dan celana chinos cokelat. Rambutnya pendek, dan badannya kelihatan padat seperti tubuh seorang olahragawan dengan kulit berwarna gelap (seperti kulit gelap yang biasanya dimiliki pemain golf). Penampilannya menarik, wajahnya tampan meski kurang terawat. Kesan yang kudapatkan adalah bahwa laki-laki ini pastilah seorang yang hidupnya menyenangkan. Seorang yang berpendidikan.
"Aku tak ingat namamu, tapi kau laki-laki yang pernah jadi pacar adikku, kan?" katanya.
Kuamat-amati lagi wajahnya, namun tak dapat kuingat siapa dirinya.
"Adik perempuanmu?"
"Sayoko," katanya. "Kalau tidak salah, kalian sekelas waktu SMA."
Pandanganku terpatri pada sebercak noda saus tomat di bagian depan sweater berwarna krimnya. Pakaiannya rapi, dan setitik noda itu jadi sangat mencolok bagiku. Kemudian, aku ingat-- saudara laki-laki pacarku yang bermata sayu dan mengenakan sweater crew-neck biru tua yang lubang lehernya sudah melar dan longgar, dan belepotan remah-remah roti.
"Sekarang aku ingat," kataku. "Kau kakak Sayoko. Kita pernah bertemu di rumahmu sekali, kan?"
"Betul. Kau membacakan 'Spinning Gears' Akutagawa padaku."
Aku tertawa. "Tak kusangka kau bisa mengenaliku di tengah keramaian ini. Kita cuma pernah bertemu sekali, dan itu sudah sangat lama."
"Aku tak tahu mengapa, tapi aku tak pernah melupakan wajah orang yang pernah kutemui. Apalagi, kau terlihat tidak berubah sama sekali."
"Tapi kau sendiri cukup banyak berubah," kataku. "Terlihat sangat berbeda, sekarang."
"Di bawah jembatan, air mengalir deras," katanya, tersenyum. "Sebagaimana kau tahu, segala sesuatunya sempat berjalan tak menentu selama beberapa waktu."
"Bagaimana kabar Sayoko?" Aku bertanya.
Dia memalingkan wajah ke satu sisi dengan raut yang menyiratkan adanya beban tertentu, menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Seolah-olah dia sedang memeriksa kepadatan udara di sekitarnya.
"Daripada berdiri di jalanan ramai begini, bagaimana kalau kita mencari tempat untuk duduk dan berbicara? Tentunya kalau kau tidak sedang sibuk atau terburu-buru," katanya.
"Tidak. Tak ada urusan yang mendesak," kataku padanya.
~
"Sayoko sudah meninggal dunia," katanya dengan suara pelan. Kami menemukan sebuah kedai kopi tak jauh dari tempat kami tadi berpapasan, dan kini duduk berhadapan diantarai sebuah meja plastik.
"Meninggal?"
"Dia sudah meninggal dunia. Tiga tahun yang lalu."
Aku tak sanggup berkata-kata. Seakan-akan lidahku tiba-tiba membengkak dan memenuhi rongga mulutku. Kucoba menelan ludah yang sudah tertampung cukup banyak di dalamnya, namun tak berhasil.
Terakhir kali aku bertemu Sayoko ketika usianya dua puluh dan ia baru saja berhasil mendapatkan Surat Izin Mengemudi, dan dia menyupiri aku-- kami berdua-- menuju puncak Gunung Rokko, di Kobe, mengendarai Toyota Crown hardtop putih milik ayahnya. Cara mengemudinya masih agak canggung, namun dia kelihatan bahagia ketika menyetir. Dan, bisa kau tebak, diri radio sedang terlantun sebuah lagu dari The Beatles. Aku ingat dengan jelas. "Hello, Goodbye." You say goodbye, and I say hello. Sebagaimana sudah kukatakan tadi, lagu-lagu mereka terdengar di mana-mana.
Aku kesulitan mencerna kenyataan bahwa dia sudah meninggal dunia, tak lagi berada di dunia ini. Entah bagaimana menggambarkannya-- begitu surreal.
"Bagaimana dia… mati?" Aku bertanya, mulutku kering.
"Dia bunuh diri," katanya, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. "Waktu berusia dua puluh enam dia menikah dengan teman kerjanya di sebuah perusahaan asuransi, punya dua orang anak, lalu bunuh diri. Ketika itu usianya tiga puluh dua."
"Dia meninggalkan dua orang anak?"
Kakak laki-laki mantan pacarku itu mengangguk. "Anak yang pertama laki-laki, yang kedua perempuan. Mereka kini dirawat oleh suaminya. Kadang-kadang aku mengunjungi mereka. Anak-anak yang lucu."
Aku masih kesulitan melahap semua kenyataan itu. Mantan pacarku telah bunuh diri, meninggalkan dua orang anak yang masih kecil?
"Mengapa dia melakukan itu?"
Dia menggelengkan kepala. "Tak ada yang tahu alasannya. Dia tidak terlihat seperti sedang punya masalah atau depresi. Kesehatannya baik, hubungannya dengan suaminya terlihat baik-baik saja, dan dia mencintai anak-anaknya. Dia juga tidak meninggalkan catatan atau apapun. Dokternya meresepkan obat tidur, dan dia menyimpan obat-obat itu lalu, dalam sekali tenggak, menelan semuanya. Jadi sepertinya dia sudah punya rencana untuk bunuh diri. Dia ingin mati, dan selama enam bulan mengumpulkan obat-obat tidur itu sedikit demi sedikit. Itu tidak seperti sebuah tindakan impulsif belaka."
Aku terdiam cukup lama. Begitu pula dirinya. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Hari itu, di sebuah kafe di puncak Gunung Rokko, aku putus dengan pacarku. Aku akan pindah ke Tokyo untuk kuliah dan di sana aku telah bertemu dan jatuh cinta pada seorang gadis. Aku mengungkapkan semuanya secara blak-blakan kepadanya, dan dia, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mengambil tasnya, berdiri, dan langsung pergi meninggalkan kafe itu, tanpa sekejap pun sempat menoleh lagi.
Aku harus pulang mengendarai kereta gantung menuruni gunung itu seorang diri. Sementara itu dia pasti sudah mengendarai Toyota Crown putih itu, pulang. Hari itu sangat cerah dan indah, dan aku ingat menyisakan pemandangan seluruh Kobe di balik kaca jendela gondola. Sebuah pemandangan yang luar biasa.
Sayoko melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan asuransi besar, menikah dengan salah satu teman kantornya, punya dua orang anak, menyembunyikan obat tidur, dan bunuh diri.
Cepat atau lambat, putusnya hubungan kami tidak dapat dihindari. Namun, aku menyimpan kenangan tak terlupakan dari tahun-tahun yang kami jalani bersama-sama itu. Dia pacar pertamaku, dan aku sangat menyukainya. Dialah yang mengajarkanku berbagai hal mengenai tubuh perempuan. Kami mengalami banyak hal baru bersama-sama, dan saling berbagi momen-momen indah, hal-hal yang hanya dapat kau alami di masa-masa remaja.
Sulit bagiku mengatakan ini sekarang, namun dia tak pernah dapat membunyikan lonceng spesial yang ada jauh di dalam telingaku itu. Meski aku sudah berusaha mendengarkannya, tak sekalipun lonceng itu berdentang. Sayang sekali. Gadis yang kujumpai di Tokyo itulah yang melakukannya. Ini bukan sesuatu yang dapat kau pilih secara bebas, menuruti logika atau moral. Terjadi, atau tidak, begitu saja. Ketika terjadi, ia terjadi menurut kehendaknya sendiri, di dalam kesadaranmu atau di suatu tempat jauh di dalam dirimu.
~
"Kau tahu," kata kakak laki-laki mantan pacarku itu, "tak pernah terlintas dalam pikiranku, tidak sekali pun, bahwa Sayoko akan bunuh diri. Bahkan seandainya semua orang di dunia melakukannya, kupikir-- yang ternyata adalah salah-- dia akan tetap berdiri tegar, tetap hidup, dan baik-baik saja. Aku tak dapat melihat dirinya sebagai seseorang yang mengalami disilusi atau menyembunyikan kekelaman di dalam dirinya. Sejujurnya, kupikir dia orang yang dangkal. Aku tak banyak menaruh perhatian padanya, dan kurasa begitu juga sebaliknya. Mungkin kami memang tak berada dalam satu frekuensi gelombang yang sama… Aku malah lebih dekat dengan adik perempuanku yang satunya. Tetapi sekarang aku jadi merasa seakan-akan telah melakukan suatu hal yang sangat buruk pada Sayoko, dan itu terasa sangat pedih bagiku. Mungkin aku tak pernah sungguh-sungguh memahami dirinya. Tak satupun hal tentangnya yang aku mengerti. Mungkin aku terlalu sibuk dengan hidupku sendiri. Barangkali orang sepertiku ini memang takkan mampu menyelamatkan hidupnya, tapi aku seharusnya bisa mengerti sesuatu tentang dirinya, walau cuma sedikit. Sulit menghadapinya sekarang. Aku telah begitu egois, terlalu mementingkan diri sendiri."
Tak ada yang dapat kukatakan. Kurasa aku pun tak pernah memahami Sayoko sama sekali. Sama seperti kakaknya itu, selama ini aku terlalu sibuk dengan hidupku sendiri.
Kakak laki-laki mantan pacarku itu berkata. "Di dalam kisah yang pernah kau bacakan untukku waktu itu, 'Spinning Gears' Akutagawa, terdapat cerita di mana seorang pilot menghirup udara di langit yang tinggi dan ketika kembali, dia tak sanggup lagi menghirup udara di permukaan bumi. 'Airplane Desease,' mereka menyebutnya. Entah itu penyakit yang nyata atau tidak, tetapi aku masih ingat cerita itu."
"Apakah kau sudah sembuh dari kelainan yang membuat memorimu terkadang hilang itu?" Aku bertanya padanya. Kupikir aku ingin mengalihkan topik pembicaraan dari Sayoko.
"Ah, benar. Itu," katanya, dengan mata sedikit terpicing. "Agak aneh, tetapi semua itu tiba-tiba hilang begitu saja. Itu adalah kelainan genetik yang seharusnya akan memburuk seiring waktu, kata dokter, tetapi semua itu tiba-tiba hilang begitu saja, seolah-olah aku tak pernah memilikinya. Seperti sebuah roh jahat tiba-tiba telah diusir dari diriku."
"Aku turut senang mendengar itu," kataku. Aku sungguh memang senang mendengarnya.
"Itu terjadi tak lama setelah aku bertemu denganmu. Setelahnya, aku tak pernah lagi kehilangan memori sekalipun. Itu membuatku lebih tenang, berhasil diterima kuliah di sebuah sekolah tinggi yang cukup bagus, lulus, lalu meneruskan bisnis ayahku. Berbagai hal sempat berantakan tak tentu arah selama tahun-tahun itu, tetapi sekarang aku menjalani kehidupan seperti orang biasa."
"Senang mendengarnya," kataku lagi. "Jadi kau tak sampai memukul kepala ayahmu dengan linggis."
"Ternyata kau masih ingat hal-hal bodoh macam itu," katanya, dan tertawa keras. "Namun, kau tahu, aku tidak sering mengunjungi Tokyo untuk urusan bisnis, dan rasanya agak aneh juga aku bisa berjumpa denganmu seperti ini di sebuah kota yang sangat besar ini. Kurasa ada sesuatu yang mempertemukan kita dengan sengaja, entah apa."
"Benar," kataku.
"Jadi,bagaimana dengan dirimu? Sudah berapa lama kau tinggal di Tokyo?"
"Aku menikah setelah menyelesaikan kuliah," aku memberi tahunya, "dan tinggal di Tokyo sejak saat itu. Aku mencari nafkah sebagai semacam penulis, sekarang."
"Penulis?"
"Ya, menulis tentang fashion."
"Well, kau memang hebat dalam membacakan cerita," katanya. "Mungkin ini akan membebanimu, tapi kupikir Sayoko paling menyukaimu di antara semua orang lain."
Aku tidak menanggapinya. Dan kakak laki-laki mantan pacarku itu juga tidak berkata apa-apa lagi.
~
Kami lalu saling mengucap selamat tinggal. Aku pergi mengambil jam tanganku yang sudah selesai diperbaiki, dan kakak laki-laki mantan pacarku itu berjalan pelan menuruni jalanan landai ke stasiun Shibuya. Sosoknya yang terbungkus jaket tweed itu lalu menghilang ditelan keramaian sore hari.
Aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Ketidaksengajaan telah mempertemukan kami untuk kali ke dua. Hampir dua puluh tahun berselang sejak pertemuan kami yang pertama, di sebuah kota lain yang berjarak tiga ratus mil, kami duduk diantarai sebuah meja, menikmati kopi dan membicarakan beberapa hal. Namun obrolan tersebut sesungguhnya bukan sesuatu yang dapat sekadar diobrolkan sambil minum kopi. Ada sesuatu di dalamnya yang sangat penting, yang mengandung makna mendalam bagi kami dalam hidup kami masing-masing. Namun, semua itu memang hanya merupakan petunjuk, yang dihadirkan secara kebetulan. Tak ada benang merah khusus yang dapat menghubungkan kami dalam cara yang sistematis maupun organis. (Pertanyaan: elemen-elemen apa sajakah di dalam kehidupan dua orang laki-laki ini yang secara simbolis dihadirkan melalui dua momen pertemuan dan obrolan mereka?)
Aku juga tak pernah bertemu dengan gadis itu lagi, ia yang membawa LP The Beatles. Kadang aku bertanya-tanya sendiri-- masihkah dia melangkah dengan tergesa-gesa menyusuri koridor sekolah yang remang itu pada 1964, dengan ujung rok bergoyang-goyang? Selamanya berusia enam belas tahun, mendekap sebuah album hebat bersampul foto separuh siluet wajah John, Paul, George, dan Ringo erat-erat seolah-olah itu adalah hidupnya sendiri.
<×> Selesai <×>
Yogyakarta, Mei-Juni 2020
Diterjemahkan secara bebas dari cerpen "With The Beatles" karya Haruki Murakami (versi terjemahan Bahasa Inggris oleh Philip Gabriel) yang dimuat di The Newyorker (https://www.newyorker.com/magazine/2020/02/17/with-the-beatles)