Aku bertemu dengan monyet tua itu di sebuah penginapan kecil bergaya Jepang di sebuah kota pemandian air panas di Perfektur Gunma, sekitar lima tahun yang lalu. Penginapan itu adalah sebuah penginapan tua, atau mungkin lebih cocok disebut reyot, nyaris rubuh, tempat di mana aku kebetulan bermalam.
Waktu itu aku sedang bepergian seorang diri, mengikuti ke mana pun hatiku menuntun, dan sudah lewat pukul tujuh malam ketika aku tiba di kota pemandian air panas itu dan turun dari kereta. Musim gugur hampir berakhir, matahari sudah lama terbenam, dan tempat itu tenggelam dalam kegelapan biru pekat seperti yang biasa ditemui di daerah pegunungan. Angin dingin yang terasa menggigit berembus dari puncak gunung membawa daun-daun seukuran kepalan tangan terseret-seret di sepanjang jalanan.
Aku berjalan melewati pusat kota kecil itu mencari tempat untuk menginap, namun tak satu pun penginapan bagus yang masih bersedia menerima tamu selewat jam makan malam. Aku menyinggahi lima-enam tempat, tetapi semuanya menolakku mentah-mentah. Akhirnya, di daerah sepi di pinggir kota, kutemukan sebuah penginapan yang bersedia menerimaku. Tempat itu seperti penginapan murahan yang sepi dan sudah hampir rubuh. Tempat itu sudah berdiri sejak lama sekali, namun tak tersisa lagi daya tarik keantikan seperti yang biasanya ditemui di penginapan-penginapan bergaya kuno. Di sana-sini terlihat bekas-bekas perbaikan yang seolah dilakukan dengan terburu-buru sehingga tak rapi dan terlihat tak menyatu dengan keseluruhan bangunan itu. Kuragukan bangunan itu masih akan dapat bertahan bila ada gempa bumi, dan kuharap tak akan ada gempa bumi terjadi selagi aku di situ.
Penginapan itu tidak menyediakan makan malam, tetapi menyediakan sarapan yang sudah termasuk dalam harga sewa kamar, dan harga itu tergolong sangat murah untuk semalam. Di dalam pintu masuk terdapat meja resepsionis yang polos yang di belakangnya duduk seorang tua botak yang tak berambut sama sekali-- bahkan rambut alis pun tidak-- yang menerima uang pembayaran untuk satu malamku di muka. Tanpa alis, bola mata besar orang itu terlihat berkilau aneh. Di atas alas bantal di atas lantai di sampingnya, seekor kucing cokelat besar yang sama tuanya sedang bergelung dalam tidur pulas. Seperti ada yang tak beres dengan hidungnya sebab suara dengkurannya terdengar lebih keras daripada kucing-kucing lain yang kuketahui. Ritme dengkurannya kadang-kadang hilang lalu muncul kembali secara tak beraturan. Segala sesuatu di penginapan ini seperti sudah uzur dan mulai lapuk.
Kamar yang ditunjukkan kepadaku adalah sebuah ruangan sempit, seperti gudang penyimpanan kasur futon; lampu di langit-langitnya redup, dan lantai di bawah tatami menimbulkan suara derit yang mengkhawatirkan setiap kali aku melangkah. Tetapi sudah terlalu larut untuk meminta tempat lain. Kukatakan pada diriku bahwa aku seharusnya bersyukur masih bisa mendapatkan atap tempat bernaung dan futon sebagai alas tidur.
Kuletakkan satu-satunya barang bawaanku, sebuah tas bahu besar, di atas lantai dan pergi menuju kota. (Ruangan itu bukanlah tempat yang kuinginkan untuk menghabiskan waktu). Aku masuk ke sebuah warung mi soba terdekat dan menikmati makan malam sederhana. Hanya itu satu-satunya pilihan, sebab tak ada lagi restoran lain yang buka. Aku memesan bir, sedikit kudapan ringan, dan soba panas. Soba itu biasa saja, kuahnya kurang hangat, tetapi, lagi-lagi, aku tak dapat mengeluhkannya. Masih lebih baik daripada harus tidur dengan perut kosong. Selepas kutinggalkan warung soba itu, aku berpikir untuk membeli beberapa kudapan dan sebotol kecil wiski, namun tak dapat kutemukan satu pun toserba yang buka. Waktu itu sudah lewat pukul delapan, dan satu-satunya tempat yang masih buka adalah sebuah pusat permainan menembak seperti yang biasanya ada di kota-kota pemandian air panas lainnya. Jadi aku langsung kembali ke penginapan, berganti pakaian mengenakan jubah mandi, lalu turun untuk mandi.
Dibanding bangunannya yang reyot, tempat pemandian air panas di penginapan itu ternyata bagus. Airnya yang beruap, berwarna hijau pekat, kental tak tercemar, aroma belerangnya lebih pekat dibanding di tempat-tempat pemandian lain yang pernah kukunjungi, dan aku berendam di situ, menghangatkan badan sampai ke dalam tulang. Tak ada pengunjung lain (aku bahkan tak tahu apakah ada orang lain yang menginap di penginapan itu), dan aku bisa bersantai lama-lama menikmati berendam air panas. Setelah cukup lama, kurasakan kepalaku sedikit limbung dan aku keluar dari bak untuk mendinginkan badan, kemudian masuk lagi ke bak untuk berendam. Mandi di situ jelas lebih tenang daripada mandi bersama rombongan wisatawan yang berisik seperti biasa di penginapan-penginapan besar.
\>|</
Aku sedang berendam untuk kali ke tiga ketika monyet itu menggeser-buka pintu kaca dengan suara berderak kemudian masuk. "Permisi," katanya dengan suara rendah. Butuh waktu cukup lama bagiku sebelum menyadari bahwa ia adalah seekor monyet. Air panas yang pekat itu sepertinya telah membuatku sedikit linglung, dan aku pun tak menyangka akan mendengar seekor monyet berbicara, jadi aku tak dapat segera menemukan hubungan antara apa yang kusaksikan dengan fakta bahwa ia adalah seekor monyet sungguhan.
Monyet itu menutup pintu di belakangnya, merapikan ember-ember kecil yang tergeletak berantakan, dan mencelupkan termometer ke bak mandi untuk memeriksa suhunya. Ia mengamati dengan cermat indikator suhu pada termometer itu, matanya terpicing, persis seperti seorang bakteriolog sedang mengisolasi sampel patogen jenis baru.
"Bagaimana pemandiannya?" monyet itu bertanya padaku.
"Sangat bagus. Terima kasih," kataku. Suaraku bergema pelan dalam udara beruap. Terdengar seperti bukan suaraku sendiri, melainkan seperti gema suara misterius dalam dunia mitos, datang dari masa lalu yang jauh, dari dalam hutan. Dan gema itu… tunggu dulu. Apa yang dilakukan seekor monyet di tempat ini? Dan mengapa ia dapat berbicara sepertiku?
"Maukah kugosokkan punggung anda?" monyet itu bertanya, masih dengan suara rendahnya. Suara itu seperti suara seorang penyanyi bariton dalam sebuah grup vokal doo-wop, jernih dan mengandung daya tarik misterius. Di luar yang akan kau harapkan bila melihat dirinya. Namun tak ada yang janggal dari suaranya itu: andaikan kau memejamkan mata dan mendengarnya, kau akan berpikir bahwa yang berbicara itu adalah seorang manusia biasa.
"Ya, terima kasih," jawabku. Sebenarnya aku tak berharap akan ada yang mau menggosokkan punggungku selagi aku duduk di situ, namun aku khawatir bila menolak tawarannya ia akan mengira itu karena dirinya seekor monyet. Dia telah berbaik hati menawarkan bantuan, dan aku tak ingin menyinggung perasaannya. Jadi aku berdiri dari bak pelan-pelan kemudian duduk di sebuah bangku kayu dengan punggung membelakangi monyet itu.
Monyet itu tidak mengenakan pakaian sama sekali. Sesuatu yang tentu saja biasa bagi seekor monyet, jadi aku tak menganggap itu sebuah keanehan. Dia sepertinya sudah cukup tua; rambut putihnya banyak. Dia mengambil sebuah handuk kecil, menggosokkan sabun pada handuk itu, dan dengan tangan yang terampil menggosok punggungku.
"Akhir-akhir ini cuaca dingin, ya?" monyet itu berkomentar.
"Benar sekali."
"Tak lama lagi salju akan menutupi wilayah ini. Lalu mereka akan sibuk menyekopi salju yang menumpuk di atap. Pekerjaan yang tidak mudah."
Ada jeda sebentar, kemudian aku masuk. "Kau bisa berbicara bahasa manusia?"
"Bisa, tentu saja," jawab monyet itu segera. Mungkin ia sudah sangat sering menerima pertanyaan itu. "Dulu aku dipelihara oleh seorang manusia sejak masih kecil, dan tanpa kusadari aku tiba-tiba sudah bisa bicara. Aku pernah cukup lama tinggal di Tokyo, di Shinagawa."
"Shinagawa bagian mana?"
"Sekitaran Gotenyama."
"Tempat yang bagus."
"Benar, seperti yang anda ketahui, tempat itu menyenangkan untuk ditinggali. Tak jauh dari Gotenyama Garden, dan aku menyukai pemandangan alam di daerah itu."
Percakapan kami terhenti di sini. Monyet itu meneruskan menggosoki punggungku dengan kadar tekanan yang pas (yang terasa nyaman), dan selagi ia melakukan itu aku berusaha menggabungkan kepingan-kepingan puzzle itu dalam benakku. Seekor monyet yang dibesarkan di Shinagawa? Gotenyama Garden? Dan dapat berbicara dengan fasih? Bagaimana semua itu mungkin? Seekor monyet, ya Tuhan! Monyet.
"Aku tinggal di Minato-ku," kataku, pada dasarnya tak mengandung arti apa-apa.
"Tak begitu jauh dari tempatku, berarti," kata monyet itu dengan nada bersahabat.
"Orang seperti apa yang pernah membesarkanmu waktu di Shinagawa?" Aku bertanya.
"Majikanku adalah seorang profesor. Ia ahli fisika, dan mengajar di Universitas Tokyo Gakugei."
"Orang yang pandai, berarti."
"Tentu saja. Ia sangat menyukai musik melebihi apa pun, terutama Bruckner dan Richard Strauss. Hal yang akhirnya juga membuatku menyukai musik yang sama. Selalu kudengarkan. Bisa dibilang, secara tak sadar aku telah menyerap banyak pengetahuan dari situ."
"Kau menyukai Bruckner?"
"Ya. Simfoni ke Tujuh-nya. Terutama bagian ke tiga yang kurasa selalu mampu membangkitkan gairah."
"Aku biasanya mendengarkan Simfoni ke Sembilan-nya," kataku. Sebuah perkataan yang juga tak begitu mengandung arti.
"Ya, itu musik yang menyenangkan," kata monyet itu.
"Jadi, profesor itu mengajarimu berbicara?"
"Betul. Ia tak mempunyai anak, dan, mungkin karena itulah ia melatihku sebagai gantinya, dengan cukup keras di setiap waktu senggangnya. Ia sangat penyabar, seorang yang begitu menghargai keteraturan dan kedisplinan melebihi segalanya. Seorang yang dengan sangat serius menerapkan ungkapan kesukaannya bahwa pengulangan-pengulangan atas fakta yang akurat adalah jalan terbaik menuju kebijaksanaan. Istrinya seorang pendiam yang selalu baik hati padaku. Kehidupan mereka rukun, dan aku agak ragu menceritakan ini pada orang lain tetapi, percayalah, aktivitas malam hari mereka bisa sangat intens."
"Yang benar," kataku.
Monyet itu akhirnya selesai menggosoki punggungku. "Terima kasih atas kesabaran anda," katanya, menundukkan kepala.
"Terima kasih," kataku. "Rasanya nyaman sekali. Jadi, kau bekerja di penginapan ini?"
"Benar. Mereka baik sekali sudah mengizinkan aku bekerja di sini. Penginapan-penginapan lain yang lebih besar tak akan pernah mau menerima seekor monyet. Tetapi di sini mereka selalu kekurangan tenaga dan, asalkan kau bisa berguna, mereka tak peduli meskipun kau seekor monyet atau apa pun. Untuk seekor monyet, upah yang ditawarkan cukup kecil, dan mereka hanya membolehkan aku bekerja di bagian-bagian di mana aku tak perlu sering terlihat. Merapikan area pemandian, bersih-bersih, hal-hal semacam itulah. Para tamu tentu akan terkejut bila melihat seekor monyet membawakan mereka teh, atau sejenisnya. Bekerja di dapur pun tak mungkin, sebab itu jelas akan menimbulkan masalah terkait hukum mengenai sanitasi dan kebersihan makanan."
"Sudah lamakah kau bekerja di sini?" Aku bertanya.
"Sudah sekitar tiga tahun."
"Tetapi kau pastinya telah melalui berbagai macam hal sebelum akhirnya menetap di sini?"
Monyet itu segera mengangguk. "Benar sekali."
Awalnya aku ragu, tetapi akhirnya kusampaikan padanya, "Seandainya tak keberatan, maukah kau menceritakan tentang dirimu lebih banyak lagi kepadaku?"
Monyet itu menimbang-nimbang, kemudian berkata. "Baiklah, tak masalah. Mungkin tak akan semenarik yang anda bayangkan, tetapi aku selesai bekerja pukul sepuluh dan bisa mampir ke kamar anda setelah itu. Apakah itu tak masalah?"
"Tentu tidak," jawabku. "Aku akan senang sekali bila kau bisa membawakan beberapa bir."
"Saya mengerti. Akan saya bawakan bir dingin. Bagaimana kalau Sapporo?"
"Sapporo cukup bagus. Apakah kau minum bir?"
"Ya, sedikit."
"Kalau begitu tolong bawakan dua botol besar."
"Baiklah. Kalau tak salah, anda bermalam di Araiso Suite, di lantai dua?"
"Benar," kataku.
"Aneh juga, kalau dipikir-pikir," kata monyet itu. "Ada sebuah penginapan di gunung yang kamarnya bernama 'araiso'-- 'pantai karang.'" Ia terkekeh. Belum sekali pun dalam hidup aku mendengar seekor monyet tertawa, dan bahkan menangis. Harusnya itu tak mengherankan bagiku, mengingat monyet ini bisa bicara.
"Ngomong-ngomong, kau punya nama?"
"Tidak, tak ada nama khusus. Tetapi orang-orang menyebutku Monyet Shinagawa."
Monyet itu menggeser-buka pintu kaca itu, berbalik, dan membungkuk dengan sopan, kemudian menutup pintu.
\>|</
Waktu itu sedikit lewat pukul sepuluh, ketika monyet itu datang ke Araiso Suite, membawa sebuah nampan dengan dua botol besar bir. Selain bir, di nampan itu ada sebuah alat pembuka botol, dua buah gelas, dan beberapa kudapan: cumi kering bumbu dan sekantong kakipi-- biskuit beras dengan kacang. Kudapan yang umum sebagai teman minum bir. Monyet ini memiliki kepekaan yang baik.
Monyet itu mengenakan celana olahraga abu-abu dan kaos lengan panjang tebal dengan "I♥️NY" tercetak padanya, mungkin warisan dari seorang anak.
Tak ada meja di ruangan itu jadi kami duduk bersebelahan di atas alas zabuton tipis, bersandar pada dinding. Monyet itu membuka tutup salah satu botol bir dengan alat pembuka lalu menuangkannya ke dalam dua gelas. Tanpa berkata-kata, kami saling menyentuhkan bibir gelas kami untuk bersulang.
"Terima kasih atas minumannya," monyet itu berkata, dan mereguk bir dingin itu dengan senang hati. Aku pun minum. Sejujurnya, semua ini terasa janggal, duduk berdampingan dengan seekor monyet, minum bir bersama, namun kurasa lama-lama aku akan terbiasa.
"Tak ada yang bisa mengalahkan bir dingin sehabis bekerja," monyet itu berkata, menyeka mulut dengan punggung tangannya yang berbulu. "Tetapi bagi seekor monyet, kesempatan menikmati bir seperti ini sangat langka."
"Kau tinggal di penginapan ini?"
"Ya, ada sebuah ruangan, semacam loteng, di mana mereka mengizinkan aku tidur. Seringkali ada tikus yang berkeliaran, jadi sulit untuk bersantai di sana, tetapi aku seekor monyet jadi aku harus bersyukur masih bisa tidur di atas kasur dan makan tiga kali sehari. Biarpun itu tak seperti surga atau apa."
Monyet itu sudah menandaskan gelas pertamanya, jadi kutuangkan segelas lagi untuknya.
"Terima kasih banyak," katanya dengan sopan.
"Apakah kau pernah hidup selain bersama manusia melainkan bersama sebangsamu? Bersama monyet-monyet lain, maksudku?" Aku bertanya. Banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya.
"Ya, beberapa kali," monyet itu menjawab, wajahnya sedikit muram, kerut-kerut di sekitar matanya semakin kentara. "Karena berbagai alasan, aku diusir secara paksa dari Shinagawa dan dilepaskan di Takasakiyama di daerah selatan yang terkenal dengan taman monyetnya. Awalnya kupikir aku akan dapat hidup tenang di sana, namun itu tidak berlangsung baik. Monyet-monyet lain adalah kawanku, jangan salah sangka, tetapi, karena telah lama dibesarkan dalam rumahtangga manusia oleh profesor dan istrinya itu, aku tak dapat mengekspresikan perasaanku pada mereka. Sedikit sekali kesamaan di antara kami, dan sulit untuk menjalin komunikasi. 'Bicaramu lucu,' kata mereka, dan mereka mengolok-olok dan mempermainkanku. Monyet-monyet betina akan terkikik-kikik bila melihatku. Para monyet sangat sensitif terhadap perbedaan paling kecil sekalipun. Bagi mereka, tingkah lakuku sangat aneh, dan itu mengusik mereka, bahkan mereka rasa mengganggu. Semakin sulit bagiku untuk tetap tinggal di sana, jadi akhirnya aku pergi sendiri. Dengan kata lain, menjadi seekor monyet gelandangan."
"Itu pasti membuatmu merasa kesepian."
"Benar. Tak ada yang melindungiku, dan aku harus mengais-ngais makanan sendiri untuk bertahan hidup. Tetapi hal paling buruk dari itu adalah tak punya teman yang dapat diajak berkomunikasi. Aku tak dapat berbicara dengan monyet maupun manusia. Terisolasi seperti itu sangat menyedihkan. Takasakiyama dikunjungi banyak orang, tetapi aku tak dapat memulai percakapan begitu saja dengan siapa pun yang kebetulan kutemui. Kalau itu kulakukan, akibatnya bisa sangat buruk. Hasilnya, aku terkatung-katung, tidak berada di sini dan tidak pula di sana, tidak menjadi bagian dari dunia manusia, tidak pula dunia monyet. Eksistensi yang teramat menyedihkan."
"Dan kau pun tak bisa mendengarkan Bruckner."
"Betul. Itu tak lagi jadi bagian dari kehidupanku," kata monyet Shinagawa itu, dan mereguk bir lagi. Kuperhatikan wajahnya, tapi, karena sejak awal memang sudah merah, aku tak dapat melihatnya menjadi lebih merah lagi. Kupikir monyet ini mampu menahan pengaruh minumannya. Atau kau mungkin memang tak dapat melihat tanda-tanda mabuk dari wajah seekor monyet.
"Hal lain yang menyiksaku adalah hubungan dengan lawan jenis."
"Aku mengerti," kataku. "Dan yang kau maksud dengan hubungan dengan lawan jenis adalah--?"
"Singkatnya, aku tak memiliki sedikit pun hasrat seksual terhadap monyet betina. Aku punya banyak kesempatan bersama mereka, tetapi aku tak pernah menikmatinya sama sekali."
"Jadi monyet betina tidak membangkitkan gairahmu, meskipun kau sendiri adalah monyet?"
"Ya, tepat sekali. Ini memalukan, namun, sejujurnya aku hanya dapat jatuh cinta pada manusia perempuan."
Aku diam dan menenggak habis bir dari gelasku. Kubuka kantong kudapan dan meraup isinya segenggaman penuh. "Itu bisa jadi masalah serius, iya kan."
"Ya, masalah serius, tentu saja. Sebagai seekor monyet aku tak mungkin berharap akan ada manusia perempuan yang mau menerima hasratku. Lagipula, hal itu memang bertentangan dengan genetika."
Aku menunggu ia melanjutkannya. Monyet itu menggaruk-garuk bagian belakang telinganya dan akhirnya melanjutkan.
"Jadi aku harus mencari metode lain untuk menyalurkan hasratku yang tak mungkin terpenuhi."
"Apa maksudmu dengan 'metode lain'?"
Monyet itu memberengut dalam. Wajahnya terlihat lebih gelap.
"Kau mungkin sulit mempercayai ini," monyet itu berkata. "Kau tak akan percaya, lebih tepatnya. Tetapi, suatu ketika aku mulai mencuri nama perempuan-perempuan yang kusukai."
"Mencuri nama mereka?"
"Betul. Aku tak yakin bagaimana, namun aku sepertinya terlahir dengan kemampuan khusus untuk itu. Kalau aku mau, aku bisa mencuri nama seseorang dan menjadikannya milikku."
Gelombang kebingungan menerpaku.
"Aku tak yakin telah memahaminya," kataku. "Waktu kau katakan kau mencuri nama-nama orang-orang, apakah itu berarti mereka benar-benar kehilangan namanya?"
"Tidak. Mereka tidak benar-benar kehilangan nama itu. Aku mencuri bagian dari nama mereka, suatu fragmen. Tetapi ketika bagian itu kuambil, nama itu jadi kekurangan substansi, menjadi lebih ringan dari sebelumnya. Seperti apabila matahari sedang tertutupi awan dan bayanganmu menjadi lebih samar-samar. Dan, tergantung pada orangnya, mereka mungkin tak menyadari kehilangannya. Mereka hanya akan merasa bahwa seperti ada sesuatu yang aneh."
"Tapi beberapa ada yang menyadarinya, kan? Bahwa ada bagian dari nama mereka yang telah dicuri?"
"Ya, tentu. Kadang kala mereka tak dapat mengingat namanya. Agak tak nyaman, dan terasa mengganggu, seperti yang bisa kau perkirakan. Dan mereka bisa saja jadi tak lagi dapat mengenali nama mereka sebagaimana sebelumnya. Pada beberapa kasus, mereka mengalami sesuatu yang menyerupai krisis identitas. Dan itu adalah akibat dari ulahku, sebab aku telah mencuri nama orang itu. Aku sangat menyesalinya. Seringkali aku merasakan rasa bersalah yang membebani. Aku tahu itu salah, tetapi aku tak dapat mencegah diriku. Bukannya aku membela diri atas apa yang kulakukan, tetapi tingkat kadar dopamin di tubuhkulah yang mendorongku melakukan itu. Seperti sebuah suara memerintahku, 'Hei, ayo curi nama mereka. Itu tak melanggar hukum atau peraturan apa pun.'"
Kulipat lenganku, kuamati monyet itu. Dopamin? Akhirnya aku berkata. "Dan nama-nama yang kau curi hanya milik perempuan-perempuan yang kau cintai atau yang kau menaruh hasrat padanya. Apakah aku benar?"
"Benar sekali. Aku tak mencuri nama orang secara sembarangan begitu saja."
"Berapa banyak nama yang telah kau curi?"
Dengan raut wajah serius monyet itu menghitung dengan jari-jarinya. Selagi menghitung ia menggumamkan sesuatu. Ia mendongak. "Tujuh nama, totalnya. Aku sudah mencuri tujuh nama perempuan."
Apakah itu banyak atau tidak? Siapa yang bisa menentukan?
"Jadi, bagaimana kau melakukannya?" aku bertanya. "Kalau kau tak keberatan memberi tahuku."
"Intinya dengan menggunakan kekuatan kehendak. Konsentrasi dan energi psikis. Namun itu tak cukup. Aku membutuhkan suatu benda dengan nama orang itu tertulis padanya. Sebuah kartu identitas, idealnya. SIM, kartu pelajar, kartu asuransi, atau paspor. Benda-benda seperti itu. Tanda pengenal juga boleh. Pokoknya, aku perlu memegang sebuah objek nyata semacam itu. Biasanya, mencuri adalah satu-satunya cara untuk mendapatkannya. Aku cukup jago menyelinap ke kamar orang ketika mereka sedang pergi. Mencari sesuatu yang bertuliskan nama mereka dan mengambilnya."
"Jadi kau menggunakan objek yang bertuliskan nama orang itu, beserta kekuatan kehendakmu, untuk mencuri namanya?"
"Benar sekali. Aku menatap nama yang tertulis pada objek itu dalam waktu yang lama, memusatkan perasaanku, menyerap nama orang yang kucintai itu. Perlu waktu lama dan akan sangat melelahkan baik secara mental maupun fisik. Aku menyelam ke dalam nama itu, dan dalam suatu cara misterius sebahagian dari diri perempuan itu menjadi bagian dari diriku. Dan perasaan serta hasratku yang tak tersalurkan itu menjadi terpuaskan."
"Jadi tidak melibatkan hubungan fisik sama sekali."
Monyet itu mengangguk dengan pasti. "Aku sadar bahwa aku cuma monyet rendahan, tetapi aku tak pernah melakukan hal buruk macam itu. Aku menjadikan nama-nama perempuan-perempuan yang aku cintai sebagai bagian dari diriku-- itu sudah lebih dari cukup buatku. Aku tahu itu agak kurang senonoh, tetapi itu juga adalah sebuah tindakan yang murni platonis. Aku hanya menyimpan perasaan cinta yang mendalam bersama nama itu di dalam diriku, menjadikannya rahasiaku. Seperti angin sepoi-sepoi yang berembus di atas padang hijau."
"Hmm," kataku, terkesan. "Kupikir itu boleh dibilang adalah bentuk tertinggi dari cinta romantis."
"Setuju. Namun itu juga merupakan bentuk tertinggi dari kesepian. Seperti dua sisi koin, kedua hal itu menyatu dan tak dapat dipisahkan."
Obrolan kami terhenti sejenak di titik ini, dan monyet itu dan aku mereguk bir kami masing-masing dalam diam, mengunyah kakipi dan cumi kering.
"Apakah kau mencuri nama seseorang baru-baru ini?" Aku bertanya.
Monyet itu menggelengkan kepala. Ia menggenggam sejumput rambut di lengannya, seolah sedang memastikan bahwa dirinya benar-benar adalah seekor monyet sungguhan. "Tidak, aku tak mencuri nama seseorang belakangan ini. Setelah tiba di kota ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk meninggalkan perbuatan itu. Perbuatan yang telah menyediakan cukup hal bagi monyet kecil ini untuk menemukan sedikit ketenangan dalam jiwanya. Cukuplah nama-nama tujuh perempuan itu sebagai harta karun dalam hatiku untuk menjalani sisa hidupku dengan tenang dan dalam damai."
"Aku turut senang mendengarnya," kataku.
"Aku tahu ini agak kurang sopan, tapi bersediakah anda berbaik hati dan mengizinkan saya untuk mengemukakan pendapatku sendiri mengenai cinta?"
"Tentu, silakan," kataku.
Monyet itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Bulu matanya yang tebal bergerak-gerak seperti lambai nyiur dalam terpaan angin pantai. Ia menarik nafas dalam-dalam, pelan-pelan, seperti yang biasanya dilakukan para atlet lompat jauh sebelum mulai berlari membuat ancang-ancang untuk lompatannya.
"Aku percaya bahwa cinta adalah bahan bakar sumber energi tak tergantikan bagi kita untuk dapat tetap hidup. Suatu hari cinta itu mungkin berakhir. Atau ia mungkin tak pernah mencukupi. Namun seandainya pun cinta memudar, seandainya pun ia tak berbalas, kau masih dapat menyimpan kenangan tentang cintamu pada seseorang, bahwa kau pernah jatuh cinta pada seseorang. Dan itu adalah sumber kehangatan yang sangat berharga. Tanpa sumber kehangatan itu, hati seorang manusia-- juga hati seekor monyet-- akan berubah menjadi padang tandus yang dingin dan beku. Sebuah tempat di mana tak secercah pun sinar matahari menerpa, di mana bunga-bunga kedamaian, pohon-pohon harapan, tak dapat tumbuh. Di sini, di dalam hatiku, kusimpan nama-nama tujuh perempuan cantik yang kucintai." Monyet itu meletakkan telapak tangannya di dadanya yang berbulu. "Aku akan menggunakan kenangan ini sebagai bahan bakar sumber energi kecilku sendiri dalam perjalanan melalui malam-malam dingin, untuk menjagaku tetap hangat, selama menjalani apa yang tersisa dalam kehidupan pribadiku sendiri."
Monyet itu terkekeh lagi, dan dengan gerakan pelan menggelengkan kepala beberapa kali.
"Bukankah itu adalah sebuah cara yang aneh untuk menjelaskannya?" Katanya. "Kehidupan pribadi (personal). Padahal aku ini seekor monyet, bukan orang (person). Hee hee!"
Waktu itu pukul sebelas lebih tiga puluh ketika kami akhirnya menandaskan dua botol besar bir itu. "Aku sebaiknya pamit," kata monyet itu. "Pasti karena terbawa perasaan senang aku jadi kebanyakan bicara. Tolong dimaafkan."
"Tidak, menurutku itu cerita yang sangat menarik," kataku. Mungkin 'menarik' bukanlah kata yang pas. Maksudku, minum bir dan mengobrol bersama seekor monyet adalah sebuah pengalaman yang tidak biasa pada, dan di dalam hal itu sendiri. Belum lagi fakta bahwa monyet yang satu ini suka mendengarkan Bruckner dan mencuri nama-nama perempuan-perempuan karena didorong oleh hasrat seksual (atau mungkin cinta), dan 'menarik' belumlah cukup tepat untuk menggambarkan semua itu. Itu adalah hal paling luar biasa yang pernah kudengar. Tetapi aku tidak ingin menyanjung perasaan monyet itu terlalu jauh, jadi aku menggunakan kata yang cenderung lebih netral ini.
Selagi mengucapkan selamat tinggal, aku menyerahkan lembaran seribu yen kepada monyet itu sebagai tip. "Tak banyak," kataku, "tapi bisa kau gunakan untuk membeli sesuatu yang enak dimakan."
Awalnya monyet itu menolak, tapi aku memaksa dan ia pun menerimanya. Dilipatnya lembaran uang itu dengan hati-hati lalu diselipkannya ke dalam saku celananya.
"Anda baik sekali," katanya. "Anda sudah bersedia mendengarkan kisah hidupku yang absurd, mentraktir saya bir, dan kemurahan hati anda ini. Tak dapat kuungkapkan betapa besar rasa terima kasihku atas semua ini."
Monyet itu menaruh botol-botol kosong dan gelas-gelas di atas nampan dan membawanya keluar dari kamar.
\>|</
Esok paginya, aku check-out dari penginapan itu dan pulang ke Tokyo. Di meja depan, orang tua berkepala botak dan tanpa alis itu tak terlihat sama sekali, tidak pula ada kucing tua yang bermasalah hidung itu. Alih-alih, seorang perempuan paruh baya gemuk bermuka masam yang berada di situ, dan ketika kusampaikan akan membayar biaya tambahan untuk dua botol bir semalam ia berkata, dengan agak heran, bahwa tak ada biaya tambahan dalam tagihanku. "Di sini kami cuma menyediakan bir kalengan dari vending machine," katanya. "Kami tak pernah menyediakan bir botolan."
Sekali lagi aku kebingungan. Kurasakan seolah-olah keping-keping kenyataan dan ketaknyataan sedang saling bertukar tempat secara acak. Tetapi aku yakin betul bahwa aku telah meminum dua botol besar bir Sapporo bersama monyet itu sembari mendengarkan kisah hidupnya.
Sempat terlintas dalam benakku niatan untuk membahas tentang monyet itu dengan perempuan paruh baya itu, namun akhirnya kuurungkan. Mungkin monyet itu tidak benar-benar nyata, dan semua itu hanya ilusi yang dihasilkan otakku karena terlalu lama berendam air panas. Atau mungkin yang kusaksikan itu cuma mimpi aneh yang kebetulan realistis. Kalau misalnya kukatakan "kalian punya pegawai seekor monyet tua yang dapat berbicara, kan?" urusannya mungkin akan lebih panjang, dan, seburuk-buruknya, dia akan menyangka aku tak waras. Mungkin saja monyet itu adalah pegawai tak resmi dan penginapan itu tak dapat mengakuinya kepada publik karena khawatir akan bermasalah dengan kantor pajak atau departemen kesehatan.
Di atas kereta dalam perjalanan pulang, aku mengingat-ingat kembali semua yang telah diceritakan monyet itu padaku. Kucatat setiap detil yang masih kuingat sebaik mungkin dalam sebuah buku catatan yang biasanya kugunakan untuk urusan pekerjaan, berpikir bahwa sesampai di Tokyo aku akan menulis ulang semuanya dari awal hingga akhir.
Seandainya monyet itu memang nyata-- dan itulah satu-satunya penjelasan yang dapat kuterima-- aku tak yakin seberapa banyak yang diceritakannya ketika minum bir itu layak dipercaya. Sulit menilai ceritanya secara objektif. Apakah memang mungkin kita mencuri nama seorang perempuan dan menyimpannya untuk diri sendiri? Ataukah itu adalah kemampuan spesial yang hanya dimiliki oleh Monyet Shinagawa itu? Mungkin monyet itu adalah seorang pembohong patologis. Siapa tahu? Aku belum pernah mendengar ada seekor monyet yang mengidap Mythomania sebelumnya, tapi kalau seekor monyet bisa berbicara bahasa manusia sebaik dirinya, tak terlalu mustahil baginya untuk juga menjadi tukang bohong.
Aku telah mewawancarai banyak orang sebagai bagian dari pekerjaanku, dan sudah cukup fasih mengendus apa-apa yang dapat dipercaya dan apa-apa yang tidak. Ketika seseorang berbicara cukup lama, kau dapat melihat tanda-tanda samar tertentu dan secara intuitif dapat merasakan apakah orang itu dapat dipercaya. Dan aku tidak merasakan bahwa apa yang telah diceritakan Monyet Shinagawa itu adalah cerita karangan belaka. Ekspresi dan sorot matanya, caranya memikirkan berbagai hal pada saat-saat tertentu, jeda-jeda ceritanya, gesturnya, bagaimana ia kesulitan memilih kata-kata-- tak satu pun dari semua itu kelihatan dibuat-buat atau dipaksakan. Dan, di atas semua itu, ada kejujuran total yang menyakitkan dalam pengakuannya.
Perjalanan soloku yang santai berakhir, aku kembali ke dalam rutinitas kota yang serba berputar cepat. Bahkan meski aku tak sedang mengemban tugas pekerjaan, entah mengapa, seiring bertambahnya usiaku, aku menemukan diriku jauh lebih sibuk daripada sebelumnya. Dan waktu, lambat laun, seperti berlalu semakin cepat. Pada akhirnya aku tak pernah menceritakan Monyet Shinagawa itu pada siapa pun, tidak pula menuliskannya. Untuk apa, bila tak ada yang bakal percaya? Kecuali bila aku bisa menunjukkan bukti-- bukti, itu dia, bahwa monyet itu sungguh nyata-- orang-orang hanya akan berkata bahwa aku cuma "mengarang-ngarang cerita lagi." Dan kalau itu kuceritakan sebagai fiksi, cerita itu tak punya fokus utama atau poin penting. Kubayangkan editorku akan terlihat kebingungan dan berkata, "Aku agak ragu-ragu mengatakan ini, sebab kaulah penulisnya, namun apakah yang menjadi tema cerita ini?"
Tema? Tak dapat kukatakan apa temanya. Itu cuma tentang monyet yang dapat berbicara, yang menggosok punggung tamu di sebuah pemandian air panas di sebuah kota kecil di Perfektur Gunma, yang menikmati minum bir dingin, jatuh cinta pada manusia-manusia perempuan, dan mencuri nama mereka. Di manakah adanya tema itu? Di manakah adanya pesan moral itu?
Dan, seiring berlalunya waktu, ingatan tentang kota pemandian air panas itu mulai pudar. Tak peduli sejelas apa sebuah ingatan, ia tak dapat mengalahkan waktu.
\>|</
Tetapi, kini, lima tahun kemudian, kuputuskan untuk menulis tentang itu, berdasarkan catatan-catatan yang dulu kubuat. Semua ini disebabkan oleh sesuatu yang baru-baru ini terjadi dan membuatku berpikir ulang. Seandainya peristiwa itu tak terjadi, aku mungkin tak kan pernah menuliskan ini.
Aku ada janji pertemuan terkait urusan pekerjaan di kafe ruang tunggu sebuah hotel di Akasaka. Yang kutemui adalah seorang editor majalah perjalanan. Seorang perempuan yang sangat menarik, berusia tiga puluhan, tubuhnya mungil, berambut panjang, berparas menyenangkan, dan matanya besar dan memukau. Dia adalah seorang editor yang cakap. Dan masih lajang. Kami sudah beberapa kali bekerja bersama, dan cukup akrab. Setelah selesai dengan urusan pekerjaan, kami duduk santai dan mengobrol sambil menikmati kopi untuk beberapa waktu.
Ponselnya berdering dan ia memberiku tatapan permisi. Kupersilakan ia mengangkat panggilan masuk itu. Ia memeriksa nomor di layar ponselnya dan menjawabnya. Kelihatannya itu terkait reservasi yang telah dibuatnya. Di sebuah restoran, mungkin, atau sebuah hotel, atau sebuah penerbangan. Salah satu di antara itu. Dia berbicara beberapa saat, memeriksa buku catatan jadwalnya, dan kemudian menatapku panik.
"Maaf sekali," dia berkata padaku, nyaris berbisik, tangannya menutupi ponselnya. "Pertanyaan ini mungkin aneh, aku tahu, tapi siapa namaku?"
Aku terkesiap, tetapi, dengan tenang kuberi tahu nama lengkapnya. Ia mengangguk dan meneruskan informasi itu kepada seseorang di ujung lain telepon. Ia lalu mengakhiri panggilan itu dan meminta maaf padaku sekali lagi.
"Aku benar-benar minta maaf atas yang tadi itu. Tiba-tiba saja aku tak ingat namaku. Memalukan sekali."
"Apakah itu sering terjadi?" aku bertanya.
Ia terlihat agak ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Iya, belakangan ini sering kualami. Aku tak dapat mengingat namaku. Seperti aku tiba-tiba tak sadarkan diri atau semacamnya."
"Apakah kau juga melupakan hal-hal lain? Misalnya hari ulang tahunmu, atau nomor telepon, atau kode PIN?"
Dia menggelengkan kepala dengan pasti. "Tidak. Tidak sama sekali. Aku biasanya punya daya ingat yang baik. Aku hafal hari-hari ulang tahun teman-temanku di luar kepala. Aku belum pernah lupa nama orang lain, tak sekali pun. Namun, tetap saja, kadang-kadang aku lupa namaku sendiri. Aku tak dapat mengingatnya. Setelah beberapa menit, ingatanku akan kembali, tetapi selama menit-menit itu rasanya benar-benar tak menyenangkan, dan aku jadi panik. Seperti aku bukan diriku. Menurutmu apakah itu tanda-tanda awal Alzheimer?"
Aku mendesah. "Secara medis aku tak tahu, tapi sejak kapan ini mulai terjadi, kau lupa namamu?"
Dia memicingkan mata dan berpikir. "Sekitar setengah tahun yang lalu, aku ingat kurasa itu ketika aku pergi melihat sakura. Itulah pertama kalinya."
"Ini mungkin pertanyaan yang aneh, tapi apakah kau kehilangan sesuatu ketika itu? Misalnya kartu identitas, seperti SIM, paspor, kartu asuransi?"
Ia menggigit bibirnya, tenggelam dalam pikirannya sendiri selama beberapa waktu, kemudian menjawab. "Kau tahu, setelah kau bertanya begitu, aku ingat waktu itu aku memang kehilangan SIM. Ketika itu jam makan siang dan aku sedang duduk di bangku taman, beristirahat, dan meletakkan tas tanganku di sampingku di bangku itu. Aku memperbaiki lipstikku dengan make up compact dan ketika aku menoleh kembali, tas itu sudah hilang. Aku kebingungan. Aku cuma melepaskannya dari pandanganku selama beberapa detik saja, dan aku tak merasakan keberadaan orang lain di sekitar atau mendengar suara langkah. Aku memandang sekeliling, tetapi cuma ada aku sendiri. Taman itu sepi, dan aku yakin bila ada seseorang yang datang untuk mengambil tasku, aku pasti akan menyadarinya."
Aku menunggu ia melanjutkan.
"Tetapi bukan itu yang paling aneh. Pada sore di hari yang sama aku menerima telepon dari polisi, mengatakan bahwa tasku telah ditemukan. Diletakkan begitu saja di luar pos polisi kecil dekat taman. Uang-uang masih ada, juga kartu kredit, kartu ATM, dan ponsel. Semuanya masih ada, tak tersentuh. Hanya SIM-ku yang raib. Polisi pun heran. Siapa yang tak mengambil uang, melainkan SIM, dan meninggalkan tas itu di depan pos polisi?"
Aku mendesah pelan, namun tidak berkata-kata.
"Waktu itu akhir Maret. Aku langsung pergi ke kantor urusan kendaraan bermotor di Samezu dan minta dibuatkan SIM baru. Peristiwa itu cukup aneh, untungnya tak ada yang terluka sama sekali."
"Samezu itu di Shinagawa, kan?"
"Betul. Di Higashioi. Kantorku di Takanawa, jadi naik taksi tak begitu lama," katanya. Dia menatapku ragu-ragu. "Menurutmu itu ada hubungannya? Antara aku tak dapat mengingat namaku dengan hilangnya SIM-ku itu?"
Aku langsung menggelengkan kepala. Aku tak bisa mengungkapkan cerita tentang Monyet Shinagawa.
"Tidak. Kurasa tak ada hubungannya," kataku. "Hanya kebetulan saja itu terlintas dalam pikiranku. Karena itu berkaitan dengan namamu."
Ia seperti tak yakin. Aku tahu ini berisiko, tapi masih ada sesuatu yang harus kutanyakan.
"Ngomong-ngomong, apakah kau pernah melihat monyet belakangan ini?"
"Monyet?" dia bertanya. "Maksudmu hewan monyet?"
"Iya, monyet hidup," kataku.
Ia menggeleng. "Kurasa aku tak melihat monyet selama bertahun-tahun. Tidak di kebun binatang, atau di mana pun."
Apakah Monyet Shinagawa itu kembali menjalankan aksinya? Atau, apakah ada monyet lain yang menggunakan M.O.-nya untuk melakukan kejahatan yang sama? (Seekor monyet peniru?) Ataukah sesuatu yang bukan monyet yang telah melakukan ini?
Aku tak ingin berpikir bahwa Monyet Shinagawa itu kembali mencuri nama-nama orang. Ia telah dengan tegas memberi tahuku bahwa mempunyai tujuh nama perempuan di dalam dirinya sudah lebih dari cukup, dan bahwa ia bahagia menjalani sisa hidupnya dengan tenang di kota pemandian air panas kecil itu. Dan dia sepertinya bersungguh-sungguh. Tetapi mungkin monyet itu punya kelainan psikologis kronis, sesuatu yang tak dapat dikendalikan dengan penalaran saja. Dan mungkin penyakitnya itu, dan kadar dopaminnya, mendorongnya untuk melakukan itu tanpa pikir panjang. Dan mungkin semua itu telah membawanya kembali pada kebiasaan lamanya di Shinagawa, kembali pada kebiasaan buruknya.
Mungkin suatu saat akan kucoba sendiri. Ketika malam-malam aku tak dapat tidur, pikiran itu kadang muncul. Aku akan mengambil kartu identitas atau tanda pengenal seorang perempuan yang kucintai, berkonsentrasi padanya seperti laser, manarik namanya ke dalam diriku, dan menyimpan bagian dari dirinya, untukku seorang. Seperti apakah rasanya melakukan itu?
Tidak. Itu takkan pernah terjadi. Aku belum pernah berbuat jahat dengan tanganku, dan takkan pernah mampu mencuri sesuatu milik orang lain. Biarpun sesuatu itu tak memiliki wujud fisik, dan mencurinya tidaklah melanggar hukum.
Cinta yang mendalam, kesepian yang mendalam. Semenjak itu, setiap kali aku mendengarkan simfoni Bruckner, aku merenungkan kehidupan pribadi Monyet Shinagawa itu. Kubayangkan monyet tua itu di sebuah kota pemandian air panas kecil, di dalam sebuah kamar loteng, di sebuah penginapan reyot, tertidur beralaskan futon tipis. Dan kupikirkan kudapan itu-- kakipi dan cumi kering-- yang kami nikmati sambil minum bir bersama-sama, bersandar pada dinding.
Aku belum pernah lagi bertemu editor majalah perjalanan itu sejak saat itu, jadi aku tak tahu bagaimana nasib namanya setelah itu. Kuharap itu tidak menimbulkan kesulitan berarti kepadanya. Bagaimanapun, ia tak bersalah sama sekali. Ia tak dapat disalahkan. Meskipun ada sebersit rasa bersalah dalam diriku, namun aku masih tak sanggup menceritakan tentang Monyet Shinagawa itu kepadanya.
\>|</
Diterjemahkan secara bebas dari "Confessions of A Shinagawa Monkey" karya Haruki Murakami (versi B. Inggris terjemahan Philip Gabriel) yang dimuat dalam The New Yorker edisi 1 Juni 2020
Yogyakarta, 17-19 Juni 2020