Pages - Menu

Persimpangan Ironi

Di manakah kebahagiaan bersemayam?

Di ujung jalan panjang yang kita tempuh hampir setiap pagi?

Atau di situ? Di tepi jalanan,
di atas saluran comberan yang selalu mampet,
tempat anak-anak zaman yang tak punya masa depan biasanya terdampar,
tempat di mana impian adalah kabut yang absurd,
tempat di mana waktu adalah keabadian yang fana
yang tak pernah perlu repot-repot dihitung sebagai angka,
dikejar-kejar seperti pencopet,
atau disembah bagaikan dewa,
melainkan sekedar diajak bermain
dan bersenda gurau sebagai teman.

Di manakah kebahagiaan bersemayam?

Di balik cakrawala pengetahuan
yang selalu kita pandang-pandangi dari dalam petak-petak ruang
berjendela huruf-huruf kristal yang rapuh
di puncak menara-menara berdinding gading
berlantai pualam
bertiang baja
beratap kaca?

Atau di dalam goa-goa sempit yang gelap lagi pengap
yang tak pernah mengenal angkasa bertabur gemintang,
berhias rembulan,
matahari senja,
apalagi pelangi,
namun selalu cukup untuk menampung seluruh semesta itu
dalam ketidaktahuannya yang terlampau luas?

*

Di setiap kota besar, selalu ada persimpangan-persimpangan jalan di mana, bukan hanya arus-arus kendaraan dari berbagai arah dan tujuan yang berbeda-beda yang saling bertemu, tetapi juga berkas-berkas cahaya harapan dan siluet-siluet bayangan gelap kehidupan dapat saling bersinggungan dan menampakkan betapa kenyataan seringkali begitu ironis dalam cara-cara pandang yang tak selalu wajar.

Anak-anak jalanan yang dicampakkan zaman itu bertepuk-tepuk tangan tanpa irama yang pasti sambil juga bernyanyi-nyanyi tanpa nada yang jelas. Matanya buram, rambutnya kusam, kulitnya legam. Berpindah-pindah dari jendela yang satu ke jendela yang lain. Tak apalah, sebab mereka juga tahu, kita pun belum tentu mampu melihat dan mendengar semua itu dari dalam petak-petak ruang berjalan kita masing-masing. Tetapi waktu selalu menyimpan keajaiban-keajaiban kecil di balik lipatan-lipatannya yang tak terhingga banyaknya. Demi itulah mereka selalu bertepuk tangan dan bernyanyi. Demi segala sesuatu yang tidak mungkin mereka ketahui.

Jika bukan karena kaca jendela yang digelapkan dan dirapatkan, atau detik-detik hitungan mundur yang makin dekat menuju hijau, atau berita-berita penting dari berbagai belahan dunia yang tersiar melalui radio, tentu impian yang selalu kita gantungkan di cakrawala kaca masa depanlah yang membuat segala sesuatu di luar itu menjadi tak cukup bahkan untuk sekedar ada bagi kita. Kita selalu melihat masa depan, sedang mereka adalah masa lalu yang ditinggalkan zaman di ruang hampa tanpa harapan. Antara kita dan mereka terdapat sekat dimensi yang demikian tebal.

Dan setiap kali merah berganti hijau, mereka pun kembali ke tepian hampa, dengan tangan hampa, dengan hati yang hampa, dengan senyum dan tawa yang juga hampa, namun –andai kita tahu—hampa itu adalah hampa yang begitu luas dan dalam. Di ruang hampa itulah mereka kembali bermain-main dan bersenda gurau bersama waktu yang abadi dalam kefanaannya, sembari menikmati alunan musik yang selalu populer di kota-kota besar meski tiada seorang pun yang pernah menyukainya.

Itulah musik yang kita mainkan setiap kali merah berganti hijau. Sambil menggerutu dalam hati, betapa waktu selalu terlalu singkat dalam setiap detiknya, dan ruang yang ada terlalu sempit dalam setiap kesempatan yang ditawarkannya.

Jogjakarta,
Malam, 6 Oktober 2017