Pages - Menu

Membaca Jeda

Segala yang nyata adalah fana
Yang sejati selalu tersembunyi

Kata-kata-kata tak lebih daripada dusta
Sejatinya makna berada pada setiap jeda

Yang sunyi di antara suara-suara
Yang sepi di antara aksara-aksara

Pada suatu senja di tepi kala
Aku     Engkau

Siang. Bulaksumur, 27 Februari 2016
[membaca Karl May, Dan Damai di Bumi: 151-152]

Wajahmu Senja

Engkaulah senja yang selalu indah,
dan aku -diam-diam- suka memandangimu
dari duniaku yang jauh.

Ada samudera luas di antara kita.
Seluas sepi yang membisu
hingga takkan ada kata, meski cuma sepatah pun,
yang akan dapat menyeberanginya.

"Bagaimana mungkin aku akan dapat menyampaikan rasa ini kepadamu?"

Engkaulah senja yang memerah-ronakan langit,
menyepuh-emaskan mega-mega yang berarak,
meluluh-leburkan kehangatan bersama kesejukan,
menaut-padukan terang dan gelap
dalam seulas senyum malu-malu.

Mentari terbenam di wajahmu
Samudera membisu di bibirmu
Semburat rona memerah di pipimu
Nyiur melambai di rambutmu

Kubiarkan sepi tergeletak di sampingku.

Sendowo, menjelang tengah malam, 25 Februari 2016

Fana

Adakah yang tersisa dari setiap hari yang kita lewati selain senja?
Awan-awan berarak, menggumpal, lalu memudar bagai kenangan.

Adakah yang tersisa dari setiap perjumpaan kita di lorong-lorong waktu yang sempit selain perpisahan?
Mesin-mesin berderu, asap-asap mengepul, roda-roda bergulir memburu waktu yang semakin langka.

Di tepi kita berjalan,
menghayati langkah demi langkah,
seolah setiap langkah adalah
sepanjang masa kehidupan kita.

Merasakan setiap butir pasir
yang kita pijak dengan kaki telanjang.

Mendengarkan setiap derap
ketika langkah kita menapak trotoar.

Lalu ombak akan menyapu jejak-jejak kita di pantai itu
dan bising pun menelan setiap derap langkah kita di kota itu.

Adakah yang tersisa dari setiap hari yang kita lewati selain senja?

Adakah yang tersisa dari setiap perjumpaan kita di lorong-lorong waktu yang sempit selain perpisahan?

Pagi, 20 Februari 2016