Pages - Menu

(di) Antara (Dunia) Yang Terpisah

Buat Kawanku
Di dunia yang terpisah

Mereka bilang kau gila
Di sini; di dunia nyata yang normal
Tetapi kubilang kau pemberani
Berani melepas diri dari batas kenyataan

Sementara aku masih di sini
Terpaku berdiri di sisi batas dunia normal
Memandang bayang-bayang di balik selaput tipis
Antara dunia tempatmu berada
Dan tempatku bermimpi

Rasa takut mendekap
Aku dan setiap orang di sini
Dalam mimpi-mimpi tentang kenyataan
Takut mengakui diri lemah
Takut sendirian dan tak berdaya

kamis, 24 feb 2011

Neru

Tadi pagi dia merasa bahwa hari itu akan menjadi hari yang baik. Matahari terbit membangunkannya. Sinarnya hangat. Itu pagi pertama dalam sebulan terakhir matahari terbit  bisa terlihat. Sebelumnya, setiap hari selalu diawali oleh mendung dan berakhir dengan hujan. Lalu malam akan tenggelam dalam badai hujan dan angin. Tetapi pagi itu, Neru merasa bahwa hari itu akan lebih baik.

Maka dia mengenakan topinya dan berlari ke pasar. Dia berlari melewati jalan-jalan kota yang masih sepi. Ia berlari dengan harapan hari itu dia akan memperoleh cukup banyak receh dan bisa membeli makanan. Makanan yang lebih enak dari kemarin-kemarin. Jika beruntung dia bisa makan dua kali. Neru berlari semakin cepat.

Dia berhenti di sudut pasar yang menjadi tempat favoritnya, di sebelah toko kelontong. Dia duduk, menunggu. Sambil menunggu, dia mengambil harmonika dari dalam sakunya, mengelapnya supaya terlihat lebih mengkilap, lalu mulai memaikan sebuah lagu. Lagu itu ia persembahkan untuk hari yang cerah.

Setelah lagu pertama selesai, Neru melepas topinya dan meletakkan topi butut itu depannya. Tinggal menunggu orang-orang berdatangan, lalu dia akan memainkan lagu berikutnya.

Tetapi wajahnya tiba-tiba berubah murung. Angin selatan berhembus. Neru bisa merasakan uap yang dibawanya, dan itu bukan berita baik. Bau hujan tercium olehnya. Benar, di selatan sana awan tebal menyelimuti pegunungan. Tolong, jangan biarkan hujan datang. Hari ini saja. Tolong. Neru memohon dalam hati. Tetapi angin tetap berhembus ke utara.

Dalam dua puluh menit seluruh kota sudah gelap. Awan hitam tebal berkumpul menutupi langit. Neru kecewa. Harapannya untuk hari itu ternyata tidak akan terwujud. Sepertinya dia akan mengais makanan dari tempat sampah lagi.

Neru memungut kembali topinya. Dia memakai topi itu, dan duduk merapat sambil mendekap kedua lututnya. Kehangatan hari itu telah hilang. Neru tak tahu lagi apa yang harus dilakukan sehingga dia hanya mendekam di sudut pasar yang sepi.

Diam-diam dia membenci hujan. Hujan yang selalu merusak harinya. Hujan yang membuat orang-orang tidak ingin keluar dari rumah. Hujan yang membuat setiap orang yang berjalan di trotoar tidak lagi peduli pada orang lain; mereka hanya memikirkan diri sendiri. Mereka berjalan di bawah mantel, dengan wajah tersembunyi dalam tudung pelindung kepala, berjalan terburu-buru, tak peduli pada orang lain. Hujan yang membuat orang-orang seperti tak saling kenal. Hujan yang membuat Neru kesepian.

Dia menarik topinya semakin rendah, menutupi pandangannya. Dia tidak ingin melihat hujan. Mungkin lebih baik dia tertidur saja, lalu bermimpi; siapa tahu mimpinya indah.

“Fari!” Seseorang memanggil.

Neru mengintip dari sela lututnya. Seseorang berjalan mendekatinya.

“Fari!” Orang itu memanggil lagi. Neru tidak bergeming.

Orang itu memegang bahu Neru. Neru mengangkat wajahnya, dan mereka saling bertatapan. Neru tidak mengenal perempuan di hadapannya, dan tidak mengerti mengapa dia memanggilnya dengan nama itu. Dan perempuan itu juga tidak mengenali bocah laki-laki di hadapannya. Dia salah orang.

“Ah, maaf dik, kupikir kamu orang yang kukenal.” Perempuan itu berkata, lalu melepaskan tangannya dari bahu Neru.

Neru diam saja.

Melihat bocah kurus di depannya yang hanya diam, perempuan itu lalu mengambil sesuatu dari dalam kantong belanjaannya.

“Ini, buat adik.” Dia memberi roti pada Neru.

Neru menatap mata hitam perempuan itu. Perempuan itu tersenyum ramah.

“Ayo, dik! Tidak usah malu. Kamu kurus sekali. Bagaimana kalau ikut ke rumah kakak, nanti kakak masakkan makanan enak.”

Neru ingat senyum seperti itu. Dia pernah melihatnya.

“Ayo, adik makan roti ini dulu.”

Neru tahu, siapa yang pernah tersenyum seperti perempuan itu. Dan dia langsung berlari. Lari dari kakak perempuan itu.

Perempuan itu tidak mengerti mengapa bocah itu lari. Sepertinya dia ketakutan. Entah apa yang membuatnya takut, dia tidak mengerti. Tetapi bocah itu meninggalkan harmonikanya. Perempuan itu memungutnya. Bocah itu telah menghilang di ujung jalan, maka dimasukkannya harmonika itu ke dalam sakunya. Dia akan menyimpannya sampai mereka bertemu lagi.

Petir bergemuruh. Sebentar lagi hujan turun. Perempuan itu bergegas pulang. Sesampainya di rumah, dia langsung menuju sebuah kamar yang telah lama kosong. Di dalam pikirannya, dia masih memikirkan bocah laki-laki itu. Tadi dia menyangka bocah itu adalah Fari, adiknya. Ternyata mereka bahkan tidak mirip sama sekali. Perempuan itu mengambil foto adiknya dari dinding. Fari yang sedang tersenyum. Ya, ternyata topi itulah yang membuatnya mengira bocah itu adalah adiknya.

Perempuan itu menitikkan air mata. Di luar hujan pun turun. Ia meraba foto adiknya, berusaha mengingat kembali lekuk wajah itu; ketika dia menyeka air mata dari pipi adiknya yang menangis saat mereka berpisah dengan Ibu. Itu sudah hampir tiga tahun yang lalu, sejak Ayah membawa mereka ke kota ini. Dan dua tahun yang lalu, Fari tiba-tiba menghilang.

___

Neru senang sekali ketika dia bertemu dengan anak laki-laki itu pertama kali. Dia memberi Neru salah satu mainannya, dan sejak itu mereka sering bermain bersama. Setiap hari mereka bermain di sudut-sudut kota. Mereka telah menjelajahi seluruh kota itu, dan menemukan banyak tempat bermain yang menyenangkan.

Suatu hari anak itu memberikan hadiah pada Neru; sebuah harmonika. Neru senang sekali. Anak itu pun tersenyum senang. Neru meniup harmonika itu dan memainkan lagu pertama untuk anak laki-laki itu. Dan setiap hari dia akan memainkan lagu untuk anak itu; setiap sore sebelum mereka berpisah.

Tetapi sore itu berbeda. Neru memainkan lagu sendirian. Entah mengapa anak itu tidak datang hari ini. Tetapi Neru akan menunggunya lagi besok.

Hari berikutnya anak itu juga tidak datang. Neru memainkan lagu sendirian lagi, dan dia mulai merasa kesepian. Neru bertanya-tanya mengapa ia tidak datang.

Hari berikutnya, Neru mencari anak itu. Dia menyusuri setiap sudut kota, dia mencari di sekitar tempat mereka pertama kali bertemu, tetapi tidak menemukannya. Menjelang siang Neru duduk di bawah pohon di depan pagar sebuah gedung dengan halaman luas. Dia lelah dan kepanasan. Suara bel terdengar, dan dari gedung itu anak-anak keluar berhamburan. Neru memperhatikan mereka bermain. Betapa menyenangkan punya banyak teman seperti itu. Neru merindukan anak laki-laki itu, dan dia berdiri hendak mencari lagi, mungkin ada bagian-bagian kota yang terlewatkan.

Tiba-tiba dia berhenti. Dia melihat anak laki-laki memakai topi. Neru ingat topi itu. Anak itu selalu memakainya. Neru memanggilnya. Anak itu berbalik. Memang itu dia. Neru senang sekali menemukannya. Dia memanggilnya lagi, tetapi anak itu berbalik kembali seolah dia tidak melihatnya. Lagi, Neru memanggilnya. Anak itu berlari menjauh, bergabung dengan teman-temannya. Dia punya banyak teman baru, rupanya. Neru berhenti berteriak.

Sore itu mendung. Neru duduk sendirian. Dia benar-benar kesepian. Anak laki-laki itu telah meninggalkannya. Neru menangis. Gerimis mulai jatuh.

___

Neru melepas topinya dan meletakkan topi itu di atas batu. Hujan deras. Dia basah kuyup. Wajahnya basah.
“Hari ini aku bertemu seorang perempuan. Dia sangat baik, memberi roti dan tersenyum ramah padaku. Bahkan dia mengajakku ke rumahnya. Tetapi kau tahu, aku tidak bisa menerima semua itu. Sepertinya dia mengira aku adalah kamu. Karena topi ini, kukira. Kakakmu benar-benar orang yang baik. Kukembalikan topi ini padamu.”

Kemudian Neru berdoa di hadapan makam itu; di hadapan gundukan tanah dan sebongkah batu. Andai dia masih punya harmonika, dia akan memainkan lagu untuknya.