Pages - Menu

Nafas panjang, gelengan kepala, dan senyum yang menyindir..

Selamat sore, dunia. Selamat sore, alam semesata. Kau tampak indah sore ini, setelah tadi diguyur hujan berangin, meski anginnya tidak seribut kemarin; tak ada pohon tumbang, tak ada tiang listrik atau billboard yang rebah, dan tak ada gerobak tukang mi ayam yang terpelanting. Aku juga sebenarnya tidak berharap seperti itu. Terima kasih, atas udara segar yang kau sediakan, meski dengan sedikit rasa bersalah harus kucemari dengan asap rokok (maaf); demi diri yang tak lepas dari kekalutan dan kecemasan menghadapi hidup.

Wajahmu sore ini, mengingatkanku pada beberapa pertanyaan yang dengan sendirinya coba kujawab. Dan harus kuakui, bahwa jawaban itu sering membuatku menertawakan diri sendiri dalam hati. Tertawa yang menyindir.

[]

Seorang kawan pernah bertanya mengenai apa artinya menjadi pecinta alam. Jika mengingat pertanyaan itu, aku selalu harus menarik nafas panjang dan sedikit menggeleng dengan selintas senyum kecut di wajah. Kita menghancurkan apa yang seharusnya kita bangun.

[]

Suatu hari, aku pernah menginjak tali kernmantle, lalu sebagai hukumannya aku harus push up tiga puluh kali. Di hari lain, aku menjatuhkan dayung, tiga kali, dan sebagai gantinya aku harus push up sembilan puluh kali. Jika kamu bertanya mengapa harus dihukum dengan push up untuk setiap injakan pada tali, atau untuk setiap dayung atau karabiner yang jatuh, maka jawabannya adalah supaya kita lebih berhati-hati terhadap alat-alat, lebih bisa menjaganya, dan lebih menghargai mereka yang sering kali menjadi tempat kita menggantungkan hidup.

Ini adalah sebagian kecil potret alam semesta. Alat-alat itu, adalah contoh kecil bentuk hubungan manusia dengan alam. Bukankah kita juga setiap saat selalu menopangkan hidup kita pada alam semesta ini? Udara yang setiap detik kita hirup, air yang kita minum, cahaya yang memungkinkan kita melihat keindahan, juga menyediakan kehangatan yang kita butuhkan, serta tumbuhan dan hewan yang menjadi sumber makanan kita setiap hari. Semua itu, bahkan masih terlalu kecil untuk menggambarkan bagaimana kita –manusia ini—sangat bergantung pada alam. Jika ingin lebih jujur, kita sebenarnya adalah bagian dari alam itu sendiri. Maka memang seharusnya kita menjaga alam semesta ini. Menurutku, itulah landasan mengapa kita harus mencintai alam.

[]

Suatu hari, aku membuka sebuah buku. Di lembar-lembar awalnya terdapat sebuah lambang, dan di bawah lambang itu tertulis penjelasan makna simbol-simbol yang menyusun lambang tersebut. Betapa luhur makna yang terkandung dalam sebuah lambang. Kebaikan-kebaikan yang sebegitu besarnya bisa kita bingkai dalam sebuah lambang sederhana. Harapannya, mungkin supaya kita bisa selalu mengingat makna-makna luhur itu setiap kali melihat lambangnya.

Tetapi, entah mengapa setiap kali melihat bentuk-bentuk itu, tidak ada sedikit pun rasa yang menggelitik kesadaran ini untuk mengingatkan diri pada makna di baliknya. Apa hanya diriku, atau kamu juga demikian. Sebab tanpa makna, lambang-lambang itu hanya akan menjadi sampah. Dan setiap benda di mana dia terukir, adalah tempat sampah kotor.

[]

Sepertinya, tulisan ini harus kusimpan untuk diriku sendiri. Karena, lihatlah; bahkan kamarku sendiri berantakan dan kotor. Sepeda motor yang setiap hari kukendarai tidak pernah dicuci selama enam bulan terakhir. Diri sendiri pun sering tidak diperlakukan dengan baik; jarang mandi, makan tidak teratur, merokok (yang sebenarnya juga melukai orang lain dan alam), tidur tidak teratur. Dan, sekret yang hampir setiap hari menjadi persinggahanku juga kotor dan berantakan. Tidakkah pemandangan itu terlihat memilukan di hadapan pintu yang di atasnya bertuliskan ‘pecinta alam …’?

Hhh…