Pages - Menu

Sebuah Lanskap Tentang Kota


Ini adalah cuplikan kecil dari lukisan berjudul Blooming Flower karya Yoyo Siswoyo yang dipajang di galeri Kiniko Art dalam rangka Solo Exhibition-nya yang bertajuk "Dari Timur ke Barat". Di antara semua lukisan yang dipajang di galeri itu, saya merasa paling suka melihat yang ini. Bukan berarti lukisan ini memang yang paling bagus di antara yang lainnya. Mungkin, kebetulan saja saya merasa lebih dapat mencerna lukisan yang satu ini dibanding lukisan lainnya. Walaupun, kalau ditelisik dari judul lukisannya sendiri, apa yang saya lihat pada lukisan ini ternyata tidak begitu sesuai juga dengan judul tersebut.

Kalau menyaksikan lukisan ini secara utuh sebagai satu kesatuan (tanpa terlebih dahulu mengetahui judulnya), saya seperti menyaksikan lanskap sebuah kota dari suatu ketinggian. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai bayang-bayang sebuah kota dengan latar belakang langit putih.

Saya melihat ada tiang-tiang antena yang menjulur di atas puncak-puncak gedung. Saya melihat ada jendela-jendela yang meloloskan sedikit cahaya dari dalam gedung melalui celah-celah bingkainya. Saya melihat hingar-bingar dalam gelapnya. Seperti pesta kembang api dan mercon. Dan riuh percakapan di antara berbagai macam (warna-warni) manusia. Dan begitu banyak rahasia, banyak misteri, di balik tembok-tembok remangnya yang menciptakan labirin ruang dan waktu, di mana kedua hal tersebut kemudian saling melarutkan satu sama lain.

Saya melihat kabut dan asap. Saya melihat mendung dan hujan. Dan (belakangan saya kemudian baru menyadarinya) betapa kota sepertinya memang penuh dengan kekontrasan. Mungkin itulah yang membuat saya mencerna lukisan tersebut sebagai sebuah lanskap tentang kota. Putih dan hitam, dan warna-warna menyala di tengah kegelapan.



Baru setelah membaca judulnya, lalu melihat kembali lukisan itu dari jarak yang lebih jauh lagi, saya bisa melihat bunga-bunga bermekaran itu. Tetapi bagi saya, lukisan itu tetap adalah sebuah lanskap tentang kota.

27 Februari 2019

Pertemuan Pertama

Kalau coba mengingat-ingat lagi berbagai hal yang sudah terjadi, aku selalu mendapati betapa semua ini adalah sebuah kenyataan yang aneh. Sebab aku tak bisa ingat kapan pertama kali aku menemukan kehadiranmu dalam hidupku. Aku tak ingat kapan kita pernah berkenalan secara wajar sebagaimana layaknya sebuah perkenalan antar dua manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Samar-samar aku seperti ingat bahwa kita pernah sekelas, entah di mata kuliah apa. Bahwa kadang-kadang kita berpapasan di perjalanan antara gedung kuliah dengan fakultas, atau di koridor remang-remang di antara kelas-kelas perkuliahan. Atau kadang-kadang aku melihatmu sedang berjalan di kejauhan. Tapi semua itu begitu samar-samar adanya sehingga aku tidak bisa tidak curiga bahwa itu cuma khayalanku saja.

Tetapi, bukankah harus ada sebuah titik permulaan bagi setiap garis? Tidak terkecuali garis yang ditorehkan takdir tentang kita. Mungkin aku sekedar luput merekamnya dalam ingatanku saja.

Tapi tak pelak, itu membuat semua ini jadi terasa aneh. Seolah-olah aku sudah mengenalmu jauh-jauh hari sebelum benar-benar bertemu denganmu. Mungkin aku terlalu banyak menghayalkan sebuah perkenalan denganmu sebelum kita benar-benar sempat bertemu di dunia nyata. Mungkin aku pertama kali mengenalmu di dunia yang sama sekali lain dari dunia ini.

Mungkin perkenalan itu terjadi di dunia ide, mimpi, atau angan-angan. Mungkin karena aku pernah membaca tulisan-tulisanmu sebelum bertemu denganmu secara langsung. Dan mungkin kepingan-kepingan buah pikiran dan perasaanmu itu terasa demikian tak asing bagiku ketika itu, sehingga dengan mudahnya tercampur baur ke dalam dunia angan-anganku.

Dan oleh karena, di dalam dunia angan-anganku, waktu bukanlah sebuah konsep yang terlalu penting sebagaimana adanya di dunia nyata ini (waktu berlaku dalam cara yang jauh berbeda di dalam angan-anganku), jadilah aku tak mampu menemukan letak koordinat peristiwa pertemuan pertama kita itu di dalam kerangka ruang-waktu objektif sebagaimana yang berlaku di dunia ini. Mungkin begitulah adanya sehingga semua ini terasa demikian aneh dan tak wajar.

Tetapi selalu ada kemungkinan akan datangnya pertanyaan dari orang-orang tentang pertemuan pertama kita, kan? Dan karena waktu merupakan suatu konsep acuan yang begitu penting buat mereka, tentu kita akan ditagih untuk memberi jawaban yang punya sangkan-paran jelas di rentang garis waktu yang berlaku di dunia nyata ini.

Demikianlah, sehingga aku ingin mengusulkan dua peristiwa yang sekiranya layak dianggap sebagai pertemuan kita yang pertama kali.

Peristiwa yang pertama, adalah pada malam bulan Februari itu, ketika kita, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah jagad raya, saling berjabat tangan sebelum berlaga di arena permainan. Usul ini, tentu dengan pertimbangan bahwa jabat tangan adalah sebuah tanda pertemuan yang cukup formal dan dapat diterima oleh khalayak. Meskipun kalau dipikir-pikir, itu sebenarnya terjadi jauh setelah kita seperti sudah cukup saling kenal satu sama lain, sih.

Maka dari itu, aku mengusulkan peristiwa kedua. Pada suatu malam di akhir September tiga tahun (lebih dikit) yang lalu, di bawah terang bulan purnama (?), kita berjumpa di permukaan rembulan. Waktu itu kita mungkin memang tidak sedang berada di satu tempat yang sama. Aku sedang berusaha menikmati kopi dingin di sebuah warung kopi 24 jam sementara rembulan berpendar di langit gelap dan kebetulan dapat kulihat pada permukaan kopi dalam cangkirku sebelum kemudian kutengok melalui sela-sela tirai bambu yang diturunkan untuk menahan dinginnya angin. Sedangkan kamu, entah berada di mana dan sedang apa, namun kubayangkan sebuah kemungkinan (yang aku suka) bahwa kamu juga sedang melihat rembulan yang sama. Begitulah, aku melihatmu pada rembulan, dan (kubayangkan) engkau pun melihatku di rembulan yang sama. Lalu kita saling menyapa lewat bait-bait puisi.

Betapa itu tentunya akan terdengar sangat tidak masuk akal di telinga orang-orang. Tetapi bukankah kehidupan memang seringkali terasa tidak masuk akal? Toh, kehidupan ini berlangsung bukan menuruti seberapa sempit (atau luas) ruang di kepalamu untuk menampungnya. Ia sudah terlebih dahulu berlangsung begitu saja, sebelum kita sempat memahaminya. Dan apa yang kita sebut sebagai akal, baru berkembang belakangan, supaya kita mampu membuka pemahaman terhadap luasnya hamparan kemungkinan yang dikandung kehidupan.

Apapun itu maksudnya. Aku juga tak mengerti. Kadang aku memang suka ngelantur kalau lagi nulis.

Bagaimana menurutmu?

~

Jogja, 21 Februari 2019

Pelarian

Kadang aku merasa "benci"
kepada kata-kata.
Betapa mereka begitu naif
terhadap manisnya bibir
dan licinnya lidah
manusia-manusia modern.

Diperalat untuk menyampaikan kebohongan.
Dikibuli untuk menghantarkan janji-janji palsu.
Diperbudak sebagai sipir-sipir penjara yang memenjarakan kemerdekaan pikiran.
Ditopengi dengan kedangkalan arti,
kesempitan makna,
dan kerendahan maksud.
Diperkosa dan dinodai kesuciannya.
Dicerabut sayap-sayapnya,
dibelenggu lehernya
dan ditambatkan
pada tiang-tiang denotasi yang kaku.

Tetapi kemudian
aku jadi merasa malu sendiri,
setelah menyadari bahwa aku
adalah salah satu
di antara manusia
yang melakukan itu semua.

Maka puisi
adalah usaha pemberontakan
yang kulakukan
untuk membebaskan kata-kata
dari penjajahan pikiran manusia.

Dalam pelarian kami kemudian,
kata-kata menghantarkanku
ke pintu gerbang sebuah dunia
yang begitu sepi dan sunyi.

"Masuklah!" kata mereka.
"Kau akan baik-baik saja di dalam sana. Mereka tak akan dapat menangkapmu."

"Bagaimana dengan kalian?" tanyaku.

"Kami tidak mungkin masuk ke sana
tanpa menjadi sirna.
Tugas kami memang hanya
menghantarkan manusia
menuju pintu-pintu ini.
Kami akan baik-baik saja
selama masih ada manusia
yang mencari kesejatian
hidup dalam diri mereka."

Itu adalah kata-kata terakhir
yang disampaikan 'cinta'
sebelum ditutupnya pintu itu
di belakangku
setelah melemparkanku
ke dalam dunia yang hanya
terdiri dari sepi dan sunyi
yang abadi.

-Sekian-

Jogja, 20 Februari 2019

Suatu Pagi Yang Tanpa Gerimis

Barangkali aku tak perlu mengatakannya

Barangkali engkau tak usah mendengarnya

Biarlah kuletakkan saja hal itu di tengah samudera kesunyian
yang senantiasa setia menanti di penghujung aliran waktu yang berkelok-kelok
menyusuri relung lembah berkabut dalam bayang-bayang bukit-bukit ketidaktahuan kita
selagi kita berdiri di puncak gunung tanda tanya
meraba-raba cakrawala dengan bias-bias warna-warni pandang kita
mengharap secercah jawaban yang mungkin terselip di antara awan
yang siapa tahu akan turun bersama tetes hujan
atau membaur dalam berkas-berkas sinar mentari
jatuh menimpa wajah bunga-bunga
atau tergelincir di lengkung pelangi

Takdir berhembus dari dahan ke dahan
menjemput daun-daun kering dari tangkai sejarah
menghantarkannya melayang menggapai tanah
seperti kupu-kupu menari-nari di udara
merayakan kematian dengan kehidupan

Lalu kau punguti lembaran daun gugur itu
Kau selipkan di antara helai-helai tinta catatan hidupmu
Sebuah memorabilia sederhana
merangkum suatu pagi yang tanpa gerimis,
kilau-kemilau serbuk cahaya di antara siluet pohon-pohon kelapa berbaris di pematang sawah,
kawanan bangau putih di antara hijau rumpun padi,
bayangan gunung-gunung tinggi di tepi utara cakrawala,
jalanan-jalanan yang lurus dan yang berkelok,
yang datar dan yang menanjak,
dan yang kita tempuh dengan langkah-langkah tabah
seperti meniti ribuan anak tangga berlumur tanda tanya yang licin
menjawab setiap tanya dengan tanya
hingga ketika kita mencapai puncaknya
yang kita temui tinggal sepi

Barangkali bisu memang lebih sejati menyimpan arti

Barangkali hening memang lebih jernih menguak makna

Betapapun ajaibnya kata-kata
Adakah yang lebih ajaib daripada
...
(barangkali aku tak perlu mengatakannya)


Jogja, 19-20 Februari 2019

Perempuan Yang Menggenggam Waktu

Waktu selalu berjalan di belakangnya,
Menghitung langkah demi langkah
Yang diayunnya pelan-pelan
Dengan sepasang kaki mungil
Telanjang di atas pasir,
Sebelum dihapusnya setiap jejak itu
Satu demi satu dengan bunyi
"tik" dan "tok" bergantian

Waktu selalu berdiri di sisinya
Ketika dia menghentikan langkah
Di tepi sawah yang masih basah
Oleh tetes keringat dan uap tanah
Yang bercumbu di udara
Diiringi tarian burung-burung senja
Yang mekar di pucuk-pucuk randu
Dan rumpun nyanyian bambu
Menyeruak dari bibir-bibir lembah

Menunggu serupa kata yang tak perlu dimengerti untuk dipahami
Seberkas cahaya yang tak butuh warna untuk menjelma
Hingga malam pun tak akan pernah sanggup merenggutnya

Waktu akan duduk di depannya
Mengamati jari-jari kecilnya yang tabah
Mengurai serat-serat warna dari berkas cahaya rembulan
Memintalnya menjadi benang-benang makna
Menelusupkannya ke dalam lembaran-lembaran takdir

Dan waktu akan menjaganya ketika tidur
Membelai lembut rambutnya yang hitam melebihi malam
Mengecup pelan keningnya yang seputih pualam berpendar diterpa cahaya purnama
Menyelimutinya dengan keheningan pekat yang jernih dan dalam
Melindunginya dari gangguan hantu-hantu dari masa lalu dan godaan setan-setan dari masa depan

Memungut serpihan-serpihan mimpinya yang jatuh ke lantai
Memasukkannya ke dalam toples kaca
Dan menyelipkannya ke dalam pelukannya
Sehingga nanti ketika terbangun
Ia akan bisa menemukan kembali mimpi-mimpinya yang sempat terlupakan

*

Angin bermain-main di rambutnya
Seperti kupu-kupu di taman bunga
Menyelinap dari celah di bawah daun jendela yang tidak terkunci
Ketika pagi belum sempat menyematkan mentari di ujung cakrawala
Dan rembulan belum sepenuhnya padam
Dan malam belum juga selasai memunguti sisa bintang-bintang
Dan embun masih bergelayut di ujung dedaun

Waktu membangunkanku
Sebelum sempat kupejamkan mata
Pagi itu, pukul setengah enam

Aku bermimpi tentang perempuan yang menggenggam waktu di tangan kecilnya


Jogja
8-10 Februari 2019

Kupu-kupu Di Dalam Kepalaku

Mengapa ada kupu-kupu di dalam kepalaku?

Seperti sepasang tanya berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri
Coba menyusun kembali serpihan kerangka makna yang berserakan di hamparan sepi antara dua keabadian
Mereka-reka sepatah kata, sebersit bunyi, sebentuk isyarat, yang tak perlu bertengkar dengan sunyi untuk mengada

Kupu-kupu melayang-layang di sudut gelap sebuah ruang hampa tanpa jendela
Timbul tenggelam dalam bercak bayang-bayang di dinding ingatan yang enggan pupus meski terus tergerus putaran waktu

Seperti jejak-jejak langkah di pasir yang tak bisa hilang meski terhempas deburan ombak
Meski seandainya pantai itu tenggelam bersama pulaunya sekalian
Bahkan meski pun seluruh bumi tenggelam dalam airmatanya sendiri
Dan seluruh jagad raya berkabung dalam kehancurannya sendiri
Dan kita tak pernah ada

Namun jejak itu selalu ada
Sejak semula
Selamanya

Kita hanya sebutir pasir

Jogja, 7 Februari 2019