Pages - Menu

Sehelai Rambut yang Melengkung

Ketika terbangun dari tidur, aku berharap akhirnya telah tiba,
bahwa aku sudah sampai di penghujung perjalanan panjang ini.
Namun begitu cepat harapan itu menguap ke angan-angan,
terbawa angin ke seberang sana,
ke suatu dunia yang jauh dan samar-samar adanya.

Dalam sekejapan mata, aku menyadari bahwa kehidupan masih luas terhampar
dan perjalanan masih entah berapa jauh lagi.

Kutatap dunia jauh itu melalui rindu,
dalam mata yang terpejam mengharap mimpi tak bersegera pergi.

Mungkin belum saatnya untuk aku berada di sana.
Perjalanan ini mesti kuselesaikan terlebih dahulu,
meski aku sebenarnya tak tahu harus ke mana.

Yang engkau tinggalkan hanya sehelai rambut yang melengkung seperti tanda tanya,
dan aku harus merangkai sendiri kata-katanya,
sebelum kemudian berjalan sendiri mencari jawabannya.

“rindu akan menuntunmu”, katanya.

Jogjakarta, 27 Februari 2017

Trans

Setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam, melalui jalan setapak berbatu-batu dan menanjak, sambil membawa ransel berisi beban belasan kilogram, dan dengan nafas terengah-engah menyeret pegal yang menempel di kedua paha hingga ke ujung langkah, engkau berhenti dan mendapati dirimu berdiri di puncak gunung.

Di bawah sana terhampar dataran luas yang sedikit melandai dari kaki gunung hingga ke batas cakrawala. Rumah-rumah dan gedung-gedung terlihat begitu kecil. Jalan-jalan raya terlihat seperti garis-garis yang meliak-liuk di antara bebukit dan lelembah. Ladang-ladang dan persawahan menjadi semacam fragmen-fragmen yang menyusun suatu gambaran, semacam mozaik atas suatu fenomena bernama kehidupan manusia.

Di atas hanya langit biru berhias tetaburan awan putih, yang menggumpal maupun yang agak pudar, berarak pelan mengikuti gerak udara. Sangat pelan, begitu pelan dan demikian pelannya seolah-olah seumur hidup hanya akan dihabiskannya dalam perjalanan menuju ujung horison. Namun, engkau pikir, ia tentu sudah akan pudar sebelum sampai di sana. Melarut dalam udara. Menjadi angin sejuk yang membelai lembut rambutmu, menyeka peluh di tubuhmu, bahkan sampai menyentuh suatu bagian terdalam pada dirimu, menghadirkan suatu gejala perasaan yang tentu hanya engkau sendiri yang bisa memahaminya.

Rasa yang demikian akut. Sedemikian kuat mempengaruhimu, tetapi bukan jenis ‘kuat’ yang keras dan kasar melainkan yang lembut dan halus, seperti fluida, sehingga membuatmu seolah-olah terhanyut atau melayang. Rasa yang demikian nyata, tetapi bukan jenis nyata yang padat melainkan yang seperti awan yang menggumpal dan kemudian memudar di dalam dirimu.

Pada momen itu, tiadalah artinya kata ‘indah’, sehingga tak perlu engkau mengatakannya. Kata-kata bahkan dapat menjadi seperti angin yang meniup rasa itu hingga pudar. Maka engkau akan terdiam saja membisu, seolah hanya kebisuan yang mampu mewakilinya sebagai ungkapan. Sebab kata-kata tiada perlunya di dunia makna. Di dunia itu, kata-kata hanya selongsong kosong yang teronggok sebagai sekedar kata-kata. Di dunia itu, kenyataan adalah sesuatu yang sama sekali lain dari yang biasanya engkau pahami.

Melampaui kata, melampaui gambar, melampaui gunung, dataran luas, dan langit tinggi itu. Melampaui dirimu yang menyaksikannya dalam kesadaranmu. Bahkan puisi hanya akan menjelma rerumput yang tersapu angin, atau sebatas daun gugur jatuh ke tanah.

Jogjakarta, 16 Februari 2017

Kata dan Kebenaran

kusangka kata adalah kebenaran,
ternyata kata hanyalah jembatan
sedang kebenaran berada di seberang
dan kita mesti berjalan
namun jembatan kata ternyata licin
karena ia bisa berarti apa saja
sekaligus tak berarti apa-apa
dan kita terpeleset jatuh ke dalam jurang
di jurang itu bangkai kata-kata berserakan
suara-suara yang tak sampai berbunyi kata
menggema terbentur dinding bisu
dan kita pun terkubur membisu
sampai entah berapa lama
baru kita menyadari
terselip di dalam sunyi
ada kebenaran yang bersembunyi

Jogjakarta, 15 Februari 2017

Mencari yang Sejati

wahai yang sejati, mengapa engkau bersembunyi
di balik segala kesemuan yang nyata ini?

“supaya aku mencari”

engkau menggelar kehidupan dan membentangkan jalan
yang panjangnya melampaui waktu

(kehidupan yang abadi,
sedang waktu hanya kesementaraan yang selalu kan berlalu)

kalau bukan karena rindu
takkan rela kujalani hidup

takkan sudi kulepas sauh
meninggalkan dermaga
dan berlayar di atas gelombang
andai tak kuyakini bahwa gelombang itu
yang menggejolak di hatiku
dan menghempaskan jawaku
adalah kerinduan

dan engkau adalah cakrawala
yang merona jingga ketika senja
dan aku adalah pengelana
yang kan mencari hingga ke ujung dunia
makna sejati kata 'cinta'

Jogjakarta, 15 Februari 2017

Kepada Waktu Yang Bisu

Wahai waktu yang menghamparkan kehidupan dan membentangkan jalan hidupku,
yang berjalan di belakangku (memegang cambuk yang menjilat-jilati perih di punggunku),
yang berjalan di depanku (memegang rantai yang terulur hingga belenggu di leherku),
yang terus saja berjalan tak peduli lelah dan letih yang kuseret-seret di kaki,
dan tetap saja berjalan meski pedih dan perih menumpuk di hati.
Mengapa selalu saja engkau membisu ketika kutanya apa yang sesungguhnya ada di balik kabut itu,
yang pekat mengambang di belakang,
yang gelap menanti di depan,
yang menyembunyikan segala jawaban atas semua pertanyaan,
dari manakah kita, dan hendak ke mana?
Sementara langit yang cerah berawan maupun yang gelap berbintang
hanya mengajariku fakta bahwa cakrawala itu tak bertepi,
dan aku hanya bisa melihat sisi dalam tempurung pengetahuanku saja.
Selebihnya adalah misteri yang takkan mungkin kuketahui.
Seperti misteri kedalaman telaga jiwa yang selalu hanya menampakkan wajahku saja
dalam wujud yang sarat bias-bias riak pada permukaannya.
Tiada jawaban atas pertanyaan mengenai siapakah aku ini sesungguhnya.
Sementara bintang-bintang mesti membakar dirinya demi menjadi ...
Sementara pepohonan rela menggugurkan dirinya demi tumbuh ...
Sedang aku harus bagaimana?
Selain terus berjalan dan tetap tak tahu,
dan engkau tetap saja membisu.