Pages - Menu

Dalam Mata Orang-orang Laut

Laut adalah hal-hal yang tidak kuketahui, tidak kumengerti, tidak mampu kupahami.
Laut adalah berbagai hal tak pasti, yang selalu mampu membuatku terombang-ambing di atas segala yang tak kuketahui yang tersembunyi di kedalamannya.
Laut adalah rasa takut yang tak dapat kukalahkan.
Ada orang-orang yang hidup di laut,
berkawan dengan angin dan gelombang,
berumah samudera.
Ada orang-orang yang hidup di laut,
yang berada jauh satu sama lain namun menyebut diri mereka Sama,
karena samudera adalah rumah mereka bersama.
Ada orang-orang yang hidup di darat,
yang membagi daratan menjadi petak-petak tanah,
yang berperang demi memperebutkan hak atas petak-petak tanah itu,
yang tercerai-berai menjadi berbagai-bagai
Seluas apapun, laut adalah satu,
sedang daratan, sesempit apapun,
telah menjadi petak-petak yang diklaim sebagai hak milik...
Ada orang-orang yang hidup di laut.
Menatap mata mereka seperti menerawang lautan,
dalam seolah tanpa dasar.
Sedang laut adalah segala hal yang tak jua kumengerti.
Jogjakarta, 19 Desember 2016

Mercusuar

Suatu kala aku memancang kedua kakiku ke dalam pasir, berdiri tegak memimik mercusuar, tak bergeming meski angin kencang dan ombak menerpa tubuhku. Kuhadapi lautan luas yang seperti tak bertepi. Kesadaranku pun menemui titiknya di ruang yang tanpa dinding, tanpa batas. Betapa yang kuketahui hanya sedikit sekali dibanding luasnya samudera misteri yang menyimpan entah sebanyak apa rahasia kehidupan.
Hidup adalah denyut gelombang kehidupan.
Cinta adalah denyar pancaran kerinduan.
Terbersit begitu saja dalam benakku, larik-larik puisi yang begitu sederhana-- terlalu sederhana untuk dimengerti-- sampai aku terhenyak dalam lamunan.
*
Aku adalah mercusuar yang didirikan di puncak bukit di ujung semenanjung. Sejak semula sudah seperti itu dan akan selalu begitu hingga akhir. Di mana aku didirikan, di situlah aku berdiri sepanjang waktu, meski aku tak tahu apa itu waktu. Tetapi aku mengenal dengan baik penanda-penandanya. Matahari terbit. Matahari terbenam. Bulan beredar. Bintang-bintang bertebaran. Angin berhembus berubah-ubah arah. Ombak menghempas dengan kekuatan yang berbeda-beda. Burung-burung terbang dari suatu tempat yang jauh menuju tempat yang jauh. Aku, selalu adalah mercusuar yang berdiri di sini selamanya. Menemani lautan dan daratan bercumbu rayu. Menyaksikan kapal-kapal berlalu.
Dalam diriku ada rindu yang berpendar memancar. Rindu yang kutahu hanya waktu yang dapat menghantarkannya kembali ke rumah. Dan meski aku tak tahu apa-apa tentang waktu, aku kan selalu menunggu.
Aku adalah mercusuar, dengan rindu yang selalu berpendar-pendar memancar. Begitulah aku selalu menunggu sampai waktu menunjukkan pertanda bagiku untuk pergi atau kembali-- sama saja.

Jogjakarta, 15 Desember 2016

Di Negeri Kabut

Di negeri di mana kabut senantiasa mengambang,
udara seakan tak pernah bergerak,
seperti beku,
dan terasa dingin sampai ke jiwa.
Seolah-olah waktu pun mandeg di suatu momen tak tentu.
Dan memang segala-galanya tiada menentu.
Tak jelas.
Jendela-jendela kaca buram karena kabut yang menempel.
Pintu-pintu di setiap rumah senantiasa tertutup rapat agar dingin tak bebas melenggang masuk,
meski sebagian tetap dapat menyusup lewat celah-celah di berbagai sudut.
Namun selama perapian tetap menyala, dingin tak kan berani mendekat.
Hanya bisa meringkuk di pojok-pojok jauh yang gelap,
bersembunyi di balik bayang-bayang.
Di depan perapian itulah orang-orang  biasanya berkumpul,
mendengarkan kisah-kisah yang terlantun,
tentang negeri yang jauh di balik kabut,
yang selalu dimulai dengan 'konon'.
Di situ mereka menunggu waktu kembali bergulir.
*
Negeri itu tak pernah benar-benar terang,
pun tak pernah betul-betul gelap.
Waktu seperti terang-terangan berhenti,
pergi entah ke mana.
Jarum-jarum jam yang terpatri di dinding pun sejak lama telah berhenti berdetak.
Angka-angka yang pernah menghiasi tepiannya pun telah hilang sama sekali.
Tinggal kekosongan di ujung jarum-jarumnya yang tersisa.
Seolah waktu betul-betul telah sirna dari ruang negeri itu.
Tanpa waktu, apalah yang bisa menjadi jelas.
Tiada kenangan.
Tiada harapan.
Tinggal kisah-kisah bertabur 'konon'.
Tinggal kabut sarat bias fatamorgana.
Tinggal keremangan yang seperti abadi.

Jogjakarta, 13 Desember 2016

Laba-laba Di Sudut Ruang-ku

Kadang aku merasa ada hal yang hendak disampaikan sepi dan sunyi kehidupan kepadaku.
Hal yang tak jua kupahami meski telah kutelusuri sepi dan sunyi itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Berharap jawaban akan datang dengan sendirinya, seperti hujan yang tiba-tiba jatuh pada suatu hari yang biasa.
Tetapi ternyata hanya mendung yang sepanjang hari menggantung. Menaungi resah yang kian tak menentu rimbanya.
Seperti laba-laba yang betah berdiam diri di tengah-tengah jaringnya. Di sana, di sudut ruang sempit kepalaku.
Lama-lama aku jadi tak betah berada di ruang itu.
Tak betah menunggui sunyi yang tetap saja membisu.
Tak betah menyaksikan sang laba-laba tetap saja diam tak bergeming meski waktu selalu berlalu di hadapannya.
Maka aku pergi mencari entah apa yang kucari pada ramai di dunia. Dunia yang nyata maupun yang maya. Dunia yang selalu terasa asing meski telah sekian lama hidup memperkenalkan aku dengannya. Dunia yang tak pernah mampu kuselami kedalaman tatap matanya.
Betapa hari dapat berlalu dengan begitu banyak peristiwa, namun pada akhirnya seolah tiada yang tersisa kecuali pertanyaan-pertanyaan yang sama, juga sepi dan sunyi yang masih sama.
Dan laba-laba itu masih betah berada di situ.
Jogjakarta, 12 Desember 2016