Pages - Menu

(hening...)


Di situ pernah ada sebatang pohon
Sebelum berdiri menara baja dan beton

Musim-musim adalah nafas Bumi
Tunas tumbuh
Daun gugur

Adalah kata-kata dalam puisi
Yang engkau baca pada sepi
Yang engkau dengar dari sunyi
Seperti ketika sendiri

Lalu hembus angin
Lalu ricik air
Lalu sulur-sulur cahaya
Menjadi jembatan
Yang dengan kesadaranmu engkau tempuh

Jalan panjang bernama kehidupan
Yang terbentang dari masalalu menuju masadepan
Melewati ruang hampa kebodohan dan ketidaktahuan
Menembus tabir demi tabir materi yang engkau sebut kenyataan

Hingga terkuak lapis demi lapis makna
Seperti pelangi rupa-rupa warna
Yang dari balik gerimis seolah nyata

Demi menghantarkan padamu pengertian
Bahwa perjalanan ini menuju kebenaran
Bahwa setiap langkah adalah kesetiaan
Bahwa jiwa adalah samudera kerinduan

(hening…)

Di situ pernah terbentang padang ilalang
Sebelum digelar jalan panjang peradaban

Helai demi helai sejarah ditulis
Di atas tanah
Di atas batu
Di atas air yang mengalir
Pada pohon-pohon kehidupan

Hingga gugur daun terakhir
Tanpa sempat meninggalkan kata

Kecuali sunyi
Kecuali sepi
Kecuali jeda yang terselip di antara ramai di sela bising

Dan kita tak tahu mesti bagaimana
Menerjemahkan tumpukan-tumpukan kata-kata
Menjadi suatu bangunan makna

Dan seperti dedaunan gugur kita sapu dari jalanan
Demikianlah pepohonan meranggas kita gilas dengan peradaban

Dan sunyi memenuhi ruang sepi di hati
Dan kita menceburkan diri ke dalam ramai
Dan kita memenuhi hidup dengan materi

Demi mengubur resah dalam-dalam
Di bawah tumpukan beban kenyataan

(hening…)

Jogjakarta, 11 November 2016

Kunang-kunang

 image: thecannibalfactory.deviantart.com

Itu adalah pertemuan pertama setelah hampir enam puluh tahun berlalu, sejak program EA yang baru kembali diluncurkan.

Pertemuan adalah pertanda bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Berpuluh-puluh tahun tak pernah ada pertemuan karena EA berjalan dengan mulus, tak ada penyimpangan, tak ada pembangkangan, tak ada pemberontakan. Kini, masalah pertama—dan mungkin akan jadi yang terakhir—menimpa mereka. Para Petinggi Dunia dan program EA berkumpul untuk membahas masalah tersebut.

“Kita berkumpul di sini untuk meninjau ulang dan membahas kasus Subjek EA-0306”, seorang lelaki paruh baya berkacamata bingkai hitam tebal membuka pertemuan itu.

“Silakan!” ia berkata pada asistennya, lelaki dewasa yang terlihat jauh lebih muda, yang bertugas menjelaskan kasus EA-0306.

Maka monitor hologram di tengah-tengah lingkaran orang-orang penting itu pun menampilkan wajah seorang pemuda. Si Asisten kemudian mulai menjelaskan bagaimana semua itu terjadi, yang semakin lama membuat wajah-wajah yang hadir kian merengut dan mengernyit tak senang.

*

Ia dapat merasakan udara terbelah oleh tubuhnya yang sedang melayang, menukik di ketinggian. Awan-awan putih bertebaran seperti kapas-kapas melayang terbawa angin. Ia pun melayang, terbang, merentangkan tangannya, memejamkan matanya.

*

Setiap kali, mimpi selalu terasa begitu nyata. Hanya ketika terbangun, barulah kita menyadari bahwa semua itu cuma mimpi. Atau tidak? Ia duduk pada sisi tempat tidurnya memikirkan itu. Nafasnya memburu. Ada gejolak perasaan aneh dalam dirinya.

Sudah berkali-kali ia bermimpi tentang kejadian yang sama. Tidak betul-betul sama persis, namun proses dan sensasinya selalu sama.

Terjun dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi, sampai-sampai daratan di bawah sana tak terlihat sama sekali. Segalanya hanya biru, dihiasi gumpalan-gumpalan putih bertebaran. Ada yang tebal, ada yang tipis. Selama beberapa saat, rasanya seperti terbang atau sekedar melayang bebas di angkasa. Namun akhirnya selalu seperti terhempas pada sesuatu. Rasanya seperti ada yang seketika menyedot semua udara dalam paru-parunya dan ia pun terbangun.

Ia bisa mendengar detak jantungnya memenuhi sepi kamarnya. Seolah genderang sedang ditabuh. Udara yang dihirup dan dihembuskannya menimbulkan suara seperti angin dalam badai salju. Tak teratur. Bergejolak tak menentu. Ada sensasi dingin ketika keringat mengaliri pelipis dan tengkuknya.

Masih pukul 2 lebih sedikit, kedip jam weker digital yang ada di samping tempat tidurnya. Ia bangkit. Terasa gersang di tenggorokannya, maka ia berjalan menuju dapur untuk minum. Seteguk. Dua teguk. Ia mengerling jendela yang gordennya lupa ditutup. Memandang ke luar, jelas tak ada apa-apa selain sepi dan gelap. Mungkin pula ditemani dingin yang turun bersama embun. Ditutupnya gorden jendela itu.

Rasanya lelah, namun kantuknya telah pergi. Ia tak bisa segera melanjutkan tidurnya lagi. Mimpi-mimpi itu masih membayanginya dengan banyak pertanyaan. Mengapa ia terus-menerus bermimpi yang sama? Adakah mimpi-mimpi itu berarti sesuatu? Jika tidak, mengapa mereka terus saja mengganggu tidurnya? Tetapi seandainya iya, apakah artinya?

Sunyi berdengung. Menjadi desing. Lama-lama seperti menusuk pendengarannya. Menelusup dalam hingga menyayat-nyayat hatinya.

Ia rebah di sofa, meraih remot kemudian menyalakan televisi. Tak ada acara yang menarik. Ia terus saja memindah-mindah saluran tetapi akhirnya berhenti pada siaran berita luar negeri. Ia sesungguhnya tidak tertarik dengan isi siaran berita itu, namun ia tahu bahwa saluran manapun juga tak akan lebih menarik daripada itu. Ia hanya ingin mengusir kesunyian yang mengganggu.

Namun pertanyaan-pertanyaan masih memenuhi benaknya.

Wanita pembawa berita mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Ia tak begitu mendengarkannya. Ia tak mengerti artinya. Yang ia perhatikan hanya gerak-gerik bibir si wanita pembawa berita yang gesit, tatapannya yang tajam seolah penuh arti, dan anggukan-anggukan kepalanya yang kadang sambil dimiringkan ke kiri kadang ke kanan untuk menambah kesan penting atas apa yang sedang disampaikannya. Sementara itu, benaknya masih melanglang buana menelusuri pertanyaan demi pertanyaan yang tak jelas jawabannya.

Ataukah, mungkin ia malah sedang memikirkan pekerjaannya yang masih menumpuk di kantor. Laporan-laporan yang belum selesai. Tenggat waktu yang semakin mepet.

Atau mungkin, ia sedang memikirkan perempuan cantik yang dua (atau tiga?) hari yang lalu baru saja dikenalnya itu. Perempuan berparas lembut, berwajah lonjong, yang rambut hitamnya selalu terurai hingga ke punggung. Karyawan baru yang manis. Sangat berbeda dengan wanita pembawa berita yang berwajah tegas itu. Senyuman perempuan itu selalu bisa membuatnya luluh sehingga bersedia menerima begitu saja limpahan sebagian tugas darinya, tanpa mempertimbangkan bahwa laporan yang menjadi tugasnya sendiri masih menumpuk.

Atau bisa jadi, ia justru sedang memikirkan rute baru yang dapat ditempuh agar besok pagi ia dapat sampai ke kantornya lebih cepat.

Tak dapat diketahui secara pasti apa yang sedang ada di benaknya itu. Namun yang jelas, dua puluh menit kemudian ia sudah terkulai di sofa. Tidur dengan kepala mendongak, bertumpu pada sandaran sofa. Mulutnya terbuka lebar, seolah sesuatu yang gaib baru saja keluar dari lubang itu.

Wanita pembawa berita masih sibuk komat-kamit di layar televisi.

*

Mau tak mau ia akhirnya mesti bekerja lembur keesokan harinya. Pekerjaan baru terus berdatangan, sementara pekerjaan lama masih banyak yang belum tuntas. Belum lagi limpahan dari perempuan itu. Jadi malam itu ia masih di kantor ketika jam sudah menunjuk pukul sembilan lebih tiga menit.

Ia menguap lebar. Matanya berair, lelah karena seharian terus-menerus menatap layar monitor komputer. Mungkin yang ia butuhkan adalah istirahat sejenak. Maka bangkit dan beranjaklah ia dari biliknya menuju toilet untuk buang air kecil dan membasuh mukanya yang mulai terlihat kusut di cermin. Lalu menuju pantry untuk menyeduh secangir kopi. Kemudian menyusuri lorong menuju tangga darurat untuk naik ke atap gedung.

Tak ada angin berhembus. Disulutnya rokok sebatang, dihirupnya dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan. Kemudian ia menyeruput kopinya yang tanpa gula. Ia bukannya senang kopi tanpa gula. Ia hanya lupa menambahkan gula ke dalam kopinya. Tetapi mungkin itu tidaklah terlalu penting dibanding sesuatu yang mengusik benaknya.

Ia mendekat ke tepi agar dapat melihat pemandangan kota di bawah sana. Penglihatannya sedikit kabur, mungkin akibat lelah karena terlalu lama memandangi layar komputer. Sambil bersandar di pagar pengaman, ia menghisap rokoknya lagi dalam-dalam, memejamkan mata, lalu membukanya sembari menghembuskan asap rokok ke udara.

Ia sedang berada di atap gedung berlantai dua puluh. Di bawah sana, kota sedang beralih ke kehidupan malamnya. Karena kebanyakan penduduk kota bekerja keras banting tulang di siang hari maka ketika malam adalah waktunya untuk bersenang-senang. Bukankah itu yang dicari dalam hidup? Kesenangan. Buat apa kerja keras bila hasilnya tidak bisa dinikmati untuk senang-senang? Maka kota menjadi benderang di malam hari. Lampu-lampu penerang jalanan, lampu-lampu kendaraan, lampu-lampu disko, lampu-lampu papan reklame, lampu-lampu gerobak penjual nasi goreng, lampu-lampu lalulintas, lampu-lampu …. Dari atas sini terlihat seperti gerombolan kunang-kunang atau gugusan bintang-bintang.

Pikirannya tiba-tiba terhenti pada kunang-kunang dan bintang-bintang. Ia terlempar ke dalam semacam khayalan yang rasanya sangat familiar. Tetapi ia tak yakin apakah bayang-bayang itu adalah kenangannya yang telah terlupakan ataukah cuma sekedar lamunan.

Kunang-kunang dan bintang-bintang. Hal-hal yang hanya ada di masa silam. Di desa-desa. Masa yang jauh dari kota. Kota hanya sudi memandang ke depan. Menatap kemajuan. Terus bergerak. Move on.

*

Matanya terpejam. Yang ada hanya kegelapan pekat. Ia berjalan menyusuri pematang di antara petak-petak ladang mati, tetapi ia toh tak dapat melihat ladang-ladang itu. Langkahnya hanya dituntun oleh rumput-rumput liar yang tumbuh di tepi pematang. Sentuhan-sentuhan rerumput di kakinya yang telanjang menjadi penanda ke arah mana ia sebaiknya tidak berjalan dan ke arah mana ia mesti berjalan.

Lama, ia berjalan sendiri dalam gelap itu, tetapi waktu sepertinya tak begitu berarti di situ.

Ketika kegelapan menjadi semakin pekat, sebuah suara serak menghentikannya. “Bukalah matamu!” perintahnya.

Maka ia membuka mata dan terlihatlah sesosok misterius berdiri di hadapannya. Sosok itu bertubuh lebih tinggi dari dirinya sehingga ia harus sedikit mendongak untuk melihat wajahnya. Tetapi yang dapat ia lihat hanya siluet.

Rambutnya panjang dan kusut. Pakaiannya hanya lembaran-lembaran kain yang dililit-lilitkan pada tubuhnya. Kedua tangannya bertumpu pada pangkal bonggol sebuah tongkat kayu yang meliuk-liuk. Namun yang lebih menarik perhatiannya bukanlah sosok itu melainkan ribuan—bahkan jutaan—titik-titik cahaya yang berpendar melayang-layang di segala penjuru kegelapan dan melatari sosok itu.

“Akhirnya waktu untukmu tiba juga, nak”, katanya dengan suara serak yang berat. Terdengar hampir seperti desah namun begitu jelas di tengah-tengah kegelapan yang sunyi itu.

Ia melihat kanan-kiri, masih takjub dengan semua titik-titik yang berpendar melayang-layang itu. Ada yang berwarna putih dengan cahaya terang, ada yang redup, ada yang pendarnya kebiruan, kehijauan, kemerah-merahan, dan ada pula yang kuning berkelap-kelip dan bergerak-gerak melayang di udara.

“Betapa indah, bukan. Lihatlah sepuas-puasmu. Kau tak akan pernah merindukannya lagi nanti.

“Ah, itu adalah tugasku, kan.” Sosok itu seperti menyeringai, namun tak kentara karena wajahnya dibayang-bayangi kegelapan. Lagipula, sebagian rambut panjangnya menutupi wajah itu, membuatnya semakin tak mungkin terlihat.

“Di manakah aku ini?” Ia akhirnya bertanya juga.

“Di alam mimpi-mimpi”, jawab sosok misterius itu. “Yang sedang kau saksikan itu adalah mimpi-mimpi yang telah dilepaskan. Indah sekali bukan.

“Mimpi-mimpi adalah pendar-pendar cahaya kelap-kelip yang melayang-layang dalam kegelapan. Bila pemiliknya telah mati, mimpi-mimpinya akan terbang ke langit, kembali pada sumber segala mimpi”, sosok itu menjelaskan.

“Siapa kamu?” Tanyanya lagi.

Sosok itu tersenyum, tapi tak terlihat karena gelap di wajahnya. “Aku adalah penjaga mimpi,” katanya.

“Mendekatlah!” perintahnya. Lalu sosok itu mengangkat tangan kiri dan meletakkannya di atas kepalanya. Ia seperti melayang di udara, lalu tiba-tiba terjatuh. Dan sekonyong-konyong, dalam genggaman sosok misterius itu ada pendar cahaya kebiruan.

“Sekarang ulurkan tanganmu!” pinta sosok itu.

Ia mengulurkan tangan kanannya.

“Buka telapakmu!”

Ia membukanya.

Lalu pendar cahaya kebiruan itu diletakkannya di telapak tangannya.

Ia pun takjub menyaksikan cahaya itu. Rasanya hangat dan sejuk sekaligus.

“Sekarang, semua terserah padamu, karena itu milikmu. Tetapi kau perlu tahu bahwa mereka mengirimmu ke sini untuk melepaskannya. Kau akan beranjak dewasa, dan mimpi-mimpi hanya akan banyak mengganggu bagi orang dewasa. Mimpi-mimpi hanya berguna bagi anak-anak.”

Ia sudah akan melepaskan pendar cahaya itu, seperti yang disarankan oleh sosok misterius itu, namun sebersit perasaan tertentu menahannya. Ia bimbang. Ia bingung mengapa ia bimbang. Ia tak memahami apa yang sedang dirasakannya itu.

“Bolehkah aku menyimpannya saja?” Akhirnya ia bertanya pada sosok itu.

“Tentu. Terserah padamu sebagai pemiliknya. Tetapi perlu kuperingatkan bahwa hal itu bisa jadi sangat berbahaya bagi hidupmu di kemudian hari”, kata sosok itu dengan penuh tekanan pada suaranya yang serak.

“Aku rasa aku ingin menyimpannya saja.”

Sosok itu mengeluarkan sesuatu semacam sebuah toples kaca. “Taruhlah di dalam sini. Akan jauh lebih aman buatmu. Bawalah ia bersamamu selalu, tetapi jangan menunjukkannya pada orang lain, kecuali kau berani memercayakan hidupmu pada orang itu.”

*

Ia terbangun dan mendapati dirinya di dalam sebuah ruangan tanpa apa-apa selain dirinya dan alas tidurnya. Suara bel sirine terdengar di kejauhan. Ia mengamati langit-langit, dinding, dan lantai yang semuanya berwarna putih. Ada aroma aneh memenuhi udara yang dingin dalam ruangan itu. Di manakah ia berada?

Ia tak mengingat apa-apa. Ia berusaha menelusuri relung-relung ingatannya, namun kosong.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah-langkah yang tergesa-gesa mendekat. Pintu di salah satu sudut ruangan mendesis terbuka. Empat orang tanpa wajah bergegas masuk. Seorang menahan kakinya. Dua orang menahan bahu dan lengannya. Lalu orang terakhir menutupkan sesuatu ke wajahnya.

“Subjek EA-0306 telah diamankan”, kata orang terakhir itu.

Ia tetap tak ingat apa-apa.

*

Ia terbangun lagi. Kepalanya sedikit pusing dan ia merasa mual. Ia berusaha bangkit tetapi ada yang tiba-tiba menahan pundaknya.

“Tak apa-apa, nak, istirahatlah sedikit lebih lama lagi sampai kau benar-benar sehat.”

Ibunya duduk di sisi tempat tidurnya dengan mata yang berkaca-kaca menatapnya. Dari luar terdengar suara kicau burung sahut-sahutan.

“Tapi aku harus berangkat sekolah, Bu.”

Ibunya tersenyum. Ada airmata meleleh dari sudut matanya. Ibunya mengusap kepalanya dengan penuh kelembutan.

Anakku telah melewati masa remaja dan mulai menjadi dewasa, gumamnya dalam hati. Ia merasa bahagia sekaligus sedih.

*

Beberapa hari yang lalu, seluruh dunia digemparkan oleh aksi nekat seorang pemuda yang terjun dari puncak gedung tertinggi di dunia. Pemuda itu telah diamankan oleh pihak berwajib berikut peralatan-peralatan yang digunakannya dalam aksi terjun bebas terlarang itu.

Sementara itu, di berbagai belahan dunia, beberapa remaja dan kaum muda, seolah terinspirasi oleh aksi itu, mencoba melakukan aksi serupa dengan terjun dari pucuk pohon, menara pemancar, tebing, jembatan, bahkan dari atap rumah. Beberapa dari mereka akhirnya mengalami cidera yang cukup parah hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Sementara itu yang lainnya masih cukup beruntung karena hanya mengalami memar dan lecet ringan.

Pembawa berita itu tersenyum lebar. Hal yang tak pernah dilakukannya selama bertahun-tahun. Benar-benar berita yang sensasional pekan ini, katanya. Kita tunggu saja, apakah kegilaan-kegilaan lain akan bermunculan? Seringainya makin lebar.

*

Ia meringkuk dalam sel tahanan yang gelap. Hanya jendela kecil berjeruji, yang sekali-sekali membiarkan cahaya bulan masuk, yang menemaninya selalu. Namun baginya, itu sudah lebih dari cukup. Baginya, ia telah menjalani hidup yang jauh lebih berharga daripada hidup semua orang di dunia.

Dan ia tersenyum puas memandangi langit malam dari sela-sela jeruji jendela tinggi itu.

Titik-titik kecil berpendar kebiruan melayang-layang memenuhi kegelapan ruang tahanan itu ketika ia memejamkan mata. Seperti kunang-kunang.


Jogjakarta, Jan-Feb 2016

Skripsi atau Puisi


Skripsi atau Puisi
Daripada skripsi
beribu-ribu kata
tanpa benar kau mengerti
entah apa gunanya

Kan kutulis puisi
dengan satu-dua kata saja
asalkan dapat kau pahami
sedalam apa maknanya
~
Jogjakarta, 11 November 2016

Mengenai Keselamatan Dalam Kayaking

Dalam salah satu TEDx talk, Steve Fisher, seorang kayaker profesional yang pernah memimpin ekspedisi kayaking melewati jeram terbesar di dunia dengan selamat untuk yang pertama kali di sungai Kongo, berbicara tentang bagaimana seorang kayaker ekstrim menilai risiko yang dihadapinya.
 

Salah satu hal menarik yang diungkapkannya adalah mengenai lima “alat” yang diperlukan untuk melakukan “apa yang belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya”. Kalimat dalam tanda petik ganda tersebut adalah sebagaimana yang diucapkan Fisher, yang dalam konteks ini mungkin maksudnya adalah semacam ekspedisi first descent.

Kelima hal tersebut adalah: (1) peralatan, (2) fisik yang prima, (3) lokasi yang tepat, (4) keahlian, dan (5) pengalaman. Selain kelima hal tersebut, ia kemudian menambahkan perihal bagaimana memitigasi risiko.

Poin utama presentasi Steve Fisher tersebut mungkin adalah untuk menjelaskan bahwa kita sebenarnya bisa melakukan sesuatu yang “sepertinya tidak mungkin dilakukan” apabila kita memiliki kelima hal tersebut dalam “kotak peralatan” kita dan mampu memitigasi risiko yang kita hadapi. Meskipun Fisher menjelaskan ide tersebut dalam konteks kayaking arus deras, ide tersebut sesungguhnya berlaku pula dalam setiap aktivitas olahraga petualangan, apakah itu mendaki gunung, memanjat tebing, menelusuri goa, dan sebagainya.

Menurut saya, dalam setiap olahraga petualangan terdapat tiga elemen penting yang terlibat, yaitu (1) lingkungan alam tempat aktivitas tersebut berlangsung, (2) orang yang melakukan aktivitas tersebut (yang Fisher membaginya menjadi tiga yaitu keadaan fisik yang prima, keahlian, dan pengalaman) dan (3) peralatan yang digunakan oleh orang tersebut untuk membantunya dalam berbagai keperluan. Ketiga elemen tersebut mengandung faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberlangsungan suatu petualangan, dan seharusnya kita pahami perannya agar petualangan kita dapat berjalan dengan baik.

Sebaliknya, ketidakpahaman kita perihal elemen-elemen tersebut berpotensi menjadi faktor yang menyebabkan kecelakaan. Inilah yang disebut faktor subyektif (yang kemudian menjadi bahaya subyektif) dalam proses terjadinya kecelakaan dalam aktivitas petualangan. Konon, foot entrapment lebih sering terjadi di sungai kelas II atau III daripada kelas IV atau V, dan salah satu penjelasan logis akan hal tersebut adalah karena kebanyakan orang (mengingat sungai kelas II dan III mungkin adalah yang paling banyak dikomersilkan) tidak mengetahui bahwa memijakkan kaki ke dasar sungai yang kedalamannya melebihi tinggi lutut dan mengalir cukup deras adalah sesuatu yang berbahaya. Bebatuan (sebagai faktor obyektif atau bahaya obyektif) secara alamiah memang akan selalu ada di dasar jeram dan memang berpotensi bahaya, tetapi ketidaktahuan seringkali menjadi faktor yang memperbesar peluang terjadinya foot entrapment atau berbagai kecelakaan lainnya.

Contoh lain. Cukup sering dijumpai pemandu sungai (river guide) yang kesulitan menarik tamu yang terjatuh dari perahu untuk naik kembali ke atas perahu karena pelampung yang dikenakannya tidak terpasang dengan baik. Bisa jadi karena ukuran pelampungnya terlalu besar, atau karena kurang kencang mengenakannya (biasanya buckle paling bawah yang terpasang di sekeliling pinggang lupa dipasang atau kurang kencang). Hal tersebut bisa saja berakibat buruk, misalnya pelampung tersebut terlepas dari tubuh korban dan menambah besar faktor risiko yang mungkin terjadi karena korban terpaksa berada di air tanpa pelampung, atau karena terpaksa harus ditarik tangannya sehingga dapat menyiderai bahu si korban. Peristiwa semacam itu mungkin memang lebih merupakan kelalaian pemandu sungai dalam memastikan para tamunya mengenakan peralatan dengan baik, namun di sisi lain, hal tersebut juga menunjukkan bahwa ketidaktahuan kita terhadap fungsi dan penggunaan peralatan dapat pula berpotensi memperbesar peluang terjadinya kecelakaan.

Dari dua contoh tersebut dapat kita lihat bahwa faktor dari orang yang melakukan petualangan tersebut sepertinya merupakan pemegang peran terpenting, dalam hal ini adalah seberapa pengetahuannya terhadap kedua elemen lainnya (lingkungan alam yang dihadapi, dan peralatan yang digunakan). Inilah yang, dalam Teori Dinamika Kecelakaan (Attarian, Aram. 2012. Risk Management in Outdoor and Adventure Programs: Scenarios of Accidents, Incidents, and Misadventures. Human Kinetics), disebut faktor subyektif (di samping faktor obyektif) yaitu faktor yang sebenarnya dapat kita kondisikan (sedangkan faktor obyektif adalah faktor yang hampir tidak mungkin kita apa-apakan) untuk meminimalkan peluang terjadinya kecelakaan dalam aktivitas petualangan. Faktor-faktor lainnya akan menjadi relatif terhadap faktor subyektif ini dalam dinamika aktivitas petualangan.

Jadi, seberapapun tingkat kesulitan suatu jeram—misalnya—akan menjadi semakin berisiko atau tidak tergantung pada faktor dari orang yang melewatinya (seberapa paham ia terhadap risiko obyektif yang ada, seberapa baik kemampuan mendayungnya, seberapa mampu ia menggunakan peralatannya, seberapa siap ia menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, dan sebagainya).

Dalam film dokumenter Chasing Niagara, Rafa Ortiz mengungkapkan bahwa “kayaking is an individual sport, but you’re only as good as the friends you paddle with”. Di sini lah saya ingin menyampaikan pemikiran mengenai keselamatan dalam berarung jeram, khususnya kayaking. Dan nantinya, apa yang dikatakan Ortiz mungkin akan bisa kita pahami dengan lebih jelas.

Karena kayaking pada dasarnya memang adalah olahraga individual, faktor pertama dan utama yang berperan dalam keselamatan adalah faktor-faktor perorangan, dan yang paling mendasar adalah pengetahuan kita mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas tersebut. Hal ini sudah cukup banyak dijelaskan di atas, dan mungkin tidak perlu ditambahkan lagi. Secara ringkas, poinnya adalah bahwa pengetahuan dasar mengenai keadaan alam yang dihadapi (dalam hal ini segala hal tentang sungai dan jeram) dan mengenai peralatan yang digunakan, adalah pondasi pertama dalam bangunan sistem keselamatan berarung jeram. Dari sisi lain, ketidaktahuan adalah faktor subyektif yang dapat memperbesar risiko obyektif yang dihadapi, yang memperbesar peluang bahaya obyektif untuk menjadi bahaya yang sungguh-sungguh terjadi (kecelakaan).

Di atas pondasi pengetahuan, terdapat keahlian mendayung untuk melakukan berbagai manuver dengan kayak. Lagipula, apalah artinya kita berada di atas kayak dengan dayung di tangan bila kita tidak punya keahlian menggunakannya. Kayak dan dayung tersebut adalah peralatan yang dapat digunakan untuk membantu kita melewati jeram, namun hanya jika kita mampu menggunakannya dengan baik. Keahlian ini hanya dapat kita miliki melalui latihan dan pengalaman yang cukup, dan semua itu butuh waktu. Pertama kali, sekedar naik ke atas kayak saja merupakan sesuatu yang tidak semudah kelihatannya, apalagi mendayungnya, belum lagi ditambah berbagai rintangan yang ada di sungai.

Untuk mengembangkan keahlian kayaking, kita memerlukan keahlian dasar mendayung yang dibangun di lingkungan yang relatif aman dan terkendali, misalnya di kolam yang berair tenang dan relatif tidak terlalu dalam. Intinya adalah bagaimana kita bisa menggerakkan kayak di atas permukaan air untuk melakukan berbagai manuver dasar (bergerak maju, mundur, bergeser ke samping, maupun berputar dan belok). Setelah kita mampu melakukannya di air tenang, langkah berikutnya adalah bagaimana agar kita bisa menerapkan keahlian dasar tersebut di air yang berarus. Hal ini tentu tidak akan semudah di air tenang sebab berbabagai faktor yang disebabkan oleh mengalirnya air akan mempengaruhi kayak kita. Kemampuan membaca arus menjadi keahlian yang harus dimiliki untuk dapat menguasai manuver kayak di arus.

Di sini lah tingkat kesulitan jeram masuk ke dalam perhitungan. Jika hanya terdapat air yang mengalir, arus-arus yang terbentuk biasanya hanya berupa riak atau ombak-ombak kecil dan mungkin eddy di tepi sungai, dan berdasarkan sistem klasifikasi tingkat kesulitan sungai (lihat: www.americanwhitewater.org/content/Wiki/safety:start) mungkin masih termasuk kelas I. Namun, semakin kompleks ornamen dan arus yang terdapat pada suatu jeram, akan semakin tinggi kelasnya, dan semakin tinggi pula risiko obyektifnya. Secara logis, semakin tinggi tingkat kesulitan jeram, maka semakin tinggi pula tingkat keahlian yang diperlukan untuk melalui jeram tersebut dengan selamat. Untuk membangun keahlian kayaking di jeram yang kelasnya lebih tinggi, diperlukan pengalaman dan penguasaan terhadap jeram yang kelasnya lebih rendah terlebih dahulu. Jika tidak, sama saja dengan berusaha berlari padahal belum bisa berjalan. Peluang untuk terjatuh tentu akan lebih besar yang berarti risikonya akan lebih besar.

Bagaimana kita mengetahui bahwa kita telah menguasai jeram dengan tingkat kesulitan tertentu? Yaitu dengan menguji kemampuan manuver kita di jeram tersebut. Jika kita bisa melakukan berbagai manuver di suatu jeram kelas tertentu sesuai dengan apa yang kita inginkan, berarti kita mungkin sudah cukup menguasai keahlian yang diperlukan untuk jeram-jeram dengan kelas yang setara. “Mungkin”, sebab sesungguhnya jeram yang berbeda meskipun dengan kelas kesulitan yang sama adalah sesuatu yang berbeda. Untuk lebih meyakinkan, kita bisa mencoba bermanuver di jeram yang berbeda yang kelasnya sama. Jika kita bisa mengatasinya, berarti kita boleh cukup yakin dengan kemampuan kita.

Selanjutnya adalah keahlian river rescue. Keahlian ini mencakup ranah perorangan hingga kelompok. Secara umum rescue dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu self rescue (penyelamatan diri dan peralatan sendiri) dan team rescue (penyelamatan yang dilakukan oleh orang lain terhadap korban). Di sini, apa yang diungkapkan oleh Rafa Ortiz mulai dapat kita lihat maksudnya. Meskipun kayaking adalah olahraga individual, namun seberapa baik engkau melakukannya akan sangat ditentukan oleh orang lain yang menemanimu. Itu berarti sebagai individu engkau bertanggung jawab atas keselamatan dirimu, dan sebagai tim engkau bertanggung jawab atas keselamatan teman satu timmu. Saat menghadapi jeram-jeram yang kelasnya lebih tinggi dan belum pernah engkau hadapi sebelumnya (apalagi jeram-jeram yang belum pernah dilalui siapa pun sebelumnya) peran teman setim menjadi sangat penting untuk memperbesar peluang keselamatan. Kawan-kawan itulah yang akan menjadi penyelamat nyawamu ketika engkau tidak bisa menyelamatkan dirimu sendiri.

Namun demikian, keahlian penyelamatan diri (self rescue) selalu merupakan pertahanan pertama dan utama sebelum diselamatkan oleh orang lain. Keahlian penyelamatan diri ini mencakup kemampuan bermanuver untuk masuk dan keluar dari eddy dalam berbagai ukuran, kemampuan melakukan bracing untuk mencegah kita terbalik, kemampuan melakukan roll ketika terbalik, kemampuan berenang, dan kemampuan mengurusi peralatan perorangan secara mandiri (misalnya untuk melakukan portage, menguras kayak yang terisi air, serta memasuki dan keluar dari kayak dalam berbagai kondisi).

Pada prinsipnya, dalam setiap pengarungan sungai kita sebaiknya berhenti dan menepi setiap kali akan memasuki suatu jeram untuk melakukan scouting (melihat jeram dari darat untuk menentukan apakah jeram tersebut memiliki jalur yang relatif aman untuk dilalui atau tidak), kecuali bila kita dapat melihat jalur yang ada langsung dari atas kayak. Untuk berhenti dan menepi itu, diperlukan keahlian untuk masuk dan keluar dari eddy. Jika tidak, maka kita terpaksa harus menghadapi jeram dalam keadaan “buta”, dan hal tersebut tentu akan memperbesar risiko yang mungkin dihadapi.

Cara lain yang lebih menghemat waktu daripada harus naik ke darat adalah melihat jeram dari eddy yang cukup dekat dengan permulaan jeram. Cara tersebut tentu juga membutuhkan keahlian menangkap eddy yang lebih baik (mengingat eddy yang dimasuki biasanya adalah eddy yang berada di balik batu yang pada umumnya lebih kecil daripada eddy di tepi sungai).

Ketika kita sudah berada di tengah-tengah jeram, menjaga agar kita tidak terbalik terkadang bukan sesuatu yang sederhana. Di sini lah brace dibutuhkan. Namun dalam kayaking, terbalik seringkali merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Setiap kayaker, bahkan yang terbaik di dunia sekalipun, pernah terbalik. Maka setiap kayaker sudah seharusnya mampu melakukan roll. Jika engkau tidak mampu melakukan roll, mungkin sebaiknya engkau tidak menyebut dirimu seorang kayaker. Terbalik adalah seperti jatuh dalam olahraga panjat tebing, setiap pemanjat pernah mengalaminya, dan hal tersebut diperlukan dalam mendorong batasan kita lebih jauh.

Roll adalah masalah teknik yang benar, dan untuk menguasainya diperlukan latihan yang sering dalam berbagai kondisi yang mungkin akan dihadapi. Hal yang mungkin “lucu” mengenai petualangan adalah bahwa kita harus mampu melakukan berbagai teknik penyelamatan (rescue) namun sebisa mungkin jangan sampai kita menggunakannya dalam keadaan yang sesungguhnya. Dan karena roll adalah kemampuan penyelamatan diri yang utama dalam kayaking, setiap kayaker wajib memilikinya namun sebisa mungkin jangan sampai terjadi (meskipun pada kenyataannya keadaan tersebut seringkali tidak dapat dihindari).

Bagaimana jika kita tidak berhasil melakukan roll? Pada titik ini kita mulai membutuhkan kemampuan penyelamatan dari teman setim. Jika beruntung dan dalam keadaan yang memungkinkan, kita mungkin bisa diselamatkan oleh teman dengan boat-to-boat rescue. Seorang teman membawa kayaknya cukup dekat ke kita sehingga kita dapat meraihnya untuk dijadikan tumpuan untuk membalikkan kembali kayak kita, atau seorang teman yang menjadi live-bait rescuer melompat ke sungai dan membantu kita membalikkan kembali kayak kita. Namun hal tersebut pun tentu mengharuskan kita untuk mampu bersikap dengan benar, yaitu tetap tenang dan mengetahui apa yang mesti dilakukan sebagai korban yang diselamatkan. Bahkan mampu berperan sebagai korban dalam skenario penyelamatan mungkin adalah salah satu kemampuan penyelamatan diri yang sebaiknya kita miliki.

Namun, sekali lagi, hal tersebut dapat dilakukan hanya dalam kondisi medan tertentu yang memungkinkan, misalnya di akhir jeram di mana aksi penyelamatan dipandang tidak akan membahayakan si penyelamat. Jika tidak, maka terpaksa kita harus melepas spray deck dan keluar dari kayak untuk kemudian berenang. Pada titik ini, berarti keadaan sudah mulai cukup gawat. Kita menempatkan diri dan peralatan utama kita dalam risiko yang cukup besar. Jika kita mampu berenang menepi untuk menyelamatkan diri dan peralatan kita sendiri, masalah mungkin akan selesai lebih cepat. Namun bila tidak, berarti kita menempatkan teman-teman kita di bawah beban kewajiban menyelamatkan kita dan peralatan kita. Hal tersebut tentu memerlukan usaha dan waktu yang lebih, dan akan cukup menguras tenaga.

Ketika kita berenang, risiko yang dihadapi akan bertambah besar dan semakin banyak. Kita mungkin saja dapat terjebak di antara bebatuan, memasuki hole, peralatan kita hilang, atau kayak kita dapat tersangkut di antara bebatuan (pinned), dan skenario penyelamatan yang mesti dilakukan akan semakin kompleks, memerlukan peralatan yang lebih banyak, memakan waktu yang lebih panjang, dan tentu saja melelahkan. Namun aksi penyelamatan tentu tetap harus dilakukan, dan itu menuntut kita sebagai tim mampu melakukan penyelamatan tim.

Berbagai keahlian penyelamatan tersebut akan jauh lebih efektif dan efisien bila dipadukan dengan sistem pengarungan yang baik. Sistem pengarungan yang dimaksud adalah serangkaian prosedur, strategi, dan pembagian peran yang diterapkan dalam proses pengarungan. Salah satu bagian dalam sistem tersebut adalah sistem komunikasi yang memerlukan pemahaman tim terhadap isyarat-isyarat tertentu, yang biasanya disebut river signals. Karena sungai seringkali bising, terutama di sekitar jeram, dan tak jarang kita berada cukup berjauhan satu sama lain dengan anggota tim yang lain, komunikasi verbal seringkali tidak efektif. Karena itu diperlukan river signals. Secara umum terdapat isyarat-isyarat (baik itu dengan peluit atau dengan gestur tubuh) yang berlaku hampir di seluruh dunia, namun hal terpenting adalah setiap anggota tim harus memiliki persepsi yang sama terhadap berbagai isyarat tersebut.

Selain itu, dalam suatu pengarungan berkelompok terkadang perlu ada yang berperan sebagai leader dan sweeper, terutama bila terdapat perbedaan tingkat keahlian yang cukup jauh antar orang-orang dalam kelompok tersebut. Ketika menemui suatu jeram, kebijakan leader untuk memutuskan apakah akan melakukan scouting atau tidak, dan bagaimana mengusahakan keselamatan setiap anggota kelompok dalam melalui jeram tersebut, adalah tanggung jawab leader dibantu sweeper. Meskipun demikian, idealnya, setiap individu sebaiknya memahami bahwa keputusan untuk memasuki suatu jeram atau tidak adalah keputusan perorangan yang akan—terutama—dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri. Kembali kepada prinsip bahwa setiap jeram sebaiknya ditelaah terlebih dahulu dari darat dengan cara scouting, kecuali bila jalur di jeram tersebut dapat ditentukan langsung dari atas kayak.

Ada kalanya juga diperlukan adanya back up orang yang bersiap melakukan penyelamatan di akhir jeram untuk lebih meyakinkan kita perihal peluang keselamatan dalam melalui jeram tertentu, dan strategi untuk itu dapat bermacam-macam bentuknya, tergantung kondisi medan dan tentu saja sumber daya yang dimiliki. Dan ada pula kalanya kita mesti melakukan portage, yaitu mengangkat semua peralatan kita dan melewati jeram tersebut dengan berjalan di darat (alias tidak melalui jeram), atau lining, yaitu menambatkan kayak pada tali dan menuntunnya melewati jeram dari daratan tepi sungai. Semua itu adalah strategi yang terkadang diperlukan demi keselamatan kita.

Kemudian, pertahanan terakhir kita adalah adanya rencana prosedur keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud dapat berupa cidera karena kecelakaan, hipotermia, hilang atau rusaknya peralatan penting (misalnya dayung atau bahkan kayak), hilangnya anggota kelompok, atau bahkan kematian anggota kelompok. Pada titik ini keadaan mungkin tidak lagi dapat disebut selamat, namun kita tetap bertanggung jawab untuk mencegah agar keadaan tidak menjadi jeuh lebih buruk lagi.

Mengantisipasi cidera dan hipotermia mungkin dapat dilakukan dengan membawa perlengkapan pertolongan pertama dan memiliki keahlian melakukan pertolongan pertama. Mengantisipasi peralatan yang hilang atau rusak mungkin dapat dilakukan dengan membawa peralatan cadangan. Menghadapi situasi adanya anggota kelompok yang hilang atau meninggal mungkin memerlukan prosedur yang lebih kompleks dan memerlukan bantuan dari luar tim. Namun, semua itu perlu dipersiapkan sejak awal, dan kuncinya adalah perencanaan yang baik. Hal ini kembali lagi kepada pengetahuan kita mengenai lokasi atau keadaan alam yang mungkin akan dihadapi, mempertimbangakan berbagai kemungkinan skenario darurat, dan membuat prosedur yang dapat dilakukan dalam keadaan darurat tersebut.

Prinsip umum dalam setiap petualangan adalah: jangan memasuki situasi berisiko bahaya tanpa keyakinan yang cukup bahwa kita akan dapat keluar dari sutuasi tersebut dengan selamat. Steve Fisher mengungkapkan hal tersebur dalam presentasi TEDx-nya. Keputusan akhir yang diambil Rafa Ortiz dalam Chasing Niagara juga menyiratkan hal tersebut.

Jogjakarta, 6 November 2016