Pages - Menu

Tentang Kebermaknaan Hidup (Bagian 1) [Irvin D. Yalom’s 10th Chapter of Existential Psychotherapy]

Dimulainya dengan mengutip sebuah catatan bunuh diri (suicide note):

“Bayangkanlah sekelompok orang bodoh yang dengan bahagia melakukan pekerjaan mereka. Membawa batu bata di suatu tanah lapang, menumpuknya di salah satu sudut, dan kemudian, segera setelah semua batu bata itu tertumpuk di sudut itu, mereka mengambilnya lagi lalu membawanya menyeberangi tanah lapang itu untuk ditumpuk di sudut yang lain. Begitulah seterusnya tanpa henti setiap hari dalam setiap tahun, mereka sibuk melakukan hal yang sama. Lalu pada suatu hari, salah satu orang bodoh itu berhenti cukup lama dan bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah sesungguhnya yang sedang dilakukannya itu. Ia tercenung, untuk apa mereka membawa-bawa semua batu bata itu. Dan dengan begitu saja, tiba-tiba, ia tidak lagi merasa tenang dengan pekerjaan yang selama ini dilakukannya.
Akulah si orang bodoh yang tercenung dan bertanya-tanya itu.”

Kemudian, mengutip dari otobiografi Leo Tolstoy, apa yang kemudian diistilahkannya (Tolstoy) sebagai “life arrest” atau periode di mana ia mengalami krisis makna (crisis of meaning):

“Lima tahun lalu, sebuah pemikiran aneh mulai tumbuh dalam diriku: Aku tenggelam dalam momen kebingungan, yang membuatku berhenti, seolah-olah di dalam kehidupan ini aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menjalani hidup, apa yang seharusnya kulakukan… Perhentian-perhentian dalam hidup seperti ini selalu menghadapkan pertanyaan yang sama kepadaku: “mengapa?” dan “untuk apa?” … Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa menuntut jawaban yang kuat serta lebih kuat lagi dan, seperti titik-titik kecil, mereka berkumpul bertumpuk-tumpuk menjadi sebuah titik hitam yang lebih besar.”

Dan:

“Pertanyaan itu, yang di usiaku yang kelima puluh pernah membawaku pada pemikiran untuk bunuh diri, adalah pertanyaan yang begitu sederhana—dibanding semua pertanyaan-pertanyaan lainnya, namun bersemayam di dalam diri setiap manusia, baik mereka yang masih kanak-kanak polos maupun yang telah banyak makan asam garam kehidupan: “Apa yang akan dihasilkan oleh apa yang kulakukan saat ini, dan mungkin akan kulakukan esok. Apa yang akan dihasilkan oleh seluruh hidupku?” atau dengan cara lain—“Mengapa aku mesti hidup? Mengapa aku mesti mengharapkan sesuatu? Mengapa aku mesti melakukan sesuatu?” Dan lagi, dalam bentuk yang lain: “Adakah makna dalam hidupku yang tidak akan hancur oleh kematian tak terhindarkan yang menantiku?””

Kemudian juga mengutip Albert Camus yang menyatakan bahwa satu-satunya pertanyaan filosofis yang paling serius adalah mengenai apakah kita mesti terus melanjutkan kehidupan ketika kenirmaknaan (meaninglessness) hidup manusia telah sepenuhnya kita sadari. “Telah kusaksikan banyak orang mati karena kehidupan bagi mereka ternyata tidak cukup berharga untuk dijalani. Dari situ aku menyimpulkan bahwa pertanyaan mengenai makna kehidupan merupakan pertanyaan yang paling penting dan mendesak dibanding yang lainnya,” tulis Yalom mengutip Camus.

Dan begitu pula C. G. Jung yang menulis bahwa: “Ketidakhadiran makna dalam kehidupan memainkan peran krusial dalam etiologi neurosis. Neurosis harus dipahami, pada pokoknya, sebagai penderitaan yang dialami oleh jiwa yang tidak dapat menemukan kebermaknaannya… Sekitar sepertiga dari seluruh kasus yang saya tangani bukanlah penderitaan karena neurosis yang dapat didefinisikan secara klinis melainkan karena tiadanya arah dan rasa bermakna akan kehidupan yang dijalani.

Lalu juga pemikiran Viktor Frankl, Salvatore Maddi, Benjamin Wolman, dan Nicholas Hobbs, dikutip Yalom demi usahanya untuk menegaskan bahwa permasalahan mengenai makna dalam kehidupan merupakan pemasalahan signifikan yang mesti bakal sering dihadapi oleh para terapis.

Pada akhirnya, di awal chapter tersebut, Yalom memaparkan dua proposisi yang menghasilkan sebuah dilema yang kemudian menelurkan masalah tentang kebermaknaan hidup.

  1. Manusia sepertinya memang membutuhkan kebermaknaan. Sebagaimana yang telah sedikit dipaparkan, hidup tanpa makna, tujuan, nilai, atau sesuatu yang dianggap ideal, sepertinya selalu memicu distres yang cukup signifikan. Bentuk parahnya adalah keputusan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri. Bercermin dari cerita kehidupan Frankl dalam camp konsentrasi Nazi, individu yang menghadapi kematian sepertinya dapat menjalani hidupnya dengan “lebih baik” dan lebih “penuh”, bila ia memiliki rasa akan adanya tujuan (sense of purpose) dalam hidupnya. Kita, agaknya, memang membutuhkan suatu keadaan ideal yang absolut yang dapat kita jadikan sebagai patokan untuk menuntun kehidupan kita.
  2. Namun konsep eksistensial tentang kebebasan menyatakan bahwa satu-satunya kebenaran absolut adalah bahwa tidak ada yang benar-benar absolut. Suatu keadaan eksistensial bahwa dunia ini bersifat contingent, cair, di mana segala sesuatunya bisa saja berlaku kebalikannya, di mana manusia berusaha mengadakan dirinya, duni yang dihayatinya, dan situasi yang dihadapinya di dalam dunia (yang contingent) itu, di mana tiada “makna” dari sono-nya, tiada pedoman tertentu untuk menjalani kehidupan selain yang diciptakan oleh individu itu sendiri.

The problem, then, in most rudimentary form is, How does a being who needs meaning find meaning in a universe that has no meaning?” Bagaimanakah suatu mahluk (being) yang membutuhkan adanya makna akan menemukan makna di dalam semesta yang tidak bermakna?

Begitulah, pertanyaan itu menguak, mengawali uraian panjang Yalom tentang Makna Hidup…

[bersambung...]

Jogjakarta, 15 Oktober 2016

Evolusi Kayak Arus Deras - Menulis Kembali Tulisan EJ



 image: http://jacksonkayak.com

Eric Jackson, di http://ej.jacksonkayak.com/2014/11/the-evolution-of-the-river-running-and-creeking-kayak/, menulis artikel mengenai evolusi kayak arus deras. Kecuali kamu adalah penggiat kayaking arus deras, tulisan itu (dan tulisan ini juga) mungkin tidak akan cukup menarik untuk dibaca. Bahkan mungkin seandainya kamu pun adalah penggiat kayaking arus deras, belum tentu juga membaca adalah sesuatu yang cukup nikmat buatmu. Tetapi biarlah saya menulis tentang ini, sekedar untuk memaksa saya memahami tulisan EJ tersebut, dan siapa tahu juga mungkin bisa membuat saya menemukan hal-hal baru untuk dipelajari mengenai kayaking itu sendiri. Sekalian mengisi blog ini juga. :)

Konon, tulis Mr EJ…

[]

(bagian ini adalah terjemahan bebas saya terhadap bagian pertama dari artikel yang ditulis EJ, artikel lama yang katanya ditulisnya pada sekitaran tahun 2003 atau 2004)

Pada mulanya, tidak ada yang namanya kayak arus deras.

Semua kayak pada zaman dahulu dibuat untuk digunakan di laut dan perairan lepas oleh orang-orang Eskimo. Perahu yang “tidak dapat tenggelam” karena memungkinkan untuk di-roll (roll: teknik untuk membalikkan kembali kayak yang terbalik tanpa si pendayung keluar dari kayak) itu telah ditemukan keberadaannya di Eropa, Amerika Utara, dan –saat ini—hampir di mana saja.

Kemudian, seseorang –entah siapa—menemukan ide cemerlang bahwa perahu tersebut ternyata dapat juga digunakan untuk mengarungi sungai berarus deras. Pada masa itu, tentu saja kegunaan utamanya lebih sebagai transportasi daripada sekedar rekreasi. Kayak yang aslinya digunakan di perairan lepas ini pun kemudian menjadi banyak pula digunakan di perairan daratan (sungai) di berbagai belahan dunia.

Evolusi pertama yang dialami kayak dalam prosesnya menjadi kayak arus deras adalah hilangnya keel (semacam sirip pada bagian bawah kayak), yang aslinya ada karena dirancang untuk mempertahankan lintasan lurusnya, sehingga menjadi lebih mudah dibelokkan. Kemudian, kayak juga menjadi lebih pendek, hal yang juga membuatnya lebih mudah untuk manuver (berbelok-belok) dan mengarungi sungai.

Fenomena menarik lainnya yang kemudian muncul adalah saat ini kayak lebih banyak digunakan untuk rekreasi. Rekreasi yang dimaksud di sini adalah aktivitas yang “menyenangkan”. Balapan, misalnya, sesungguhnya juga merupakan aktivitas yang dilakukan karena menyenangkan. Maka para kayaker slalom dan downriver racer kemudian menjadi penggerak utama proses evolusi kayaking. Faktanya, kejuaraan dunia slalom yang pertama diadakan pada 1949 (sementara kejuaraan rodeo pertama baru pada 1991).

Kayak kemudian dibuat menjadi lebih pendek lagi (dibanding bentuk asalnya) untuk digunakan dalam balapan slalom. Terdapat aturan mengenai panjang minimum kayak untuk balapan, yaitu sekitar 4 meter, yang berlaku pada waktu itu. Hampir semua kayak rekreasional yang ada waktu itu mirip dengan kayak slalom, jika bukan memang adalah kayak slalom, dengan panjang sekitar 4 meter.

“Lalu dimana para playboater?” Bertanya demikian seperti bertanya kepada para Mamut perihal keberadaan Gajah Afrika. Mereka belum ada sama sekali. Hampir semua kayaker jago pada waktu itu adalah para kayaker slalom. Merekalah kayaker terbaik. Jika ada gerakan yang kayaker slalom saja tidak bisa melakukannya, berarti hal itu memang tidak bisa dilakukan.

Kemudian di akhir tahun 1970-an, para kayaker mulai berusaha menggebrak batasan olahraga tersebut dengan mengarungi sungai-sungai yang lebih sulit sehingga menimbulkan dorongan untuk berevolusi lebih jauh lagi. Mereka-mereka ini kemudian menyadari bahwa dengan membuat kayak lebih pendek akan menjadikannya lebih mudah dikendalikan ketika mengarungi sungai.

Evolusi berlagsung lagi. Para kayaker mulai merancang kayak yang panjangnya di bawah standar kayak slalom. Terjadilah sesuatu yang luar biasa. Mereka menyadari bahwa dengan kayak yang lebih pendek, bukan hanya mereka dapat mengarungi sungai dengan lebih baik, tetapi juga bisa berselancar di ombaknya, melakukan ender (berada dalam posisi vertikal dengan tumpuan bagian depan ataupun belakang kayak), bahkan dapat pula melakukan cartwheel (melakukan gerakan seperti baling-baling vertikal dengan kayak) dengan lebih mudah. Menyenangkan, sangat menyenangkan, super menyenangkan.

Pada 1984, seorang bernama Jan Kelner dari Augsburg Jerman menghampiri saya (Saya = Erik Jackson) di Jerman dan membicarakan mengenai playboating. Ia berkata pernah mendengar selentingan tentang itu dan mengetahui bahwa saya sebenarnya adalah lebih merupakan seorang playboater dibanding kayaker slalom. Saya pun meminjam kayaknya lalu melakukan ender, pirouette (ender yang ditambahi gerakan berputar 180 - 360 derajat sambil mempertahankan posisi vertikal), hand surfing, dan lain-lain di sebuah hole (arus sungai yang bersirkulasi di tempat). Ia terlihat sangat kagum dan memutuskan bahwa kayaking seperti inilah yang diinginkannya. 13 tahun kemudian ia berdiri sebagai pemenang dalam kejuaraan rodeo pertama di Inggris.

Pada akhir 1980-an, istilah playboat pun menjadi populer. Tentu saja, slalom waktu itu masih dominan, sementara rodeo masih merupakan sesuatu untuk masa datang. Meski begitu, mereka yang merancang kayak dan berpikir bahwa sisi menyenangkan dari kayaking dapat ditingkatkan dengan membuat kayak yang lebih mudah dimainkan dan lebih mudah digunakan untuk mengarungi sungai, dibanding menciptakan kayak yang sekedar dapat meluncur cepat di lintasan slalom, memiliki kekuatan tersendiri. Sebagian besar evolusi playboating terjadi dalam satu dekade saja (1990-an).

Pada 1990-an, kebanyakan kayak yang ada sudah memiliki panjang yang berkurang separuh dari panjang aslinya. Dengan semakin pendek, tentunya, kayak dapat mengarungi sungai lebih baik dan dapat dimainkan dengan lebih baik pula. Rodeo kayaking mengambil alih popularitas slalom kayaking di sungai-sungi di Amerika Utara pada 1995, dan di Eropa pada 1997.

Pada 1998, X (mungkin tipe atau merek kayak tertentu-- entah) memasuki pasar. Perahu ini merupakan puncak dari evolusi river running dan playboating. X dan Z mewakili langkah terakhir dalam kurun 80 tahun evolusi kayak arus deras yang meningkatkan kualitas river running dan playboating kayak. Generasi kayak selanjutnya lebih banyak merupakan “permekaran” atau “percabangan” dari proses evolusi ini. Kayak-kayak yang ada biasanya merupakan playboat yang baik, namun bukan river runner yang baik, atau sebaliknya. Kayak kemudian menjadi lebih terspesialisasi.

Mayoritas kayaker yang ada waktu itu memiliki kecenderungan untuk meningkatkan keahlian playboating mereka, sehingga jenis perahu yang “slicey” (mudah digunakan untuk "mengiris" permukaan air sehingga ujung depat atau belakangnya dapat masuk ke dalam air) ini kemudian menjadi yang paling populer di anatara yang lain. Orang-orang rela kehilangan kemampuan river running sebuah kayak demi memperoleh kemampuan playing yang lebih baik. Kayak jenis ini (playboat) masih merupakan yang paling populer hingga saat ini.

Namun demikian, kayak jenis baru membawa elemen river running kembali ke dalam playboat. Kita menyebutnya “bobbyboat, karena ketiadaan istilah yang lebih baik. Suatu kayak yang pendek dan gemuk yang merupakan pilihan terbaik untuk –apakah itu—mengarungi sungai tanpa terbolak-balik maupun bermain di suatu playspot.

[]

(selanjutnya, merupakan rangkuman saya terhadap artikel bagian kedua EJ yang merupakan usahanya menggambarkan evolusi kayak arus deras pasca 2003 hingga 2014)
Bahwa setiap langkah dalam perjalanan evolusi kayak terjadi karena dorongan untuk meningkatkan “fun factor” dari kayaking, simpul EJ. Dari moda transportasi orang-orang Eskimo untuk berburu di perairan lepas, dibawa ke moda transportasi mengarungi sungai berarus deras, lalu berevolusi menjadi kayak untuk perlombaan slalom dari sejak 1940-an akhir hingga 1970-an, kemudian bergeser ke arah playboating (rodeo) dan river running sejak 1970-an sampai mencapai puncaknya pada akhir era 1990-an hingga 2000-an awal. Untuk apapun itu, menurut EJ, baik slalom, playboating, maupun river running, elemen “fun” merupakan faktor pertimbangan utama yang menggerakkan evolusi kayak.

Bila kebanyakan kayak pada mulanya memang dirancang untuk bisa meluncur cepat dalam lintasan yang relatif lurus, perkembangannya kemudian membawa kayak ke arah manuverabilitas (untuk river running maupun playboating) yang membuat bentuknya menjadi lebih pendek dengan bagian bawah (hull) yang relatif lebih mulus bahkan cenderung agak rata (dibandingkan bentuk asal kayak).

Kemudian, berdasarkan apa yang diutarakan oleh EJ, sejak 2003 atau 2004 hingga 2014, kayak yang paling populer di AS adalah kayak untuk bermain (apakah river running playboat atau full playboat). Namun, lanjutnya, sejak 2014, terlihat ada kecenderungan pada para kayaker di AS untuk memiliki dan memainkan kayak yang lebih panjang lagi. Cukup banyak dari mereka yang kembali menggunakan kayak model lama yang bentuknya panjang (creek boat maupun long boat) untuk memperoleh kemampuan meluncur lebih cepat di sungai (hal yang tidak dapat diperoleh dengan kayak tipe play). Hal kemudian ini juga dipengaruhi oleh diselenggarakannya Green River Race secara tahunan, di mana para kayaker berlomba di jeram-jeram kelas IV – V di sungai Green menggunakan kayak panjang (long boat). Saat ini, beberapa produsen kayak pun mulai mempoduksi kayak panjang semacam itu (misalnya Green Boat dari Dagger, Stinger dari Liquid Logic, dan Karma Unlimited dari Jackson).

What was old, became new again. It was an underground type of movement that just happened and it became cool to have a boat that nobody wanted any more,” tulis EJ melihat adanya kecenderungan trend menggunakan kayak panjang tersebut. Kecenderungan ini pun mulai terlihat pula pada desain creek boat yang menjadi lebih panjang daripada biasanya dulu, yang mencerminkan keinginan para kayaker untuk dapat meluncur dengan kecepatan lagi. Ini, menurut EJ, merupakan langkah evolusi lanjutan dari bentuk kayak di mana elemen kecepatan kembali dimasukkan ke dalam rancangan bentuk kayak dengan tetap meningkatkan kemudahannya (secara relatif) untuk cukup mampu bermanuver keluar dari arus utama sungai ketika diperlukan.

Semetra itu, pada sisi playboat, evolusi juga terus berlangsung sejak 2004 hingga kini. Playboat dirancang untuk lebih baik dalam melakukan big loop*, lebih mudah untuk mencapai kecepatan yang diperlukan dalam berselancar di ombak, dan juga lebih mudah untuk melakukan berbagai trik. Meskipun tidak seradikal evolusi sebelumnya, di mana panjang kayak semakin menyusut drastis, namun jejak-jejak evolusi tersebut dapat terlihat pada komposisi material dan rancangan pembuatannya. Playboat untuk kompetisi kemudian dibuat dengan mengurangi bobotnya sembari membuatnya lebih kaku untuk semakin meningkatkan responsivitas.

[]

Dalam usahanya untuk mengemas tulisannya dalam sebuah kesimpulan, Eric Jackson menulis:

“So- wrapping this all up, besides hoping to help give a better perspective on where we were, where we are, and where we might go, I’ll leave you with the concept that [it] is important to not consider what you know to be fact, as what you know is based on a snapshot in time, most likely, and without the entire picture, that snapshot isn’t accurate.

Secara pribadi, saya suka sekali dengan pandangan tersebut. Bukan hanya dalam hal sejarah ataupun berbagai pengetahuan tentang kayak, namun “adalah sesuatu yang penting untuk menyadari bahwa apa yang engkau ketahui sebaiknya tidak engkau anggap sebagai fakta, karena apa yang engkau ketahui adalah sesuatu yang berdasar pada penggalan-penggalan momen tertentu dalam waktu, yang sangat mungkin, terutama bila tanpa keutuhan gambaran, untuk menjadi pengetahuan yang tidak akurat” sepertinya merupakan prinsip umum dalam setiap usaha kita dalam membangun pengetahuan dan kebijaksanaan dalam mengetahui sesuatu—apapun itu.

I prefer to think with an open mind, and think of your kayaking as your own invention, with your own set of rules,” lanjutnya. Dan bila mengingat-ingat kembali perjalanan yang pernah saya lalui untuk belajar kayaking, kutipan tersebut sepertinya sangat familiar.

Jogjakarta, 12 Oktober 2016
-----------------------------