Pages - Menu

Panta-Rhei - Tentang Kepemimpinan



Siapakah Douglas Anderson?

Aku pun sama sekali tidak mengenalnya, tak tahu dia itu siapa, orang mana, pekerjaannya apa, agamanya apa, atau apapun saja tentang dirinya selain mungkin sekedar namanya dan secuil pemikirannya yang termuat dalam sebuah buku elektronik terbitan Routledge tahun 2007 berjudul Philosophy, Risk, and Adventure Sports susunan Mike J. McNamee. Di situ dia menulis salah satu chapter berjudul Reading Water – Risk, intuition, and insight (hal. 71-79).

Argumen utama tulisannya itu, sebagaimana yang kupahami, adalah bahwa terdapat kesamaan mendasar antara berfilsafat dan membaca arus (reading water). Para filsuf yang berfilsafat maupun para peselancar atau para pendayung arus deras ekstrim yang membaca arus air, menurut Mr Anderson (dengan cukup banyak mengacu pada pemikiran Henri Bergson dan William James) ini, sesungguhnya sedang melakukan aktivitas yang initinya sama saja, yaitu berusaha menyatu dengan alam atau berusaha mempersepsi alam dari perspektif alam itu sendiri.

Pada permulaan chapter-nya, Mr Anderson, mengutip Henri Bergson, menulis bahwa: “the philosopher neither obeys nor commands; he seeks to be at one with nature, (hal. 71)” yang pada akhir paragraf yang sama kemudian ia lengkapi dengan argumen bahwa “[the] affinity between philosophical practice and reading water is ... both the surfer and paddler engage in a perceptual endeavor akin to what Bergson requires of the philosopher. (hal. 71)”

Pada paragraf selanjutnya, dengan mengacu pada pandangan Henri Bergson dan William James, Mr Anderson ini juga mengungkapkan bahwa:

... perception is not the externalized act of receiving sense impressions so often described by the tradition of British empiricism. It is rather an ability to be with things in the world in such a way that one comes to see the world from their perspective. It is in this sense that the perceiver becomes one with its object.” (hal. 71)

Kemudian, setelah cukup lama mencoba memahami maksud argumen-argumen tersebut, sebuah pertanyaan terpantik dalam benakku: Apakah itu berarti bahwa pada dasarnya kita ini terpisah dari alam, sebab jika tidak mengapa mesti perlu usaha semacam itu untuk sekedar menyatu dengan alam?

Mungkin iya, bisa jadi juga sebenarnya tidak. (Sebuah jawaban yang penuh keraguan, mungkin. Tapi, begitulah. Setiap jawaban terhadap suatu pertanyaan bisa jadi memang akan selalu bersifat tentatif, terutama bagi mereka yang mencari kebenaran.)

Mungkin sebenarnya tidak, tapi setelah sekian lama hidup di dunia ini kita lalu menyadari bahwa kita ini mampu berpikir (suatu kemampuan yang kita pikir merupakan “kelebihan” kita dibanding yang lain), dan kita kemudian jadi merasa berposisi “lebih tinggi” daripada alam semesta, dalam artian bahwa kita sepertinya ada untuk menaklukkan alam ini, kita merasa mampu dan berhak mengatur-atur alam, berhak memanfaatkannya, berhak mengeksploitasinya, bahkan berhak menginjak-injaknya sesuka kita. Kesombongan macam inilah mungkin yang membuat kita jadi terpisah dari alam. Sok-sok jadi pemimpin alam, tapi dengan semena-mena.

Padahal, dalam banyak literatur yang membahas tentang kepemimpinan pun, sesungguhnya telah diutarakan bahwa dalam suatu proses kepemimpinan itu harus ada yang bersedia dipimpin dan ada yang rela memimpin. Pemimpin tidak mengangkat dirinya menjadi pemimpin. Pemimpin adalah yang diangkat oleh mereka-mereka yang bersedia dipimpin. Tidak ada kepemimpinan tanpa keterpimpinan.

Kepemimpinan, hak untuk memimpin, hak untuk berkuasa, adalah sesuatu yang diperoleh karena diberikan oleh mereka-mereka yang bersedia dipimpin, bersedia dikuasai, karena mereka sudah benar-benar merasa bahwa yang diberi hak itu “pantas” mengembannya dan diyakini akan menggunakannya demi kemaslahatan bersama yang dipimpinnya.

Jadi, sepertinya, dalam masyarakat yang dewasa seharusnya tidak ada yang mau jadi pemimpin. Kalau pun akhirnya ada yang memimpin, itu karena masyarakat sebagai suatu kesatuan utuh itu merasa perlu akan adanya pemimpin sehingga kemudian mendaulat salah satu bagiannya sebagai pemimpin sehingga jadilah ia pemimpin.

Jadi, mungkin kita ini sebenarnya tidak berhak memimpin alam, kecuali bila alam bersedia dipimpin oleh kita dan mendaulat kita menjadi pemimpin.

Dan bukankah menjadi pemimpin itu sesungguhnya adalah beban berat yang nantinya mesti dipertanggungjawabkan?

“Tapi,” mungkin ada yang kemudian terdengar bertanya, “bagaimana caranya alam bisa menentukan pemimpin, mereka kan tidak bisa berpendapat, tidak bisa mengungkapkan pendapat, tidak punya bahasa, bahkan bisa jadi sebenarnya mereka tidak punya pendapat sama sekali?

“Bisa saja kita menghabiskan beribu-ribu tahun untuk menanyai satu-satu hewan, tetumbuhan, bebatuan, air, udara, dan semua di alam ini tetapi tidak mendapatkan jawaban apa-apa.”

Entah mengapa, bagiku itu terdengar seperti ketidaktahuan kita saja. Semacam kesombongan yang berpadu dengan kebodohan kita. Jangan-jangan kita saja yang berpikir bahwa alam ini tidak punya metode untuk mengungkapkan pendapat, padahal sebenarnya itu hanyalah ketidaktahuan dan ketidakpekaan kita. Jika saja kita bersedia merendahkan hati, melatih kepekaan, bersedia mendengarkan isyarat-isyarat itu, alam sepertinya punya banyak hal yang ingin diungkapkannya pada kita.

Dan kembali ke tulisan Mr Anderson itu, bukankah berfilsafat sesungguhnya adalah usaha untuk mempersepsi alam dari perspektif alam itu sendiri untuk memperoleh insight? Seperti membaca arus air untuk memperoleh persepsi yang presisi maka kita mesti berusaha “menjadi air” sehingga kita akan dapat mengalir bersamanya.

Bagi kebanyakan orang, mungkin akan terlihat seolah-olah peselancar atau pendayung itu menunggangi air, tetapi ia sesungguhnya mengalir bersamanya dalam harmoni.

Pada bagian lain, Mr Anderson, mengutip Weaver T., menulis bahwa:

the wave is something you try to flow with, rather than something on which you try to stamp your personality, it’s about style, it’s a dance ... it’s about not fighting the wave, it’s about letting the wave ride you.” (hal. 75)

Bukankah ‘letting the wave ride you’ bisa berarti ‘membiarkan sang ombak memandumu dalam usahamu untuk menungganginya’? Bagi kebanyakan orang, itu bisa jadi akan terlihat seperti engkau menaklukkan ombak itu padahal yang terjadi sesungguhnya adalah engkau dan ombak berada dalam harmoni, seperti sedang berdansa (‘… it’s a dance …’), dan dengan seizin sang ombak engkau pun memperoleh hak untuk menungganginya.


Yogyakarta, 29 September 2016

Kehidupan - Hidupku, Hidupmu, Hidup Mereka

Kita mungkin pernah berkata, “ini hidupku, dan aku akan melakukan apa saja yang kumau dengan hidupku.” Kita mengatakannya seolah-olah ‘hidupku’ dan ‘hidupmu’ dan ‘hidup orang-orang lain’ atau ‘hidup makhluk-makhluk lainnya’ itu berada saling terpisah-pisah satu sama lain.

Tetapi betulkah itu? Bisakah pemikiran itu dipertanggungjawabkan?

Bukankah setiap yang kita lakukan dalam ‘hidup kita’ senantiasa berimbas pada ‘hidup’ yang lain? Bukankah kehidupan ini sesungguhnya lebih merupakan sesuatu yang saling terhubung dan saling memengaruhi satu sama lain?

Kehidupan, sepertinya, lebih seperti sesuatu yang sifatnya kontinyu dan utuh ketimbang diskrit. Kita saja yang mungkin terlalu pede dan merasa superior dibanding kehidupan sehingga berani-berani mengklaim sesuatu sebagai milik kita padahal sesungguhnya bukan. Kita saja yang dengan sewenang-wenang memotong-motong dan memecah-belah keutuhan kehidupan, padahal kita sesungguhnya tidak punya hak untuk itu.

Kehidupan bukan sesuatu yang kita miliki yang dengan demikian boleh dengan sesuka hati kita apakan saja. Justru kita inilah yang sebenarnya adalah bagian-bagian kecil dari kehidupan. Kehidupan itu lebih besar daripada kita, lebih tinggi posisinya, lebih berhak atas diri kita.

Kitalah yang meninggalkan kehidupan ketika kita ‘mati’, bukan sebaliknya.

Namun, mungkin karena bodohnya kita, kita malah berusaha menguasainya, ingin sekali memilikinya. Padahal itu malah membuat kita jauh dari kehidupan, terasing darinya. Namun semakin kita terasing, semakin kita berusaha lebih keras untuk memilikinya, dan sayangnya itu justru akan membuat kita semakin jauh dari kehidupan.

Itukah yang sedang kita perjuangkan sekarang, untuk memiliki dan menguasai kehidupan agar kita merasa ‘lebih hidup’?

[]

Kehidupan menampung bebatuan, tanah, air, udara, para serangga, rerumput, pepohon, jejamuran, para hewan… dan juga dengan rendah hati bersedia menampung kita. Ia mencintai semua itu sehingga bersedia merendahkan dirinya untuk kita jadikan tempat melangsungkan hidup.

Sementara kita bilang ‘mencintainya’ namun yang kita maksud ‘cinta’ itu ternyata keserakahan dan keegoisan kita saja.

Kita berusaha menaklukkannya, untuk menguasainya, untuk memilikinya, bukannya berusaha menyelaraskan diri dengannya, mengalir bersamanya, di dalam cinta yang sejati.

[]

Kita dibekali akal, tetapi kita tidak benar-benar menggunakannya dengan baik.

Kita menciptakan teori, bahwa poin keberadaan kita di sini adalah untuk bertahan hidup, untuk memperebutkan hak atas kehidupan, dan dengan demikian kita mesti berusaha meminimalisasi ‘para pesaing’ untuk mengklaim hak atas sumber daya hidup. Lalu apa yang pada mulanya kita sebut ‘bertahan’ hidup berubah menjadi ‘menyerang’ hidup yang lain.

Kita sepertinya terlalu takut pada bayang-bayang kematian. Di sisi lain kita terlanjur keliru merumuskan kehidupan.

Dan meskipun begitu, dengan segala usaha untuk menguasai sumber daya itu, kita tetap tak bisa mengelak dari waktu yang pada akhirnya akan mengantarkan kematian yang selalu kita hindari itu untuk datang menjemput kita.

Pada titik ini, teori itu mencoba menenangkan kita, bahwa kehidupan kita akan diteruskan oleh keturunan-keturunan kita.

Tetapi, apakah yang nantinya tersisa di dunia yang akan kita tinggalkan ini bagi keturunan-keturunan kita itu?


Yogyakarta, 28 September 2016

Hujan Pada Suatu Ketika

Aku adalah tetes hujan yang jatuh dari langit
pecah berhamburan membasuh bebatuan
menghayati beribu-ribu kemungkinan
warna-warni derai cahaya pelangi yang semu
oleh jarak dan sudut pandangmu
terhadap fenomena pelangi dan keindahan
terhadap asal muasal dan tujuan
terhadap hulu dan hilir…

Aku adalah basah yang meresap terserap tanah
yang di dalamnya terkubur kehidupan
yang pernah mati sebagai kenangan yang dilupakan
sebagai harapan yang dicampakkan
namun kemudian tumbuh kembali di rerumputan
yang terselip di sela-sela bebatuan
yang kita tumpuk bersusun-susun
untuk membangun dunia yang tinggi
yang lebih tinggi daripada langit
namun kita lupa menggali yang dalam
yang lebih dalam daripada bumi…

Aku adalah ricik yang terpercik ketika sungai
menjumpai batu yang selalu setia menjaga waktu
di antara keabadian dan kesementaraan
di antara perjumpaan dan perpisahan
di antara kelahiran dan kematian
di antara aku dan engkau
yang mengalir dalam kesadaran semesta
yang di dalamnya manusia
tak lebih dari setitik debu
dan kita hanya tiada
yang seolah saja ada…

Aku adalah keruh yang mengendap
di dasar telaga yang berharap
tenang yang syahdu kan datang menguak rindu
dan menampakkan kesejatian langit
dan bulan dan bintang-bintang
dan siang dan malam
dan aku dan cakrawala pandangku
dan kita semua
tanpa bias-bias maya…

Aku adalah perahu yang tak tahu
ke mana arah di mana tujuan
di lautan yang terdiri dari gelombang
tengadah ke langit dan samar-samar teringat
hujan pada suatu ketika…


Jogja, 5 September 2016