Pages - Menu

Lagu Dari Seberang Jalan

Lagu jelek terlantun dari hotel megah seberang jalan
Melengking melenting mengelinding
Melompat dari balkon ke jalan raya
Seperti tertuduh ingin kabur
Dilindas lalulintas ramai
Ditabrak bunyi klakson dan deru mesin
Terinjak-injak di bawah tapak pejalan kaki trotoar
Ditendang, mungkin sengaja atau tak sengaja
Terlempar lalu terdampar di selokan
Di bawah jalanan
Tikus-tikus mencicit-cicit berlarian kesana kemari
Seperti tak betah, gerah, berusaha mengusir lagu itu
Biar tak mengganggu malam minggu mereka
Yang sesungguhnya sama saja
Lagu itu mengalir di selokan gelap
Tak tahu akan sampai ke mana
Tapi, ia pasti akan tersangkut di suatu tempat
Karena selokan itu mampet
Jogjakarta, 20 Agustus 2016

Batu Sungai

Kalau kau mau tahu waktu
Tanyakan kepada batu
Yang selalu betah berada di situ
Sedangkan sungai seperti terburu-buru
Ingin segera sampai ke hulu
Mungkin karena rindu
Menjadi lautan biru
Sedang batu hanya bisa berharap menjadi debu
Setelah begitu lama menunggu
Engkau duduk di atas perahu
Katamu: betapa cepat waktu berlalu
Aku masih berdiri di atas batu
Menghitung buih, ragu demi ragu
Jogjakarta, 20 Agustus 2016

Bersama Sajak

Aku duduk
ditemani kopi dan rokok
bersama sajak...

(ada rindu yang selalu
memburu)

bersama sajak...

(ada luka yang menganga
membara)

bersama sajak...

(ada hati yang tak mengerti
mencari)

bersama sajak...

(ada dendam yang terpendam
mengancam)

bersama sajak...

(ada desing yang berdenting
melengking)

bersama sajak...

(ada resah yang tak betah
mendesah)

bersama sajak...

(ada risau yang kacau
meracau)

bersama sajak...

(ada hasrat yang tergurat
menggugat)

bersama sajak...

(ada tangis yang tak habis
menggerimis)

bersama sajak...

(ada semesta antara ragu dan percaya,
ada dunia antara maya dan nyata,
melebur-baur menjelma
rasa yang bermakna)


Jogjakarta, 12, 16 Agustus 2016

Menuju Pertemuan

Masihkah kan kujumpai
Bila kutatapi
Ruang tak bertepi
Dalam-dalam melebihi mimpi
Di bawah rinai-rinai
Penantian yang seperti abadi
Rambutmu yang mengurai
Lalu memuai
Helai demi helai
Dunia hitam-putih
Memori
Yang menyimpan semua warna pelangi

(sepanjang perjalananku
berjingkat di sela-sela hujan
dan kubangan-kubangan menggenang
untuk kembali menemuimu
hari itu
kita mencuri waktu
di jeda detak kehidupan yang kita tak tahu)

Jogjakarta, 12 Agustus 2016

Lamunan di Atas Lautan

Apakah yang dirasakan oleh nelayan di atas perahu cadik bertiang layar yang tengah meluncur menuju batas cakrawala dalam temaram cahaya senjakala itu?

Betapa lautan sesungguhnya adalah padang gelombang yang begitu mudahnya membuat apa saja yang mengambang di permukaannya terbuai hingga tanpa sadar telah tenggelam jauh ke dalam dunia lamunan, dunia khayal, dunia angan-angan...

Seperti pandang mataku.

Seperti perahu cadik bertiang layar yang tengah meluncur menuju batas cakrawala dalam temaram cahaya senjakala itu.

Tetapi nelayan itu sepertinya selalu tahu harus ke mana mengarahkan haluan perahunya.

Sedang aku selalu hanya bertanya dalam hati: ke mana?

Sebab perahu cadik bertiang layar itu akan segera menghilang, entah ditelan cakrawala, atau dilahap gelap malam yang sebentar lagi tiba.

Sementara itu, ia hanya akan menjelma siluet hitam di batas cakrawala, di batas antara gelap dan terang yang masih saja remang.



Betapa lautan sesungguhnya adalah padang gelombang yang begitu mudahnya membuat apa saja yang mengambang di permukaannya terombang-ambing.

Aku merasa seperti perahu cadik bertiang layar itu, namun tanpa nelayan di atasnya.
Tak tahu mesti ke mana.
Yang kutahu hanya bagaimana rasanya terombang-ambing oleh gelombang.



Senja menjadi seribu kali lebih rawan di tengah lautan gelombang.
Riak permukaan laut memantulkan senja dalam ribuan kepingan yang begitu menawan bagi perasaan.
Rona-rona langit yang semakin merah ketika matahari akhirnya terbenam ke balik horison
menjadi latar segala yang hanya tinggal siluet hitam.

Duhai hati yang dilanda kerinduan
dan berjuta rasa tanpa nama
tentang dia
Bersabarlah
Malam akan melahap segalanya dalam gelap
yang sunyi


10 Mei
perairan Mal* Tenggara

Dari Lembaran-lembaran Lusuh di Antara Puing: Tentang Terbitnya Mentari Pagi Tadi

image: artsaus.deviantart.com

(...)

[…

dan halaman-halaman selanjutnya sudah tiada lagi. Mungkin memang tak pernah ada. Mungkin juga sebenarnya ada tetapi sudah terlepas dari buku catatan itu dan hilang entah di mana.

Bentuknya bahkan sudah hampir tak layak disebut buku sebab ia hanya lembaran-lembaran kertas yang saling merekat pada salah satu sisinya. Tiada pula sampulnya. Hanya kertas-kertas lusuh dengan goresan-goresan tinta yang di beberapa bagian juga telah luntur mungkin karena cukup lama terhanyut di lautan.

Di sekitar tempat aku menemukan buku catatan tak sempurna itu, ada pula beberapa lembaran kertas berisi tulisan-tulisan yang sepertinya ditulis oleh orang yang sama. Entah apakah itu dulunya adalah bagian dari buku catatan tak sempurna itu atau bukan. Kertas-kertas lusuh itu terserak di antara puing-puing yang mungkin adalah sisa-sisa kapal yang telah hancur entah karena apa.

]

20 Mei, sore

Kapal telah bertolak meninggalkan teluk Kai* menuju Mak*. Senja yang kelabu mengiringi kepergian kami dari tanah pegunungan emas itu. Senja yang ditutupi mendung tebal yang berarak dari balik gunung Takima* menciptakan suasana dramatis, berpadu dengan desau angin dari utara yang membawa tirai-tirai hujan yang terus mendesis di sela-sela debur gelombang menghantam lambung kapal.

Lautan-lautan gelombang memisahkan pulau-pulau nusantara.

Tidak. Lautan lah yang menyatukannya. Seperti lautan gelombang dalam diriku ini. Kan kutiti samudera kerinduan ini hingga aku berlabuh di dermagamu. Nanti, saat kita bertemu, kan kukisahkan tanah-tanah penuh misteri itu padamu.

*

21 Mei, pagi

Kapal tengah berlayar melintasi Laut Ar*. Pagi yang cukup cerah. Kapal sepertinya memang sengaja memilih lintasan yang terhindar dari daerah-daerah berawan tebal yang menurunkan hujan. Dari geladak di atas kapal kulihat gumpalan awan-awan tebal di kejauhan, hampir di segala penjuru. Begitu tebal sampai-sampai sinar matahari tak dapat menembusnya dan warnanya menjadi kelabu gelap. Di bawah gumpalan-gumpalan itu terjuntai tirai-tirai hujan yang muntupi batas cakrawala.

Lima belas menit kemudian, kapal akhirnya tak dapat lagi menghindari wilayah-wilayah gelap itu dan mau tak mau masuk juga ke dunia dalam hujan. Di luar, segala sesuatu pun menjadi kelabu. Apalah yang bisa kukisahkan dari kelabunya dunia itu padamu. Biar kuceritakan tentang bagaimana mentari terbit pagi tadi saja:

Di tempat kapal ini berlayar, langit memang masih cukup cerah. Tetapi jauh di belakang sana, di sebelah timur, mendung berarak pelan di langit. Ada yang membuat perasaanku jadi muram bila menyaksikan mendung itu. Mungkin karena awan-awan hitam tebal itu membuat seolah-olah fajar takkan terbit.

Apalah yang bisa diharapkan dari hari yang tak terlahir sebagai fajar dengan kehangatan sinar mentarinya selain hidup yang kehilangan gairah karena cakrawala memburam muram. Maka aku hanya terus membaringkan tubuh di bilik tidur saja sembari mencoba menemukan sesuatu yang bisa menggugah dari dalam buku-buku yang sudah beberapa kali selesai kubaca.

Lalu ada yang membuka pintu bilik dan masuklah berkas-berkas cahaya keemasan ke dalam ruangan itu. Dari manakah datangnya cahaya itu, tanyaku dalam hati. Maka aku beranjak ke luar untuk mencari tahu.

Di ujung timur sana, matahari rupanya telah menyembul keluar dari balik lautan yang nyaris tanpa gelombang kecuali riak-riak kecil yang memantulkan bayangan langit buram. Meski mendung pekat masih menggantung di hampir seluruh hamparan langit timur dan menjatuhkan hujan yang nampak seperti serat-serat tipis terburai dari gumpalan awan, sinar mentari ternyata mampu menembus serat-serat hujan yang berada di celah antara garis horison dan gumpalan awan mendung itu, membiaskan warna keemasan yang menyebar ke seluruh penjuru cakrawala timur yang seharusnya kelabu karena mendung.

Sementara di sebelah barat, di arah haluan kapal, terlihat langit biru cerah tanpa awan sama sekali.
Cakrawala menjadi kontras, antara cerah dan mendung, antara biru dan jingga. Kunikmati momen kesementaraan yang demikian indah itu dari sisi lambung kanan kapal. Kulahap kedalam segenap ruang-ruang-ruang rindu di hatiku.

Momen itu hanya sempat berlangsung selama beberapa menit saja, sampai mentari naik dan masuk ke dalam mendung. Tinggallah pagi kelabu yang muram kembali. Betapa yang indah-indah itu selalu sementara saja adanya, pikirku. Tak bisakah ia tinggal lebih lama lagi. Sekedar menemaniku yang sedang merindu.

Tetapi lalu, seolah mendengarkan keluhku, matahari menampakkan dirinya lagi di atas mendung. Ia menyinari dunia di atas lautan ini dengan lebih leluasa. Tahukah engkau apa yang dibawanya dari balik mendung?

Pelangi. Lengkung warna-warni cantik yang seolah menyembul dari dalam lautan dan melesat menembus awan putih hingga ke langit biru di sebelah barat sana.

Lalu aku tahu, betapa keindahan itu tidak tinggal pada tempat atau penggal momen tertentu saja, melainkan selalu bergerak bersama proses perubahan-perubahan, mengalir bersama waktu. Oleh sebab itu kah, senja-senja yang berusaha kutangkap dengan kotak penangkap cahaya itu selalu hanya menjadi sekedar gambar tak sempurna sebagai senja?

Tetapi senjaku mungkin memang takkan pernah sempurna tanpamu.

(bersambung...)

Jogjakarta,  4, 6 Agustus 2016

Terbuat Dari Apakah Aku (Kenangan)*?

image: eddiecalz.deviantart.com 
(...)

Aku melangkah.

Terus saja melangkah.

Meninggalkan senja di belakang menuju malam di depan.

Langit yang tadinya menyala merah membara kini sudah semakin redup. Perlahan menjadi segaris tipis berkilau cemerlang dengan bulatan cahaya merah di tengahnya yang lambat laun kian tenggelam ke dalam ketidaksempurnaan dirinya. Lalu yang tersisa kemudian tinggal semburatnya. Di sana, di pojok terjauh langit sebelah barat. Semakin redup dan kian meredup. Seiring dengan memudarnya bayang-bayang di depanku. Seirama gelap yang pelan-pelan merambat naik ke langit dari balik punggung bayang-bayang pegunungan jauh di timur sana. Gelap itu merambat seperti tanaman-tanaman menjalari dinding. Gelap itu menjalari langit. Pelan. Sangat pelan, namun begitu pasti.

Aku berjalan di bawah kelam dihantui kenangan-kenangan hampa. Aku berjalan di dalam malam didampingi dingin hembusan angin. Seperti menyadari keajaiban jika menyadari bahwa jantung ini masih berdetak dan aku masih mengenyam langkah demi langkah sementara yang kuhirup setiap kali bernafas adalah kehampaan yang begitu dingin.

Kupejamkan mata. Kukatupkan bibir. Kututup kedua telinga dengan kedua tangan. Apa bedanya. Toh aku berada dalam kegelapan pekat. Apa yang bisa dilihat. Toh aku berada sendirian. Kepada siapa bisa bicara. Toh aku berada di tengah kesunyian. Apa yang mesti didengarkan.

Hanya jantungku yang masih tetap berdetak seperti memandu irama langkahku. Andai aku bisa, mungkin sudah kuhentikan saja detak itu. Andai aku bisa, mungkin sudah kutiadakan saja diriku. Namun ternyata aku tak bisa. Itu di luar kuasaku. Betapa ‘aku’ ini ternyata tak berada dalam kuasaku.

Apakah ‘aku’ ini?

Sekedar puing yang terombang-ambing di tengah samudera yang begitu luas. Hampir-hampir tiada arti. Tiada gunanya. Bahkan mungkin malah lebih banyak menimbulkan permasalahan yang tidak perlu.

Kenangan-kenangan masih juga berkecamuk dalam jiwaku. Menimbulkan resah yang entah mesti diapakan. Membanjir memenuhi ruang-waktu diriku.

Seperti ‘aku’, kenangan adalah sesuatu yang tak sanggup kuapa-apakan. Terbuat dari apakah kenangan?* Tak terikat ruang, tak tertaut waktu. Kenangan-kenangan selalu saja bisa ada tak peduli kapan, tak peduli di mana. Meski sudah jauh kutinggalkan kota itu di belakang langkah-langkahku. Tak peduli berapa lama sudah engkau pergi, entah ke mana, memisahkan kita, meninggalkan aku dan engkau dalam kesendirian masing-masing.

Aku dan kenangan seperti dua hal yang terlanjur melekat satu dengan yang lain. Dua hal yang terlanjur menyatu. Tak bisa ada yang satu tanpa ada yang lain. Tak bisa hilang yang satu tanpa hilang yang lain.

Oh, lalu demi apa aku melangkah sejauh ini, dan bahkan masih saja terus melangkah? Seolah langkah-langkah ini bukan langkah yang kugerakkan. Seolah hidup ini bukan hidup yang kumiliki.

Apa pula kehidupan itu? Pantaskah aku mengatakan bahwa ini hidupku, itu hidupmu, hidupku dan hidupmu berbeda? Apakah kehidupan itu dimiliki oleh masing-masing aku (dalam kita), ataukah masing-masing aku (dalam kita) yang justru berada dalam kehidupan yang sesungguhnya merupakan suatu kontinum semesta yang utuh?

*

Ada pertanyaan-pertanyaan yang seolah memang ditakdirkan untuk selamanya menjadi pertanyaan. Tak peduli seberapa banyak buku yang telah engkau baca. Tak peduli seberapa banyak peristiwa yang sudah engkau alami. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan selalu menggantung di sana. Di atas sana. Menaungimu sepanjang jatah waktu kehidupan bagimu. Menelurkan beribu-ribu kemungkinan jawaban yang mau tak mau mesti engkau terima sebagai jawaban sementara yang menuntunmu berada lebih dekat dengan kebenaran. Terkadang biru, kadang kelabu, lain waktu merah keemasan, atau bahkan hitam. Seperti langit dalam cakrawala pandangmu. Seperti horison di sebelah barat, timur, utara, selatan, atau di antara itu.

Mungkin itu baru kemarin. Atau sudah bertahun-tahun yang lalu. Seperti sudah kukatakan padamu, aku dan kenangan-kenangan seolah-olah telah terlepas dari waktu, terbebas dari ruang. Aku mengembara. Aku tetap di sini. Hampir-hampir tak ada lagi bedanya. Namun aku memang masih terus menempuh perjalanan. Tiada alasan. Tanpa tujuan pasti. Aku hanya merasa bahwa hidup bagiku adalah untuk terus melangkah. Dari mana. Ke mana. Nantinya sama saja.

Yang kubawa selalu rindu. Beserta baying-bayang dirimu. Juga senja yang ternyata memang tak pernah sama. Dalam wujud potret-potret tak sempurna. Sekedar untuk menghiburku di kala resah datang bersama hujan yang basah.

Aku telah berlayar ke penjuru negeri. Membawa serta sebuah kotak ajaib untuk menangkap cahaya. Kutangkap cahaya setiap senja yang berlalu, lalu kucetak seukuran kartu pos. Dan akan kutuliskan puisi di baliknya. Nanti, bila kapal ini bersandar di pelabuhan dekat kota, akan kusempatkan mengirimkannya lewat pos.

(bersambung...)

Jogjakarta, 2 Agustus 2016
----------
*) dari cerpen Kyoto Monogatari oleh Seno Gumira Ajidarma

Puing-puing dalam Kecamuk Badai Rindu di Tengah Samudera Kenangan

 image: alexlinde.deviantart.com


(...)

Lalu kenangan-kenangan itu menjelma lautan. Hampir-hampir aku tenggelam digulung gelombang. Gelombang-gelombang rindu yang berkecamuk dalam badai kesunyian. Sunyi yang begitu dingin hingga segalanya membeku diam. Sunyi yang dingin hingga terasa begitu menusuk-nusuk jiwaku.

Mungkinkah aku sudah gila. Betapa segala-galanya telah menjadi tak masuk akal. Apakah ini adalah samudera ketidakwarasan di mana segalanya telah menjadi puing-puing berserakan yang terombang-ambing oleh ketidakpastian?

Tetapi ketidakpastian adalah sisi lain dari kepingan bernama kemungkinan tak terbatas. Bila segalanya adalah kepastian, maka tak perlu ada kemungkinan, bukan? Bila segalanya pasti, takkan perlu ada yang namanya harapan. Apa gunanya berharap bila segala sesuatu sudah pasti adanya?

Maka seburuk-buruknya, paling tidak aku masih bisa berharap. Meski aku hanyalah puing-puing terserak di samudera sedangkan orang-orang kebanyakan telah menjelma perahu dan kapal-kapal raksasa. Meski aku hanyalah keping-keping tak jelas, tak utuh, tak punya tujuan yang terseok-seok di antara gelombang, terhuyung-huyung digilas arus. Siapa yang tahu apa di balik horison itu? Yang ada hanya harap.

*

Rindu yang tak kupahami telah menjelma amuk gelombang di permukaan samudera kenangan. Senja masih bergayut merah namun hampa. Bayang-bayangnya terpantul-pantul di permukaan gelombang, membuat samudera kenangan menjadi samudera kehampaan yang terasa seribu kali lebih hampa.

Langit yang biasanya selalu memancarkan harapan kini hanya menyisakan harapan kosong.

Namun aku hanya puing. Apakah yang bisa diharapkan dari puing selain agar ia tidak mengganggu ketertiban dunia. Tak penting adanya. Lebih baik tiadanya. Namun tetap saja ia ada. Lebih mudah mengabaikannya. Biar gelombang-gelombang yang mengurusinya.

Apalah yang mampu dilakukan puing selain membiarkan dirinya terbawa arus dan gelombang lautan entah ke mana.

*

Kehidupan adalah perjalanan meniti samudera kenangan menuju ufuk langit harapan. Dari mana ia bermula, di mana ia berakhir, selalu hanya akan menjadi misteri tak terjawab. Apakah Aku ini bermula dari kelahiran jasadku, atau sebelum itu, atau setelah itu? Yang kutahu, tiba-tiba saja Aku berada di sini. Apakah Aku akan berakhir di saat kematianku, atau sebelum itu, atau setelah itu?

*

Aku berjalan di luar rel. Terseok-seok tersandung-sandung kerikil-kerikil. Aku berjalan ke arah timur, meski tak tahu timur itu di mana. Maka sesungguhnya tak pasti tujuanku.
Aku hanya berjalan saja.
Untuk meninggalkan kota itu, dan selaksa kenangan yang mengambang di udaranya, di sudut-sudut dan lorong-lorong antara bangunan-bangunannya. Untuk meninggalkan senja yang menggantung merah di langitnya

Samudera dalam diriku masih terus bergejolak. Gelombang-gelombang menghempas-hempaskan kenangan-kenangan ke dinding-dinding hatiku. Di manakah kedamaian saat aku membutuhkannya?

Andai aku adalah sosok dalam sajak itu*:

aku berjalan ke timur waktu senja meninggalkan matahari di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang kian memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

betapa damai perjalanannya.

(bersambung...)

Jogjakarta, 31 Juli - 1 Agustus 2016
----------
*) modifikasi dari sajak berjudul 'Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari' dalam Hujan Bulan Juni - Sepilihan Sajak oleh Sapardi Djoko Damono