Pages - Menu

Dicampakkan Waktu di Tepi Telaga Kenangan

image: andreasrocha.deviantart.com

(...)

Aku kehilangan jejak waktu. Di antara semua hal di dunia ini, mungkin waktu adalah yang paling absurd. Atau mungkin aku lah yang terlalu dangkal memahaminya.

Jika menyaksikan senja, akan begitu terasa bagaimana waktu ternyata memang benar-benar bergulir dan terus-menerus bergulir. Seberapa pun engkau menginginkan agar senja itu tetap tinggal di langit, waktu akan selalu menunjukkan betapa berkuasanya ia. Menyaksikan senja adalah menyaksikan bagaimana waktu menarik matahari merah yang sedang demikian membaranya dari balik garis cakrawala, dengan tangannya yang tak terlihat, memaksa bulatan merah cemerlang itu terbenam perlahan-lahan ke balik horison. Lalu gelap merambat menutupi terang dan malam datang menggantikan siang.

Semesta ini hampa. Semesta hanya ketiadaan yang benar-benar kosong. Begitulah, hingga waktu mengisinya dengan segala sesuatu yang kini ada. Bintang-bintang, planet-planet, debu, kerikil, serta bongkahan-bongkahan batuan kosmik, atom, hingga partikel-partikel sub-atomik. Segalanya bergerak, saling mengitari satu dengan yang lain, atau paling tidak mengitari dirinya sendiri. Segalanya harus bergerak untuk tetap mengada di semesta ini, jika tidak maka akan runtuh ia ke dalam dirinya sendiri, lalu hilang menjadi hampa yang tiada. Bahkan lubang hitam yang katanya berisi ketiadaan pun berputar.

Waktu lah yang bertanggung jawab menggerakkan segala sesuatu untuk menjaganya tetap ada. Ia meniti cahaya untuk menjangkau seluruh ruang dalam semesta sehingga ia bisa berada di mana saja dan kapan saja. Menjelma tangan yang seperti tiba-tiba saja sudah terulur dari jendela dan mencengkeram leher bajumu.

Begitulah Sapardi* menggambarkan waktu. Sebagai tangan yang selalu tiba-tiba saja terulur entah dari mana dan mencengkeram leher bajumu lalu kemudian menyeretmu maju. Waktu selalu memaksa kita untuk bergerak maju beranjak melanjutkan perjalanan kehidupan, meskipun entah apakah kita tahu mesti ke mana menuju atau tidak. Seperti itulah hidup kita ini, diseret-seret oleh tangan waktu tanpa pasti tahu ke mana.

Tetapi mengapa aku malah terhenti di sini, di tepi telaga kenangan-kenangan, sedang jalan masih panjang terbentang seakan-akan tanpa ujung. Mungkinkah waktu sudah melupakanku. Mungkinkah ia akhirnya sudah lelah dan memutuskan untuk melepaskan saja cengkeramannya di leherku, mencampakkanku di sini bersama bayang-bayang di telaga kenanganku.

Mengapa mesti tergesa-gesa, pikirku. Toh belum jelas juga hidup ini mesti ke mana. Tidakkah lebih baik menikmati jeda beberapa jenak di tepian telaga. Menghirup sejuk udara, melepas penat dahaga.

Ah, mungkin itu hanya persona keputusasaanku saja. Putus asa ditinggalkan senja, tercampakkan sendiri dalam gelapnya malam, lalu berkhayal di bintang-bintang.

(bersambung...)

Jogjakarta, 10 - 12 Juli 2016
----------
*) Sajak berjudul 'Tangan Waktu' dalam Hujan Bulan Juni - Sepilihan Sajak oleh Sapardi Djoko Damono


Mengapa Senja Tak Lagi Sama (?)


image: ytimg.com

Perjumpaan kita seperti perjumpaan dengan senja. Betapa indah, begitu menawan perasaan, demikian romantis, namun dengan segera mesti berlalu. Terhadap malam yang gelap kita pun mesti rela, sekedar berharap. Siapa tahu hari-hari esok masih menyimpan secercah kemungkinan, dalam simpang siur lintasan garis-garis kehidupan, kita akan kembali dipertemukan.


Sejak saat itu tiada senja berlalu tanpa sempat menghadirkan sekelebat rasa yang berdesir-desir. Seakan-akan terdapat pantai di hatiku di mana lautan tak henti-hentinya menghempaskan ombaknya yang berbuih ke atas pasir. Lalu timbul suara mendesis ketika pasir menyesap air laut, dan gelombang perlahan surut meninggaklan buih-buih. Lalu menghilang, buih-buih itu, ke dalam udara. Menjadi kabut tipis yang bila terbawa angin hingga ke lubang hidungmu akan kau ingat-ingat sebagai aroma lautan.

Kabut itu juga kah yang membiaskan sinar matahari menjadi kemerahan dan membuatnya seolah-olah bergetar? Mungkin cuma perasaanku saja.
Sebab aku terkenang engkau.


Aku tidak sedang benar-benar berada di tepi pantai. Aku hanya sekedar mereka-reka saja. Mencoba menggambarkan kenangan-kenangan tentang senja di bidang-bidang persegi langit-langit kamar yang sempit. Aku pun tak begitu yakin di luar sana sedang berlangsung pementasan senja, karena aku tak tahu waktu. Pun entah aku sedang bermimpi atau sadar, tertidur atau terjaga. Aku lupa apa bedanya semua itu.

Aku mungkin sekedar sedang termenung memandangi telaga kenanganku. Bagaimana lagi aku bisa bertemu denganmu selain dengan begitu. Bagaimana lagi aku bisa menyaksikan senja yang indah selain dengan cara itu.


Sejak kepergianmu dengan kereta senja itu, senja di kota ini tak lagi sama. Mulanya kupikir itu karena mendung yang menggantung di langit sepanjang hari, namun setelah beberapa hari berlalu aku semakin menyadari bahwa memang ada yang berubah dengan senja. Semakin hari semakin aku menyadarinya, namun tak pernah bisa aku memahaminya.

Tiada yang benar-benar berubah pada senja-senja itu, namun selalu terasa tak sama lagi. Kuhabiskan setiap penghujung hari dengan mengamat-amati senja bergulir di tepian cakrawala, mencari tahu apa yang berbeda padanya, namun tak kudapatkan suatu kesimpulan yang pasti. Kulihat orang-orang pun sepertinya tak ada yang bermasalah dengan senja seperti aku ini. Mereka tetap laju memacu kendaraannya di jalan-jalan raya yang padat. Selokan-selokan dan sungai-sungai tetap mengalir membawa air beraroma sabun bercampur kencing dan sampah. Kehidupan sepertinya tetap berjalan sebagaimana biasa. Kecuali hidupku.


(bersambung...)

Jogjakarta, 8 juni | 10 juli 2016