Pages - Menu

The Long Water (Wairoa) River: Surga Musim Panas

Wairoa adalah salah satu “surga arung jeram” yang berada di Pulau Utara Selandia Baru. Setiap akhir pekan selama musim panas, dari pukul sepuluh hingga pukul enam belas waktu setempat, dam yang biasanya mengalihkan air sungai ke kanal untuk dialirkan menuju pembangkit listrik dibuka sehingga air sungai kembali mengalir di jalur alaminya dan jeram-jeram grade III hingga V terbentuk di sepanjang alirannya. Setiap hari Minggu di musim panas, Wairoa adalah taman rekreasi yang mengasikkan, dan para warga sekitar, terutama kayaker, tidak pernah ketinggalan menikmati momen itu.

Adalah Kaimai Canoe Club yang, pada 1975, menentang kebijakan pengalihan air sungai Wairoa selama-lamanya demi pembangkit listrik. Mereka keberatan karena hal tersebut dipandang akan menghancurkan ekosistem sungai, dan itu berarti merampas anugerah alam dari tangan generasi masa depan. Usaha tersebutlah yang kemudian melahirkan kebijakan untuk membuka pintu air pada setiap akhir pekan di musim panas sehingga Wairoa tetap bisa dinikmati sebagai tempat rekreasi dan olahraga arus deras hingga sekarang.

Kami merasa beruntung bisa mencicipi salah satu hari yang cukup langka itu. Januari 2015 kemarin, kami menjajal keahlian bermain kayak yang telah kami latih selama setahun di berbagai sungai di Pulau Jawa dengan mengarungi Wairoa. Itu adalah sungai pertama yang kami arungi dalam rangkaian ekspedisi kayaking kami ke Selandia Baru. Bersama para kayaker lokal dari Waikato Kayak Club (WKC) dan puluhan kayaker lainnya, kami mencicipi sejuknya air Wairoa di musim panas –yang katanya adalah musim panas terpanas sepanjang sejarah negeri itu.

Di depan rumah Terry, bersama Jonty dan Danielle,
sebelum berangkat ke Wairoa

Bertemu rombongan kayaker Waikato lainnya

Setelah melalui salah satu malam terindah kami di rumah Terry (ketua Waikato Kayak Club), pagi hari tepat pukul sembilan, kami bertolak menuju kawasan dataran tinggi Kaimai di wilayah Bay of Plenty bersama rombongan kayaker dari Waikato lainnya. Dari Te Awamutu, kota di mana rumah Terry berada, hingga titik finish Wairoa di Ruahihi Powerstation, kami menempuh perjalanan selama sekitar satu jam, membelah daerah Waikato menuju timur laut dan melalui jalanan berkelok di dataran tinggi Kaimai. Dam di McLaren Falls dibuka sejak pukul sepuluh pagi sampai pukul empat sore, dan seolah tak ingin melewatkan waktu berharga tersebut, para kayaker sudah memenuhi tanah lapang di sebelah Ruahihi Powerstation ketika kami tiba di sana sekitar pukul sepuluh lebih sedikit.

Pemandangan dataran Waikato dan jalan berliku di dataran tinggi Kaimai

Berganti kostum untuk pengarungan di Ruahihi

Rasanya senang sekali melihat kayaker-kayaker sebanyak itu berkumpul. Di Indonesia, hal semacam masih itu sangat jarang sekali ditemui. Olahraga kayaking memang belum begitu berkembang di negeri maritim ini, meskipun sesungguhnya sungai-sungai di sini tak kalah menantang dengan sungai-sungai di Selandia Baru.

Setiba kami di Ruahihi, kami langsung berganti kostum untuk pengarungan. Meskipun sedang musim panas, kami agak khawatir kalau-kalau air Wairoa terlalu dingin buat kami sehingga kami memutuskan mengenakan kostum lengkap dengan wet suit dan dry suit. (Ini adalah keputusan yang belakangan ternyata akan kami sesali sebab suhu air sesungguhnya tak sedingin yang kami pikirkan dan mengenakan kostum selengkap itu malah membuat kami mudah kehilangan cairan tubuh karena kebanyakan berkeringat).

Cukup lama kami berganti kostum dan mempersiapkan segala peralatan pengarungan. Terutama juga peralatan untuk mendokumentasikan pengarungan, sebab kami tentu tak ingin hanya menyimpan pengalaman mengarungi Wairoa dalam memori masing-masing saja. Paling tidak ada oleh-oleh foto atau video buat teman-teman di Jogja. Maka sibuklah kami mencari-cari barang di antara tumpukan berbagai benda yang ada di dalam mobil sewaan kami. Inilah yang membuat persiapan yang kami lakukan cukup memakan waktu.

Tempat itu tiba-tiba saja sudah sepi ketika kami telah selesai bersiap-siap. Mereka benar-benar tak ingin menyia-nyiakan waktu, pikirku. Kami pun lekas menyusul ke titik start, di mana beberapa kayaker WKC sudah menanti-nanti kami. Aku sempat merasa tak enak karena ritme kami memperlambat mereka, sedang mereka sepertinya sudah tak sabar untuk segera mengarungi Wairoa. Maka, segera setelah menitipkan salah salah satu mobil kami di titik finish dan kembali lagi, kami bergegas turun ke sungai dipandu oleh Jonty, salah satu anggota WKC.

Melewati Brown's Farm menuju sungai

Terdapat dua titik yang dapat menjadi tempat memulai pengarungan di Wairoa. Titik start pertama berada sekitar satu kilometer di atas Ruahihi, yaitu melewati suatu lahan privat Brown’s Farm. Para kayaker tingkat pemula hingga menengah biasanya memulai pengarungan dari titik ini. Titik start yang kedua berada sekitar satu kilometer lebih jauh lagi, yaitu di McLaren Falls. Para kayaker tingkat lanjut hingga pro biasanya memulai pengarungan dari sini.

Terry membawa kami memulai pengarungan dari Brown’s Farm terlebih dahulu, untuk melihat seberapa memadai kemampuan kami dalam menghadapi jeram-jeram grade III dan untuk memperkirakan apakah kami cukup pantas menghadapi jeram-jeram yang lebih sulit di bagian atas nantinya.

Kami bergabung dengan keramaian di sungai sekitar pukul sebelas siang itu. Kayaker-kayaker, dari yang masih berusia bocah hingga paruh baya, laki-laki maupun perempuan, meramaikan sungai itu. Cukup banyak kayaker pemula yang masih dipandu oleh kayaker yang lebih berpengalaman. Saking ramainya, kami harus rela antri di hampir setiap jeram.

Adam dan Terry menunggu Saya melewati salah satu jeram di middle section

Pada beberapa bagian sungai sering kami temui orang-orang yang sedang berekreasi. Ada yang berenang-renang, ada yang menikmati ombak-ombak di atas pelampung tiup berbagai bentuk, ada yang bermain riverboard menunggangi ombak di salah satu playing spot, dan banyak pula yang sekedar berjemur di pinggiran sungai. Sungai itu benar-benar menjadi tempat rekreasi akhir pekan yang menyenangkan untuk segala kalangan.

Di bagian akhir, menjelang titik finish, terdapat sebuah drop setinggi tiga meter bernama Bottom Waterfall. Sejujurnya, belum satu pun di antara kami yang pernah menerjuni drop setinggi itu, dan mengahadapi drop grade IV itu untuk yang pertama kali adalah sebuah tantangan tersendiri yang cukup memacu adrenalin. Sebanyak apapun kami telah melihat jeram tersebut di YouTube, atau melihat video kayaker-kayaker pro melewati air terjun-air terjun, menghadapi Bottom Waterfall secara langsung tetap membuat degup jantung meningkat berkali-kali lipat.

Jonty berjaga-jaga di sisi Bottom Waterfall.
Di latar belakang terlihat orang-orang yang sedang berekreasi

Jonty dan Danielle menyaksikan salah satu kayaker WKC
menerjuni Bottom Waterfall

Setelah cukup lama melakukan scouting dan menyaksikan bagaimana kayaker-kayaker lokal bersenang-senang dengan menerjuni Bottom Waterfall berulang-ulang, maka kami pun memberanikan diri menerjuninya. Kalau sesuatu yang tak diinginkan terjadi, paling tidak ada banyak orang di sekitar tempat yang siap menolong, pikirku. Lagipula, bocah-bocah yang sepertinya belum terlau lama belajar kayaking bahkan berhasil melaluinya dengan mulus, maka kami yang telah selama hampir setahun berlatih kayaking empat hari dalam seminggu ini pun seharusnya juga mampu melewatinya.

Genderang perang di dadaku berdentum semakin keras dan tak beraturan ketika giliranku tiba. Aku berusaha tetap tenang dengan memercik-mercikkan air ke wajah, lalu memberi tanda pada kawan-kawan di bawah sana bahwa aku akan turun. Seiring kayuhan demi kayuhan dayung yang kuambil untuk keluar dari eddy dan memasuki arus utama, aku berusaha bernafas dalam-dalam dan teratur. Di satu sisi, aku pasrah terhadap apapun yang mampu dilakukan sungai itu terhadapku. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. Aku siap. Di sisi lain, aku berusaha tetap fokus menjaga arah dan momentum kayak yang mengalir mengikuti arus utama menuju drop.

Beruntung, aku berhasil meluncur dengan cukup mulus dan mendarat dengan selamat di bawah air terjun itu. Itu adalah pengalaman mendebarkan pertamaku di Negeri Awan Putih Panjang itu, dan keberhasilan pertama melewati jeram grade IV itu cukup membuatku jadi lebih percaya diri menghadapi jeram-jeram di bagian atas nantinya.

Kami ternyata menghabiskan cukup banyak waktu di pengarungan pertama hari itu. Karena pintu air akan ditutup pukul empat sore, Terry sedikit mendesak kami untuk mempercepat ritme. Menjelang pukul dua siang, kami pun menuju McLaren Falls untuk memulai pengarungan yang sesungguhnya. Mother’s Nightmare (grade IV), Middle Waterfall (grade IV), dan Rollercoaster (grade V), jeram-jeram maskot Wairoa, berkumpul di bagian atas ini.

Devils Elbow (III+), salah satu jeram di upper section

Terry memimpin Fauzi dan Afiq menuju jeram Middle Waterfall (IV)

Jeram Rollercoaster (V), maskot Wairoa

Patrick, salah satu kayaker WKC memasuki jeram Rollercoaster

Fauzi, dibantu para kayaker lainnya menepi setelah jeram Rollercoaster

Terry memperkenalkan kami pada setiap jeram, namanya, tingkat kesulitannya, dan tricky point-nya sebelum melaluinya. Kami pun berhasil melalui jeram-jeram itu dengan cukup lancar. Hanya di Rollercoaster, Fauzi dan Afiq sempat terbalik. Afiq yang terbalik di awal jeram dapat melakukan roll dan berhasil menyelesaikan jeram sampai akhir. Namun Fauzi yang terbalik di tengah-tengah jeram sepertinya mengalami panik dan gagal melakukan roll sehingga harus keluar dari kayaknya dan berenang di akhir jeram. Beruntung ketika itu ada cukup banyak kayaker yang berjaga-jaga di akhir jeram sehingga ia bisa memperoleh bantuan untuk menepi.

Kami boleh saja berbangga diri karena berhasil melalui jeram-jeram besar tersebut, tetapi –menurutku—Terry, si Lelaki Tua itulah, yang sesungguhnya telah sukses memandu kami dengan baik. Di usianya yang sudah hampir sepuh, ia masih memiliki ketangguhan mengatasi jeram-jeram sekelas Rollercoaster dengan sangat baik. Terry adalah salah satu sosok manusia yang membuatku semakin percaya bahwa terdapat kebaikan di dalam diri setiap orang, tak peduli warga negara mana, apa suku bangsanya, atau kepercayaan yang dianutnya.

Adam, Terry, Fauzi, Afiq, dan Saya difoto oleh Yoga

Di akhir hari, kami cukup puas dan senang dengan pengarungan Wairoa hari itu. Beberapa dari kami ikut merayakannya dengan melompat dari tebing –mungkin setinggi sekitar sepuluh meter—di tepi sungai ke air. Jonty yang mengajak kami. Katanya, itu adalah semacam salah satu ritual yang sering mereka lakukan setelah pengarungan Wairoa, untuk menikmati detik-detik terakhir sebelum sungai itu kembali surut selama seminggu ke depan.

Kami berfoto bersama, lalu mengucapkan salam perpisahan dengan Terry dan Jonty serta anggota WKC lainnya. Mulai dari situ, selama seminggu lebih ke depan, kami akan melanjutkan petualangan kami sendiri. Terry pun sepertinya cukup tenang menitipkan kayak-kayaknya untuk kami pakai di pengarungan-pengarungan selanjutnya setelah melihat pengarungan hari itu. Sementara bagi kami, hari itu kami bisa merasakan betapa hangatnya tali persaudaraan di antara para kayaker Selandia Baru. Itu adalah pengalaman yang tak akan kami lupakan.

Jogjakarta, 7 April 2015, 14 April 2016

Through the River of Mystery: Mengarungi Sungai Motu


Ini adalah jembatan State Highway 35 (SH35) yang melintas di atas sungai Motu. Kami menjumpainya setelah tiga hari mengarungi sungai, menembus belantara Raukumara yang sunyi, daerah paling liar di Pulau Utara Selandia Baru. Konon daerah tersebut adalah daerah yang terpetakan paling akhir dari seluruh bagian Pulau Utara. Motu dalam bahasa Maori memang berarti ‘terisolasi’ atau ‘terasing’ yang menunjukkan betapa sungai panjang yang menjadi satu-satunya sungai yang belum tersentuh oleh dam itu masih terselimuti hutan lebat yang menyimpan misteri.

Musim panas itu adalah salah satu musim panas yang paling panas sepanjang sejarah Negeri Awan Putih Panjang (Aotearoa) itu. Bagaimana mungkin aku tahu, sebab seumur hidupku baru kali itu aku aku mengunjungi negeri empat musim semacam itu, jika saja Terry tidak menyingungnya enam hari yang lalu dalam obrol-obrolan sambil makan malam di rumahnya. Orang tua itu menyarankan agar kami mencari sungai-sungai lain saja untuk diarungi sebab hujan sudah cukup lama tidak turun di daerah hulu sungai Motu. “It will be very low, the water level.” Begitu, katanya.

Kami hanya saling pandang, entah dengan penuh arti atau hanya sekedar saling pandang kosong saja, sebab kami sadar bahwa mengubah rencana Motu akan terlalu banyak mengubah skenario yang telah kami susun sejak sebelum memijak daratan negeri terpencil di selatan Bumi itu. Intinya, kami tetap pada rencana, sambil berharap hujan akan turun di Maungahaumi, di daerah Raukumara yang berada jauh di selatan sana
.
Mendung tipis sempat terlihat di atas bukit
dari tempat kami mendirikan kemah pertama
di titik awal pengarungan 100 kilometer dari Opotiki.
Sayangnya hujan tak turun dan debit air Motu tetap kecil.

Namun, pada sore hari 20 Januari itu, kami mesti menerima kenyataan bahwa hujan tidak pernah turun. Air sungai begitu surut hingga kami bisa melihat bebatuan menyembul di antara aliran air yang sedemikian bersahaja itu dari tempat kami mendirikan kemah di tepi sungai. Jadi sudah cukup jelas bahwa kami tak akan menemukan jeram-jeram yang besar dan mengasikkan seperti di Wairoa dan Kaituna.

Kemah pertama kami

Meskipun demikan, terdapat sesuatu yang lain, yang berbeda, tersimpan dalam kesunyian yang mengelilingi sungai itu. Sesuatu yang tidak menjelma sebagai arus-arus deras yang memacu adrenalin dan menimbulkan ketegangan, malainkan bersembunyi di balik lirihnya suara air mengalir di sela-sela bebatuan, atau desah angin menembus lembah dan desir rerumput serta dedaunan tersapa angin. Sesuatu yang begitu misterius. Jadi, inilah Motu, batinku.

Kedamaian berada di tengah alam bebas. Udara semakin dingin seiring senja mengelam menjadi malam. Mendung tipis sempat menurunkan gerimis, namun tak lebih. Aku mencoba membayangkan apa yang akan kami lalui tiga atau empat hari ke depan, namun tak ingin terlalu berharap. Di tempat baru semacam itu, tempat yang belum pernah engkau jamah sebelumnya, biarkan saja segalanya menjadi misteri. Bukan engkau yang menciptakan pengalamanmu, biar pengalaman itu saja yang mengajarimu entah apa, terserah. Just let your self be open. Be humble. The river will eventually flow into you.

Ketika cahaya pertama menyentuh permukaan air yang tenang dan jernih itu keesokan harinya, kami sudah memasak sarapan. Kemudian setelah makan kami membersekan semua peralatan berkemah, mengemasnya sekedap-air mungkin, lalu memasukkannya ke dalam ruang-ruang kosong di kayak kami dan tidak meninggalkan sesuatu apapun selain jejak-jejak bekas tidur berupa rerumputan yang rebah. Pengarungan pun dimulai dengan target menembus gorge yang terbentang sepanjang 30 kilometer lebih, ke barat lalu berbelok ke utara membelah belantara Raukumara, sebelum kami dapat menemukan tempat untuk mendirikan kemah lagi.

Jeram di hari pertama pengarungan kebanyakan berupa aliran sempit
dan patahan yang membentuk drop

Beberapa kilometer pertama, kami sering sekali menjumpai aliran sungai yang sangat dangkal sehingga memaksa kami turun dari kayak untuk berjalan melewatinya. Benar-benar berjalan di tengah sungai sambil menuntun kayak. Cukup memakan waktu dan sedikit membuat frustasi. Tetapi langit biru dan bukit-bukit padang hijau selalu bisa menghiburku. Biri-biri liar kadang terlihat di lereng-lereng bukit di kejauhan.

Namun ketika bebukitan terlihat semakin tinggi dan merapat satu dengan yang lain, dan hutan pakis tiang jadi semakin lebat sampai hampir-hampir menutupi langit, pengarungan jadi semakin menguji ketabahan. Jika bukan jeram dangkal penuh batu bertebaran yang seringkali memakasa kami untuk turun dari kayak, flat yang begitu tenang, sangat tenang seolah-olah air sungai tak mengalir sama sekali, akan memaksa kami terus mendayung tanpa henti.

Kadang bebek-bebek liar terlihat sedang berenang-renang santai di eddy tepi sungai. Kami mencoba menghibur diri dengan berusaha mengusik ketenangan mereka tetapi mereka sepertinya cuek-cuek saja seolah tak terjadi apa-apa. Maka kami mendekati mereka. Ketika sudah cukup dekat, mereka tiba-tiba menyelam ke dalam air, menghilang lama sekali sebelum akhirnya muncul kembali di tempat yang jauh.

Lalu ada pula kambing liar yang tak jarang mengamat-amati kami dari balik semak-semak di tepi sungai. Seperti sedang menyaksikan sesuatu yang tak dapat dipahami. Kambing-kambing menatap kami seperti menyaksikan orang-orang tolol melakukan hal bodoh. Tetapi ketika kami mencoba mendekat, kambing itu segera menghilang ke balik pepohonan. Seperti pura-pura tidak melihat kami.

Semakin jauh kami mendayung, air sungai semakin bertambah sedikit demi sedikit karena aliran-aliran anak sungai yang samakin banyak bermuara di sungai utama itu. Lewat tengah hari, jeram-jeram grade II bahkan III mulai bisa ditemui. Kebanyakan berupa aliran-aliran sempit dan patahan yang menciptakan drop-drop kecil yang cukup menghibur hati kami.

Ketika langit terlihat mulai redup, kami mulai cemas karena belum juga habis gorge yang seharusnya kami lewati itu. Untuk mengejar titik kemah sebelum gelap, kami terus mendayung tanpa henti.

Setelah sepuluh jam lebih sejak memulai pengarungan, setelah menempuh sekitar 45 kilometer penuh kelokan (sebagaimana yang ditunjukkan oleh peta kami), kami akhirnya melihat dataran landai yang sepertinya dapat dijadikan tempat berkemah di sebelah kiri sungai. Terdapat batu-batu pipih yang disusun bertumpuk yang membuat kami menyimpulkan bahwa pernah ada manusia di sekitar situ.

Setelah diselidiki, ternyata benar bahwa di situlah titik kemah pertama kami. Terdapat jejak-jejak roda, entah mobil atau semacam ATV, dan tak jauh dari bibir sungai terdapat jalan tanah yang di peta sesuai dengan ciri-ciri Otipi Road. Selain itu, kami pun menemukan sisa-sisa api unggun. Maka tepat ketika langit berubah gelap, kami sudah mendirikan kemah untuk bermalam lagi.

Kemah kami di malam kedua

Itu adalah salah satu hari terpanjang dalam hidupku. Dan rasa lelah memudahkan kami menuju tidur yang lelap setelah sebelumnya mengisi perut dengan makanan secukupnya. Hari esok sepertinya masih tak kalah panjang dengan hari itu, pikirku.

Memulai pengarungan hari kedua

Hari kedua pengarungan menyajikan sungai yang mulai melebar. Aku senang karena langit mulai terlihat lebih luas. Selalu biru dan berawan putih. Sinar matahari pun jadi lebih sering menerpa kami dibanding hari sebelumnya. Itu membuat kami jadi lebih mudah memperoleh kehangatan. Memang, meskipun sedang musim panas, bagiku, tetap saja hawa di Selandia Baru lebih dingin daripada di Indonesia. Dan itu membuatku lebih mudah kedinginan karena kami memang tidak mengenakan pakaian yang kedap air.

Langit biru yang terlihat di atas bebukitan hutan lebat

Di pengarungan sebelumnya di Wairoa, kami mengenakan kostum lengkap, wet suit ditambah paddling jacket, yang ternyata malah membuat kami lebih mudah dehidrasi. Sejak itu kami memutuskan untuk tidak mengenakan wet suit lagi, yang memang sebenarnya terlalu tebal itu, dan hanya mengenakan paddling jacket yang masih dapat tertembus air sungai yang dingin. Sisi positifnya, dingin membuat kami lebih rajin mendayung untuk menghangatkan tubuh.

Dan memang pengarungan hari kedua itu pun masih banyak menyajikan flat yang datar serupa kaca sehingga kami masih harus terus mendayung. Namun dibanding hari pertama, jeram-jeram yang kami temui di hari kedua kebanyakan berupa boulder garden. Batu-batu besar yang sepertinya adalah sisa-sisa longsoran menciptakan jeram labirin yang menuntut keahlian menebak jalur. Beberapa kali kami bahkan harus menepi dan melakukan scouting untuk menemukan jalur yang dapat dilalui.

Scouting

Yoga mendayung di flat

Menunggu teman-teman yang lain melewati jeram

Aku akan melewati jeram. Afiq bersiap-siap mengambil gambar dari atas batu.

Sama dengan yang di atas, tapi di jeram yang berbeda :)

Memasuki jeram, memecah ombak

Mencoba memilih jalur

Jika ada hal yang paling aku sukai dari pengalaman selama di Selandia Baru selain langit dan bukit-bukit padang rumputnya, itu adalah airnya yang terasa begitu segar diminum. Dan air paling segar yang pernah kuminum seumur hidupku adalah air dari anak-anak sungai yang mengalir ke sungai Motu. Beberapa kali kami singgah mengisi botol air minum di anak-anak sungai itu. Aku bahkan seringkali cukup membuka mulut saja dan membiarkan air sungai itu mengalir ke dalam kerongkonganku.

Sebelum hari itu berakhir, kami kembali menemukan susunan batu bertumpuk di dataran sebelah kiri sungai. Sekilas jelas terlihat bahwa tempat itu sangat cocok sebagai tempat mendirikan kemah kami. Setelah mengecek peta dan menimbang sisa panjang sungai yang mesti kami arungi, kami memutuskan untuk berkemah di situ.

Kemah kami di malam ketiga

Siap-siap memasak makan malam

Malam itu kami membuat api unggun, lalu menyanyikan hymne Palapsi. Entah, apakah rerumput dan pepohonan itu, atau burung-burung, rusa-rusa, kambing-kambing, bebek-bebek, dan serangga-serangga yang ada di sekitar kemah kami bisa mendengar dan memahami lagu yang kami lantunkan. Ataukah bintang-bintang di langit cukup peduli dengan apa yang kami lakukan. Mungkin saja –kadang hal-hal semacam itu terasa masuk akal ketika kita sedang berada di alam bebas. Mungkin juga tidak –terserah.

Menghabiskan senja menyaksikan api unggun

Tetapi aku teringat pada seseorang yang pernah bermimpi berada di tempat kami saat itu. Seorang yang –dari cerita-cerita yang kudengar—menjadi mata air di mana sungai impian yang menghantarkan kami hingga ke negeri terpencil di selatan Bumi itu berhulu. Seorang yang tak henti-hentinya mengalirkan air cita-cita Palapsi hingga memenuhi cekung-lembahan kami dan tak pelak akhirnya menjadi sungai yang mengalir deras.

.. dan malam pun tiba

Bagiku, malam itu adalah malam persembahan kepada ia yang telah berhijrah ke dunia yang lebih abadi daripada dunia ini. Bila ada sesuatu yang bisa mengalir sepanjang aliran waktu, menembus batas-batas ruang, melampaui hidup dan mati, mungkin itu adalah cita-cita yang luhur, niat yang tulus, dan usaha yang tak pernah kalah oleh lelah. Pada skala Palapsi, perjalanan ke Selandia Baru itu sepertinya mencerminkan hal tersebut.

Aliran sungai akan selalu menemukan jalannya menuju samudera. Bila menemui hambatan ia akan berbelok, bila menemui cekungan ia akan mengisinya sampai penuh, menjadi telaga atau danau, lalu terus mengalir hingga lautan.

Pada hari ketiga, sungai semakin melebar. Bukit-bukit pun mulai tersibak menampakkan cakrawala yang lebih luas. Tak banyak jeram yang kami temui. Kebanyakan hanya aliran yang landai menciptakan riak-riak ombak kecil sebelum akhirnya berbelok dan menjadi flat lagi. Kami terus mendayung nyaris tanpa henti membelah permukaan air yang tenang serupa kaca datar yang memantulkan bayangan puncak-puncak bukit dan langit.

Membelah flat serupa kaca di hari ketiga pengarungan

Mystic hijau dan dayung yang kugunakan selama pengarungan

Pergantian jenis tetumbuhan di kanan-kiri sungai seperti menandakan sesuatu, maka aku semakin bersemangat mendayung sampai akhirnya pohon-pohon sejenis pinus atau cemara terlihat di bebukitan depan sana. Di hari pertama, aku selalu berharap ada jeram menanti di balik setiap belokan sungai. Dan harapan itu selalu membuatku tak berhenti mendayung meskipun ternyata aku seringkali harus menelan rasa kecewa ketika ternyata yang ada di balik belokan itu adalah juga flat yang berujung di belokan lain. Di hari ketiga, yang kucari di balik setiap kelokan adalah garis mendatar panjang yang menghubungkan kedua sisi sungai. Jembatan yang di peta kami tandai sebagai titik akhir pengarungan panjang itu.

Mendayung menuju jembatan SH35

Sebelum tengah hari, kami pun melihatnya di kejauhan. Itulah jembatan SH35 yang kami tuju. Di situlah pengarungan panjang kami berakhir. Tepat sebelum aliran sungai Motu tumpah ruah ke lautan Bay of Plenty. Maka kami mendayung semakin cepat.


Jogjakarta, 12-13 April 2016

Di Ujung Senja

 
image: australiantraveller.com


Kehidupan ini hanya sebuah kesementaraan.
Dunia ini fana.
Apalagi kita.

Sekedar dua manusia yang kebetulan saja berjumpa di pantai itu, berkenalan, lalu bercakap-cakap mengenai hal-hal yang belum tentu sungguh-sungguh kita pahami, sambil berjalan bersama menyusuri tepian waktu di atas pasir, meninggalkan jejak-jejak panjang yang esok belum tentu masih ada.

Waktu seperti gelombang yang menghapus jejak-jejak.

Kita menyaksikan senja yang rupa-rupanya memang benar dapat menimbulkan perasaan rawan, seperti kata Seno Gumira. Perasaan yang serupa kesanksian bahwa matahari yang sebentar lagi akan terbenam itu bakal terbit kembali bersama hari esok. Atau semacam pertanyaan yang menggantung di cakrawala: masihkah kita akan berjumpa lagi esok hari?

Dan, meski tak diutarakan, ada pula terbersit dalam hati kecil kita masing-masing, pertanyaan: apakah cinta itu abadi? Kita sama-sama tahu, sebab genggamanmu terasa semakin erat, dan akupun merangkulmu lebih dekat, seiring gerak perlahan bulatan merah tembaga itu menuju ke balik cakrawala. Seolah kita tak rela kehilangan senja itu. Senja yang meskipun rawan tetapi selalu dapat menghadirkan rasa yang selalu kita rindukan. Namun justru karena itulah, mungkin, maka senja jadi semakin rawan.

Apalagi engkau kemudian mendesahkan pertanyaan yang begitu runcing menusuk: "Masihkah engkau akan mencintaiku besok?"

Ada gelombang raksasa yang tiba-tiba melompat di ujung cakrawala dan menelan matahari merah itu bulat-bulat, dan merampas keindahan senja.

*

Sejujurnya aku tak tahu. Sama seperti aku tak tahu apakah esok matahari akan terbit lagi. Sama seperti aku tak tahu apakah esok aku masih akan terbangun dari tidur. Juga sama seperti aku pun tak tahu apakah esok engkau masih akan mencintaiku. Bahkan apakah engkau benar mencintaiku saat ini pun aku tak tahu. Kita hanya bisa memilih untuk percaya atau tak percaya saja.

Seperti kehidupan ini, cinta yang kuketahui adalah cinta yang fana. Adakah orang mati bisa mencintai? Apakah kita bisa mencintai orang yang telah mati? Kita hanya berangan-angan saja. Sekedar angan-angan. Kebenaran yang sesungguhnya, yang sebenar-benarnya benar, tidak bisa kita ketahui. Hanya angan-angan yang boleh dipercayai boleh tidak dipercayai.

Itulah permasalahannya. Antara percaya atau tak percaya saja.

Maka, kukira wajar saja bila kau kujawab dengan pertanyaan lain: "Percayakah engkau bahwa esok aku masih mencintaimu?"

Pertanyaan itu sesungguhnya berlaku bagi kita berdua. Setiap pertanyaanku padamu adalah sekaligus juga pertanyaanmu padaku. Maka cinta kita adalah wujud kesungguhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan macam itu, tidak sebatas kata namun juga dalam perbuatan.

Seperti matahari. Ya, seperti matahari dan bumi yang saling mengitari satu sama lain.

*

Sekarang aku mengerti. Kita memang tak tahu apakah esok matahari masih akan terbit kembali, tetapi kita selalu memilih percaya bahwa esok ia akan benar-benar terbit lagi membawa harapan-harapan. Dan meski ia akan terbenam kembali dalam senja yang rawan, kita masih akan percaya bahwa ia akan terbit kembali, sebab begitulah ia adanya sejak dahulu, sejak sebelum waktu bermula.

Maka semestinya kita bertanya pada diri masing-masing: mampukah kita meniru matahari?

*

Tetapi apakah cinta mesti sesempurna peredaran matahari dan bumi?

Tak ubahnya senja, cinta rupanya juga adalah rasa yang selalu rawan. Terlebih cinta yang sedang berjalan beriring sambil berangkulan di atas pasir di tepi waktu kala matahari tinggal separuh lingkaran merah membara.

Gelombang-gelombang pasang telah mencapai matakaki. Jejak-jejak langkah kini tiada lagi, telah hilang tersapu gelombang. Mega-mega berwarna tembaga memang masih berarak pelan di langit, namun semakin lama semakin meredup. Bayang-bayang kita pun kian memudar.

Akan tiba waktu ketika tiada lagi yang dapat terlihat kecuali yang kita percayai. Waktu ketika terang dan gelap bercampur-baur dalam komposisi seimbang melahirkan kelam. Dan kepercayaan itu pun menjadi sedemikian rawan, seolah dupa yang terlanjur menyala di hadapan angin. Itulah penghujung senja. Di situlah kita saling melambaikan tangan dan berpisah.

Semesta, 27 Maret 2016, pagi