Pages - Menu

Serpihan Kisah Batu yang Dahulu Suka Bertanya yang Kini Memilih Membisu

Februari lagi. Bulan yang basah. Mendung menjadi pemandangan biasa setiap harinya. Orang-orang jadi rajin melirak-lirik langit untuk membaca tanda-tanda seberapa besar kemungkinan akan jatuhnya hujan hari itu, akan seberapa derasnya, dan akan bertahan seberapa lama ia. Namun hujan seringkali tidak bisa ditebak semudah itu. Ia bisa jatuh kapan saja sesukanya. Maka, ke mana-mana, orang-orang lebih suka untuk selalu membawa payung yang bisa dilipat sampai berukuran kecil di dalam tasnya, atau menyimpan jas hujan di bawah jok sepeda motornya.

Tetapi ada hal lain yang tiba-tiba teringat di bulan-bulan basah, terutama Februari ini. Sungai-sungai yang airnya melimpah ruah. Sungai-sungai yang airnya berwarna cokelat. Jeram-jeram yang jadi lebih mencekam daripada biasanya. Jeram-jeram yang tak pernah luput menjeratku dalam rasa yang bercampur baur antara takut dan bahagia dan selalu mengingatkanku pada hal-hal yang sering terlupa. Hal-hal yang membuatku kembali merasa kecil, lemah, bodoh, dan tak berdaya, namun terkadang juga dapat membuatku seperti memahami secara lebih jernih perihal kehidupan dan kematian.

***

Kadang aku berkhayal, dan kali ini tentang sebongkah batu di tepi sungai. Bukan sejenis batu tertentu yang spesial. Tidak cukup besar sehingga manusia-manusia pemancing atau petani yang kebetulan lewat tidak jadi tertarik untuk duduk bertengger di atasnya, namun juga tidak terlalu kecil seperti kerikil yang mudah tersapu banjir. Hanya sebongkah batu biasa yang selalu terlewatkan.

Batu yang menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang cukup banyak hal yang tidak mampu ia cari sendiri jawabannya sebab ia tak bisa beranjak dari tempatnya yang setengah terbenam di tanah. Maka yang dapat ia lakukan hanya bertanya pada siapa saja yang kebetulan melintas di dekatnya.

Ia pernah bertanya pada serangga kecil yang kebetulan hinggap di atasnya tetapi serangga itu malah kaget dan ketakutan sehingga ia langsung saja melompat ke udara dan pergi. Mungkin serangga itu mengira bahwa aku adalah pemangsa yang ingin melahapnya, pikir si batu, makanya ia ketakutan seperti itu.

Padahal batu tak pernah butuh makan. Ia hanya batu. Ia tidak hidup sehingga tak butuh makan. Berbeda dengan serangga itu. Ia mahluk hidup yang butuh makan untuk tetap hidup.

Diam-diam batu merasa bersyukur menjadi batu yang tak hidup sehingga dengan demikian tak akan mati juga. Kalau dipikir-pikir, para mahluk yang hidup itu sepertinya sangat takut terhadap kematian.
Beruntunglah ia sehingga tak perlu merasakan apa yang menghantui setiap mahluk hidup seperti serangga itu. Bahkan ada desas-desus yang beredar bahwa mahluk-mahluk hidup semacam itu seringkali saling membunuh demi mempertahankan hidup. Mereka saling menebar rasa takut satu sama lain. Maka mungkin karena itulah kehidupan mereka selalu terasa mencekam setiap hari sebab bersama kehidupan selalu mereka bawa bayang-bayang kematian.

Di kalangan serangga-serangga kemudian mulai beredar kabar bahwa di tepi sungai ada batu yang suka bertanya yang ingin memangsa mereka. Maka sejak itu tak pernah lagi ada serangga yang hinggap pada batu itu.

Di lain waktu ia juga pernah bertanya pada angin ketika kebetulan mereka bergerombol lewat, berhembus membawa bunga-bunga dandelion gugur yang mereka hempas-hempaskan ke sana ke mari. Angin-angin selalu tertawa riang penuh kegembiraan, terutama ketika cuaca sedang terik. Mereka senang sekali bermain guguran dandelion, menggoda-godai dedaunan di pohon-pohon, atau berlomba-lomba merayu bunga dan menebar serbuk-serbuk sarinya ketika musim semi tiba.

Karena selalu terlalu bergembira bermain itulah, mungkin, sehingga angin selalu tak sempat meladeni pertanyaan dari batu. Mereka terlalu sibuk tertawa-tawa dan bermain. Terkadang memang ada yang sempat mendengarkan pertanyaan dari batu namun mereka biasanya berbicara cepat-cepat ketika menjawabnya kemudian berlalu begitu saja untuk mengejar kawan-kawannya yang lain. Batu tak pernah sempat menangkap apa yang dikatakan oleh angin.

Lalu suatu ketika langit berubah gelap. Di utara, di daerah gunung-gunung tinggi bertahta, langit bahkan jauh lebih gelap lagi. Lebih hitam. Sesekali ada kilatan cahaya terang disertai suara menggelegar yang menggetarkan udara. Malamnya, hujan lebat mengguyur tiada henti-hentinya sampai pagi kembali terbit.

Sungai meluap membanjiri daratan. Air sungai itu pun mencapai tempat batu yang suka bertanya berada.
Maka bertanyalah batu pada air sungai yang mengalir: “Dari manakah kalian datang?”

“Dari pegunungan di sana itu”, jawab air sungai.

“Ke manakah kalian akan pergi?”, tanya batu lagi.

“Ke laut, tentu saja. Di sanalah setiap sungai berakhir”, jawab air sungai.

“Oooh. Aku belum pernah tahu yang namanya laut. Belum pernah melihatnya seumur-umur. Seberapa jauh kah laut itu dari sini?”

“Sangat jauh, tetapi sesungguhnya tak jauh.”

Batu tidak memahami jawaban air itu. Ia terdiam cukup lama, berpikir, namun tetap tak memahaminya. “Jadi, seberapa jauh?” tanyanya lagi.

“Sangat-sangaaaat jauuh, tetapi sesungguhnya tak jauh.”

Batu berpikir lagi. Kali ini lebih lama. Tapi tetap saja ia tak mengerti maksudnya.

“Jadi, kalian ini berasal dari pegunungan dan sedang dalam perjalanan menuju laut, tempat kalian akan berakhir, begitu?”

Air sungai menggeleng-geleng. Kemudian ia berdeham, lalu sejurus kemudian ia melantunkan sesuatu seperti syair-syair sajak:

“Kami datang dari pegunungan tetapi kami tidak berasal dari gunung manapun. Kami dalam perjalanan menuju lautan tetapi kami tidak akan berakhir di laut manapun.

“Kami adalah air yang jatuh menjadi hujan tetapi kami bukan hujan. Kami adalah air yang mengalir menjadi sungai tetapi kami bukan sungai. Kami adalah air yang menggenang menjadi samudera tetapi kami bukan laut.


“Memang takkan ada hujan, tak ada sungai, tiada lautan bila kami tak ada, tetapi kami bukanlah semua itu.


“Kami adalah air tetapi pada saatnya kami pun bukan air. Ada saatnya kami menjadi kabut. Ada saatnya kami menjadi awan. Ada saatnya kami menjadi embun. Tetapi kami juga bukanlah kabut, bukan awan, bukan pula embun.”


Batu mulai puyeng mendengarkan sajak air. Ia tak mengerti. Namun air tetap saja melanjutkan sajak-sajaknya, tak peduli pada batu yang semakin mengerutkan dahi.

“Bahkan, ada pula saatnya kami menjadi tak berbeda dengan engkau. Kita ini sesungguhnya sama saja, hanya sedang menjalani peran yang berbeda.


“Dan nanti, kita akan kembali menjadi satu yang abadi.”


Setelah mendengar sajak-sajak air, batu kian tenggelam dalam dirinya sendiri. Dalam, dan semakin dalam. Mungkin ia berusaha memahami makana di balik sajak itu. Tetapi yang pasti, sejak saat itu batu tak pernah lagi berbicara. Tak pernah lagi bertanya pada serangga, pada angin, atau bahakan pada air. Ia jadi pendiam. Bukan karena telah menemukan jawaban dari segala pertanyaannya, bukan. Ia hanya memilih untuk diam saja. Sampai sekarang, meskipun ia kini telah menjadi pasir di pantai dan setiap saat berjumpa dengan air laut.

***

Aku suka membayangkan senja dan laut, dan tempat di mana mereka berdua selalu bercengkerama setiap hari, yaitu pantai.

Di pantai, daratan dan lautan seolah berdamai. Ombak-ombak selalu pecah menjadi buih sebelum menyapa daratan. Batu-batu karang pecah menjadi butiran pasir yang lembut di hadapan laut. Ada yang berdesir dalam kebisuan ketika keduanya bercengkerama. Bahasa yang sepertinya hanya mereka berdua yang memahami.

Adapun sebagian kisah tentang batu yang suka bertanya yang kini telah memilih untuk membisu selamanya masih tertinggal di tepi sungai. Bertahun-tahun waktu berlalu, ia diguyur hujan, diterpa panas, digerus aliran sungai yang meluap. Sebagia dirinya memang telah pecah menjadi pasir dan mengendap di pantai jauh di selatan sana. Namun sebagian yang lain di antara berjuta-juta kepingan dirinya yang lain terdampar di tepi sungai.

Dalam kebisuannya ia mendengar selentingan dari angin bahwa ada manusia yang hilang ditelan sungai ketika banjir. Ia juga mendengar kabar yang senada dari air sungai yang sering bermain hempas-hempasan di dekat tempatnya, maka semakin yakinlah ia bahwa berita itu benar adanya.

Hari-hari berselang, lalu ada manusia-manusia yang mengangkutnya dari tepi sungai. Mereka memasukkannya ke dalam keranjang kemudian dipanggul mendaki lereng ke atas bukit semenanjung kecil tepat di tepi sungai. Ia dikumpulkan bersama batu-batu lainnya yang dari pegunungan, lalu juga dengan air. Manusia-manusia itu ternyata sedang mendirikan sebuah monumen bagi kawan-kawan mereka yang hilang ditelan sungai. Di monumen itu dituliskan nama-nama, dan larik-larik sajak. Sajak itu bercerita tentang kehidupan dalam bahasa kematian.

Di sebelah monumen itu ditanamlah sebatang pinus yang menjadi satu-satunya pohon pinus di sekitar situ.
Itulah pohon yang selalu kulihat-lihat bila aku lewat di bawah bukit. Pohon yang mengingatkanku pada dayung yang terhanyut yang setengah mati kukejar, juga pada kawan yang termuntah-muntah setelah sempat ditelan jeram. Pohon yang mengingatkanku pada batu yang dahulu suka bertanya yang kini memilih membisu selamanya sebagai bagian dari monumen yang padanya terukir nama-nama dan sajak yang bercerita tentang kehidupan dalam bahasa kematian.

Februari adalah bulan peringatan peristiwa yang menyebabkan berdirinya monumen itu. 

Sendowo, 5-6 Februari 2016