Pages - Menu

Rembulan Muram di Langit Buram

Sinarmu redup, duhai Rembulan Merah
Ada apakah gerangan?

Parasmu muram pagi ini
Samar-samar bisa ku lihat itu
Wajah bundarmu dalam temaram pagi sehabis subuh
Pagi yang suram
Pagi yang buram
Pagi yang tenggelam dalam pekat kabut
udara ditelusupi racun

Tetapi muram di wajahmu bukan kesedihan
Lama-lama kusadari itu
dalam engganmu melepaskan malam dari dekapan
Sebersit duka
Segores luka
Segumpal amarah
Campur aduk dalam rona cakrawala merah
langit ternodai keserakahan

Kerangka-kerangka baja
manusia dan keangkuhannya
menjulang seolah mampu menggapai langit
menghujam seolah sanggup mengoyak bumi
sedang dirinya sendiri tak sanggup ia raih

Rembulan Merah, kembalilah engkau sejenak ke peristirahatanmu
Terimakasih telah menjagai malam kami
Biarkan Mentarai Jingga menjagai kami hari ini
dan mengajari kami perihal cinta
yang telah cukup lama terlupakan
sebab debu dan kabut
keserakahan dan keangkuhan
tebal menutupi bening kaca
pekat menodai jernih telaga
akal dan nurani kami

Pagi, 28 Oktober 2015, Sepanjang jalan Sendowo-Tugu-Bulaksumur Jogjakarta

Perkenankanlah Aku

Sebab hidup kita tak panjang
Tak sepanjang jarak antara kotaku dan kotamu
Bagi gerbong kereta yang menghantarkanmu pulang
Malam itu

Mungkin
Perjumpaan memang mesti ditutup dengan perpisahan
Supaya utuh ia menjadi ruang
Tempat kau bisa kukenang
Sebagai cahaya yang menjadikan hidupku terang
Hingga bisa kulihat yang tersembunyi pada bayang-bayang

Sebab hidup kita tak panjang
Tak sepanjang kisah-kisah negeri dongeng
Bagi baris-baris kata dalam puisi yang kutulis untukmu
Malam itu

Namun
Perkenankanlah aku dalam sunyi membisu
Bersenandung melalui ujung-ujung pena resahku
Dalam usahaku mengabadikanmu
Agar menjelma, tak sekedar mengambang semu
Segala rasa yang tak sempat bertemu
Pada suatu masa dalam waktu

Dinihari, 9 Oktober 2015, Jogjakarta

Sumbu Imajiner Bernama "Waktu"

Aku merindukanmu dalam ketakhadiranmu
Kau ada, maka Kau "tiada"
Kau tiada, maka Kau "ada"
Keadaan dan ketiadaan
Adalah dua kutub dalam diriku

Kita adalah dunia
Yang berotasi pada sumbu imajiner
Waktu yang mengadakan dan meniadakan
Waktu yang padanya kita hamparkan segala
Bayang-bayang lamunan
Impian, harapan, atau cita-cita
Penyesalan, kenangan, atau rasa yang nostalgis
Gagasan atau imajinasi

Seperti gemintang di langit malam

Kita tidak sungguh-sungguh berada di sini saat ini
Sebab kita selalu berada di antara
Ada dan tiada yang menjelma Waktu

Siang, 4 Oktober 15, Jogjakarta

Kangen

Pohon Ketapang di halaman belakang
Itu yang kemarin-kemarin meranggas
Daunnya berguguran jatuh
Menumpuk menutupi tanah berdebu
Kini sudah menghijau
Tunas-tunas muda tumbuh
Terlihat segar, sejuk, teduh

Hati pun menyejuk
Menyambut angin segar
Berharap-harap pada langit
Tersenyum-senyum melihat awan
Menunggu datangnya
Hujan

yang masih juga enggan turun ke Bumi kering
yang masih mungkin ragu menyirami gunung-gunung gersang
yang masih saja tega membiarkan hutan-hutan berkobar

Oh, turunlah sini
Aku kangen main ke sungai lagi

Pagi, 4 Oktober 2015, Jogjakarta