Pages - Menu

Rindu

Aku merindukanmu
Maka kupejamkan mata
Bernafas pelan
Kusentuh dada dengan telapak tangan

Kudapati Engkau di nafasku
Kurasakan Engkau di detak jantungku
Aku di dalammu
Selalu merindu

Boleh Engkau renggut segala yang ada padaku
Tapi jangan rinduku padamu
Karena tak ada yang lebih indah daripada kerinduan
Dan keindahan terindah adalah merindukanmu

Siang, 29 September 2015, Jogjakarta

Makna dan Aktualisasi (Potensi) Diri

Maslow percaya bahwa manusia membawa potensi yang luar biasa di dalam dirinya untuk menjadi “a Good Human Being” atau “Manusia yang Baik.” Ia juga percaya bahwa setiap manusia sesungguhnya dapat mengaktualisasikan potensi dirinya tersebut, kecuali bila ia mengalami patologi. Sayangnya, apa yang pada umumnya terjadi pada kebanyakan manusia adalah mereka tidak dapat mengaktualisasikan potensi kebaikan yang dimilikinya sebab mereka mengalami berbagai hambatan. Salah satu hal yang menyebabkan terhambatnya aktualisasi diri manusia tersebut, menurut Maslow, adalah karena manusia “teralihkan” perhatiannya dari kebutuhan aktualisasi diri kepada kebutuhan-kebutuhan lain yang tingkatnya lebih rendah yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan untuk dihargai (Feist & Feist, p. 305).

Sebagaimana Maslow, saya pun percaya bahwa manusia membawa potensi kebaikan di dalam dirinya. Hal ini memang bukan berarti bahwa semua manusia itu pada kenyataannya baik, sebab memang tidak sedikit manusia yang berperilaku buruk. Meskipun demikian, seburuk-buruknya perilaku seseorang, saya percaya bahwa benih kebaikan selalu ada di dalam dirinya, hanya saja benih tersebut mungkin belum tumbuh dan berkembang.

Bahkan, saya percaya bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk tujuan yang baik (kebaikan) dan apa yang kita istilahkan dengan ‘keburukan’ sesungguhnya hanya merupakan keadaan terhambatnya perwujudan potensi kebaikan diri seseorang, sebagaimana ‘kegelapan’ kita gunakan untuk mengacu pada keadaan minimnya cahaya. Dengan kata lain, saya percaya bahwa, potensi yang ada di dalam diri manusia sesungguhnya selalu merupakan potensi kebaikan.

Permasalahannya adalah: bagaimana cara agar manusia bisa mengaktualisasikan potensi dirinya tersebut. Apabila kita mengacu pada pemikiran Maslow, maka agar manusia dapat mengaktualisasikan potensinya, perhatiannya harus kembali difokuskan pada kebutuhan aktualisasi diri dan tidak teralihkan pada kebutuhan lain yang lebih rendah. Maka pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana cara agar perhatian manusia tidak teralihkan pada kebutuhan yang lebih rendah tersebut? Apakah dengan memenuhi setiap kebutuhan tingkat rendah tersebut tersebut terlebih dahulu, atau apakah terdapat cara lain?

Carl Rogers adalah tokoh Humanistik lain yang juga percaya bahwa manusia pada dasarnya ada untuk mengaktualisasikan diri. Namun untuk mencapai aktualisasi diri tersebut, menurut Rogers, diperlukan adanya kondisi-kondisi tertentu yaitu berupa pemahaman empatik dan penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) yang tulus (genuine atau congruent) dari orang lain (Feist & Feist, 2008, p. 339). Unconditional positive regard ini diperlukan agar seseorang dapat mengembangkan positive self-regard (penghargaan atau penilaian positif terhadap diri sendiri) sehingga dengan demikian ia dapat mengaktualisasikan kecenderungan alaminya ke arah pemenuhan potensi diri (aktualisasi diri).

Meskipun tidak sepenuhnya sama, teori Maslow dan Rogers memperlihatkan pola yang sama mengenai bagaimana cara agar seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya. Teori hirarki kebutuhan Maslow menyatakan bahwa untuk melangkah ke proses aktualisasi diri, seseorang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan tingkat rendahnya terlebih dahulu. Kebutuhan tingkat rendah tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan merasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan untuk dihargai. Sementara itu, teori Rogers menyatakan bahwa agar dapat mengaktualisasikan (potensi) dirinya, seseorang harus memperoleh positive regard¬ terlebih dahulu dari orang lain. Positive regard ini diperlukan agar seseorang merasa “aman” untuk menjadi apa pun yang diinginkannya. “Aman” di sini berarti bahwa ia merasa akan tetap dicintai dan dihargai sebagai apa pun dirinya. Rasa “aman” ini mencerminkan kebutuhan dasar manusia untuk menjaga keutuhan konsep dirinya (self-concept). Rogers mengistilahkan kebutuhan tersebut sebagai need for maintenance yang mirip dengan kebutuhan tingkat rendah (fisiologis, rasa aman, sosial, dan harga diri) dalam hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow (Feist & Feist, 2008, p. 314). Dengan kata lain, pada prinsipnya, baik Maslow maupun Rogers berpendapat bahwa untuk dapat mengaktualisasikan potensi dirinya, seseorang harus memenuhi kebutuhan tertentu “bagi dirinya” terlebih dahulu.

Bagus Riyono (2014), dalam teori Human Motivation Model yang dikembangkannya, melihat hal tersebut secara berbeda. Apabila Maslow dan Rogers memandang kebutuhan yang memotivasi manusia sebagai hirarki, Riyono memandangnya sebagai pilihan. Riyono menempatkan ‘kebebasan memilih’ (freedom to choose) sebagai karakteristik dasar dari self (diri) pada inti dari model motivasinya. Kebebasan yang dimiliki manusia tersebut, menurut Riyono, berada di tengah-tengah antara empat hal yang memotivasi perilaku manusia yaitu urge, challenge, incentive, dan meaning. Urge adalah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, baik itu yang bersifat alamiah (atau fisiologis) maupun yang bersifat kultural (untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial), yang diperlukan dalam melangsungkan kehidupannya. Kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah dalam hirarki Maslow termasuk dalam urge ini. Sementara itu, aktualisasi diri, menurut Riyono, adalah perilaku manusia yang dimotivasi oleh kebermaknaan hidup (meaning) dan tidak terikat pada urge. Dengan kata lain, rasa kebermaknaan lah yang sesungguhnya memotivasi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Hal ini bukan berarti bahwa untuk mengaktualisasikan diri seseorang tidak perlu memedulikan kebutuhan-kebutuhan dasar (urge)-nya, melainkan seseorang harus mengendalikan (to control) pemenuhan kebutuhan tersebut agar urge tidak malah mengambil alih (to drive) kebebasan manusia dan menghambat proses aktualisasi diri.

Sampai di sini dapat dipahami bahwa untuk dapat mengaktualisasikan potensi kebaikan dirinya seseorang terlebih dahulu harus menyadari bahwa ia memiliki kebebasan memilih atau menentukan perilakunya. Selain itu, ia juga harus menyadari bahwa, meskipun ia memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi agar ia dapat melangsungkan kehidupan, kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut tidak boleh mengalihkannya (mengambil alih kebebasannya) dari kesadaran bahwa terdapat makna dalam kehidupannya yang lebih penting dari sekedar mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Dengan kata lain, menyadari bahwa manusia memiliki kebebasan memilih dan menyadari bahwa terdapat makna yang lebih penting daripada sekedar mempertahankan keberlangsungan hidup dalam kehidupan manusia adalah syarat agar seseorang dapat mengaktualisasikan potensi dirinya.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: apakah yang dimaksud dengan makna hidup itu, dan bagaimanakah seseorang dapat menemukan makna hidupnya?

Viktor Frankl (1959) menyatakan bahwa, pada dasarnya, manusia memiliki keinginan dari dalam dirinya untuk hidup bermakna, dan hasrat untuk mencapai kebermaknaan hidup ini lah yang menurutnya merupakan motif fundamental manusia dalam kehidupannya. Frankl juga menyatakan bahwa makna dalam kehidupan manusia bersifat unik bagi masing-masing individu. Dari sudut pandang tersebut maka dapat disimpulkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Paulo Coelho (https://www.youtube.com/watch?v=hikADxCjdNE), bahwa kehidupan itu sendiri tidak secara otomatis bermakna melainkan individu yang menjalani kehidupan itu lah yang memberi makna pada kehidupannya.

Untuk memaknai kehidupan, menurut Jack Mezirow (2012), seseorang harus melalui proses belajar yang memerlukan tingkat kesadaran atau kapasitas kognitif tertentu yang pada umumnya baru dimiliki ketika ia mencapai usia remaja akhir atau dewasa awal. Mezirow menamakan proses belajar tersebut sebagai Transformative Learning, yaitu suatu proses di mana seseorang menrasformasi kerangka referensi berpikir yang pada awalnya diterima begitu saja (taken-for-granted frames of reference yang biasanya berupa perspektif makna, kebiasaan berpikir, atau set mental) menjadi lebih inklusif (inclusive), berbeda (discriminating), terbuka (open), secara emosional dapat diubah (emotionally capable of change), dan reflektif (reflective) sehingga dapat menghasilkan kepercayaan (beliefs) dan pemikiran (opinions) yang terbukti lebih dapat dibenarkan untuk menuntun perilaku. Teori Transformative Learning yang dikembangkan oleh Mezirow berfokus pada bagaimana kita belajar untuk menjalani dan bertindak berdasarkan tujuan, nilai-nilai, perasaan, dan makna yang kita miliki sendiri –dibanding sekedar mengasimilasi secara tidak kritis hal-hal tersebut dari orang lain—agar kita dapat merasa memiliki kendali terhadap kehidupan kita sendiri dan bertindak serta membuat keputusan secara jernih dan bertanggungjawab.

Apa yang oleh Mezirow diistilahkan dengan kerangka referensi (frames of reference) agaknya mirip dengan apa yang oleh Thompson & Janigian (1988) disebut sebagai skema kehidupan (life schemes), yaitu representasi kognitif mengenai kehidupan, kurang lebih semacam cerita tentang kehidupan, yang mengorganisasikan perspektif atau cara pandang seseorang mengenai dunia dan dirinya. Thompson & Janigian menyatakan bahwa penemuan makna kehidupan adalah proses merubah skema kehidupan atau perspektif terhadap suatu peristiwa dalam kehidupan sehingga seseorang (tetap) dapat merasakan adanya keteraturan (sense of order) dan tujuan (sense of purpose) dalam hidupnya.

Menemukan kebermaknaan hidup, menurut Mayseless & Keren (2013), merupakan tugas perkembangan seseorang dalam tahap menjelang dewasa (emerging adulthood). Pendapat ini menegaskan bahwa pada usia menjelang dewasa, seseorang dihadapkan pada tugas untuk menemukan makna hidupnya, dan proses menemukan makna hidup adalah proses belajar transformatif (transformative learning process) untuk membangun kerangka berpikir (frames of reference atau life schemes) yang dapat digunakannya untuk memandang kehidupannya sebagai kehidupan yang teratur dan bertujuan. Dengan memiliki kerangka berpikir yang membuat seseorang dapat menyadari makna kehidupannya, maka ia, secara teoritis, akan termotivasi untuk mengaktualisasikan potensi kebaikan dirinya.


Referensi:

Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality (7th ed.). United States of America: McGraw-Hill Primis.

Frankl, V. E. (1959). Man's Search for Meaning. New York: Pocket Books.

Mayseless, O., & Keren, E. (2013, December 16). Finding a Meaningful Life as a Developmental Task in Emerging Adulthood: The Domains of Love and Work Across Cultures. Emerging Adulthood, XX(X), 1-11.

Mezirow, J. (2012). Learning to Think Like an Adult: Core Concepts of Transformation Theory. In E. W. Taylor, & P. Cranton (Eds.), The Handbook of Transformative Learning: Theory, Research, and Practice (pp. 224-279). San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc.

Riyono, B. (2014). Human Motivation Model Sebuah Koreksi terhadap Teori "Need Hierarchy" Maslow. In S. Wimbarti, & L. Chizanah (Eds.), Perkembangan Psikologi Masa Kini: Kajian Berbagai Bidang (pp. 62-77). Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Beta Yogyakarta.

Thompson, S. C., & Janigian, A. S. (1988). Life Schemes: A Framework for Understanding the Search for Meaning. Journal of Social and Clinical Psychology, 7(2/3), 260-280.


28, 29 September 2015, Jogjakarta

Menatap Rembulan

Bukankah rembulan adalah cermin?
Maka biarlah aku semalaman ini menatapnya
Jika hati memang bisa melihat, entah, dengan caranya sendiri yang tak kupahami
Akankah wajahmu terbayang di sana?
Engkau yang entah sedang berada di mana
Siapa tahu Engkau pun sedang menatap rembulan malam ini

Malam, 28 September 2015, Jogjakata

Jarak Hampa

Kudapati diriku melamun
di bangku bawah pohon itu
suatu malam yang dingin
ketika hembus angin kering
musim kemarau yang panjang
mingkin sengaja
menjatuhkan daun beringin kuning dari tangkainya
mengusik aku yang terhanyut lamunan
menatap lalulintas jalan raya

Daun menyentuh lembut pipiku,
menelusupkan semacam gelombang
hingga jauh ke dalam hati yang sedang sepi
seperti rembulan muda yang sendiri
sebab langit di kota itu memang
tak pernah sudi menampakkan bintang-bintang

Tersadar dari lamunan
aku melihat Hampa menjaraki
Cinta dan 'Cinta'
Hidup dan Kehidupan
sebagaimana jarak antara pengetahuan dan perbuatan
sebagaimana jarak antara mengetahui dan melakukan
seperti jurang lebar dan dalam
memisahkan duniaku dan duniamu
walau kita hidup di dunia yang sama

Mungkinkah kita bisa membangun jembatan
berbekal kerangka-kerangka dunia yang rapuh
atau mungkin kita bisa menumbuhkan sayap
dari rasa-rasa yang tak menentu
agar kita dan mereka dapat bertemu
di suatu titik dalam kehampaan
yang entah...

Hati menatap Rembulan muda
bertanya dalam hening
malam dingin
kota itu

Malam, 28 September 2015, Jogjakarta

Twisted Thought

Aku sering memikirkan ini:

Seandainya manusia tidak kebanyakan memikirkan kepentingan dirinya sendiri melainkan lebih banyak memikirkan kepentingan orang lain, bukan berusaha untuk memperoleh sebanyak-banyaknya melainkan untuk memberi lebih banyak, tidakkah kehidupan di dunia ini akan jauh lebih mudah, indah, sejahtera, dan membahagiakan?

Kalau setiap orang mementingkan kepentingannya sendiri, ia akan lebih sering mengorbankan kepentingan banyak orang lain. Bila setiap orang demikian, kompetisi akan semakin menjadi-jadi, orang akan memperebutkan segalanya, dan kehidupan sepertinya akan sangat kacau balau. Tetapi, bayangkan bila sebaliknya. Kalau setiap orang lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri, bukankah ia jadi tidak perlu terlalu sibuk memikirkan kepentingannya sendiri sebab ia punya lebih banyak orang yang memikirkan dirinya daripada cuma dirinya sendiri saja?

Tetapi mungkin keadaan semacam itu bisa jadi memang hampir mustahil terjadi.

Malam, 27 September 2015, Jogjakarta

Educare


Selalu saja ada keresahan demi kerasahan. Kadang ia begitu samar, dan kadang ia sepertinya begitu jelas namun sulit untuk dijelaskan. Kadang ia bisa diacuhkan, namun kadang terasa sangat mengganggu sehingga tak bisa diabaikan begitu saja. Tetapi mungkin kehidupan memang mesti begini.

Resah adalah sumber penggerak tersendiri bagi denyut-denyut impuls dalam sistem saraf. Mendorong kita untuk senantiasa belajar. Menjadi pertanda bahwa, bagaimana pun, kita akan selalu menjadi orang bodoh, tolol, dungu, atau minimal lugu di hadapan kehidupan.

Resah terkadang seperti benang-benang kusut pemikiran yang mesti diurai. Hanya saja seringkali membingungkan untuk memulainya dari mana. Seperti ide tulisan ini. Maka tulisan ini sekedar usaha untuk mencoba mengurai keresahanku. Semoga dengan demikian dapat kulihat benang merah yang menghubungkan fakta, opini, dan kebenaran sementara, sebelum mencapai Kebenaran Yang Sejati.

*

Aku percaya bahwa setiap manusia membawa benih kebaikan pada dirinya. Sebagaimana kata Maslow, bahwa setiap manusia membawa potensi di dalam dirinya untuk menjadi “a good human being”, dan bahwa setiap manusia sesungguhnya dapat mewujudkan (mengaktualisasikan) potensi dirinya tersebut (Feist & Feist, 2008). Tetapi, aku pun percaya bahwa, manusia juga memiliki sesuatu yang lain pada dirinya; sesuatu yang, mungkin pada dasarnya tidak terlalu buruk, namun berpotensi membawa manusia pada keburukan dan kehancuran. Dan aku juga percaya bahwa manusia, dalam keterbatasan takdirnya, memiliki kebebasan untuk menentukan perilakunya. Kebebasan untuk menjadi baik, atau menjadi buruk. Sepanjang kehidupan, kebebasan kita ditempatkan di antara potensi untuk menjadi baik dan untuk menjadi buruk, mungkin sebagai ujian, untuk suatu saat nanti dipertanggungjawabkan.

*

Dalam ide Ki Hadjar Dewantara (Haryanto, 2011) mengenai pendidikan sesungguhnya juga telah tersirat bahwa manusia membawa kodrat kebaikan dan keburukan pada dirinya. Pendidikan, sebagaimana yang kupahami dari pemikiran beliau, adalah usaha untuk membantu seseorang agar mampu menyadari kodrat (kebaikan dan keburukan pada diri)-nya dan mampu mewujudkan kebaikannya serta mengatasi (mengendalikan) keburukannya. Pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara, bertujuan untuk mewujudkan manusia yang ‘beradab kemanusiaan’, yaitu manusia yang “merdeka”, yang memiliki budipekerti kokoh sehingga, selain dapat mewujudkan kebaikannya, ia mampu mengatasi dan mengendalikan nafsunya (Haryanto, 2011). Nafsu ini, menurut Ki Hadjar Dewantara, tidak dapat dihilangkan sebab ia merupakan bagian tak terpisahkan dari jiwa manusia, namun ia dapat dikendalikan. Maka pendidikan idealnya dapat melahirkan manusia-manusia yang mampu mengatasi dan mengendalikan dorongan nafsunya. Manusia semacam ini lah yang disebut manusia “berkarakter”.

Namun, pada kenyataannya, tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan tersebut ternyata masih jauh dari kenyataan yang ada dewasa ini. Meskipun konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara telah sejak dulu menekankan pentingnya pengolahan karakter (keutuhan jiwa manusia dalam wujud cipta (pikiran atau aspek kognitif), rasa (perasaan atau aspek afektif), dan karsa (perilaku atau aspek konatif); Haryanto, 2011), sistem pendidikan di negeri kita sepertinya masih menafsirkan dan menerapkannya secara sangat sempit. Pendidikan direduksi maknanya menjadi sekedar pengajaran (Samho & Yasunari, 2010), dan bahkan lebih sempit lagi, menjadi sekedar pengajaran yang berlangsung di dalam ruang kelas untuk mencapai target lulus ujian (Sinawang dalam Haryanto, 2011). Maka tak heran bila masyarakat negeri ini, bahkan pemimpin-pemimpinnya pun, masih jauh dari gambaran manusia berbudipekerti atau beradab sebagaimana yang dicita-citakan dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

Kenyataan ini sesungguhnya berpotensi membuat keadaan negeri ini menjadi jauh lebih buruk lagi, sebab pendidikan (sebagaimana yang diungkapkan Ki Hadjar Dewantara dalam Haryanto, 2011) tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah atau apa yang kita pahami sebagai institusi pendidikan saja, melainkan juga di luar itu, yaitu di lingkungan keluarga dan juga masyarakat. Apabila sebagian besar masyarakat, apalagi pemimpin bangsa, berkarakter buruk, maka tak mengherankan apabila semakin banyak anak-anak negeri ini yang menjadi buruk pula karakternya. Selama negeri ini belum mampu memperbaiki keadaan tersebut, maka keadaan sepertinya akan terus memburuk.

Kita sepertinya perlu melakukan, meminjam istilah Sir Ken Robinson, revolusi sistem pendidikan. Dan revolusi tersebut memerlukan perubahan yang cukup fundamental. Sebagaimana yang diungkapkan Robinson dalam ceramah-ceramahnya di TED.com, kita perlu mengubah paradigma mengenai pendidikan.

Pertama, bahwa sistem pendidikan seharusnya berpusat pada peserta didik. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan harus disesuaikan dengan “kebutuhan” peserta didik dan bukan sebaliknya (sebagaimana yang umumnya terjadi dewasa ini). Yang dimaksud dengan “kebutuhan” adalah, sebagaimana yang diungkapkan Robinson, kondisi yang sesuai bagi berkembangnya talenta (atau potensi-potensi kebaikan) peserta didik. Hal ini karena, sebagaimana pendapat Ki Hadjar Dewantara (dalam Haryanto, 2011), pendidik tidak dapat merubah kodrat peserta didik, tetapi hanya dapat menuntun tumbuh-kembangnya kodrat kebaikan yang telah ada pada dirinya tersebut.

Kedua, bahwa kita seharusnya bisa memandang manusia (sebagai peserta didik) secara utuh. Bahwa manusia memiliki raga dan jiwa yang meliputi daya cipta, rasa, dan karsa. Maka pendidikan seharusnya menggarap manusia secara utuh, tidak hanya daya ciptanya (kemampuan kognitifnya) saja sebagaimana yang menjadi tren masa kini. Dengan demikian, maka tujuan pendidikan untuk membentuk karakter peserta didiknya, (semoga) akan dapat tercapai.

Ketiga, bahwa proses pendidikan seharusnya dipahami sebagai proses yang berlangsung dalam lingkungan yang lebih luas, termasuk dalam keluarga dan masyarakat (Haryanto, 2011). Mungkin karena itu lah Ki Hadjar Dewantara (dalam Haryanto, 2011) menyatakan bahwa pendidikan adalah “usaha kebudayaan”, sebab dalam kebudayaan tersebut lah proses pendidikan berlangsung. Dalam kerangka berpikir demikian, maka makna semboyan ing ngarsa sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani pun akan menemukan bentuknya yang nyata, tidak hanya menjadi sekedar semboyan kosong.

*

Tetapi hal yang lebih mendasar daripada itu semua yang perlu kita tinjau kembali adalah kerangka pemikiran tentang untuk apa sesungguhnya kita berada dan hidup di dunia ini. Selama kehidupan masih kita angap sebagai perjuangan untuk mencapai kepuasan diri sendiri, selama itu pula akan selalu ada kompetisi, baik antar sesama manusia, maupun dengan makhluk yang lain. Bila demikian, maka keselarasan tidak akan pernah terwujud. Manusia hanya akan terus berusaha menaklukkan alam, memanfaatkannya demi kepentingan pemuasan kebutuhan manusia. Tidak hanya itu, antar sesama manusia pun akan saling berusaha menaklukkan satu sama lain. Maka perang tidak akan pernah usai.

Maslow (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa meskipun setiap manusia sesungguhnya memiliki potensi kebaikan di dalam dirinya dan meskipun setiap manusia sesungguhnya dapat mengaktualisasikan potensi tersebut, namun karena perhatian manusia teralihkan kepada pemuasan kebutuhan di tingkat yang lebih rendah (kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, dan harga diri), maka potensi kebaikan tersebut tidak teraktualisasi. Kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah dalam konsep hirarki kebutuhan Maslow tersebut, oleh Riyono (n.d.) dalam Teori Human Motivation Model-nya, disebut sebagai “urge” yang menurut saya sepertinya sama maknanya dengan nafsu. Urge adalah dorongan-dorongan yang timbul dari dalam diri yang ketika ia dipenuhi akan menimbulkan perasaan puas, senang, dan bangga. Sementara itu, apa yang oleh Maslow disebut sebagai kebutuhan untuk beraktualisasi, oleh Riyono diidentifikasi sebagai dorongan untuk mencapai kebermaknaan hidup. Menurut Riyono, jika urge (yang mencakup kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah Maslow) adalah dorongan untuk “menerima” sehingga timbul kepuasan, maka kebermaknaan (atau aktualisasi dalam konsep Maslow) adalah dorongan untuk “memberi” manfaat kepada orang lain.

Di sini lah, sepertinya, letak di mana masyarakat dunia dewasa ini mengalami kebuntuan perkembangan peradaban. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam ilmu ekonomi, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu, dan bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Maka prinsip ekonomi mengajarkan untuk “memberi sesedikit mungkin, dan menerima sebanyak mungkin”. Dengan demikian, katanya, kesejahteraan akan tercapai.

Dan dengan bodohnya kita percaya dengan semua itu. Kita percaya bahwa ekonomi adalah kunci mencapai kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Kita percaya bahwa bila kita menyimpan harta benda yang kita miliki sekarang, besok-besok kita tidak perlu khawatir akan mengalami kekurangan, maka kita menumpuk-numpuk harta yang sesungguhnya bisa kita manfaatkan untuk kebaikan di saat ini. Padahal esok belum tentu adanya. Kita percaya bahwa kebahagiaan kita adalah hak kita yang mesti diperjuangkan, sementara kebahagiaan orang lain adalah urusan orang lain yang tak perlu kita pikirkan. Maka kita mati-matian berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri (dan yang kumaksud dengan diri sendiri dapat berupa kelompok sendiri, keluarga sendiri, atau lingkungan sendiri yang kita letakkan dalam perspektif “menguntungkan bagi diri kita”), dan tak peduli pada kebutuhan orang lain.

Tidak benar, menurutku, bahwa kebutuhan hidup manusia itu tidak terbatas. Kebutuhan manusia itu sesungguhnya tidak banyak-banyak amat, selama kita mampu mengendalikan diri. Kebanyakan hal di sekeliling kita sesungguhnya bukan benar-benar merupakan sesuatu yang kita butuhkan. Hal-hal tersebut adalah sesuatu yang kita inginkan, lalu dirasionalisasikan sebagai kebutuhan.

Maka pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai tuntunan agar seseorang mampu menguasai “nafsunya” (Haryanto, 2011) sesungguhnya sudah sangat baik. Hanya mungkin saja masyarakat memang sudah melupakan itu, dan lebih setuju dengan pemikiran bahwa pendidikan adalah jalan untuk meningkatkan perekonomian. Bahkan tidak hanya pendidikan, motif ekonomi sepertinya melatarbelakangi hampir setiap apa yang dilakukan manusia dewasa ini. Bahkan tersenyum pun seringkali dilatari oleh motif tersebut.

*

Mungkin cara berpikir kita sudah sangat terpengaruh oleh pola pikir ekonomi. Pada tingkat individu, keluarga, kelompok, masyarakat, negara, bahkan global, hampir segalanya dipertimbangkan –utamanya—menggunakan kerangka pemikiran ekonomi. Kebijakan menganai sistem pendidikan pun tidak terlepas dari itu.

Kritik Sir Ken Robinson terhadap model sistem pendidikan di sebagian besar negara di dunia sepertinya juga mencerminkan hal ini. Robinson, dalam beberapa kali ceramahnya di TED.com, menyoroti model sistem pendidikan di kebanyakan negara di dunia yang menurutnya “membunuh kreativitas” dan mengubur potensi-potensi kebanyakan peserta didik. Ia menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan, salah satunya, oleh model sistem pendidikan yang masih mengadopsi model era industri. Sistem pendidikan modern, menurut Robinson, memang lahir sejak terjadinya Revolusi Industri pada abad ke-19. Dahulu, pendidikan tidak lah sesistematis sekarang. Namun sejak era industri bergulir, sistem pendidikan kemudian dibentuk untuk menyelaraskan kemampuan manusia dengan tuntutan industrialisme. Maka tak heran bila sistem pendidikan masih cenderung menyerupai “pabrik” untuk menciptakan karyawan bagi dunia industri.

Standarisasi di mana-mana. Robinson menganalogikannya dengan model fast food di mana bahan baku, proses, dan hasilnya distandarisasi. Bayangkan, bagaimana manusia-manusia yang pada hakikatnya beragam diseragamkan oleh sistem pendidikan. Untuk mengenyam pendidikan, orang-orang harus melalui serangkaian tes standar yang berfungsi sebagai saringan untuk memilih bahan baku yang sesuai. Dalam prosesnya pun, kurikulum distandarisasi, metode pengajaran distandarisasi, target pencapaian distandarisasi. Mereka yang tidak sesuai standar akan disingkirkan.

Dengan sistem pendidikan seperti itu, Robinson melihat kenyataan bahwa banyak anak-anak yang sebenarnya berbakat menjadi tersingkirkan. Hal tersebut terjadi karena dalam model pendidikan industrialis, hanya bakat-bakat tertentu saja yang memperoleh perhatian dan dianggap penting sementara bakat-bakat yang lain diabaikan. Bakat seni dan olahraga adalah bakat-bakat yang pada umumnya menjadi korban sistem semacam ini.

Robinson bersikeras bahwa sistem pendidikan perlu dirombak, perlu revolusi. Ia menegaskan bahwa sistem pendidikan seharusnya berlaku secara dinamis dan dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang sesuai bagi tumbuh-kembangnya potensi diri peserta didik yang memang sangat bermacam-macam. Mendidik seharusnya seperti bertani, sebab pendidikan mengolah manusia yang sifatnya organis, bukan mesin yang mekanis. Dengan kata lain, sistem pendidikan lah yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, dan bukan sebaliknya. Dengan demikian, setiap potensi, bakat, talenta yang dimiliki peserta didik akan terfasilitasi untuk dapat berkembang dan teraktualisasi.

[Jogjakarta, September 2015]


Referensi:

Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality (7th ed.). United States of America: McGraw-Hill Primis.

Haryanto. (2011, Mei). Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara. Cakrawala Pendidikan, 15-27.

Riyono, B. (n.d.). Human Motivation Model: Sebuah Koreksi Terhadap "Need Hierarchy" Maslow.

Samho, B., & Yasunari, O. (2010). Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Tantangan-Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.

Hei, Beri Tahu Aku

Hei, beri tahu aku apa yang kau pendam di balik senyum itu
Segalanya terasa suram dalam hidupku
Sang mentari pun pergi meninggalkanku
Hingga yang tersisa hanya gelap
Hampa yang tak ku mengerti mengapa
Ada ruang kosong seluas semesta
Di antara pikiran dan perasaanku

Hei, ceritakan padaku mimpi yang kau simpan dalam tidurmu setiap malam
Seperti ketika kau bercerita tentang bintang-bintang
Yang merengkuh masa lalu dan masa depan
Lalu menyelimutinya dengan rahasia
Yang kita simpan rapat-rapat
Dalam diam malam itu

Kau diam
Kau tersenyum
Di matamu ku lihat
Semesta bertabur bintang
Dan kabut
Dan debu
Dan kita yang lugu
Tertidur dengan sejuta tanya

[9 September 2015]

Harmoni: Perjalanan Lingkaran Transformasi Spiral

#1 Kematian dan Kebebasan

Kalu kau pernah merasa sedang menghadapi kematian, maka kau akan tahu betapa tak berdayanya manusia di hadapan semesta ini. Betapa rapuh, sesungguhnya, kita manusia. Betapa “murah” harga kehidupan yang kita pikir sangat berharga ini. Kehidupan yang sesungguhnya bahkan bukan “milik” kita. Apa sih yang sesungguhnya kita “miliki?” Tak ada. Kita hanya bagian sangat kecil dari alam semesta yang entah sebesar apa ini.

*

Aku pernah merasa sedang menghadapi saat-saat terakhir hidupku. Beberapa kali, ketika terjebak di pusaran air sungai. Mereka menyebutnya hole sebab apapun yang melintasinya akan tersedot ke dalamnya, dan satu-satunya cara keluar adalah dengan masuk ke dalamnya. Tetapi kemudian, waktu itu, ternyata aku tak jadi mati. Bisa dibilang cukup beruntung. Tetapi aku lebih suka menganggapnya sebagai semacam kemurahan hati semesta kepadaku. Ketika aku sudah pasrah karena tak tahu lagi harus melakukan apa untuk bisa menyelamatkan diri, mereka menyelamatkanku dengan semacam konspirasi yang sulit dijelaskan kecuali dengan kata: “kebetulan” atau “keberuntungan.”

Pada momen-momen semacam itu “your only defence is to stay calm while forces far beyond your control are deciding your fate. You have to shut down all nonessential oxygen-consuming functions, which include thinking, until you get the chance to become an active participant in your own destiny once again” tulis Hendri Coetzee dalam Living the Best Day Ever.

Coetzee menggambarkannya dengan sangat baik, menurutku. Bahwa terdapat kekuatan yang jauh melampaui kekuatan kita yang menentukan nasib kita. Di momen-momen semacam itu, apa lagi yang bisa dilakukan selain pasrah.

Dan kepasrahan menciptakan semacam kedamaian dalam pikiran.

Kuharap aku bisa menjalani kehidupan dengan kedamaian seperti itu selalu. Namun entah mengapa hal itu rasanya sulit dicapai dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin karena kita terlampau merasa memiliki kendali yang besar, dan kita memang seringkali ingin mengendalikan segala yang terjadi dalam kehidupan ini. Betapa kita sering melupakan bahwa kita ini kecil, lemah, dan rapuh.

Tetapi kita kan memang diberi sedikit kebebasan dan kemampuan untuk menentukan (mengendalikan) nasib kita. Ada yang bilang bahwa itulah yang membuat manusia dapat lebih tinggi derajatnya daripada hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Mungkin, di dalam sedikit kebebasan kita itu lah, peran kita sebagai manusia sesungguhnya diuji. Namun dengan sedikit kebebasan itu, kita nampakanya masih sering terlampau menyombongkan diri di hadapan para hewan, tetumbuhan, pasir, bebatuan, lautan, dan semua yang ada di alam ini. Seolah kita memang ada untuk menjadi penguasa bumi dan alam semesta, padahal kita ini tak ada apa-apanya.

Freedom, however, is not the last word” kata Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning. Freedom is only part of the story and half of the truth. Freedom is but the negative aspect of the whole phenomenon whose positive aspect is responsibleness. In fact, freedom is in danger of degenerating into mere arbitrariness unless it is lived in terms of responsibleness.

Tetapi kepada siapa kita mesti mempertanggungjawabkan perbuatan kita? Untuk menjawab pertanyaan itu pun, kita sepertinya masih memiliki kebebasan. Atau tidak? Kita mungkin harus mencari jawabannya di hati yang paling dalam.

*

#2 Paradoks

Ah... Seandainya aku ini adalah kerikil di tengah gurun, atau setetes air di lautan, atau rumput di belantara. Mungkin aku bisa merasakan kedamaian itu selalu. Tak perlu memikul kebebasan yang nantinya mesti dipertangungjawabkan ini.

Tetapi kita masih sering terbuai oleh kebebasan yang sedikit itu. Seenaknya saja menggali gurun, mencemari lautan, menginjak rata belantara, demi diri sendiri. Lupa kita pada hukum yang mengatur semesta. Kita bahkan seenaknya sendiri menentukan hukum untuk semesta, seolah ia tunduk sepenuhnya pada kita, padahal tidak.

Jangan bilang mau menundukkan semesta, menundukkan diri sendiri pun kita kewalahan bukan main. Ya, bagian diri kita yang selalu ingin seenaknya sendiri itu. Justru itu lah yang semestinya kita tundukkan. Bagian yang kalau dibiarkan bisa menghancurkan diri kita sendiri dan berpotensi merusak dunia. Kita bahkan mungkin sedang mengalami kerusakan itu sekarang. Kita bersama.

Jangan-jangan apa yang kita kira kemajuan zaman sesungguhnya adalah proses menuju kehancuran zaman. Kita patut merenungkannya lagi.

Segala macam teknologi modern itu. Untuk apa? Untuk mempermudah segala urusan? Untuk memungkinkan kita mengendalikan lebih banyak hal dalam hidup? Untuk membuat kita merasa aman karena bisa mengendalikan banyak hal? Betapa kita sangat menghindari ketidakpastian dan risiko-risiko.

Mungkin kita takut. Pada ketidakpastian. Pada risiko. Pada yang tidak dapat kita prediksi dan kendalikan. Dan mungkin, terutama, pada kematian. Maka kita berusaha menenggelamkan diri dalam ilusi “kendali dan rasa amanan.” Berusaha menguasai banyak hal, sebab kekuasaan berarti kendali. Betapa bodohnya kita!

Bukankah itu mengandung suatu paradoks yang nyata? Bila masing-masing kita berusaha mengendalikan segala yang ada di sekeliling kita, bukan kah itu hanya akan menciptakan kekacauan? Aku menyadari ini di jalan raya. Tempat di mana manusia bergerombol bersama sambil membawa egoisme masing-masing yang ingin diterapkan pada orang lain. Tempat di mana semua orang itu salah kecuali “aku.”

Tidak. Manusia-manusia itu jauh lebih sulit diprediksi dibanding bebatuan dan air yang mengalir. Hal yang lucu adalah bahwa kita merasa lebih aman berada di jalan raya daripada di sungai.

Tetapi kupikir itu bagus juga dari satu sisi. Biarkan sungai tetap berbahaya. Biarkan bayang-bayang kematian selalu menyertainya. Agar bila suatu saat aku merindukan kematian, aku bisa menjenguknya di sungai.

*

#3 Harmoni

Salah satu alasan aku menyukai petualangan dan mengagumi para petualang, adalah karena petualangan selalu dipenuhi ketidakpastian dan risiko, tak peduli seberapa besar usaha kita dalam mengantisipasi setiap risiko itu. It reminds me of death, and then life.

Para petualang selalu menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dikelilingi oleh berbagai risiko. Mereka dengan sangat teliti dan terencana berusaha mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk menghadapi risiko-risiko itu, namun mereka pun sadar bahwa tidak semua risiko bisa dihilangkan, tidak semua hal bisa dikendalikan. Alam selalu memegang peran utama, dan kita tidak akan bisa mengalahkannya. Yang bisa dilakukan hanya senantiasa menyesuaikan diri dengan keadaan alam. Mereka tidak berusaha mengendalikan. Mereka berusaha menyelaraskan diri.

Itulah yang seharusnya kita lakukan dalam hidup. Menemukan keselarasan. Harmoni. Dengan diri sendiri. Dengan sesama manusia. Dengan alam semesta. Dengan energi di balik itu semua.

*

#4 Rindu dan Petualangan

Kupikir, petualangan adalah miniatur kehidupan. Hidup adalah suatu perjalanan panjang untuk kembali pulang. Kembali ke “rumah” kita yang sejati. Rumah dari mana kita berasal.

Mungkin kita hanya sering lupa. Bahkan lupa bahwa perjalanan itu sudah kita mulai sejak lama, dan bahwa kita sesungguhnya sedang di tengah-tengah perjalanan. Paling tidak, meskipun sebagian diri kita melupakannya, sebagaian yang lain tidak pernah lupa. Sebab di dalam diri kita ada bagian yang selalu merindukan rumah itu. Bagian diri kita itu, mungkin jauh di bawah sadar sana, selalu membisikkan kerinduannya. Mungkin kita hanya tak pernah benar-benar bersedia mendengarkannya.

Lagipula, perjalanan itu memang tidak mudah, bahkan seringkali berbahaya. Maka banyak dari kita yang memilih untuk tinggal di sini saja. Di dunia yang kita rasa sudah cukup aman dan nyaman ini. Di sini kita bisa membangun rumah baru, lengkap dengan ilusi “kendali dan rasa aman”-nya.

Tetapi apa yang kita pendam di bawah sadar itu sepertinya kemudian menjadi bagian alam bawah sadar kolektif manusia dan berusaha menemukan jalan keluar. Salah satunya melalui mitos dan legenda yang mewarnai berbagai budaya di dunia dari masa ke masa.

Ketika Joseph Campbell (2004) meneliti cerita-cerita itu, ia menemukan tema universalnya. Monomyth, adalah istilah yang digunakan Campbell untuk mengacu pada pola-pola yang sama yang terdapat dalam setiap cerita mitos dan legenda. Campbell (dalam April L. Roberts, 2005) menggambarkannya sebagai Hero’s Journey, di mana sang pahlawan merasakan adanya call to adventure dari dalam dirinya ketika melihat keadaan dunia tempat ia hidup, bertemu dengan mentor yang mengajarkannya banyak hal dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi petualangan, menyeberangi treshold of adventure dan menempuh perjalanan, menghadapi berbagai tantangan sebagai test, menghadapi pilihan untuk flight dan tinggal di tengah perjalanannya atau return dan melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang, menyeberangi treshold on return, lalu membagikan elixir dan kebijaksanaannya sebagai pribadi yang telah mangalami transformation kepada orang-orang.

April L. Roberts (2005) kemudian menemukan kesamaan antara model Hero’s Journey Campbell dengan proses petualangan transformatif melalui penelitian kualitatifnya terhadap 7 orang petualang tentang pengalaman petualangan mereka. Roberts mengungkap bahwa terdapat elemen-elemen dalam proses petualangan yang dapat menransformasi diri pelakunya yaitu risiko (risk), tantangan (challenge), alam (natural environment), hubungan (connection), dan klosur (closure). Sebagaimana Campbell menemukan universalitas dalam berbagai mitos, Roberts pun menemukan bahwa elemen-elemen yang diungkapkan di atas terdapat dalam petualangan dalam bentuk apa pun (baik itu mendaki gunung, memanjat tebing, mengarungi sungai, dan sebagainya). Elemen-elemen tersebut lah, tidak peduli apa pun bentuk petualangannya, yang membuat suatu petualangan menjadi transformatif.

Ken Andrews (1999) dalam artikelnya di The Journal of Experiential Education juga pernah menjelaskan bahwa petualangan (dalam hal ini ekspedisi di alam bebas) dapat dipandang dari perspektif antropologi sebagai rite of passage, yaitu suatu fenomena universal yang terdapat dalam berbagai budaya di mana seseorang harus melalui serangkaian prosesi ritual transisi agar dapat berkembang dari suatu tingkatan ke tingkatan selanjutnya dalam kehidupan. Proses tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Andrews dalam artikelnya, adalah separasi (separation) atau pemisahan diri dari struktur kehidupan sehari-hari, transisi (transition, or margin, or liminal) di mana seseorang mengalami pengalaman intens yang berbeda dari pengalaman sehari-harinya, dan reinkorporasi (reincorporation or aggregation) di mana ia kemudian kembali memasuki struktur kehidupan sehari-harinya namun dengan menyandang posisi atau status baru.

Andrews menjelaskan lebih jauh bagaimana proses petualangan dapat dilihat dengan kacamata rite of passage, terutama bagaimana fase transisi terjadi dalam petualangan. Ia menjelaskan bahwa terdapat 3 dimensi utama dalam fase transisi tersebut yaitu:

  1. Rasa diri sejati (sense of self). Dengan memisahkan atau melepaskan diri dari struktur kehidupan sehari-hari, seseorang secara tidak langsung akan melepaskan diri dari aturan-aturan sosial yang seringkali mempengaruhi bagaimana ia memandang dirinya sendiri. Kedudukan sosial, pekerjaan, jabatan, pangkat, dan sebagainya seringkali mendistorsi pandangan kita terhadap diri sendiri. Dengan hilangnya aturan-aturan sosial, kita dapat menemukan diri sejati kita yang murni sebagai manusia, tanpa berbagai embel-embel.
  2. Rasa komunitas (sense of community). Ketika aturan-aturan sosial kehidupan sehari-hari menghilang dan kita menemukan diri kita dan orang lain sebagai “sekedar” manusia, kita jadi lebih mudah menjalin hubungan satu sama lain. Hubungan yang terjalin adalah hubungan otentik antar “sesama manusia” tanpa embel-embel kedudukan sosial, pekerjaan, jabatan, pangkat, dan sebagainya. Andrews (1999) menyatakan bahwa rasa komunitas ini lah yang merupakan karakteristik sentral dalam ekspedisi.
  3. Rasa keterhubungan dengan alam (sense of place). Berada di alam liar, di tempat yang tidak biasanya kita tempati, berarti melepaskan diri dari lingkungan sosial kita sehari-hari (baik secara fisik maupun secara mental). Selain dapat membuat kita lebih terhubung ke diri sejati kita dan mampu menciptakan rasa komunitas atas dasar hubungan sesama manusia, hal tersebut juga dapat membuat kita menyadari “fakta” bahwa di balik realitas kebudayaan, manusia sesungguhnya adalah bagian dari alam.
Oleh sebab itu, lanjut Andrews, setelah seseorang menempuh suatu petualangan dan kembali ke kehidupannya sehari-hari, ia dapat menjadi “orang yang berbeda” dari sebelumnya. Dengan melalui dimensi-dimensi dalam fase transisi tersebut, seseorang dapat mengalami perubahan dalam dirinya (inward transformation) yang terwujud pada perilakunya (outward change).

Dimensi-dimensi yang disebutkan Andrews di atas sesungguhnya juga diidentifikasi oleh Roberts dalam penelitiannya yang dipandangnya sebagai bagian dari elemen hubungan (connection) yaitu hubungan dengan diri sendiri (heightened connection to self), hubungan dengan komunitas (heightened connection to community), dan hubungan dengan alam semesta (heightened connection with universe). Namun lebih jauh, Roberts juga mengidentifikasi elemen-elemen lain dalam petualangan yaitu risiko (risk), tantangan (challenge), alam (natural environment), dan klosur (closure). Semua elemen tersebut, meskipun diidentifikasi sebagai elemen yang berbeda, sesungguhnya saling berkaitan satu sama lain dalam hubungan yang kompleks.

Risiko, menurut Roberts adalah elemen utama, dan tidak dapat dipisahkan dari petualangan itu sendiri. Tanpa risiko, tak ada yang namanya petualangan, dan risiko pertama dan utama yang dihadapi seseorang adalah bahwa tidak terdapat jaminan akan diperolehnya hasil positif dari petualangan tersebut (positive outcome is not guaranteed). Hanya ketika seseorang berani menghadapi risiko ini lah ia akan bersedia memenuhi the call to adventure. Kemudian, ia akan mulai menghadapi risiko-risiko yang lain yang oleh Roberts dikelompokkan menjadi risiko fisik (mulai dari terluka, cacat, hingga kematian), dan risiko emosional (rasa takut, cemas, bosan) serta risiko spiritual (dalam bentuk konfrontasi terhadap nilai-nilai yang selama ini dianut).

Ketika seseorang menyanggupi panggilan bertualang, ia akan melihat risiko-risiko tersebut sebagai tantangan. Segala risiko sebisa mungkin harus diidentifikasi dan berbagai kompetensi harus dipersiapkan untuk menghadapinya (meskipun pada saat yang sama juga harus diakui bahwa tidak semua risiko akan bisa diatasi). Kompetensi fisik (kekuatan tubuh, stamina, dll), kompetensi teknis (kemampuan menggunakan berbagai peralatan atau mengeksekusi tugas-tugas), kompetensi mengatasi masalah, kompetensi emosional, dan kompetensi spiritual dikembangkan dalam rangka mengatasi tantangan. Dalam mengembangkan kompetensi-kompetensi tersebut, peran mentor sangat diperlukan.

Ketika seseorang kemudian menapaki perjalanan dan menemukan dirinya berada di tengah-tengah alam liar, seseorang akan mengerti bahwa ia begitu kecil dan mesti tunduk pada hukum alam. Berada di tengah-tengah alam liar, seseorang dapat merasakan pengalaman emosional dan bahkan spiritual yang bisa mempengaruhi nilai-nilai personalnya.

Ada yang bilang bahwa alam menyimpan kemampuan restoratif bagi manusia. Ada yang bilang bahwa kehidupan sehari-hari kita penuh dengan aktivitas yang membutuhkan usaha pemusatan energi mental dan hal tersebut membuat kita lelah, sementara lingkungan alami dapat menyembuhkan kelelahan tersebut. Ada yang bilang bahwa banyak permasalahan psikis manusia tiimbul sebab manusia semakin “menjauh” dari alam, memisahkan dirinya dari alam, dan bahkan merasa dirinya lebih tinggi daripada alam sehingga berhak melakukan apa saja terhadapnya. Mengembalikan hubungan yang harmonis dengan alam, oleh karena itu, penting untuk penyembuhan psikis kita (Gass, Gillis & Russel, 2012).

Sementara itu, klosur (closure) mengacu pada “batasan” yang jelas mengenai petualangan. Batasan tersebut membuat kita dapat memandang petualangan seperti suatu lingkaran utuh. Terdapat awal dan akhirnya yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk keutuhan petualangan. Kita dapat menceritakannya sebagai suatu pencapaian tertentu. Kita dapat “melihatnya” secara jelas sehingga kita bisa fokus terhadapnya. Kita dapat mengidentifikasi risiko-risiko dan tantangan-tantangannya untuk menentukan kompetensi yang dibutuhkan yang sesuai untuk menjalani proses petualangan itu. Kira-kira begitu lah yang dimaksud dengan klosur ini.

Klosur ini membuat kita bisa melihat proses petualangan yang pernah kita lakukan seolah-olah kita melihat keseluruhan hidup kita secara utuh. Dengan begitu, kita bisa lebih mudah memetik hikmah dan pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan.

*

Sekilas, konsep klosur dapat dilihat seperti suatu lingkaran penuh, dan memang begitu lah ia diilustrasikan. Dan kehidupan pun seperti berputar-putar melingkar. Mungkin segala hal, dari bagian terkecil yang menyusun tubuh kita dan semua benda lainnya hingga galaksi-galaksi dan alam semesta secara keseluruhan, itu bergerak melingkar. Seperti siklus. Dan seringkali kita mungkin terjebak melihat fenomena tersebut sebagai siklus yang berulang-ulang begitu saja. Bergerak namun tetap di tempat. Seperti kita terjebak menganggap jam dinding adalah waktu, padahal ia hanya penunjuk waktu.

Setiap putaran tidak pernah sama dengan putaran yang lain, meskipun kelihatannya sama. Seperti pukul sembilan pagi ini tidak sama dengan pukul sembilan kemarin atau pukul sembilan lima belas tahun yang mungkin akan datang. Setiap siklus membawa perubahan. Idealnya, perubahan itu adalah menuju yang lebih baik. Apa yang kita lihat seperti lingkaran mungkin sesungguhnya adalah spiral. Tangga menuju diri kita yang lebih baik. Semoga.

Terakhir, aku merasa harus menyatakan ini: “Sesuatu yang tidak pernah kita lihat bukan berarti tidak ada. Sesuatu yang tidak mampu kita jangkau dengan penalaran, bukan berarti tidak ada. Wilayah itu mungkin hanya bisa kita jangkau dengan keyakinan.

Sementara kebenaran hanya bisa terlihat dengan mata hati yang paling dalam. Maka semua ini bukan kebenaran. Hanya pemikiran yang berusaha menemukan tempatnya di antara yang benar dan yang salah.”
“Lagipula, kita tak tahu apa-apa kecuali sedikit yang diizinkan untuk kita ketahui.”

--------------

# Referensi:

Andrews, K. (1999). The Wilderness Expedition as a Rite of Passage: Meaning and Process in Experiential Education. The Journal of Experiential Education, Vol 22 No 1, hal 35-43.

Campbell, J. (2004). The Hero with a Thousand Faces. New Jersey: Princeton University Press.

Coetzee, H. (2013). Living the Best Day Ever. (K. Blackmore, Ed.) Centurion, South Africa: Hendri Coetzee Trust.

Frankl, V. E. (1959). Man's Search for Meaning. New York: Pocket Books.

Gass, M. A., Gillis, H. L., & Russell, K. C. (2012). Adventure Therapy: Theory, Research, and Practice. New York: Routledge (Taylor & Francis Group, LLC).

Roberts, A. L. (2005). Adventure As A Transformative Experience. University of Utah, Department of Educational Psychology. ProQuest LLC.


[Jogjakarta, 5, 6, 7 September 2015]

Setengah Tidur dan Terjaga

Ada dunia di antara kenyataan dan khayalan
Ada ruang di antara kenangan dari masa lalu dan impian tentang masa depan
Ada sensasi aneh yang terasa di antara tidur dan terjaga ku
Pagi itu, di celah antara daun dan bingkai jendela

Terjebak di jarak antara kata dan makna
di antara bahagia dan derita
antara hidup dan mati
Pagi itu, seberkas cahaya menerobos gelap ruang kesadaran ku

Kamu

Tak tersentuh
Tak terlihat
Tak terdengar
Tak tercium
Tak terkecap
Tak terbatas logika
Tak terperi emosi
Tak paham lah aku

Kamu


 2, 3, 4 September 2015