Pages - Menu

Jogja.Malam.Purnama.



Kadang kala malam jadi sedemikian dinginnya. Perlahan-lahan menjadi sepi ketika orang-orang mulai kembali ke rumah dan rebah di tempat tidur masing-masing. Sementara purnama berjingkat ke pucuk-pucuk gedung tinggi. Pelan-pelan. Hampir tanpa menimbulkan suara kecuali desir angin atau jika serigala mendapatinya di celah-celah pepohonan. Untung lah di sini tak ada serigala. Maka malam tetap sunyi berdesir dingin.

Purnama di kota ini redup. Tak seperti di desa-desa sana yang selalu disambut dengan meniup pelita, mematikan senter, memadamkan lampu di jalanan. Aku rindu bermandi cahaya purnama.

Di kota ini, segalanya menjadi semu. Tidak palsu. Hanya kesejatian yang terselubung oleh topeng-topeng, oleh pakaian-pakaian, oleh asap-asap yang dihembuskan peradaban, juga oleh suara-suara bising: mesin-mesin, mulut-mulut. Jiwa-jiwa gampang tersesat di kota ini. Mungkin pula jiwaku pun tersesat. Sebab malam ini aku bertanya: ke mana kah aku mesti melangkah?

Sebab yang selalu kuperhatikan adalah orang-orang yang berlari mengejar kesuksesan. Sementara aku tak mengerti apa yang mereka maksud dengan kesuksesan itu. Aku tak bisa melihat apa yang mereka lihat di ujung jalan itu. Tidak pula di ujung jalan mana pun. Maka aku jadi tak tahu mesti berlari ke mana. Mesti mengejar apa. Satu-satunya yang kutahu: di setiap ujung jalan adalah kematian.

Hidup berakhir pada kematian. Jalan hidup adalah jalan menuju kematian.
Maka, apa bedanya mati di sini atau di sana? Apa bedanya mati sekarang atau nanti?
Mungkin, kehidupan adalah untuk membuat perbedaan itu.

Apa kah yang sebaiknya dilakukan, atau tidak dilakukan, agar ketika berjumpa dengan kematian kita bisa tersenyum dan berkata: “Aku telah menunggumu sejak dulu. Datanglah. Rengkuh aku. Aku merindukanmu. Aku merindukan Cinta yang sejati.”

03 Juli 2015, 23:09