Pages - Menu

Dean, Dean...


Dean "Dark Wizard" Potter


Tolong katakan. Beri tahu aku seberapa jauh (atau dekat), seberapa tebal (atau tipis) jarak antara hidup dan mati, antara mimpi dan kenyataan
 
Orang-orang mati setiap hari, dan kita sibuk berusaha mempertahankan hidup. Sementara itu, bukankah kematian adalah suatu keniscayaan bagi yang hidup?

Maka ketika mendengar berita bahwa Dean Potter (bersama seorang kawannya) mati dalam kecelakaan BASE jumping ketika sedang terjun dari Taft Point (berketinggian sekitar 3000 kaki) di Yosemite National Park pada 16 Mei 2015 lalu, aku jadi merenung kembali.

Ketika orang-orang kebanyakan berusaha memisahkan kehidupan dan kematian, mimpi dan kenyataan sejauh-jauhnya, Dean sepertinya berusaha mendekatkannya. Tapi entahlah, mungkin hanya orang-orang semacam Dean yang mengerti. Akupun mungkin tak semengerti itu.

Ada yang menjalani hidupnya sejauh mungkin dari (yang kita kira) garis batas antara hidup dan mati. Ada yang (seperti Dean) menjalaninya sedekat mungkin dengan garis itu. Ada yang menjalani hidupnya seterpisah mungkin dari mimpinya (yang katanya tidak realistis). Seolah-olah hidup ini pasti bukan mimpi. Dan ada yang hidup di batas antara keduanya. Bahkan mungkin bagi dirinya sendiri, kenyataan dan impian adalah satu.

Menurut kita, orang-orang semacam itu adalah orang sinting, gila, minimal gak normal. Dan, ya, memang seperti itu adanya.

“Apa sih yang mereka lakukan? Menantang kematian? Mengejek Tuhan? Menyia-nyiakan hidupnya. Bunuh diri.”

Tapi tunggu dulu. Jika kehidupan “normal” sebagaimana yang kita jalani setiap hari seringkali membuat kita lupa akan Tuhan, jika rasa aman yang kita jaga setiap hari melenakan kita sehingga lupa pada kematian, maka bukankah apa yang mereka lakukan bisa saja merupakan usaha untuk senantiasa dekat dengan Tuhan, selalu berdampingan dengan kematian?

Sesorang yang terjun dari ketinggian 3000 kaki belum tentu sedang mencoba bunuh diri. Justru mingkin ia sedang berusaha untuk lebih hidup dengan sejati-jatinya hidup. Kecuali kalau dia memang dalam hati berniat bunuh diri, lain cerita. Kalo gitu mah, gak perlu repot-repot pake parasut segala. Kalo dia niatnya bukan bunuh diri, maka itu bukan bunuh diri. Kan katanya setiap perbuatan itu dinilai dari niatnya kok.

Ada yang bilang, safety itu ilusi. Lha kita berada di tempat yang –kita pikir dan rasa—paling aman sedunia pun tetap saja bisa mati. Itu disebutnya “sudah takdir”. Hanya kadang –kalo gak mau dibilang sering—kita lupa, tidak sadar bahwa di manapun, kapanpun, kita tidak pernah benar-benar berdaya, tak pernah lepas dari yang namanya takdir. Sering kali kita merasa in control, lupa bahwa Tuhanlah yang mengendalikan segalanya.

Maka kalau dengan lompat dari ketinggian 3000 kaki kita menempatkan diri pada posisi hampir tanpa kendali dan menyadari bahwa kita tak sebegitu berdayanya kok dalam hidup ini, tidakkah kita bakal semakin menyadari kuasa Tuhan?

Dean mungkin saja di sana sudah terbangun dan garuk-garuk kepala. “Oh, ternyata selama ini aku hidup dalam mimpi to.”

Entahlah. Siapa tahu.

Jogja, 21 Mei 2015, 02:15

Live in Dream, Die Dreaming

Mereka bilang, orang tak bisa hidup dalam mimpinya.
Bangunlah, jangan terus-terusan bermimpi.
Hidup itu menjalani kenyataan, menyentuh realita, bukan terus-terusan bermimpi yang tidak-tidak.
Dan realita itu: lihatlah, apa yang ada di sekelilingmu, apa yang terjadi di sekitarmu, itulah kenyataan. Itulah tempat semua orang menjalani hidup. Ga usah muluk-muluk.
Kamu boleh punya impian, tapi harus realistis!
Maka orang-orang pun beranjak dewasa setelah mengubur mimpinya dalam-dalam.
Kemudian yang tersisa tinggal ketakutan-ketakutan yang menghantui dalam tidur.

Meresahkan, namun mau bagaimana lagi. Mungkin memang benar demikian.

Lalu seseorang bermimpi terbang, dan di mimpi itu pula ia jatuh dan mati.

Dan beberapa hari yang lalu (16/05/2015), mimpi itu sepertinya menjadi kenyataan.
Selamat jalan, Dean Potter.
Ga banyak yang bisa hidup dalam mimpinya,
apalagi mati dengan mimpinya.

Dean Solo At Taft Point, Yosemite