Pages - Menu

Malam Itu

Aku pernah berjalan menelusuri malam;
malam di hari, malam di hati
tanpa tujuan, tanpa harapan
sekedar berjalan.
Melangkahkan kaki mengikuti hati
menapaki ragu demi ragu yang tak kumengerti
sejenak menyendiri menyepi menepi
dalam dunia yang kupahami secara sederhana.

Bukankah sederhana itu sejati?
Dan kita yang tak pernah berpuas diri
Mencintai hidup dengan penuh birahi

Aku pernah melangkahi selokan
jijik pada warnanya yang hitam dan baunya yang busuk
Sedang ia selalu tabah menjadi dirinya
menampung dan mengalirkan dosa-dosa manusia
kepada bumi yang membalasnya dengan kebaikan
kebaikan yang kita lahap setiap saat;
kita kunyah, kita telan, kita serap sari-sarinya
lalu sisanya kita buang ke selokan.
Selokan ada sebagai dirinya yang sederhana.

Malam itu kujumpai resah membelaiku lembut
dari angin-angin dingin yang berhembus.
Malam itu kudapati takut tersenyum padaku
dari kegelapan di bawah jembatan.
Malam itu kutemui lelah memelukku
dalam tidur nyenyak tanpa mimpi.
Malam itu: Aku mencintaiMu
pagi, 30 April 2015

Kesimpulan (2): Puisi

Di atas kertas: huruf-huruf berbaris rapi
oleh instruksi, aba-aba, dan segala aturan tata bahasa
kata-kata terbentuk kalimat terurai

Aku menangis bercucuran airmata
Aku marah berteriak lantang; mengumpat
Aku gusar, kacau, hampir gila
Kutuntut segala yang ada;
dari mulai dinding-dinding yang membatasi,
nyala lampu yang membayangi,
laci yang terkunci,
pintu yang menutupi,
hingga cermin yang kutuduh penipu.

"Dimanakah makna yang kuingin mereka pahami kalian sembunyikan?"

Airmata membanjir meggenang menenggelamkanku
Umpatan menggema keras menamparku
Tertunduk terdiam tersadarlah Aku

Puisi bukan kata-kata yang tertata
Puisi adalah rasa yang menjelma kata
Yang tak dimengerti untuk dihayati

Kini
         Sunyi pun berpuisi
malam, 29 April 2015

Kesimpulan: Yang Abadi

Adalah waktu yang menciptakan ruang
tempat kita bermain-main dengan rasa
Waktu jua yang melahapnya
dalam pusaran dan meleburnya
bersama beribu-ribu kata
serta berjuta-juta alasan
untuk marah dan menyakiti
untuk sedih dan menangisi
untuk takut dan menghindari
untuk senang dan menertawai
untuk tetap disini
atau beranjak pergi

Hingga ketika sunyi malam membisikkan mimpi
lalu esok pagi membangunkan kembali
bukan Aku atau Kau;
adalah Cinta yang abadi

29 April 2015

Yang Resah Mencari

Bertahun-tahun sudah
berjalan di atas bumi ini.
Berpindah dari tempat ke tempat,
dari rumah ke rumah,
dari desa ke desa,
dari kota ke kota,
dari pulau ke pulau.

Menemui orang demi orang,
binatang demi binatang,
pohon demi pohon,
batu demi batu,
telaga demi telaga.
Berkaca di mukanya
yang riak maupun yang tenang.

Mengetuk pintu-pintu maupun jendela-jendela
rumah-rumah ilmu pengetahuan yang katanya
memiliki kebijaksanaan tertinggi,
terluas,
terdalam.

Terpana menatap angkasa luas semesta tak berujung-pangkal,
pada kabut yang meragu,
pada langit yang biru,
pada bintang-bintang yang merahasiakan masa depan dan masa lalu.

Di tengah peradaban manusia yang kian melaju
namun tak pernah sanggup mengejar waktu
yang terus saja berlalu.
Dunia yang makin riuh informasi,
yang nyata maupun yang maya.

Bertahun-tahun bertanya dan bertanya
pada semua yang ada di dunia,
nyata maupun maya.

Tak pernah jua keresahan ini usai.
Tanya terjawab dengan beribu-ribu tanya.
Dahulu maupun kini tetap saja,
Bingung adalah Bingung,
Resah tetap Resah,
Gelap masih saja Gelap,
Sunyi selalu Sunyi.

Adakah Pengetahuan membawa Kebijaksanaan?
Adakah Pertanyaan berbuah Jawaban?
Adakah Gerakan menjadi Perubahan?
Adakah Harapan menemui Kenyataan?
Adakah Kegelapan memberi Pencerahan?
Adakah Kata menjelma Doa?
Adakah Sunyi melantun Puisi?
Bagi jiwa yang resah mencari
Kebenaran sejati yang hakiki.


15 April 2015

"Siapakah Kamu?"

Pertama kali, Aku bertemu seorang tanpa nama, tanpa wajah, tanpa tubuh.
Bertanyalah Ia: "Siapakah Kamu?"
Aku menyadari, sejak saat itu,
bahwa Aku berada dalam kegelapan yang sunyi.

Siapakah Aku? Tanyaku pada diri sendiri.
Tetapi, siapakah yang bisa menjawab pertanyaan itu bila Aku sendiri tak tahu siapa Aku?
Maka keluarlah Aku dari ruang gelap dan sunyi diriku ke riuh dunia yang gemerlap.
Berharap menemukan cermin yang bisa menampakkan diriku dan menjawab pertanyaanku.

Kita, manusia-manusia yang tersesat dalam hiruk-pikuk dunia,
tak punya nama, tak punya wajah, tak tahu apa-apa tentang diri sendiri.
Lalu kita saling menggambari wajah satu sama lain,
menyebut nama satu sama lain,
mendefinisikan satu sama lain perihal masing-masing kita.
Kita masing-masing adalah cermin bagi yang lain.

Bukankah lebih mudah bertanya pada orang lain: "Siapakah Aku?", daripada bertanya pada diri sendiri?

Mungkin, karena itulah manusia menjadi mahuk sosial: untuk menemukan dirinya di mata dan kata manusia-manusia lain.

[15 April 2015]

Lalu seorang mengembara ke penjuru semesta,
menanyai setiap yang ditemuinya:
"Siapakah Aku?"
untuk menemukan Dirinya yang sejati.

Tetapi jawaban yang diperolehnya seringkali tak sama,
dan Ia tak pernah puas dengan semua jawaban-jawaban itu.
Maka mengembara Ia seumur hidupnya,
mencari dirinya yang sejati.

Seorang yang lain memilih berdiam diri di dalam ruang tergelap dirinya
mendengarkan sunyi...