Pages - Menu

Kata Mengubur Makna

Kata tanpa makna
tertulis di mana-mana
dengan pena
tanpa tinta
terucap dari sela-sela antara
bicara
tanpa suara

Kata berkomplot menjadi kalimat tanya
berharap menemukan di mana makna
bersembunyi di tengah hiruk-pikuk dunia
yang tua
semakin renta
kala demi kala dilahap masa

Kata demi kata
runtuh jadi aksara
luluh jadi suara
Air mata
pecah di atas pusara
jutaan kata yang mati mengubur makna

Yogyakarta, 22/02/2015

Dalam Setiap Butir Hujan

Aku bukan diriku ketika menatapmu dalam-
dalam seperti purnama
pada telaga yang
dengan dinginnya tak geming
walau daun-daun
gugur
membusuk
jadi tanah.

Aku bukan diriku ketika
sunyi yang bersekongkol dengan malam membisikkan kata-
kata yang tak pernah terucap
pada hatiku yang gelisah
sebab makna menghilang
pada setiap helai huruf yang berserakan
di antara jari-jari
waktu yang kerdil
menunjuk-nunjuk bilangan tak masuk akal
yang menghantui setiap orang.

Aku bukan diriku ketika berjalan di lorong-
lorong sempit tempat kehidupan adalah mantra yang diukir
pada dinding-dinding peradaban
agar setiap orang terlindung
dari kematian yang dengan sabarnya selalu setia
menunggu di balik dinding itu.

Aku bukan diriku ketika hujan membasahi rambutmu
melahirkan pelangi dalam sendu
tatapanmu yang kelabu tetapi selalu
rapi terbalut senyum paling manis sedunia.

Aku bukan diriku
di sini
sementara kamu
di suatu tempat
di dalam telaga tersembunyi oleh malam
sunyi di luar jangkauan kata dan
makna yang tak mampu menembus dinding-
dinding kehidupan yang membagi kita
dalam ruang hampa masing-masing.

Titik-titik
hujan seperti
ingatan yang
terpecah dan
berhamburan jatuh
dari langit.

Senyummu ada dalam setiap butirnya.


[Yogyakarta, 19/02/2015]

Sajak-Sajak Rapuh

Buat mereka yang telah menjadi abu, yang jasadnya hilang, tetapi semangat yang mereka titipkan akan selalu hidup dalam kisah sepanjang masa...


Di atas bukit suatu senja
Berkalang langit yang makin renta
Bertopang bumi yang makin tua
Bersemayam damai dinaung cemara

Sajak-sajak rapuh menyeruak dari dalam
Terdengar sayup ketika diam
Pesan-pesan dari masa silam
Terlantun lirih bersama bisik suara alam

Meski ragamu hilang ditelan bumi
Terbenam dalam pusara yang tak abadi
Semangatmu akan selalu hidup
Menjadi jiwa setiap cerita yang tertulis
Di langit biru, tinggi
Di laut lepas, luas
Di tanah dan batu tempat setiap jasad menjadi abu

Tak kan putus kisah yang telah tertulis
Dengan peluh, air mata, senyum, dan tawa
Dengan kaki yang lelah tapi tak henti melangkah
Dengan tangan yang kebas tapi kepal tak lepas
Dengan nafas tersengal tapi selalu teriak

Never give up!

Meski hanya dalam hati

24-25 Juni 2010

Ziarah

Mengenang Almarhum Mas Budhil (Moh. Sriyuwono Budi) dan Mas Gatot (Gatot Waskito) yang hilang dalam pengarungan sungai Progo pada 6 Februari 1982.


Aku tak pernah mengenal kalian selain dari cerita-cerita masa lalu. Tentang semangat dan keberanian, tentang mimpi dan cita-cita, tentang kebodohan.

Ya, kebodohan.

Aku mengagumi orang-orang bodoh yang memiliki semangat dan keberanian untuk bermimpi dan meraih cita-cita, sebab ia akan selalu belajar.

[]

Palapsi akhirnya sampai ke New Zealand. Sebuah mimpi turun-temurun yang akhirnya terwujud. Jika kalian bisa mendengarku, aku mengucapkan terima kasih atas semangat yang telah kalian titipkan di Palapsi. Tanpa itu kami tak akan sampai ke mana-mana.

Aku ingat pertama kali mengunjungi monumen di mana nama kalian terukir itu. Di atas bukit, di bawah pohon cemara, di tepi kali Progo. Kisah diceritakan, doa dipanjatkan, hymne Palapsi dinyanyikan. Bunga ditaburkan di atas sajak itu, dan aku merinding membacanya.

Tak ada yang membaca sajak itu dan tidak memandang hidupnya secara utuh. Bahwa manusia adalah bagian dari alam, bagaian kecil dari semesta.

[]

Pertama kali aku merasa ciut melihat jeram adalah di sungai Progo. Di tepi jeram yang namanya diambil dari salah satu dari nama kalian. Itu tahun 2010, pertama kali aku melihat Progo banjir. Meski tak ikut mengarunginya, aku merasakan ketakutan di dalam diriku.

Air sungai cokelat pekat. Ombak-ombaknya seperti menelan lalu memuntahkan perahu yang ditumpangi teman-teman itu. Jangankan di hadapan semesta, di tepi sungai ini saja aku sudah menciut jadi kerikil.

Lalu akhir 2011 aku mulai belajar bermain kayak dan jadi semakin sering bertemu sungai. Setiap kali turun di Progo Bawah, aku selalu mengingat cerita tentang kalian. Aku berdoa semoga kejadian semacam itu tak perlu terjadi lagi. Cukup dengan mengingat kalian, semoga kami cukup bodoh untuk mau belajar.

[]

Saat ini. Di sini. Palapsi sudah mengarungi sungai sampai ke New Zealand, dan itu bermula dari Progo. Kupikir, Palapsi besar dari air sungai Progo. Air Progo mengalir dan menggenangi Lembah UGM tempat pendayung-pendayung Palapsi lahir. Air Progo mengalir sepanjang Selokan Mataram tempat pendayung-pendayung Palapsi belajar. Sungai Progo menyimpan jasad kalian dan mengalirkan semangat ekspedisi Palapsi dari generasi ke generasi. Semoga kisah itu terus mengalir.


Pagi, 7 Februari 2015